Tak Selalu Seperti Kelihatannya
Oleh:
Joshua MS
Hiruk pikuk memenuhi ruang sempit di pojok konsistori.
Ada yang menjerit dan sebagian lagi tertawa cekikan. Ruangan itu benar-benar
rame dan heboh. Anak-anak remaja Gereja Efrata melakoni rapat valentine day dengan berbagai polah.
“Sebaiknya ngak
usah perlu seragam pink, kuno!” Seorang cowok fungky super cuek
mengacungkan jari.
“Hei,
dimana-mana pink itu sudah umum, masak lo pake hitam sih?” Seorang cewek protes keras.
“Huuuuu….” Koor
serentak tanpa di pandu menggelegar.
“Sudah, sudah… tenang
teman-teman.” Joseph, sang pemimpin rapat berusaha terlihat dewasa walaupun
kenyataannya dia tetap terlihat konyol. Kata orang jaim itu emang menyebalkan.
“Hari ini,”
Ketua rapat mengoceh bak orang dewasa. “Kita akan mendengar saran-saran dari
teman kita yang baru bergabung beberapa minggu yang lalu. Kebetulan dia baru
pindah ke kota kita. Kami persilahkan dengan segala hormat, inilah dia, Lisa!”
Tepuk tangan bergema.
Semua bola mata
peserta rapat nan heboh itu mengikuti jari telunjuk Joseph. Lisa yang tergolong
baru itu tenang-tenang saja beringsut dari tempat duduknya dan melangkah gontai
ke arah Joseph. Dari raut wajahnya yang cantik dan penampilan yang modis, dapat
dipastikan Lisa pasti dari kalangan borju yang berlimpah harta. Lihat saja
busana yang dikenakannya. Semua bermerek made
in luar negeri. Pasti sangat mahal. Belum lagi ponsel wah yang tak pernah lepas dari genggamannya.
Remaja belasan ini tentu bukan dari keluarga sembarangan.
Begitulah,
akhirnya rapat memutuskan untuk mengaminkan semua saran-saran Lisa. Semua
mengangguk setuju walaupun ada yang gondok setengah mati tidak setuju. Apa mau
di kata, di gereja kecil yang rata-rata jemaat berpenghasilan menengah ke bawah itu, uluran tangan Lisa dalam
menyumbang dana sungguh sangat berpengaruh. Coba saja pikirkan, konon semua
dana perayaan Valentine Day akan di bayar Lisa.
Setengah
berlari-lari kecil menghindari matahari terik, Lisa menuju pelataran parkir
sempit. Area parkir itu hanya di isi beberapa mobil. BMW metalic itu pun segera
menderu. Mobil yang nyaris tanpa suara dan asap itu meninggalkan sebuah mobil
kijang tua di pojok parkir. Kijang tua yang menghalangi pandangan Lisa untuk
melihat sebuah ferrari sport merah maroon.
Lisa meluncur dengan sedan mulus menuju rumah disuatu kawasan elite. Rumah bak istana yang selalu
sepi karena di tinggal pergi papi dan maminya ke luar negeri.
***
Malam yang di
tunggu-tunggu rejama Gereja Eftata itu pun tiba, ruangan gereja di permak
pernak-pernik nuansa pink. Tebar bunga dan aksesoris bernuansa love di
sudut-sudut strategis. Beberapa remaja yang jadi panitia sudah hadir sedari
sore. Remaja belasan tahun itu datang dengan
berbagai tingkah. Semuanya heboh.
Menjelang senja,
sebuah sedan BMW meluncur kencang dijalanan yang ramai. Beberapa kali roda-rodanya
beradu dengan aspal hingga mengeluarkan suara berdenyit keras. Area parkir
gereja yang sempit pun seolah kaget menyambut sedan mewah yang berdenyit
kencang itu. Sedan mulus itu mengusik
sepi area parkir.
Tetap di sebelah
kijang tua, sedan berkelas itu nangkring. Tanpa menunggu lebih lama lagi, Lisa
meraih sebuah kado besar di jok belakang. Secepat itu juga dia keluar dari
badan sedan. Persis seperti penampilan artis sedang mengikuti pesta, Lisa
melangkah memasuki ruangan pesta. Entah bagaimana caranya, gadis remaja itu
sangat nyaman dengan sepatu hak tinggi.
Entah karena hak
sepatu ketinggian atau karena terlalu bergaya bak selebritis, makanan ringan
yang digelar dimeja kanan koridor gereja yang sempit menjadi korban senggolan
tangan Lisa. Tubuh Lisa yang kurus sempoyongan dan membentur sudut meja.
Alhasil, semua makanan ringan itu tumpah ruah. Sebagian tumpah ke baju bermerek
yang dikenakan Lisa, sebagian lagi berserakan di lantai. Untunglah dengan
bantuan cowok-cowok sigap seperti pahlawan, Lisa bisa segera bangun. Lisa
membersihkan bajunya yang berdebu dengan menggerutu. Matanya melotot ke arah
Josh, cowok penjaga konter makanan. Walau Josh berkali-kali minta maaf, Lisa
sepertinya tidak rela baju barunya kotor. Lisa berlalu dan masuk ruangan setelah
melemparkan 10 lembar pecahan Rp. 100.000,-
ke arah Josh dengan pandangan berpasang-pasang mata.
“Oke teman-teman!” Mona yang bertindak sebagai MC
beraksi di pangung mini. “Sebelum kita memulai pesta valentine day yang menyenangkan
ini, kita akan awali dengan kebaktian singkat.”
Kebaktianpun di
mulai. Sebuah kelompok band dari anak-anak remaja gereja mengiringi lagu-lagu
pujian sukacita. Umumnya mereka suka dengan lagu-lagu praise. Beberapa di
antara anak muda itu melompat-lompat kegirangan. Entah karena irama musiknya
yang keras atau sukacita dari dalam hati yang mengucap syukur. Yang tahu
hanyalah mereka dengan Tuhan.
“Tibalah saat
untuk mendengarkan renungan!” Mona bergegas turun dari podium. Mata anak-anak
remaja itu sekarang tertuju kepada pembicara. Seorang pemuda berbusana
sederhana melangkah ke depan. Josh menenangkan diri sebentar lalu menatap
kumpulan remaja itu dengan tatapan teduh. Pemuda yang baru lulus SMU itu
membuka Alkitab saku di tangannya. Beberapa saat dia termenung dan menundukkan
wajahnya untuk berdoa.
“Mari
teman-teman kita baca satu Korintus pasal tiga belas ayat tiga dan empat.” Josh
dengan tenang membacakan ayat demi ayat perlahan-lahan. “dan sekalipun aku membagi-bagikan segala sesuatu yang ada
padaku, bahkan menyerahkan tubuhku untuk di bakar, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, sedikitpun tidak ada faedahnya bagiku.
Kasih itu sabar, kasih itu murah hati, ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan
diri dan tidak sombong.”
Sejenak Josh
berhenti. Mengangkat wajahnya dan menatap anak-anak remaja di hadapannya sekali
lagi. “Teman-teman, aku tidak ngerti arti ayat ini sebelumnya. aku mengerjakan
banyak hal tetapi tanpa pemahanan yang benar. Hingga suatu hari, aku mengerti
lewat pengalamanku sendiri. Sejak saat pengalaman itulah, aku memutuskan untuk
masuk sekolah Alkitab” Suara Josh berubah sendu.
Selanjutnya Josh
berkisah tentang kilas balik kehidupannya yang berantakan. Hidup tanpa arah
karena keluarga yang hancur. Orang tua yang sibuk mengurus bisnis. Orang tua
yang pisah ranjang. Orang tua yang berselingkuh. Hingga Josh yang kecanduan
narkoba. Tetapi oleh kasih karunia Kristus, Josh mengalami perjumpaan secara
pribadi dengan Tuhan. Malam ketika tidak ada lagi harapan untuk sembuh dari
jerat narkotika. Malam ketka dia terkapar hampir mati. Malam di mana hanya dia
sendiri di kamar. Malam ketika pisau stainlless stell dengan perlahan-lahan
mengiris urat nadi di pergelangan tangan kirinya. Malam ketika sebenarnya dia
sudah mati. Malam di mana dia di bawa oleh malaikat melihat neraka yang
memilukan. Malam di mana dia bertemu secara pribadi dengan Sang Pencipta. Malam
yang kemudian membuat dia menjadi ciptaan baru. Malam yang mengubah sama sekali
kehidupannya.
Sejak malam itu Josh
sama sekali. Josh berubah menjadi pemuda penuh perhatian kepada orang-orang
miskin. Kepada anak-anak terlantar. Dan kepada korban-korban obat-obatan
terlarang. Seorang pemuda sederhana dan rendah hati. Ia seorang yang penuh belas kasih. Ia bahkan dengan rela
meninggalkan rumah dan tinggal diasrama seminari yagn sangat sederhana.
Renungan yang
sebenarnya lebih tepat dikatakan kesaksian itu pun diakhiri dengan sebuah lagu
pujian. Josh, si cowok penjaga kantin dadakan itupun kembali ke tempatnya
dengan mata berkaca-kaca. Tepuk tangan meriah mengiringi langkah gontai Jos
menuju kursinya di pojok ruangan. Beberapa di antara anak-anak remaja itu
menerima pesan Tuhan lewat kesaksian hidup Josh.
Pesta pun
dimulai. Sorak-sorai tidak karuan bergema. Dasar remaja yang memang selalu
histeria. Beberapa anak yang lain di antara mereka hanyut dengan sukacita
permainan-permainan yang menarik hasil kreasi Lisa. Beberapa di antara mereka
bersorak kegirangan karena mendapatkan hadiah. Malam itu memang benar-benar
malam yang berbeda.
* * *
Malam makin
merayap. Anak-anak remaja itu sudah pulang semua. Lisa pun sudah menghilang di
kegelapan malam dengan BMW metalicnya. Area parkir sunyi sepi. Hanya sedan
jaguar yang masih terparkir di pojok. Josh buru-buru mengemasi barang-barang
dagangan di kantin. Beberapa anak-anak dengan
penampilan kusut membantu dan menemaninya.
“Gimana hasil
penjualannya?” Josh menyapa Ati, sang
kasir.
“Lumayan mas,
kita dapat untung.” Ati tersenyum seraya menunjukkan pecahan Rp.1.000.000,-
yang dilemparkan Lisa. Buru-buru Ati menyudahi bersih-bersih ruangan yang
dikhususkan untuk mereka sejak setahun lalu. Sejak setahun yang lalu ketika
Daniel Wijaya, penyumbang hampir semua dana pembangunan Gereja Efrata,
mengajukan permohonan agar anak-anak jalanan yang telah menjadi anggota gereja
itu diperhatikan kesejahteraannya. Daniel Wijaya pengusaha kaya raya yang telah
bertemu Kristus sejak mukjizat yang menyelamatkan anak tunggalnya, Joshua
Wijaya yang kerap dipanggil Josh. Sejak setahun yang lalu, ketika kantin gereja
di pojok ruangan itu resmi dikelola oleh anak-anak jalanan penghuni
perkampungan kumuh di pinggir kota.
“OK, sekarang
kita pulang.” Buru-buru mereka mengemas barang-barang. Mereka bergegas ke area
parkir. Alarm Ferrari Soprt nyaring di hening malam. Dengan lembut Josh
mengubah porsneling dan segera meluncur di jalanan sunyi. Jaguar merah maroon
itu akan mengantar anak-anak berbaju
kumal kembali ke rumah mereka. Sebuah perkampungan kumuh di bantaran kali.
(Janganlah kiranya penampilan
luar yang menyilaukan, membuat mata kita buta tentang apa yang ada di balik
penampilan luar itu.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar