Dua Hari yang Terpenting
Oleh: Joshua MS
Malam itu, 9 Maret 1992, ruang tamu rumah kami penuh
sesak. Kira-kira pukul 19.00 WIB bapak pendeta sedang menyampaikan pesan-pesan
Tuhan di hadapan jemaat. Malam itu adalah malam yang sangat penting bagi saya.
Malam di mana banyak jemaat yang datang memenuhi undangan ayah di kebaktian
ucapan syukur ulang tahun saya. Malam itu benar-benar malam khusus buat saya.
Seorang remaja berjerawat yang genap berumur 16 tahun.
Hujan rintik-rintik mulai
turun membasahi taman di halaman depan. Semakin lama hujan semakin deras
seolah-olah dicurahkan dari langit. Suara menggelegar karena petir dan angin
kencang membuat pendeta sedikit kewalahan dalam mengatur volume
khotbahnya. Saya sangat berharap hujan cepat berhenti dan malam menjadi tenang.
Namun hingga khotbah gembala berakhir, hujan masih tetap deras. Bahkan bunyi
guntur semakin menggelegar membelah malam. Percikan cahaya terang sambung
menyambung menyusul suara yang memekakkan telinga. Angin berhembus sangat
kencang sehingga beberapa pohon jambu di taman halaman depan meliuk-liuk
menahan terpaannya.
Malam semakin dingin ketika
semua tamu mempersilahkan saya untuk menyampaikan beberapa kata. Saya adalah
anak pendiam dan kurang pandai bergaul dan berkata-kata. Tidak seperti remaja
yang lain, saya cenderung introvert. Namun saya tidak ingin mengecewakan ayah
dan ibu serta para tamu. Saya kemudian berdiri dan mencoba mengeluarkan
beberapa kata dengan gagap. Tetapi karena bunyi desau air hujan di genteng dan
guntur yang masih sahut menyahut, suara saya seolah-olah tertelan bumi.
Saya masih ingat, beberapa
bulan sebelum pesta ulang tahun malam itu. Saya mengalami satu perubahan yang
sangat penting dalam hidup saya. Saya menerima Yesus Kristus sebagai Tuhan dan
Juruselamat secara pribadi. Dalam bimbingan seorang hamba Tuhan, saya kemudian
mengalami proses kelahiran kembali di sebuah kebaktian malam. Bulan-bulan
pertama saya mengenal Kristus, saya masih terus mencari dan bertanya. Satu hal
yang masih tidak dapat saya mengerti adalah untuk apa saya hidup. Kadang-kadang
timbul dalam hati saya sebuah pengertian yang egois, saya hidup dan menjadi
Kristen supaya kelak masuk sorga. Sebuah pengertian yang sangat dangkal dan
tendensius. Kalau hanya untuk masuk sorga saja, saya merasa hidup saya tidak
lebih dari orang-orang beragama yang lain.
Dengan segala kekuatan, saya
akhirnya berupaya mengalahkan bunyi-bunyian alam di luar rumah dengan
mengencangkan volume suara. Entah keberanian dari mana yang menolong saya dapat
berkata-kata layaknya seorang dewasa yang fasih. Saya mengajak semua jemaat
untuk berdoa agar Tuhan menghentikan hujan dan badai yang menggila di luar
rumah. Seorang remaja yang baru kenal Tuhan Yesus kemudian memimpin doa bersama
dengan terbata-bata: “Dalam nama Tuhan Yesus, aku perintahkan hujan dan badai
berhenti!”
Dalam hitungan beberapa
detik setelah saya katakan amin, tiba-tiba hujan, guntur, dan angin kencang
berhenti drastis. Saya sungguh tidak dapat menjelaskan dengan kata-kata apa
yang sedang saya doakan. Doa yang tidak lajim. Tetapi ajaib, Tuhan
mendengarkannya dalam hitungan detik.
Malam itu, saya tidak
mengucapkan kata-kata selain terima kasih buat Tuhan Yesus yang mendengarkan
doa saya. Malam itu juga sebuah teka-teki yang selama ini menjadi misteri dalam
hidup saya terjawab sudah. Tujuan hidup saya adalah merespon panggilan Tuhan
untuk melayani diladangNya. Selama ini saya masih belum percaya bahwa Allah
dapat memakai anak gagap seperti saya. Saya mengenal siapa diri saya sehingga
merasa tidak mungkin Tuhan memakai orang seperti saya. Sejak lahir saya dapat
melihat hidup yang saya jalani sungguh bukan satu pilihan yang tepat untuk
Tuhan jadikan palayanNya.
Hari selasa, pukul 10 WIB
pagi, tanggal 9 Maret 1976, saya lahir dengan kondisi pisik yang memprihatinkan.
Sebagai bayi prematur saya harus mendapatkan perawatan khusus sehingga sangat
menyulitkan apalagi keadaan ekonomi keluarga masih morat-marit. Saya terlahir
sebagai anak sulung di tengah keluarga muda yang kacau. Ayah saya adalah
seorang pria yang kurang bertanggungjawab terbukti ketika saya lahir dia
melanglang buana entah ke mana. Saya lahir malah di tengah-tengah
keluarga kakek dari ibu. Setelah beberapa bulan saya lahir, ayah baru datang
menjenguk saya.
Kondisi pisik saya memang
benar-benar sangat memprihatinkan. Sampai menjelang umur 16 tahun, saya menjadi
pelanggan tetap beberapa klinik kesehatan. Saya kadang-kadang harus
meninggalkan sekolah berminggu-minggu untuk menjalani terapi. Kesehatan saya
yang rentan terhadap rongrongan berbagai penyakit membuat saya bertumbuh
menjadi pribadi minder dan tidak percaya diri. Suasana rumah sakit dengan
selang-selang inpus menjadi teman sehari-hari. Saya bahkan sangat menghapal
lorong-lorong beberapa rumah sakit di kota kelahiran.
Perlahan-lahan saya merasakan
ada satu yang sedang berubah dalam keluarga kami. Ayah saya menjadi aktivis di
sebuah gereja karismatik. Dan dalam waktu singkat beliau mengalami kelahiran
baru dan baptisan Roh Kudus. Pengurapan iman dari ayah kemudian dengan cepat
mengalir di keluarga kami. Ibu saya segera menyusul dan kemudian adik-adik. Tak
berapa lama, dalam sebuah kebaktian malam bersama semua anggota keluarga, saya
bertemu dengan Kristus dan mengalami kelahiran baru. Tidak lama berselang,
semua anggota keluarga kami bertobat dan mengalami kelahiran baru. Tidak
berhenti sampai di situ, Allah juga menyembuhkan semua penyakit komplikasi yang
menggerogoti tubuh saya sejak lahir. Sejak peristiwa kelahiran baru itu saya
hampir tidak pernah lagi menjalani terapi. Saya disembuhkan secara total.
Beberapa jemaat sudah mohon
pamit pulang setelah acara makan malam. Bapak pendeta juga sudah sejak tadi
mengundurkan diri karena mengejar tugas lain. Malam di luar masih lembab karena
hujan deras beberapa waktu yang lalu. Saya keluar dan mengantarkan para tamu
sampai pintu. Ada satu hal yang membuat saya sangat sukacita. Itu adalah hal
membuat hidup saya bergairah. Hal itu adalah pengertian yang baru. Sebuah
pengertian akan tujuan hidup saya. Melayani Tuhan sampai akhir hidup.
Ketika saya terperangah dan
terheran-heran saat hujan, guntur, dan badai berhenti seketika oleh doa yang
sederhana, saya mendapatkan suatu pengertian yang baru. Saat itu, 9 maret 1992,
adalah hari kedua yang terpenting dalam hidup saya setelah 9 Maret 1976.
Karena, seperti kata orang bijak, hanya 2 hari yang terpenting dalam
hidup setiap manusia. Yang pertama adalah hari ketika ia lahir, dan yang kedua
adalah hari ketika dia mengerti mengapa dia lahir. Hari ini, selasa, 9 Maret
2004 bagi saya tidak lebih penting dari hari-hari yang lain. Walaupun mail box
saya pehuh dengan ucapan selamat ulang tahun. Ponsell saya penuh sms selamat
ulang tahun. Telepon kantor berdering terus dari orang-orang dekat untuk
sekedar mengucapkan selamat ulang tahun. Orang-orang silih berganti keluar
masuk ruangan kantor saya. Itu semua tidak mengubah 9 Maret 1992 menjadi hari
ke dua yang paling penting bagi saya. Hari itu adalah hari yang sangat penting
karena hari itu saya telah mengerti mengapa saya perlu lahir pada 28 tahun yang
lalu.
Kini usia saya genap 28
tahun. 12 tahun sudah saya melayani di ladangNya. Saya mengalami banyak perkara
dan menerima banyak berkat dari Kristus. Semakin hari saya semakin takjub dan
terpesona. Semakin hari semakin saya tahu keputusan melayaniNya 12 tahun yang lalu
adalah keputusan yang paling bijaksana yang pernah saya buat. “Terimakasih
Tuhan, kalau hari ini tepat 12 tahun saya mengetahui alasan mengapa aku lahir
ke dunia ini.”
{Dalam kesempatan ini saya
sampaikan ucapan terimakasih yang sangat tulus untuk kedua orang tua saya
tercinta, keluarga adik iparku dan ke-3 anak mereka yang manis-manis, Ke-3 adik
laki-laki saya yang sangat menghormati dan mencintai saya, semua rekan-rekan
sepelayanan di GBI-BUARAN, semua jemaat GBI-BUARAN, dan orang-orang yang telah memenuhi
ponsell saya dengan sms, memadati in box saya dengan e-mail, dan
sahabat-sahabat milis saya}
Tidak ada komentar:
Posting Komentar