Minggu, 11 Agustus 2013

SUPAYA KITA HIDUP



SUPAYA KITA HIDUP
Yehezkiel 18



Pemahaman klasik yang sangat mengakar dalam budaya Israel adalah anak-anak wajib menanggung dosa orang tua. Ada lagu yang dijadikan sindiran di sana: “Ada apa dengan kamu, sehingga kamu mengucapkan kata sindiran ini di tanah Israel: Ayah-ayah makan buah mentah dan gigi anak-anaknya menjadi ngilu?” (2). Kita dapat melihat banyak peristiwa tragis ketika sebuah keluarga harus binasa oleh karena perbuatan orang tua mereka. Contohnya adalah keluarga Datan dan Abiram (Bilangan 16).

Konsep ini menjadi salah arah karena tanpa tedeng aling-aling atau tanpa melihat kasus per kasus secara semena-mena menghukum sebuah keluarga oleh karena perbuatan semua anggota keluarga oleh karena perbiuatan salah satu anggotanya. Dalam sejarah gereja kita mengetahui bahwa banyak juga orang atau institusi yang menghukum sebuah keluarga oleh karena kesalahan orang tua mereka.  Tentu Allah bukanlah pribadi sadis yang sedemikian tak berperasaan menghukum anak-anak oleh karena dosa orang tua mereka: “Demi Aku yang hidup, demikianlah firman Tuhan ALLAH, kamu tidak akan mengucapkan kata sindiran ini lagi di Israel.” (3)

Allah dalam pemandangan yang sempurna sesungguhnya tidak menginginkan hukum agama diterapkan tanpa keseimbangan. Dia adalah Pribadi yang adil sehingga setiap orang yang makan buah mentah maka gigi dia sendirilah yang ngilu. Artinya orang yang berbuat dosa, dia sendirilah yang menanggung akibatnya: “Sungguh, semua jiwa Aku punya! Baik jiwa ayah maupun jiwa anak Aku punya! Dan orang yang berbuat dosa, itu yang harus mati.” (4)

Maka dari itu, seseorang akan hidup jika ia melakukan keadilan dan kebenaran, walaupun salah seorang anggota keluarganya berlaku lalim dan membelakangi Allah: “Kalau seseorang adalah orang benar dan ia melakukan keadilan dan kebenaran,” (5). Jadi jika kita hidup menurut ketetapan dan peraturanNya dengan setia, maka kitalah orang benar sehingga kita tidak akan mati oleh karena dosa tetapi kita akan hidup oleh karena Allah: “hidup menurut ketetapan-Ku dan tetap mengikuti peraturan-Ku dengan berlaku setia -- ialah orang benar, dan ia pasti hidup, demikianlah firman Tuhan ALLAH.” (9) 

Hari ini kita kita akan belajar tentan ciri-ciri orang benar yang menurut ketetapan dan peraturan Tuhan dengan setia.                  

1.      Setia kepada satu Tuhan

Perkara kesetiaan memang selalu menjadi prioritas dalam setiap hubungan. Baik hubungan antar sesama manusia maupun hubungan manusia dengan Tuhan. Namun sungguh ironis, kebanyakan manusia tidak lagi menggangap kesetiaan sebagai hal yang penting. Dalam kehidupan pernikahan dimana kesetiaan adalah nilai tertinggi, justru tinggkat perselingkuhan, perjinahan, dan perceraian semakin tinggi. Di zaman ini kita gampang menemukan orang yang berkarunia, orang pintar, orang kaya dan sebagainya, tetapi sayang sungguh sulit menemukan orang yang setia. Yehezkiel mengatakan bahwa ciri orang yang benar adalah orang yang setia. Setia kepada sesama dan setia kepada satu Allah: “dan ia tidak makan daging persembahan di atas gunung atau tidak melihat kepada berhala-berhala kaum Israel,…(6a)

2.      Menghormati Kekudusan Lembaga Pernikahan

Penyakit  yang paling berbahaya dan sedang merajalela di planet ini bukanlah Flu Burung atau Kanker, tetapi Perjinahan. Remaja di negara-negara maju telah sedemikian modern sehingga menganggap sex pra nikah merupakan hal yang lajim. Bahkan dalam dunia yang sudah renta ini, perjinahan dalam lembaga rumah tangga sudah menjadi rahasia umum. Para pemimpin masyarakat bahkan bercerai karena mengejar perempuan lain. Para pemimpin rohani pun berkali-kali jatuh dalam perjinahan. Sungguh menyedihkan dunia yang kita tempati sekarang ini. Manusia sudah tidak lagi menghormati lembaga pernikahan sebagai sesuatu yang sakral dan suci. Yehezkiel mengatakan bahwa orang benar adalah orang yang menjungjung nilai-nilai pernikahan: “tidak mencemari isteri sesamanya dan tidak menghampiri perempuan waktu bercemar kain” (6b)

3.      Memiliki Jiwa Sosial yang Tinggi

Kita adalah mahluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri. Kita bukan Tarzan yaitu tokoh rekaan Hollywood yang tidak memiliki dasar kebenaran. Kita diciptakan untuk menjadi kelompok yang saling membantu. Ciri dari orang yang benar adalah pribadi yang memiliki kepedulian sosial yang tinggi. Bukankah Yesus mengatakan: “Yesus menjawab mereka: "Kamu sesat, sebab kamu tidak mengerti Kitab Suci maupun kuasa Allah.” (Matius 22:39). Orang yang mengasihi sesama tentu tidak akan memperbudak karyawannya, tidak korupsi, tidak melakukan praktek bisnis ilegal, dan memberi untuk orang miskin dan yatim piatu: “tidak menindas orang lain, ia mengembalikan gadaian orang, tidak merampas apa-apa, memberi makan orang lapar, memberi pakaian kepada orang telanjang,” (7)

4.      Mengelola Uang dengan Benar

Sejatinya kita bukan pemilik (owner) tapi pengelola (steward). Memang kita berhak untuk membelanjakan uang kita tetapi Tuhan sebagai pemilik segalanya menuntut pertanggungjawaban kita. Orang benar tentu akan membayar persepuluhan, memberi persembahan, membayar pajak, dan tidak meminjamkan uang dengan riba (lintah darat). Orang benar juga akan menyisihkan uang untuk menyantuni yatim piatu dan orang-orang miskin: “tidak memungut bunga uang atau mengambil riba, menjauhkan diri dari kecurangan, melakukan hukum yang benar di antara manusia dengan manusia.” (8). Karena akar dari segala kejahatan adalah cinta uang, maka sejatinya orang benar tidak dikuasai uang (1 Timotius 6:10). Jadi dari mana kita tahu seseorang mengelola uang dengan benar, ketika orang itu jujur dan mengembalikan uang tepat pada pos masing-masing (Matius 22:21). Maranatha, Amen.

INTISARI khotbah Pdt. Joshua Mangiring Sinaga, S.Th, HN Ministries Chapter Semper Jakarta Utara. Minggu, 20 Mei 2007.