Selasa, 11 Desember 2012

Dua Hari yang Terpenting


Dua Hari yang Terpenting
Oleh: Joshua MS

Malam itu, 9 Maret 1992, ruang tamu rumah kami penuh sesak. Kira-kira pukul 19.00 WIB bapak pendeta sedang menyampaikan pesan-pesan Tuhan di hadapan jemaat. Malam itu adalah malam yang sangat penting bagi saya. Malam di mana banyak jemaat yang datang memenuhi undangan ayah di kebaktian ucapan syukur ulang tahun saya. Malam itu benar-benar malam khusus buat saya. Seorang remaja berjerawat yang genap berumur 16 tahun. 


Hujan rintik-rintik mulai turun membasahi taman di halaman depan. Semakin lama hujan semakin deras seolah-olah dicurahkan dari langit. Suara menggelegar karena petir dan angin kencang  membuat pendeta sedikit kewalahan dalam mengatur volume khotbahnya. Saya sangat berharap hujan cepat berhenti dan malam menjadi tenang. Namun hingga khotbah gembala berakhir, hujan masih tetap deras. Bahkan bunyi guntur semakin menggelegar membelah malam. Percikan cahaya terang sambung menyambung menyusul suara yang memekakkan telinga. Angin berhembus sangat kencang sehingga beberapa pohon jambu di taman halaman depan meliuk-liuk menahan terpaannya.

Malam semakin dingin ketika semua tamu mempersilahkan saya untuk menyampaikan beberapa kata. Saya adalah anak pendiam dan kurang pandai bergaul dan berkata-kata. Tidak seperti remaja yang lain, saya cenderung introvert. Namun saya tidak ingin mengecewakan ayah dan ibu serta para tamu. Saya kemudian berdiri dan mencoba mengeluarkan beberapa kata dengan gagap. Tetapi karena bunyi desau air hujan di genteng dan guntur yang masih sahut menyahut, suara saya seolah-olah tertelan bumi.

Saya masih ingat, beberapa bulan sebelum pesta ulang tahun malam itu. Saya mengalami satu perubahan yang sangat penting dalam hidup saya. Saya menerima Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat secara pribadi. Dalam bimbingan seorang hamba Tuhan, saya kemudian mengalami proses kelahiran kembali di sebuah kebaktian malam. Bulan-bulan pertama saya mengenal Kristus, saya masih terus mencari dan bertanya. Satu hal yang masih tidak dapat saya mengerti adalah untuk apa saya hidup. Kadang-kadang timbul dalam hati saya sebuah pengertian yang egois, saya hidup dan menjadi Kristen supaya kelak masuk sorga. Sebuah pengertian yang sangat dangkal dan tendensius. Kalau hanya untuk masuk sorga saja, saya merasa hidup saya tidak lebih dari orang-orang beragama yang lain.

Dengan segala kekuatan, saya akhirnya berupaya mengalahkan bunyi-bunyian alam di luar rumah dengan mengencangkan volume suara. Entah keberanian dari mana yang menolong saya dapat berkata-kata layaknya seorang dewasa yang fasih. Saya mengajak semua jemaat untuk berdoa agar Tuhan menghentikan hujan dan badai yang menggila di luar rumah. Seorang remaja yang baru kenal Tuhan Yesus kemudian memimpin doa bersama dengan terbata-bata: “Dalam nama Tuhan Yesus, aku perintahkan hujan dan badai berhenti!”

Dalam hitungan beberapa detik setelah saya katakan amin, tiba-tiba hujan, guntur, dan angin kencang berhenti drastis. Saya sungguh tidak dapat menjelaskan dengan kata-kata apa yang sedang saya doakan. Doa yang tidak lajim. Tetapi ajaib, Tuhan mendengarkannya dalam hitungan detik.

Malam itu, saya tidak mengucapkan kata-kata selain terima kasih buat Tuhan Yesus yang mendengarkan doa saya. Malam itu juga sebuah teka-teki yang selama ini menjadi misteri dalam hidup saya terjawab sudah. Tujuan hidup saya adalah merespon panggilan Tuhan untuk melayani diladangNya. Selama ini saya masih belum percaya bahwa Allah dapat memakai anak gagap seperti saya. Saya mengenal siapa diri saya sehingga merasa tidak mungkin Tuhan memakai orang seperti saya. Sejak lahir saya dapat melihat hidup yang saya jalani sungguh bukan satu pilihan yang tepat untuk Tuhan jadikan palayanNya.

Hari selasa, pukul 10 WIB pagi, tanggal 9 Maret 1976, saya lahir dengan kondisi pisik yang memprihatinkan. Sebagai bayi prematur saya harus mendapatkan perawatan khusus sehingga sangat menyulitkan apalagi keadaan ekonomi keluarga masih morat-marit. Saya terlahir sebagai anak sulung di tengah keluarga muda yang kacau. Ayah saya adalah seorang pria yang kurang bertanggungjawab terbukti ketika saya lahir dia melanglang buana entah ke mana.  Saya lahir malah di tengah-tengah keluarga kakek dari ibu. Setelah beberapa bulan saya lahir, ayah baru datang menjenguk saya.

Kondisi pisik saya memang benar-benar sangat memprihatinkan. Sampai menjelang umur 16 tahun, saya menjadi pelanggan tetap beberapa klinik kesehatan. Saya kadang-kadang harus meninggalkan sekolah berminggu-minggu untuk menjalani terapi. Kesehatan saya yang rentan terhadap rongrongan berbagai penyakit membuat saya bertumbuh menjadi pribadi minder dan tidak percaya diri. Suasana rumah sakit dengan selang-selang inpus menjadi teman sehari-hari. Saya bahkan sangat menghapal lorong-lorong beberapa rumah sakit di kota kelahiran.

Perlahan-lahan saya merasakan ada satu yang sedang berubah dalam keluarga kami. Ayah saya menjadi aktivis di sebuah gereja karismatik. Dan dalam waktu singkat beliau mengalami kelahiran baru dan baptisan Roh Kudus. Pengurapan iman dari ayah kemudian dengan cepat mengalir di keluarga kami. Ibu saya segera menyusul dan kemudian adik-adik. Tak berapa lama, dalam sebuah kebaktian malam bersama semua anggota keluarga, saya bertemu dengan Kristus dan mengalami kelahiran baru. Tidak lama berselang, semua anggota keluarga kami bertobat dan mengalami kelahiran baru. Tidak berhenti sampai di situ, Allah juga menyembuhkan semua penyakit komplikasi yang menggerogoti tubuh saya sejak lahir. Sejak peristiwa kelahiran baru itu saya hampir tidak pernah lagi menjalani terapi. Saya disembuhkan secara total.

Beberapa jemaat sudah mohon pamit pulang setelah acara makan malam. Bapak pendeta juga sudah sejak tadi mengundurkan diri karena mengejar tugas lain. Malam di luar masih lembab karena hujan deras beberapa waktu yang lalu. Saya keluar dan mengantarkan para tamu sampai pintu. Ada satu hal yang membuat saya sangat sukacita. Itu adalah hal membuat hidup saya bergairah. Hal itu adalah pengertian yang baru. Sebuah pengertian akan tujuan hidup saya. Melayani Tuhan sampai akhir hidup.

Ketika saya terperangah dan terheran-heran saat hujan, guntur, dan badai berhenti seketika oleh doa yang sederhana, saya mendapatkan suatu pengertian yang baru. Saat itu, 9 maret 1992, adalah hari kedua yang terpenting dalam hidup saya setelah 9 Maret 1976. Karena, seperti kata orang bijak,  hanya 2 hari yang terpenting dalam hidup setiap manusia. Yang pertama adalah hari ketika ia lahir, dan yang kedua adalah hari ketika dia mengerti mengapa dia lahir. Hari ini, selasa, 9 Maret 2004 bagi saya tidak lebih penting dari hari-hari yang lain. Walaupun mail box saya pehuh dengan ucapan selamat ulang tahun. Ponsell saya penuh sms selamat ulang tahun. Telepon kantor berdering terus dari orang-orang dekat untuk sekedar mengucapkan selamat ulang tahun. Orang-orang silih berganti keluar masuk ruangan kantor saya. Itu semua tidak mengubah 9 Maret 1992 menjadi hari ke dua yang paling penting bagi saya. Hari itu adalah hari yang sangat penting karena hari itu saya telah mengerti mengapa saya perlu lahir pada 28 tahun yang lalu.

Kini usia saya genap 28 tahun. 12 tahun sudah saya melayani di ladangNya. Saya mengalami banyak perkara dan menerima banyak berkat dari Kristus. Semakin hari saya semakin takjub dan terpesona. Semakin hari semakin saya tahu keputusan melayaniNya 12 tahun yang lalu adalah keputusan yang paling bijaksana yang pernah saya buat. “Terimakasih Tuhan, kalau hari ini tepat 12 tahun saya mengetahui alasan mengapa aku lahir ke dunia ini.”

{Dalam kesempatan ini saya sampaikan ucapan terimakasih yang sangat tulus untuk kedua orang tua saya tercinta, keluarga adik iparku dan ke-3 anak mereka yang manis-manis, Ke-3 adik laki-laki saya yang sangat menghormati dan mencintai saya, semua rekan-rekan sepelayanan di GBI-BUARAN, semua jemaat GBI-BUARAN, dan orang-orang yang telah memenuhi ponsell saya dengan sms, memadati in box saya dengan e-mail, dan sahabat-sahabat milis saya}



Tidak ada komentar:

Posting Komentar