Senin, 15 Desember 2014

SEGAMBAR DAN SERUPA DENGAN ALLAH



SEGAMBAR DAN SERUPA DENGAN ALLAH


BENTUKNYA?

Banyak orang bertanya, "sebelum menciptakan manusia, apakah Allah tahu bahwa nanti manusia akan menentangNya?" Jawabannya, "tentu Allah tahu!" Lalu mereka akan melanjutkan pertanyaan mereka, "kalau begitu mengapakah Allah mau menciptakan manusia?" Dan belum sempat kita menjawab biasanya pertanyaan demi pertanyaan akan mereka lontarkan seperti peluru senjata otomatis.

Kalimat "kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa kita" menunjukkan bahwa Sang Pencipta memang telah merencanakan menciptakan Adam yang berbeda dengan semua makhluk lain. Makhluk lain tidak segambar dan serupa Allah, melainkan hanya Adam. Allah menghendaki agar ketika makhluk lain melihat Adam, mereka melihat Sang Pencipta. Tujuan penciptaan telah diungkapkan dengan jelas yaitu "supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi."

Allah berencana menciptakan makhluk yang mewakiliNya menguasai semua ciptaanNya yang lain. Ia menciptakan makhluk yang segambar dan serupa dengan diriNya sehingga ketika makhluk lain melihat Adam, mereka sepertinya melihat Sang Pencipta itu sendiri. [Selebihnya...] Seperti petani membuat boneka, agar ketika burung pipit melihat boneka yang bergerak-gerak ia mengira sang petani itu yang sedang menjaga sawahnya.

Sebagian theolog tidak berani menafsirkan kesegambaran dan keserupaan manusia dengan Allah adalah dalam hal bentuk, karena Yohanes 4:24 menyatakan bahwa Allah itu Roh. Tetapi kata besalmenu (gambar kita) dan kidmatenu (rupa kita) itu sesungguhnya menunjuk kepada bentuk. Pada Kej.9:6 dikeluarkan larangan membunuh manusia dengan alasan manusia diciptakan segambar dengan Allah. Dapat dimengerti bahwa penyerangan terhadap manusia yang adalah gambar Allah dapat dilihat sebagai penyerangan terhadap Allah sendiri. Ketika seseorang merobek-robek foto seseorang, memang dapat dilihat sebagai bentuk penyerangan terhadap orang itu. Segambar dan serupa dalam roh? Lalu mengapakah ketika manusia telah mati, ketika rohnya telah meninggalkan tubuhnya, masih perlu dihormati? Apakah makna dibalik penguburan orang secara terhomat? Tuhan menghendaki agar orang yang telah mati, dikuburkan ke dalam tanah dengan hormat. Dengan hormat karena diciptakan sesuai gambar Allah, ke dalam tanah karena bahan baku tubuh tersebut terbuat dari tanah. Bapa-bapa beriman di PL telah tercatat menguburkan orang-orang mereka secara terhormat ke dalam tanah.

Kata besalmenu dan kidmatenu adalah kata yang biasa dipakai untuk menunjuk pada rupa seseorang. Set, anak Adam pengganti Habel dikatakan adalah seorang laki-laki menurut gambar dan rupa Adam, kata yang dipakai adalah persis sama dengan kata untuk menjelaskan bahwa Adam yang diciptakan sesuai dengan gambar dan rupa Allah.

DENGAN KEHENDAK BEBAS

Adam bukan hanya diciptakan sesuai dengan gambar dan rupa Allah, bahkan dalam pasal 2 dirinci bahwa Adam terbuat dari debu tanah dan dihembusi nafas. Selanjutnya dikatakan bahwa Adam ditempatkan di taman Eden dan diberi tugas. Adam adalah satu-satunya makhluk yang bisa bertugas karena ia satu-satunya yang diberi kemampuan untuk berpikir. Kalau tidak, ia tidak mungkin bisa mengurus taman Eden dan mengendalikan semua makhluk ciptaan yang lain. Ia bisa berpikir dengan sangat cerdas, namun pikirannya belum terisi pengetahuan. Sama seperti seorang bayi yang memiliki kemampuan berpikir namun belum ada pengetahuan di dalam otaknya, demikianlah Adam sesaat selesai diciptakan. Bedanya hanyalah kemampuan berpikir bayi bertumbuh gradual sedangkan kemampuan berpikir Adam langsung pada tahap sempurna. Jadi otak Adam itu seperti prosesor komputer yang sangat canggih, namun belum ada program terisi di dalam memorinya.

Selain pikiran, Adam juga diberi kehendak bebas karena hanya makhluk yang berpikiran dan berkehendak bebaslah yang bisa bekerja. Tidak ada satu makhluk pun di atas muka bumi yang bisa diberi tugas selain manusia. Karena diberi kemampuan berpikir dan kehendak bebas maka Adam harus mempertanggungjawabkan pikiran dan kehendak bebas yang diberikan kepadanya. Dengan kemampuan berpikir dan kehendak bebas, bahkan perasaan, ia bisa berpikir, memutuskan untuk melakukan sesuatu yang berkenan kepada Allah atau sebaliknya tidak berkenan kepada Allah, bahkan menentang Allah. Adam adalah pribadi (person) yang bisa berpikir, memutuskan sesuatu, bertindak, bisa tersinggung, marah dan mengasihi.
Mengapa Allah memutuskan menciptakan makhluk yang bisa menentangNya? Jawabannya, Allah ingin menikmati sikap positif dari makhluk ciptaanNya. Allah ingin dicintai sebagaimana Ia mencintai, itulah sebabnya Ia menciptakan makhluk yang bisa mencintai, makhluk yang berpikiran dan berperasaan. Allah tidak mau dicintai robot yang tidak berperasaan. Dan juga tidak mau dicintai oleh yang tidak ada pilihan selain mencintai, atau semacam cinta yang terpaksa. Ia menginginkan cinta dari makhluk yang bisa memilih yaitu yang berkehendak bebas. Jika makhluk itu bisa mencintai dan membenci, dan juga bisa memilih, lantas ia memilih mencintai, maka di situlah nikmatnya dicintai. Dicintai atas pemilihan subyek yang mencintai, bukan atas pengaturan obyek yang dicintai.

Dan efek samping dari bisa mencintai ialah bisa membenci. Singkatnya, Allah menciptakan makhluk yang seperti diriNya. Tentu manusia tidak memiliki kemampuan seperti diriNya melainkan memiliki sekedar kemampuan untuk mengendalikan makhluk-makhuk lain. Manusia benar-benar serupa Allah yang memiliki pikiran, perasaan, dan kehendak bebas.

Jadi, Allah tahu manusia akan jatuh ke dalam dosa, namun bukan Allah yang menyebabkan mereka jatuh ke dalam dosa. John Calvin bikin kesalahan ketika ia berkata bahwa Allahlah yang menyebabkan Adam dan Hawa jatuh ke dalam dosa. [John Calvin, Institutes of Christian Religion. Ed. by John T. Mcniel. Trans.by Ford Lewis Battles (Philadelphia: The Westminster Press. 1960) hal.995].

Kegagalan utama calvinisme ialah pada pemahaman mereka terhadap manusia yang Allah ciptakan. Mereka gagal memahami Adam sebagai manusia berakal budi dan berperasaan serta berkehendak bebas. Itulah sebabnya John Calvin memaksakan kehendaknya kepada penduduk kota Geneva, karena ia berpikir bahwa Allah juga selalu memaksakan kehendakNya kepada semua ciptaanNya. Padahal sejak Allah menciptakan manusia yang berakal budi, berperasaan dan berkehendak bebas, Allah selalu konsisten dengan ketetapanNya. Ia tidak akan merubah ketetapanNya karena Ia tidak dapat menyangkal diriNya (II Tim.2:13).

SETELAH KEJATUHAN

Allah telah menciptakan manusia yang berakal budi, berperasaan, dan berkehendak bebas, atau pribadi (Person). Allah mau mereka mempraktekkan kehendak bebas yang Ia berikan. Itulah sebabnya Ia menempatkan dua jenis pohon ke dalam taman Eden, yaitu pohon kehidupan dan pohon pengetahuan baik-jahat. Adam diberitahu bahwa kalau ia memakan buah pohon kehidupan maka ia akan hidup selamanya (Kej.3:22) dan kalau ia memakan buah pohon pengetahuan baik-jahat maka ia akan mati (Kej.2:16-17).

Jika seseorang memberi kebebasan kepada anda untuk memilih, namun hanya disodorkan pada satu alternatif, maka orang itu sedang membohongi anda. Allah tidak berbuat demikian kepada Adam. Ia menciptakannya dengan kemampuan berpikir, memberinya kehendak bebas untuk memilih, dan juga memberikan alternatif kepadanya untuk dipilih.

Allah menghendaki Adam memilih buah pohon kehidupan, dan melarangnya memakan buah pohon pengetahuan baik dan jahat. Jika Adam dan Hawa percaya dan bersikap positif kepada Allah, maka mereka akan memakan buah pohon kehidupan, serta menjauhi pohon pengetahuan baik dan jahat.

Iblis tahu persis kondisi manusia yang memiliki kehendak bebas sebagaimana dirinya karena ia berasal dari malaikat. Hanya malaikat dan manusia yang diberi akal budi, perasaan dan kehendak bebas. Banyak orang bertanya, mengapa Allah tidak melarang iblis menguji Hawa? Jawabannya, kalau Allah berbuat demikian, maka apa manfaatnya manusia diberi kehendak bebas dan di taman Eden ditaruh dua macam pohon? Semua itu untuk mendapatkan sikap positif (kasih) makhluk pribadi yang diciptakanNya. John Calvin, demikian juga dengan John Owen pengikut setianya, menekankan tujuan penciptaan adalah untuk kemuliaan Allah terasa agak mengusik karena seolah-olah Allah kurang mulia sebelum menciptakan manusia. Padahal Allah telah memiliki kemuliaan dan telah sangat mulia serta tidak perlu tambah mulia lagi sebelum menciptakan manusia, dan manusia tidak bisa menambah kemuliaan Allah. Yang lebih tepat adalah Allah menciptakan makhluk pribadi, dan ingin mendapatkan sikap positif dari makhluk pribadi yang diciptakanNya. Tentu sikap positif yang timbul dari hati tiap-tiap pribadi, bukan yang ditentukan Allah.

Apakah Allah tahu Adam dan Hawa akan jatuh ke dalam dosa? Tentu Allah tahu! Tetapi Allah juga tahu bahwa kemudian mereka akan menyesal dan akan mengerti bahwa Allah sangat mengasihi mereka. Dan Allah tahu bahwa melalui mereka akan lahir manusia yang akan memusuhiNya, namun juga tahu akan ada yang mengasihiNya. Karena setelah kejatuhan manusia, Allah segera menjanjikan Juruselamat, kemudian ada banyak keturunan Adam dan Hawa yang merespons positif kepada kasih karunia Allah. Akibat dari memilih memakan buah pohon pengetahuan baik dan jahat, manusia harus mati atau dihukum mati. Dosa tidak dapat dihapuskan dengan apapun selain dengan penghukuman, dan hukumannya adalah hukuman mati (Rom.6:23).

Juruselamat dijanjikan untuk menerima penghukuman itu. Adam dan Hawa, dan siapa saja yang hidup sebelum penjatuhan penghukuman kepada Sang Juruselamat harus percaya kepada Sang Juruselamat yang AKAN datang. Dua ekor binatang dimatikan dan mengambil kulitnya untuk membuat pakaian bagi mereka masing-masing. Walaupun tidak dikatakan domba, namun kemungkinan besar adalah domba karena kulit domba merupakan model pakaian kulit yang paling awal. Dan juga sekaligus sebagai simbol tentang proses penyelamatan yaitu tindakan penjatuhan hukuman kepada Sang Juruselamat yang dijanjikan.

Setelah kejatuhan, ternyata manusia tidak sampai kehilangan kesadaran dirinya, atau kehilangan kemampuan memutuskan atau kehilangan kemampuan memilih yang dimiliki sebelum kejatuhan. Kemampuan inteligensi manusia pun masih tetap sama bahkan Allah sendiri menyatakan (menyindir) bahwa manusia sudah sehebat Allah yaitu tahu tentang yang baik dan yang jahat (Kej.3:22). Manusia telah tahu tentang yang baik dan yang jahat, bahkan telah melakukan kejahatan, yaitu memihak iblis untuk menentang Allah.

Manusia memiliki inteligensi yang tetap sama sehingga sanggup menciptakan pesawat yang beratnya ratusan ton dan terbang di angkasa. Bahkan perkembangan teknologi yang sangat pesat di abad 21 ini telah menyebabkan sebagian manusia merasa betul-betul menjadi Allah.
Ungkapan "mati secara rohani" (Rom.6:13, Ef.2:1,Kol.2:13), tidak tepat untuk diartikan sebagai kehilangan kemampuan mengerti penjelasan tentang Allah dan keselamatan jiwa diri seseorang. Manusia setelah kejatuhan terbukti bisa mengerti berbagai hal termasuk hal-hal baik-buruknya, untung-ruginya, patut-tidaknya. Tentu sangatlah tidak tepat untuk menyimpulkan bahwa pikirannya berhenti ketika mempermasalahkan tentang penciptanya, atau keselamatan jiwanya. "Kamu dahulu sudah mati karena pelanggaran-pelanggaran dan dosa-dosamu (Ef.2:1)" bisa diartikan `dalam keadaan tidak ada hubungan dengan Allah yang adalah sumber kehidupan'. Dosa dan pelanggaran manusia telah menyebabkan terputusnya hubungannya dengan Allah yang maha kudus. Diperlukan keputusan untuk bertobat dan percaya kepada Kristus, Sang Penebus dosa, untuk menjadikan dirinya suci di hadapan Allah, barulah hubungan dengan Allah dipulihkan.

Setelah seseorang bertobat dan percaya kepada Kristus maka, "...telah dihidupkan Allah bersama-sama dengan Dia, sesudah Ia mengampuni segala pelanggaran kita, dengan menghapuskan surat hutang, yang oleh ketentuan-ketentuan hukum mendakwa dan mengancam kita" (Kol.2:13-14). Ayat ini dengan jelas menyatakan bahwa orang yang tadi mati secara rohani dihidupkan bersama Kristus dengan cara mengampuni pelanggarannya. Ia menjadi kudus di dalam Kristus dan memiliki hubungan kembali dengan Allah yang adalah sumber hidup.

Jadi, kematian rohani dan hidup kembali di dalam Kristus tidak ada hubungannya dengan kesanggupan memberi respon terhadap berita Injil keselamatan. John Calvin yang mengikuti Agustinus telah salah besar dalam menganalogikan kematian rohani dengan kematian jasmani dan menyimpulkan bahwa kondisi kematian rohani itu berarti tidak bisa bereaksi sama sekali terhadap rangsangan luar.

Manusia yang telah jatuh ke dalam dosa ternyata bisa berhitung, bisa menciptakan berbagai peralatan, bisa mengenang hal-hal yang telah lampau, dan bisa berencana atas hal-hal yang akan datang. Terbukti manusia berdosa bisa memahami perkara rohani bahkan terlibat aktif perkara rohani dari aspek negatif. Mereka bisa menjalin hubungan dengan dunia iblis serta bisa menjadi alat-alat iblis. Manusia berdosa juga terlibat acara sembah-menyembah berbagai dewa dan illah. Timbulnya sikap menyembah kepada berbagai ilah walaupun salah tetap menunjukkan adanya kerinduan terhadap perkara rohani dalam diri manusia yang telah jatuh ke dalam dosa.

Rahab bisa sampai pada keyakinan bahwa Jehovah adalah Allah yang berkuasa yang sudah pasti akan mengalahkan bangsanya, bukankah itu sebuah kesadaran rohani yang ditunjukkan manusia berdosa? Rut bisa memutuskan memilih Jehovah sebagai Allahnya bukankah juga sebuah bukti bahwa setelah manusia berdosa mendengar tentang kebenaran bisa membuat pilihan berpihak kepada kebenaran?

Kesimpulan yang tepat adalah bahwa setelah manusia jatuh ke dalam dosa, ia sama sekali tidak kehilangan kesadaran diri, tidak kehilangan kemampuan berpikir, dan juga tidak kehilangan kemampuan memutuskan serta memilih. Manusia yang telah jatuh ke dalam dosa hanya kehilangan hubungan dengan Allah yang maha kudus karena Allah yang maha kudus tidak mungkin dihampiri manusia yang berdosa. Manusia yang jatuh ke dalam dosa telah Totally Depraved dalam arti telah kehilangan kemuliaan Allah (Rom.2:23), terputus hubungannya dengan Allah atau mati secara rohani oleh pelanggaran dan dosanya.


SETELAH DISELAMATKAN

Kondisi diselamatkan dari dosa, oleh Rasul Paulus juga disebut dihidupkan kembali di dalam Kristus. Jika dihubungkan dengan kehilangan kemuliaan Allah, maka dapat dikatakan dipulihkan kembali, atau diberi kuasa untuk menjadi anak-anak Allah. Alkitab juga memakai istilah `dikuduskan'dan disebut `orang-orang kudus'.

Proses penyelamatan terhadap manusia berdosa ialah melalui penghukuman terhadap dosa, dan penghukuman itu diambil alih oleh Sang Juruselamat. Melalui sikap bertobat dan percaya kepada Sang Juruselamat seorang berdosa dihitung telah terhukum pada penghukuman yang dijalani Sang Juruselamat. Manusia berdosa yang hidup sebelum penghukuman Sang Juruselamat harus beriman kepada Sang Juruselamat yang akan dihukumkan. Sedangkan manusia berdosa yang hidup sesudah penghukuman Sang Juruselamat harus beriman kepada Sang Juruselamat yang sudah dihukumkan.

Manusia berdosa yang tadinya telah totally depraved, artinya telah putus hubungan dengan Allah karena dosa, atau telah mati secara rohani, dihubungkan kembali atau dihidupkan kembali atau dipulihkan kembali. Keselamatan yang terjadi pada seseorangsama sekali bukan pemaksaan, melainkan keputusan untuk merespon positif terhadap kasih karunia Allah. Sebagaimana kejatuhan manusia itu adalah keputusannya sendiri, demikian juga keselamatan adalah keputusan manusia itu sendiri untuk menyambut uluran kasih Allah.

Setelah pemulihan, atau penyelamatan, maka kondisi dan posisi manusia kembali seperti semula, yaitu saat sebelum kejatuhan. Adam dan Hawa adalah pribadi yang bebas, yang diberi kemampuan untuk memutuskan untuk dirinya sendiri. Demikianlah keturunan mereka yang telah jatuh ke dalam dosa, dan telah diselamatkan, yaitu memiliki kehendak bebas dan kemampuan untuk mengambil keputusan bagi mereka masing-masing. Sama sekali tidak ada indikasi bahwa keturunan Adam dan Hawa yang diselamatkan oleh Injil abstrak, bisa mempertimbangkan hal atas itu kehilangan kebebasan dan kemampuan mereka untuk mengambil keputusan.

Setelah diselamatkan, manusia tidak kehilangan kebebasan, karena manusia bukan tertangkap Allah untuk dibawa ke Sorga, melainkan merespon kasih karunia yang ditawarkan. Jika keselamatan itu terjadi karena terpengaruh "hipnotis" Allah, maka manusia kehilangan kebebasan atau kemampuan untuk memutuskan dan memilih.

Benar bahwa Allah memelihara iman orang yang telah percaya, namun sama sekali tidak berarti orang tersebut kehilangan kebebasannya untuk melepaskan kepercayaannya atau mengundurkan diri (Ibr.10:35,38). Sedangkan mengenai banyak atau tidak, bahkan ada atau tidak orang yang telah diselamatkan yang mau melepaskan kepercayaannya, itu bukan kasus yang dibicarakan, melainkan bahwa orang yang telah diselamatkan ternyata masih tetap pribadi yang bebas, bukan yang terjajah atau tertangkap Allah untuk ditransfer ke Sorga secara paksa.

KESIMPULAN

Manusia adalah ciptaan Allah yang diberi kemampuan berpikir, kesadaran diri, kehendak bebas, atau suatu pribadi. Manusia tidak pernah kehilangan semua itu ketika jatuh ke dalam dosa, melainkan hanya kehilangan kemuliaan Allah dan hubungan atau komunikasi dengan penciptanya. Setelah diselamatkan, manusia tetap adalah makhluk pribadi yang bebas, sebagaimana ketika manusia belum jatuh ke dalam dosa.

RELASI ANTARA IMAN DAN PERBUATAN



RELASI ANTARA IMAN DAN  PERBUATAN



1.       Definisi Iman

Hal yang paling mendekati definisi dari iman di dalam Perjanjian Baru di temukan di Ibrani 11:1, “Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat.” Dalam kamus bahasa Indonesia, iman adalah kepercayaan kepada Tuhan (berkaitan dengan agama); keyakinan dan kepercayaan kepada Allah; ketetapan hati, keteguhan hati.[6]

Dalam Perjanjian Baru iman berarti: mengamini dengan segenap kepribadian dan cara hidupnya kepada janji Allah, bahwa Ia  di dalam Kristus telah mendamaikan orang berdosa dengan diriNya sendiri, sehingga segenap hidup orang yang beriman dikuasai oleh keyakinan yang demikian itu.

Jadi, iman di pandang sebagai tangan yang diulurkan manusia guna meneriman kasih karunia Allah yang besar. Juga dapat dikatakan bahwa iman dipandang sebagai “jalan keselamatan”. Dalam arti yang demikian jugalah kata iman dipakai di dalam ungkapan “orang benar itu akan hidup oleh imannya atau percayanya” (Hab. 2:4; bnd Rm. 1:17; Gal 3:11; Ibr. 10:38).

2.       Jenis-jenis Iman

Alkitab tidak selalu membicarakan iman dalam pengertian yang sama. Louis Berkhof membagi empat jenis iman sebagai berikut:[7]

a)      Iman historis

Iman ini sepenuhnya merupakan penerimaan atas kebenaran, tanpa memperhatikan tujuan moral maupun spiritual. Iman ini mungkin akibat dari suatu tradisi, pendidikan, pendapat umum, atau suatu kekaguman atas kebesaran Alkitab, dan sebagainya, yang disertai dengan tindakan umum Roh kudus. Mungkin saja iman ini sangat ortodoks dan alkitabiah, tetapi tidak berakar dalam hati, Mat 7:26; Kis 26:27; Yak 2:19

b)      Iman Mujizat

Yang disebut dengan iman mujizat adalah suatu kepercayaan yang ada di dalam pikiran seseorang bahwa sebuah mujizat akan dapat dilakukannya atau dilakukan atas namanya. Allah dapat memberikan kepada seseorang satu pekerjaan yang mengatasi kekuatan alamaiahnya dan memungkinkan dia melakukannya. Setiap usaha semacam itu mambutuhkan iman. Hal ini sangat jelas dalam keadaan dimana manusia tampil hanya sekedar sebagai alat Tuhan atau sebagai seorang yang mengumumkan bahwa Tuhan akan mengerjakan mujizat, sebab orang semacam itu harus mempunyai rasa percaya yang penuh bahwa Tuhan tidak akan mempermalukan dia. Akhirnya Tuhan hanya dilihat hanya sebagai pembuat meujizat. Iman inipun dapat disertai iman yang menyelamatkan, Mat 8:10-13; Yoh 11:22.

c)       Iman Sementara

Iman seperti ini adaalah kepercayaan terhadap kebenaran agama yang disertai dengan tuntunan hati nurani dan pengaruh perasaan, tetapi tidak berakar dalam. Istilah ini diambil dari Mat 13:20,21. Disebut sebagai iman sementara sebab tidak permanen dan gagal mempertahankan diri pada hari pencobaan dan kesulitan. Iman semacam ini kadang-kadang disebut iman munafik. Mungkin sebaiknya iman ini disebut sebagai iman khayalan. Kristus menyebut orang yang percaya sedemikian: “tidak berakar pada dirinya sendiri” (Mat. 13:21). Secara umum dapat dikatakan bahwa iman sementara berdasar pada hidup emosional dan berusaha mencari kesenangan pribadi dan bukan kemuliaan Tuhan.

d)      Iman yang Benar dan Menyelamatkan

Iman yang benar dan menyelamatkan adalah suatu iman yang memiliki kedudukan dalam hati dan berakar pada hidup yang telah mengalami kelahiran kembali. Iman ini pertama-tama bukan tindakan manusia akan tetapi suatu potensi yang diberikan oleh Tuhan dalam hati orang berdosa. Benih iman ditanamkan dalam diri manusia ketika ia mengalami kelahiran kembali. Hanya sesudah Tuhan menanamkan benih dalam hati manusia, maka ia dapat melakukan tindakan iman. Iman yang menyelamatkan dapat didefinikan sebagai suatu keyakinan yang pasti yang ditanamkan dalam hati manusia oleh Roh Kudus, kepada kebenaran injil dan suatu kepercayaan yang sesungguhnya pada janji Allah dalam Kristus. Akhirnya memang benar bahwa Kristus adalah objek iman yang menyelamatkan, tetapi Ia diberikan kepada kita hanya melalui injil.

3.       Diselamatkan Hanya Oleh Karena Iman

Di dalam Yohanes 19:30 dapat dibaca mengenai saat-saat terakhir penderitaan Yesus pada kayu salib,  “Sesudah Yesus meminum anggur asam itu, berkatalah Ia: “Suda selesai.” Lalu Ia menundukkan kepala-Nya dan menyerahkan nyawa-Nya.”

Di sini perkataan bahasa Yunani yang diterjemahkan “sudah selesai” merupakan pilihan kata yang paling sempurna yang dapat dipakai. Itulah kata kerja dalam bentuk perfek itu sendiri mengandung dengan tuntas, dan hasilnya masih tuntas sampai sekarang (sempurna). Untuk menggambarkannya: “sudah disempurnakan dengan sempurna” atau sudah dipenuhi dengan sepenuhnya”. Artinya, benar-benar selesai, sehingga tidak diperlukan apa-apa lagi untuk menambahkan kesempurnan.
Segala sesuatu yang perlu dilakukan untuk membayar lunas hukuman atas dosa-dosa manusia dan membeli kebebasan dan keselamatan semua manusia sudah dikerjakan melalui penderitaan dan kematian Yesus pada kayu salib.  Jika kita mengajarkan, bahwa masih ada yang harus dilakukan di samping apa yang telah dilakukan oleh Kristus, sesungguhnya kita menolak mengakui bahwa karya penebusan Yesus sempurna.

Dengan demikian, jika seseorang ingin mengusahakan sendiri keselamatannya dengan perbuatan yang baik,  baik seluruhnya ataupun sebagian saja, sesungguhnya ia menghina Allah Bapa dan Allah Anak. Mengapa? Karena hal itu menimbulkan kesan seolah-olah karya penebusan dan keselamatan yang sejak semula direncanakan oleh Anak-Nya itu belum cukup, belum selesai. Ini jelas bertentangan dengan apa yang diajarkan oleh seluruh Perjanjian Baru.

Rasul Paulus dengan tegas dan secara berulang kali mengajarkan hal ini. Di dalam Roma 4:4-5 ia menulis, “Kalau ada orang yang bekerja, upahnya tidak diperhitungkan sebagai hadiah, tetapi sebagai haknya. Tetapi kalau ada orang yang tidak bekerja, namun percaya kepada Dia yang membenarkan orang durhaka, imannya diperhitungkan menjadi kebenaran.”

Perhatikan ungkapan “orang yang tidak bekerja, namun percaya”. Jelas dikatakan di situ, untuk mendapatkan keselamatan ada satu syarat yang harus dipenuhi: orang itu sama sekali tidak boleh bekerja. Ia harus berhenti berusaha melakukan sesuatu untuk memperoleh keselamatan. Sebagai suatu imbalan. Keselamatan hanya diperoleh karena iman. Selama manusia masih juga berusaha melakukan sesuatu untuk memperoleh keselamatannya, ia tidak akan mengalami keselamatan yang diberikan  Allah, sebab keselamatan itu hanya diperoleh dengan percaya.[8]

Paulus menegaskan kebenaran ini dalam Efesus 2:8-9, “Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri.” Perhatikan bahwa di dalam tulisan bahasa Yunani, Paulus memakai kata kerja bentuk perfek, artinya “kamu sudah diselamatkan”. Ayat ini mengatakan bahwa kita sudah diselamatkan sekarang juga, pada waktu masih hidup di dunia ini. Jadi, keselamatan itu bukanlah sesuatu yang baru didapatkan sesudah kematian.

Keselamtan bukanlah ‘upah’ dari perbuatan baik, melainkan ‘karunia’ dari Allah. Hal ini dijelaskan oleh Paulus dalam Titus 3:5, “Pada waktu itu Dia telah menyelamatkan kita, bukan karena perbuatan baik yang telah kita lakukan, tetapi karena rahmat-Nya oleh permandian kelahiran kembali dan oleh pembaharuan yang dikerjakan oleh Roh Kudus…” melalui ayat ini cukup jelas, Dia telah menyelamatkan kita bukan karena perbuatan baik yang telah kita lakukan, tetapi karena rahmatNya. Jika kita diselamatkan, hal itu bukan terjadi karena perbuatan baik yang kita lakukan, tetapi karena belas kasihan dan rahmat Allah semata-mata.[9]

4.       Relasi Iman dan Perbuatan Menurut Rasul Paulus

Rasul Paulus memberi penjelasan yang luas tentang kaitan antara keselamatan dengan iman dan perbuatan. Namun pemahaman yang tepat tidak didapatkan tanpa mengetahui bahwa Pada intinya Paulus berjuang melawan konsep para rabi Yahudi tentang keselamatan yang diperoleh perbuatan berdasarkan hukum taurat. Oleh karena itu maka Paulus menyatakan, “Kita dibenarkan hanya oleh iman dan bukan oleh perbuatan-perbuatan berdasarkan hukum taurat (Rm 3:28).”[10] Herman Riderbos menyatakan, “Bagi Yudaisme, taurat adalah penangkal penting bagi ancaman dan kuasa dosa. Taurat adalah sarana penting untuk mendapatkan kebenaran di hadapan Allah”[11] Selanjutnya Riderbos menjelaskan bahwa yudaisme tidak mengenal jalan keselamatan selain oleh taurat. Israel memeluk taurat sebagai sumber keselamatan. Taurat dianggap sanggup memberikan hidup kepada manusia dan melakukan taurat dapat mengurangi hukuman dosa.[12]

Berlawanan dengan faham yudaisme di atas, dasar ajaran Paulus mengenai pembenaran adalah karya Allah yang dilaksanakan di dalam Kristus. Semua ini dari Allah, yang dengan perantaraan Kristus telah mendamaikan kita manusia dengan diriNya; sebab Allah mendamaikan dunia dengan diriNya oleh Kristus” (2 Kor. 5:18-19). Ayat lain mengatakan, “Ia telah melepaskan kita dari kekuasaan kegelapan dan memindahkan kita ke dalam kerajaan AnakNya yang kekasih; di dalam Dia kita memiliki penebusan kita” (Kol. 1:13-14). Dalam Roma 3:26 dikatakan bahwa Allah membenarkan orang yang percaya kepada Kristus.[13]

Dalam surat Paulus kata “membenarkan” paling tidak mempunyai beberapa arti: (1) Allah menyatakan orang , yang percaya kepada Tuhan Yesus Kristus mempunyai hubungan yang benar dengan-Nya (Rm. 3:26); (2) Manusia dibebaskan dari dosa (Rm. 6:7); (3) Manusia dibebaskan dari kesalan (Rm. 2:13); (4) Allah terbukti benar (Rm. 3:4). Ajaran Paulus mengenai “dibenarkan” berhubungan dengan tantangan besar yang dihadapinya, yaitu yudaisme yang percaya bahwa kebaikan manusia perlu diperhitungkan di depan Allah. Jadi dalam banyak kasus Paulus menunjukkan bahwa keselamatan semata-mata adalah anugerah Tuhan. Anugerah ini diberikan kepada manusia melalui imannya kepada Yesus Kristus (Rm. 3:24). Jadi iman yang dimaksud Paulus adalah sikap dan keputusan yang menyerahkan diri sepenuhnya kepada anugerah Allah.[14]

Paulus menegaskan “Tetapi sekarang, tanpa hukum Taurat kebenaran Allah telah dinyatakan, seperti yang disaksikan dalam Kitab Taurat dan Kitab-kitab para nabi, yaitu kebenaran Allah karena iman dalam Yesus Kristus bagi semua orang yang percaya.” (Roma 3 21-24). Keselamatan menjadi efektif bagi manusia kalau diterima dalam iman. Oleh sebab itu Paulus dapat berkata bahwa manusia dibenarkan karena iman, dengan kadang-kadang menambahkan tanpa pengalaman hukum.
Manusia menjadi benar artinya tanpa salah di hadapan Tuhan, bukan karena ia memang tanpa salah tetapi karena Allah telah memperdamaikan dunia dengan dunia dengan diriNya dalam Kristus dengan tidak memperhitungkan pelanggaran-pelanggaran lagi. Dalam Kristus Allah menerima manusia berdosa dan dengan demikian Allah meniadakan dosa. Sebetulnya tidak dapat dikatakan (dalam arti yang sebenarnya) bahwa imanlah yang menyelamatkan: yang menyelamatkan adalah Allah sendiri, tetapi karya Allah itu menjadi efektif bagi manusia kalau diamini dengan iman.

Maka berlawan dengan pengalaman hukum atau usaha manusia lainnya, tepatlah perkataan bahwa manusia diselamatkan oleh iman. Dari pihak manusia hanya ada satu jalan kepada keselamatan yakni menerima dalam iman-dari tangan Tuhan, dengan cuma-Cuma. Singkatnya: “Oleh rahmat kamu diselamatkan dengan jalan kepercayaan, bukan oleh usaha kamu sendiri melainkan secara dianugerahi oleh Allah, jadi tidak berdasarkan perbuatan-perbuatan agar jangan seorangpun memegahkan diri” (Ef. 2:8-9).

Kesimpulan penulis adalah ketika Paulus mengatakan “manusia dibenarkan hanya oleh iman dan bukan karena perbuatan-perbuatannya” maka perbuatan yang Paulus maksudkan disini adalah Perbuatan berdasarkan hukum taurat. Pernyataan-pernyataan Paulus tentang “keselamatan hanya oleh iman dan bukan karena pekerjaanmu atau usahamu” maka pekerjaan atau usaha yang dimaksud Paulus adalah usaha menaati hukum taurat sebagai yang olehnya mereka (yudaisme) diselamatkan.

5.       Relasi Iman dan Perbuatan Menurut Para Reformator

Isu berkenaan dengan usaha manusia dan anugerah dalam keselamatan merupakan inti dari perbedaan historis antara teologi Roma Katolik dengan Protestan. Deklarasi utama dari reformasi adalah sola gratia, yaitu keselamatan hanya merupakan anugerah Allah semata-mata. Sebelum reformasi pada abad 16 yang dipelopori oleh Marthin Luther, pemahaman tentang peranan iman dalam keselamatan telah mangalami pertukaran posisi. Iman bukan lagi sebagai yang utama dalam keselamatan tetapi perbuatan atau amal baik manusia.

Stephen Tong menyatakan,“Para reformator menekankan mengenai iman kepercayaan. Iman kepercayaan bukan semacam pengakuan intelektual terhadap doktrin yang dipaksakan. Juga bukan semacam pengertian ajaran yang hanya bersifat rasionil saja. Tetapi iman kepercayaan bagi Luther adalah suatu penerimaan-atas-penerimaan. Artinya anugerah diberikan kepada kita, yaitu Allah menerima orang berdosa. Iman itu suatu penyerahan total dihadapan anugerah Allah yang menghentikan segala pergumulan atau penyandaran pada diri sendiri yang tidak layak, sebaliknya melihat Dia yang melayakkan kita”[15]

R.C. Sproul menyatakan, “Deklarasi Marthin Luther bahwa pembenaran hanya berdasarkan iman merupakan artikel yang di atasnya berdiri dan jatuh. Pembenaran dapat dijabarkan sebagai tindakan dimana orang berdosa yang tidak benar dibenarkan dihadapan Allah yang kudus dan adil. Kebutuhan utama dari orang yang tidak benar adalah kebenaran. Kebenaran yang tidak dimiliki inilah yang disediakan oleh Kristus kepada orang berdosa yang percaya. Pembenaran berdasarkan iman saja berarti pembenaran yang terjadi oleh karena usaha Kristus semata-mata, bukan karena kebaikan kita atau perbuatan-perbuatan baik kita”[16]

Jadi, para reformator sampai pada keyakinan yang kuat bahwa keselamatan hanya berdasarkan iman (sola fide) dan bukan karena perbuatan baik manusia. 31 Oktober 1517, pada waktu Luther menempelkan sembilan puluh sembilan tesis di pintu gereja di Witenberg, dapat dilihat sebagai permulaan reformasi, dengan  pengukuhan dari keselamatan berdasarkan anugrah melalui iman, bukan pandangan sinergistik atau kerjasama antara iman dan perbuatan dari gereja Roma Katolik[17]. Sebagai akibatnya Luther menolak doktrin pengakuan dosa, pengampunan dosa dan bentuk lain apapun dari usaha manusia yang dibutuhkan untuk keselamatan dari Roma Katolik. Luther sampai pada suatu kesimpulan bahwa hanya anugerah Allah yang merupakan dasar dan fondasi dari keselamatan serta jastifikasi manusia. Ia mengajarkan bahwa hanya anugerah Allah yang mengampuni dosa-dosa dan pengimputasian kebenaran dari Kristus pada mereka yang percaya.[18]
Paul Ennes menyatakan, “Luther mengajarkan bahwa perbuatan baik tidak berbagian dalam keselamatan. Perbuatan-perbuatan baik merupakan hasil atau buah dari keselamatan, tetapi tidak pernah bagian dari keselamatan.”[19]

Kesimpulan penulis dari uraian di atas adalah bahwa sebelum reformasi, gereja Roma Katolik menganut paham keselamatan diperoleh melalui kerja sama dari perbuatan-perbuatan baik dengan iman. Sebelum reformasi, perbuatan atau amal baik menempati posisi utama sebagai sarana bagi keselamatan daripada iman. Kemudian Luther melakukan reformasi bahwa keselamatan berdasarkan anugerah melalui iman, perbuatan baik tidak berbagian dalam keselamatan. Perbuatan-perbuatan baik merupakan hasil atau buah dari keselamatan, tetapi tidak pernah bagian dari keselamatan. Karena itu bagi reformator berbuat baik karena telah selamat bukan berbuat baik supaya selamat.


RELASI IMAN DAN PERBUATAN BERDASARKAN EKSPOSISI YAKOBUS 2 : 14 – 26

Sangat penting untuk mengeksposisi Yakobus 2:14-26 terlebih dahulu untuk mendapatkan relasi yang tepat dan benar antara iman dan perbuatan karena ayat-ayat inilah yang diaanggap akan memberikan informasi yang lengkap akan hubungan keduanya.

A.      Kajian Eksposisi  Yakobus 2:14-26

Douglas J. Moo seorang penafsir konservatif memberi judul untuk Yakobus 2:14-26, Iman yang menyelamatkan menyatakan dirinya dalam perbuatan-perbuatan[20]. Kalau memperhatikan isi dan unsur retorik dalam Yakobus 2:14, 17, 20 dan 26, jauh lebih baik Yakobus 2:14-26 dibagi menjadi tiga bagian subbagian: Yakobus 2:14-17, 18-20, 21-26. Dengan pembagian ini, tiga subbagian berdiri sendiri namun saling berkaitan. Garis besar seperti ini akan lebih memperhatikan argument-argumen Yakobus yang kuat dan menarik. Pembagian ini dilakukan karena masing-masing subbagian mempunyai pembahsan yang utuh. Ditambah lagi ayat 17, 20 dan 26 mempunyai topik dan pola yang mirip yang menandakan berakhirnya suatu subbagian.[21]

1)   Yakobus 2:14-17 (Iman dan Prakteknya)

Yakobus 2:14, Apakah gunanya, saudara-saudaraku, jika seorang mengatakan, bahwa ia mempunyai iman, padahal ia tidak mempunyai perbuatan? Dapatkah iman itu menyelamatkan dia?

Tafsiran J.J.W. Gunning menyatakan, “Tidak ada gunanya kalau seseorang mempunyai iman yang tidak disertai perbuatan. Iman itu sendiri tidak dapat menyelamatkan atau dengan kata lain iman itu tidak akan diteima Allah.[22] Iman itu tidak menyelamatkan dirinya dan karena itu tidak berguna.

Kata Iman di dalam ayat 14 kemungkin besar adalah kepercayaan kepada Yesus Kristus secara pribadi. Pengertian ini dikuatkan oleh kenyataan bahwa iman dihubungkan dengan keselamatan seseorang. Kemudian kata perbuatan jangan diartikan sama dengan pengertian yang biasa terdapat dalam surat-surat Paulus yaitu menaati peraturan hukum Musa. Disini yang dimaksud adalah perbuatan-perbuatan baik seperti belas kasihan (ay 13) dan pemberian sedekah kepada orang miskin yang berkekurangan (ay 15 dan 16)[23] Perbuatan yang dimaksud oleh Yakobus bukanlah perbuatan menurut pemahaman Yahudi yaitu sarana untuk memperoleh keselamatan, namun perbuatan iman hasil moral dari kesalehan sejati da khususnya perbuatan kasih.[24]

Kalimat dapatkah iman itu menyelamatkan dia? Di sini Yakobus seolah-olah tidak sepakat bahwa keselamatan hanya oleh iman saja. Namun, umumnya penafsir menjawab pertanyaan ini “tidak”. Charles F. Pfeifer dan Everent F. Harrison menyatakan, “Jawaban yang diharapkan dari pertanyaan dalam ayat ini adalah “tidak” yang tegas. Mengapa? Karena penting untuk dicatat bahwa iman yang dibahas di sini adalah iman yang palsu. Hal ini di jelaskan oleh: (1) pernyataan jika seorang mengatakan bahwa ia mempunyai iman dan (2) pemakaian kata sandang tertentu yang digabungkan dengan kata iman pada anak kalimat terakhir. Hanya iman palsu yang tidak dapat menghasilkan perbuatan dan tidak mampu menyelamatkan.”[25] Apa yang ingin ditekankan Yakobus adalah kenyataan bahwa iman tanpa perbuatan tidak memiliki kekuatan: iman itu tidak dapat menyelamatkan.

Yakobus menekankan bahwa tidak ada pemisahan antara iman dan perbuatan. Tidak ada seorangpun dapat mengatakan bahwa dirinya memiliki iman jika tidak ada perbuatan yang membuktikannya. Iman yang sesungguhnya harus diungkapkan dalam perbuatan.[26] William Barclay, “Satu hal yang yang ditentang penulis surat yakobus adalah pengakuan iman tanpa dibarengi praktek, kata-kata tanpa perbuatan.”[27]

Pada ayat 15 Yakobus memberi gambaran seseorang yang sangat miskin sehingga kebutuhan hidup yang paling dasarpun seperti pakaian dan makanan, tidak dapat dipenuhi. Ini merupakan gambaran seorang yang kedinginan (kalau daerah itu memang dingin) atau kelaparan. Pada ayat 16 dia melanjutkan ilustrasinya yang hampir sama maknanya.

William Barclay menyatakan, “Yakobus memilih ilustrasi yang secara gamblang menjelaskan yang ia maksud. Jikalau seorang tidak meiliki pakaian untuk melindungi dirinya ataupun makanan untuk dimakan, dan sahabat orang itu mengungkapkan rasa simpatinya yang terdalam untuk keadaan yang menyedihkan itu, namun simpatinya itu berhenti hanya pada kata-kata dan tidak ada usaha yang dilakukannya untuk mengatasi keadaan orang yang malang itu, apa gunanya semua itu? Apakah gunanya simpati itu tanpa ada usaha mewujudkannya dalam tidndakan nyata. Iman tanpa perbuatan adalam mati.”[28]

Dalam Yakobus 2:17 Demikian juga halnya dengan iman: Jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati. Klausa ‘demikian juga halnya dengan iman’ merupakan kesimpulan dari perbandingan pada ayat sebelumnya. Yakobus melakukannya dengan menggunakan kata “demikian” yang mempunyai arti sejajar dengan contoh yang diberikan. Demikian di sini sama artinya dengan frasa “dengan cara yang sama”.

Kata iman (ay 17) yang digunakan Yakobus menunjuk pada apa yang disebut iman pada ayat 14.[29]  Demikianlah juga iman yang tidak disertai dengan perbuatan tidak ada artinya. Iman yang demikian tidak boleh sama sekali disebut iman.[30]

Kata-kata jika iman itu tidak disertai perbuatan secara harafiah berarti “jika iman tidak memiliki perbuatan” maka jelas bahwa perbuatan bukan sesuatu yang ditambahkan pada iman – keduanya harus ada bersama-sama. Penulis tidak bermaksud untuk membedakan antara iman dan perbuatan; yang dibedakan adalah antara iman yang disertai perbuatan dan iman yang tidak disertai perbuatan. Bagi Yakobus iman harus disertai oleh perbuatan. Yang satu tidak dapat ada tanpa yang lain, sebab iman yang tanpa perbuatan adalah mati.

Kemudian Yakobus menyatakan, “Maka iman itu pada hakekatnya adalah mati.” Kata mati dipakai sebagai kiasan yang artinya “tidak hidup, tidak bekerja, tidak berguna”. Dalam banyak bahasa, penerjemah perlu mengatakan sebagai berikut: kepercayaanmu tidak berguna, atau percaya seperti itu tidak berguna/(tidak menghasilkan apa-apa). Kesimpulan itu menjelaskan bahwa orang Kristen tidak cukup hanya mengucapkan kata-kata harapan kepada saudara dan saudarinya yang berkekurangan. Orang yang mengaku Kristen harus memberikan pertolongan kepada yang membutuhkannya. Kalau tidak kepercayaan itu keparcayaan yang mati.

Ronald A. Ward menyatakan, “Dalam hal ini kita mendapat suatu ajaran bila membandingkan dengan Lukas 23:43. Penjahat yang bertobat itu tidak mempunyai waktu lagi untuk berbuat sesuatu sedangkan imannya tidak mempunyai waktu untuk mati. Tentu Yakobus tidak mau menyangkal hal ini. Yang dimaksud ialah iman yang sungguh-sungguh mempunyai kesempatan untuk dinyatakan di dalam perbuatan, tetapi kesempatan yang ada tidak digunakannya.”[31]

Jadi, ayat 14 menjelaskan dengan terus terang bahwa iman tidak berguna tanpa perbuatan. Dalam ayat 17, Iman demikian tidak ada gunanya. Karena iman yang tanpa perbuatan itu tidak ada gunanya, maka iman kepercayaan demikian tidak dapat menyelamatkan jiwanya. Artinya Iman tanpa perbuatan adalah iman yang palsu. Karena iman ini mati, maka iman ini tidak dapat menyelamatkan orang yang bersangkutan.[32]

2)   Yakobus 2:18-20 (Iman dan Perbuatan Tidak Dapat Dipisahkan)

Dalam lalimat ‘tetapi mungkin ada orang berkata’ penerjemah menghadapi masalah karena tidak tahu siapa lawan bicaranya ini, ada bebrapa kemungkinan pemecahannya, tetapi tidak ada satupun yang benar-benar meyakinkan, sehingga kita harus puas dengan pemecahan yang paling sedikit kesulitannya:

a)        Beberapa ahli menganggap bahwa orang lain itu lawan Yakobus. Hal ini berarti kata tetapi menrupakan pengantar terhadap suatu sanggahan. Masalahnya, di manakah kata-kata orang yang membantah itu selesai dan di manakah kata-kata Yakobus dimulai. Kebanyakan ahli menganggap kata-kata orang lain itu hanya padamu ada iman dan padaku ada perbuatan. Tafsiran ini yang diikuti oleh TB

b)       Kemungkinan yang lain adalah dengan menganggap kata ganti “mu” dan “ku” pada bagian pertama ayat ini bukan lawan Yakobus, tetapi sebagai wakil dari dua kelompok dalam jemaat. Ada beberapa orang yang mengatakan bahwa mereka hanya hanya memiliki iman (tanpa perbuatan), sedangkan yang lain memiliki perbuatan saja. Orang-orang itu menyatakan bahwa iman dan perbuatan merupakan anugerah yang terpisah satu sama lain (1Kor. 12:4-10); Seseorang dapat memiliki salah satu saja dari keduanya, tetapi tidak selalu meiliki keduanya secara bersamaan. Kemudian Yakobus membantah pendapat yang mengatakan bahwa tidak ada pemisahan antara iman dan perbuatan. Jadi, kata ganti “mu” dan “ku” sama dengan ‘orang’ dan “yang lain”. Tafsiran ini diikuti oleh BIMK (“ada orang yang bersandar kepada imannya dan ada pula yang bersandar kepada perbuatannya”) dan salah satu terjemahan membuatnya sebagai “seorang memilih iman, yang lain memilih perbuatan atau ada orang yang berkata, aku mempunyai dan yang lain berkata aku mempunyai perbuatan”. Agar urutan percakapan itu jelas, kita perlu menambahkan sesuatu yang tersirat dalam teks untuk memperjelas perkembangan pemikirannya, umpamanya aku akan menjawab dia (TB), saya akan menjawab (BIMK).

Walaupun masih ada kesulitan, mungkin kita harus mengikuti tafsiran (b), karena tafsiran itu kelihatannya paling sesuai dengan konteks sehingga lebih banyak penerjemah dan ahli tafsir yang mengikutinya.[33] 

Yakobus 2:19 Engkau percaya, bahwa hanya ada satu Allah saja? Itu baik! Tetapi setan-setanpun juga percaya akan hal itu dan mereka gemetar. Kini Yakobus membandingkan iman yang tidak ditunjukkan dengan perbuatan dengan iman yang dimiliki setan-setan. Untuk memulai pendapatnya dia mengutip apa yang menjadi inti iman Yahudi, yang diakui oleh dirinya dan lawannya.

Kata percaya di sisni adalah kepercayaan berdasarkan pemikiran saja yaitu bahwa hanya ada satu Allah saja. Pengakuan ini bersumber dari pengakuan iman shema yang terkandung dalam ajaran agama Yahudi (Ul. 6:4) dan dipakai juga oleh orang Kristen (Mrk. 12:29; Rm. 3.30). Yabobus bermaksud mengatakan bahwa orang yang percaya bahwa Allah itu esa tanpa membiarkan kepercayaan ini mengubah perilakunya, memiliki iman yang sama dengan setan-setan, yaitu roh-roh jahat. Iman itu tidak dapat menyelamatkan.

Kepercayaan demikian hanya berada dalam tahap pengetahuan dan belum diwujudkan dalam kelakuan. Iman kepercayaan seperti ini bukanlah iman yang sejati, karena di dalamnya tidak ada pertobatan dan kasih.  Tanpa kedua unsur ini, iman kepercayaan setan-setan tidak menolong diri mereka. Analogi ini cukup keras, terlebih bagi orang  Kristen  yang  mempunyai latar belakang Yahudi. [34]

Yakobus 2:20 Hai manusia yang bebal, maukah engkau mengakui sekarang, bahwa iman tanpa perbuatan adalah iman yang kosong? Kalimat Hai manusia yang bebal berarti “orang bodoh yang kosong kepalanya”. Kata kosong di sini menunjukkan kurangnya pengertian yang berarti “tidak berakal” atau “bodoh”.  Maukah engkau mengakui bahwa iman tanpa perbuatan adalah iman yang kosong.  Pemikiran yang sama dengan ini telah dinyatakan beberapa kali. Iman tidak ada perbuatan disebut tidak ada gunanya pada ayat 14, disebut mati pada ayat 17 dan di sini disebut kosong yang secara harafiah berarti “tidak bekerja”, yaitu “tidak berpengaruh” atau “tidak menghasilkan”. Dapat diamati permainan kata-kata di sini: “iman tanpa perbuatan adalah tidak berbuat”. Pernyataan ini menyimpulkan pokok pikiran utama dalam bagian ini.

Yakobus hendak menegaskan adanya iman tidak dapat dibuktikan tanpa melalui perbuatan. Iman justru menyatakan keberadaannya memalui perbuatan. Perbuatan-perbuatan Yakobus merupakan bukti nyata tentang adanya iman pada dirinya. Ini tidak berarti perbuatan itu lebih penting daripada iman. Bila seseorang berbuat baik (membuahkan perbuatan) tetapi itu bukan hasil dari beriman, maka sia-sialah perbuatan itu. Maksudnya perbuatan itu tidak ada artinya di mata Tuhan. Bukankah kita diselamatkan oleh iman kepada Yesus, bukan karena perbuatan baik kita? Kita tidak berbuat baik untuk diselamatkan, tetapi kita berbuat baik karena sudah diselamatkan.[35]
         
3)   Yakobus 2:21-26 (Iman dan Buktinya)

Sub unit ini mengambil dua tokoh dalam sejarah orang Yahudi Abraham dan Rahab sebagai contoh. Mereka telah membuktikan iman mereka dengan berani dalam tindakan nyata. Iman Abraham terbuti dengan mempersemahkan anak yang dikasinya. Sedangkan Rahab menyatakan imannya melalui pertolongan yang dia berikan kepada dua orang pengintai. Yakobus 2:21 Bukankah Abraham, bapa kita, dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya, ketika ia mempersembahkan Ishak, anaknya, di atas mezbah?

Penafsiran tentang kata “dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya” perlu diperhatikan suasana perselisihan di antara yang kaya dan yang miskin. Berita utama Yakobus dalam konteks ini tidak berkaitan langsung dengan soteriologi. Maka kalimat “dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya” di Yakobus 2:21 harus dimengerti dari Perjanjian Lama. Tindakan  Abraham mempersembahkan Ishak diperkenan Allah (Kejadian 22:1-19). Dengan konteks ini  kata “dibenarkan” mempunyai arti dikenal dan diberi pahala oleh Allah; Perbuatannya diperkenankan Allah.[36] Dengan demikian pembaca surat Yakobus mendapat dorongan besar untuk mengikuti jejak bapak leluhur mereka, Abraham. Di lain pihak, contoh ini mengingatkan mereka akan keputusan berani yang diambil Abraham. Banyak hal memang membutuhkan keberanian. Ini amat dirasakan oleh pembaca kitab ini. Tidak mudah untuk tidak memandang muka atau memberi bantuan kepada saudara seiman yang kelaparan. Dalam masyarakat yang kebanyakan penduduknya miskin, tidak mudah membantu orang lain. Bukan saja karena kebutuhan sendiri belum terjamin, tetapi juga karena pemberian sedikit bantuan akan menarik lebih banyak orang datang untuk minta bantuan. Ini semua sangat tidak mudah di atasi.[37]

Menurut Charles F. Pfeiffer dan Everent F. Harison bahawa kata yang diterjemahkan menjadi dibenarkan di sini jangan dikelirukan dengan pemakaian istilah tersebut oleh Paulus dalam hubungan dengan Abraham (bnd Rm. 4:1-5). Paulus menunjuk kepada pembenaran awal Abraham ketika “percayalah Abraham kepada Allah, maka Allah memperhitungkan hal itu kepadanya sebagai kebenaran (bnd. Kej 15:6). Yakobus mengacu pada suatu peristiwa yang terjadi beberapa tahun kemudian, yaitu ketika Abraham diminta untuk mempersembahkan anaknya Ishak. Melalui tindakan ini dia menunjukkan realitas dari pemahaman kejadian 15. [38] Yakobus 2:22, Kamu lihat, bahwa iman bekerjasama dengan perbuatan-perbuatan dan oleh perbuatan-perbuatan itu iman menjadi sempurna.Nya.

Bagi Yakobus, iman tidak mungkin bisa dipisahkan dengan perbuatan-perbuatan, karena seseorang yang mengaku diri beriman kepada Allah, ia harus menjalankan perintah-perintah-Nya dan otomatis perbuatan-perbuatannya mencerminkan bahwa seseorang itu beriman kepada Allah atau bukan.   Doren Wjdana menyatakan bahwa Perbuatan tanpa iman adalah perbuatan yang sia-sia. Iman tanpa perbuatan adalah iman yang kosong. Iman yang bekerja sama dengan perbuatan adalah iman sejati.[39]

Perbuatan dan iman kepercayaan sama pentingnya. Untuk menegaskan maksud ini, Yakobus memakai kata “bekerja sama” dan menjadi “sempurna” (atau diterjemahkan “disempurnakan”, kata pertama “bekerja sama” dapat dibaca sebagai suatu permaiman kata yang menanggapi kata “perbuatan” di ayat 21. Kata “bekerja sama” ini dapat juga diterjemahkan “membantu”. Terjemahan ini serasi dengan kata “disempurnakan” di ayat 22b.

Apa arti disempurnakan? Ini berkaitan dengan kedewasaan yang dibahas Yakobus 1:4. Kalau memperhatikan topik bagian ini, ayat ini sebaiknya dipahami sebagai “iman membantu perbuatan terlaksana dalam kehidupan; iman tidak dapat dikatakan “sejati” (sempurna) tanpa perbuatan yang nyata.”[40] Memisahkan iman dari perbuatan suatu yang mustahil (bnd ay 18). Di dalam kasus Abraham, kedua hal tersebut berjalan bersama-sama.”[41]

Yakobus 2:23, Dengan jalan demikian genaplah nas yang mengatakan: "Lalu percayalah Abraham kepada Allah, maka Allah memperhitungkan hal itu kepadanya sebagai kebenaran." Karena itu Abraham disebut: "Sahabat Allah." Melalui ayat 23, Yakobus tetap mengatakan bahwa Allah memperhitungkan iman (kepercayaan) Abraham (bukan perbuatannya) kepada Allah sebagai status yang dibenarkan. Bagian ini mengutip kitab Kejadian 15:6 yang mengatakan, “Lalu percayalah Abram kepada TUHAN, maka TUHAN memperhitungkan hal itu kepadanya sebagai kebenaran.” Iman Abraham berkaitan dengan kebenaran, menemukan makna terakhirnya dalam ketaatannya.[42]

Sebenarnya ayat ini dapat dipahami dengan pendekatan yang lebih sederhana.Yakobus menulis bagian ini dengan tujuan yang jelas. Dia menekankan bahwa iman kepercayaan tanpa perbuatan tidak berguna. Tetapi di lain pihak dia ingin menjaga keseimbangan. Abraham diperkenan Allah karena dia adalah seorang yang beriman. Iman kepercayaannya sudah terlihat jauh sebelum ia mempersembahkan Ishak.  Apa yang dilakukan Abraham kemudian menggenapkan apa yang disabdakan Allah tentang dia di Kejadian 15:6. Allah berkenan padanya karena Abraham memperlihatkan iman kepercayaannya yang konsisten.[43]Yakobus 2:24 Jadi kamu lihat, bahwa manusia dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya dan bukan hanya karena iman.

Dalam penafsiran ayat ini, Kata-kata “…bukan hanya karena iman” seharusnya dimengerti dalam subbab ini, khususnya Yakobus 2: 18, 19. Manusia dibenarkan bukan karena iman yang kosong, contohnya iman kepercayaan setan-setan (ay 19). Jadi iman yang sejati yang berguna bagi manusia. Iman seperti ini diwujudkan dalam perbuatan. Ayat ini ditunjukkan kepada “saudara-saudaraku” di Yakobus 2:14 bukan penentang di Yakobus 2:18.

Manusia tetap dibenarkan melalui iman kepada Tuhan Yesus Kristus, tetapi kalau iman yang menyelamatkan itu saja yang menjadi pegangan, bagaimana orang lain dapat melihat bahwa diri kita beriman, kalau perbuatan-perbuatan kita sama jahatnya dengan orang-orang dunia? Di sini, Yakobus ingin menyeimbangkan dan mengintegrasikan iman yang menyelamatkan dan hidup dengan perbuatan-perbuatan sehari-hari yang memuliakan Allah.

Yakobus 2:25 Dan bukankah demikian juga Rahab, pelacur itu, dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya, ketika ia menyembunyikan orang-orang yang disuruh itu di dalam rumahnya, lalu menolong mereka lolos melalui jalan yang lain? Di sini Yakobus menambahkan satu contoh lagi untuk membuktikan pendapatnya bahwa iman harus dinyatakan dalam perbuatan agar diterima oleh Allah.

Rahab tokoh penting dalam PL. Dia dikenal karena dua hal, pertama, dia dikenal sebagai seorang pelacur bukan yahudi, yang mengeluarkan pengakuan yang terkenal “TUHAN”, Allahmu, ialah Allah di langit di atas dan di bumi di bawah (Yosua 2:11).” Kedua, dia juga dikenal sebagai orang asing yang menyamakan dirinya dengan orang Israel dan masuk dalam masyarakat tersebut, dan “sampai hari ini keturunan Rahab masih ada di Israel (Yosua 6:25, BIMK)”.

Dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya: kata-kata ini, artinya sama dengan di ayat 21. Dalam hal ini, perbuatan-perbuatan Rahab adalah penyambut pengintai-pengintai bangsa Israel dan menolong mereka untuk melarikan diri. Disini kata-kata “dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya” dapat juga diterjemahkan sebagai Allah menerimanya sebagai orang yang baik karena perbuatan-perbuatan baik yang dilakukannya. Lebih tepatnya Hasan Susanto menyatakan bahwa kata “dibenarkan” pada kalimat “dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya” lebih mungkin berarti dikenal dan diberi pahala oleh Allah. Iman kepercayaan Rahab terbukti melalui perbuatannya. Dia diperkenan oleh Allah.[44]

Yakobus 2:26 Sebab seperti tubuh tanpa roh adalah mati, demikian jugalah iman tanpa perbuatan-perbuatan adalah mati. Disini Yakobus menyimpulkan pendapatnya. Dia mengulangi pemikiran-pemikirannya yang dinyatakan pada ayat 17, yaitu bahwa iman tanpa perbuatan-perbuatan adalah mati, tetapi dia menambahkan perbandingan untuk membuatnya lebih jelas. Yakobus membandingkan iman tanpa perbuatan denga tubuh tanpa roh. Menarik sekali bahwa, dalam kalimat ini, iman disejajarkan dengan tubuh, dan perbuatan dengan roh. Mungkin hal ini tidak sesuai dengan yang kita harapkan, namun kita tidak perlu mencari rincian perbandingan  itu yang setepatnya. Yakobus tidak tertarik akan hal ini, sebaliknya dia ingin menunjukkan bahwa yang satu tidak dapat hidup tanpa yang lain.
Tubuh tanpa roh adalah mati, pada kalimat ini ada kemungkinan bahwa Yakobus menunjuk kepada pemikiran yang mendasari Kejadian 2:7, di mana manusia dianggap terdiri atas tubuh tanpa roh (baik dalam bahasa Ibrani maupun dalam bahasa Yunani kata yang dipakai untuk “roh” dapat diartikan “napas maupun roh). Ada hubungan antara keduanya; apabila keduanya dipisahkan, hasilnya adalah kematian. Di sini roh mungkin lebih ditafsirkan sebagai napas yang memberi kehidupan, umpamanya tubuh akan mati kalau tanpa napas, atau seperti tubuh mati jika tidak ada napas di dalamnya, dan setiap orang yang tidak bernapas adalah mati.

Jadi jika orang tidak melakukan perbuatan-perbuatan baik, iman orang itu tidak berguna, atau jadi jika seseorang berkata, aku percaya kepada Allah,  tetapi tidak melakukan perbuatan-perbuatan baik, dia tidak sungguh-sungguh percaya.
         
B.      Relasi Iman dan  Perbuatan Berdasarkan Yakobus 2:24-26

          Berdasarkan uraian di atas tentang eksposisi Yakobus 2:14-26, maka penulis akan memaparkan relasi iman dan perbuatan dalam Konteks Keselamatan, seperti berikut ini:

1)      Iman Sejati Dipraktekkan Dalam Perbuatan

 Tidak ada gunanya kalau seseorang mempunyai iman yang tidak disertai perbuatan. Iman itu sendiri tidak dapat menyelamatkan atau dengan kata lain iman itu tidak akan diteima Allah. Iman itu tidak menyelamatkan dirinya dan karena itu tidak berguna. Tetapi istilah  “perbuatan”  ini jangan diartikan sama dengan pengertian yang biasa terdapat dalam surat-surat Paulus yaitu menaati peraturan hukum Musa. Disini yang dimaksud adalah perbuatan-perbuatan baik seperti belas kasihan (ay 13) dan pemberian sedekah kepada orang miskin yang berkekurangan (ay 15 dan 16); Perbuatan iman hasil moral dari kesalehan sejati dan khususnya perbuatan kasih. Iman yang tidak disertai dengan perbuatan adalah iman yang palsu. Hanya iman palsu yang tidak dapat menghasilkan perbuatan dan tidak mampu menyelamatkan.

Perbuatan bukan sesuatu yang ditambahkan pada iman – keduanya harus ada bersama-sama. Penulis tidak bermaksud untuk membedakan antara iman dan perbuatan; yang dibedakan adalah antara iman yang disertai perbuatan dan iman yang tidak disertai perbuatan. Bagi Yakobus iman harus disertai oleh perbuatan. Yang satu tidak dapat ada tanpa yang lain, sebab iman yang tanpa perbuatan adalah mati.
          Iman yang tanpa perbuatan bukan saja tidak berguna bagi diri orang yang bersangkutan, juga tidak bermafaat bagi orang yang membutuhkan bantuan. Orang hidup  dalam kekurangan yang disebutkan dalam ayat 15 dan 16 sangat mungkin mereka adalah saudara dan saudari seiman.

2)      Iman dan Perbuatan Tidak Dapat Dipisahkan

Ada orang yang bersandar kepada imannya dan ada pula yang bersandar kepada perbuatannya, keduanya tidak benar. Yakobus membantah dan mengatakan bahwa iman yang tidak ditunjukkan dengan perbuatan sama dengan iman yang dimiliki setan-setan (Yak. 2:19). Iman itu  adalah pemikiran umum yang intelektual dan iman itu dapat digabungkan dengan kejahatan. Sama seperti setan-setanpercaya dan melanjutkan kekejiannya, demikian pula engkau pun dapat percaya dan melanjutkan dosamu. Yang menjadi masalah bukan isi iman yang salah, melainkan iman itu tidak disertai perbuatan baik.

Orang yang bersandar kepada imannya dan ada pula yang bersandar kepada perbuatannya, keduanya tidak benar. Tidak mungkin orang itu mengasihi Allah dan sesamanya (perbuatan) tanpa iman dan tidak orang mengaku beriman tanpa mengasihi Allah dan sesamanya.
Tidak ada gunanya mengaku percaya pada Yesus Kristus, tetapi tidak melakukan perbuatan-perbuatan baik, atau jika engkau tidak melakukan perbuatan-perbuatan baik, maka tidak ada gunanya engkau mengaku percaya kepada Yesus Kristus.

3)      Iman Sejati Dibuktikan Melalui Perbuatan

Perlu harus disadari bahwa harus ada iman dahulu, baru sesudah itu perbuatannya. Perbuatan-perbuatan adalah buah yang dengan sendirinya tumbuh dari iman itu. Perbuatan-perbuatan harus ada, namun bukan sebagai syarat yang mutlak ditambahkan untuk memperoleh keselamatan karena Allah telah menyelamatkan kita bukan karena perbuatan baik yang kita lakukan, tetapi karena rahmatNya

Iman harus ditunjukkan melalui perbuatan-perbuatan sehingga iman itu menjadi hidup bukannya mati. “Segala sesuatu yang tidak berdasarkan iman, adalah dosa”, demikian tulisan Rasul Paulus dalam Roma 14:23. Sedangkan dasar iman itu sendiri adalah Kristus. Perbuatan baik adalah tanda bahwa kita telah diselamatkan.

Iman disempurnakan dengan perbuatan-perbuatan. Artinya  iman membantu perbuatan terlaksana dalam kehidupan; Iman tidak dapat dikatakan “sejati” (sempurna) tanpa perbuatan yang nyata. Jika tidak ada perbuatan-perbuatan yang membuktikan iman yang diakuinya, itu berarti bahwa sebanarnya tidak ada iman yang hidup di dalam dirinya.