Hujan di Bogor
Oleh: Joshua MS
Hujan deras mengguyur Kota Bogor. Sesekali geledek menggelegar sperti hendak
mengoyak langit. Angin berembun bertiup dari sela-sela kaca nako menyusur semua
sisi ruangan kuliah. Namun suasana ruang kuliah salah satu fakultas IPB sungguh
berbeda dengan haru biru hujan di luar. Anak-anak muda yang memadati ruang
kuliah yang ekstra luas, seolah-olah tidak mempedulikan sama sekali hujan di
luar. Mungkin anak-anak kuliahan ini sudah immune dengan keadaan alam
Kota Bogor yang basah dan akrab dengan hujan.
Untuk yang kesekian kali aku merapatkan kancing jaket semi
jas hitam yang membalut tubuhku. Sementara tanganku sibuk mengganti tranparansi
materi ceramah dari atas kaca OHP. Sepuluh Prinsip Dasar Kepemimpinan adalah
tema ceramah yang aku bawakan pada pertemuan rutin mahasiswa Kristen IPB. Entah
kenapa, setiap kali bicara tentang kepemimpinan, aku selalu bersemangat. Tanpa
terasa jam tanganku sudah menunjuk pukul enam sore kurang. Artinya hampir satu
jam aku berdiri di kelas super padat ini.
Sekarang saatnya sesi tanya jawab. Aku tidak terlalu
berharap bahwa topik yang aku bawakan akan memancing animo para mahasiswa muda
ini. Namun sungguh diluar dugaan, ternyata materi cukup menggugah hampir 150
anak mahasiswa yang sedari awal kelas menyimak paparanku. Seorang mahasiswa
yang aku minta bantu membacakan lembaran pertanyaan aku lihat hampir kewalahan.
Aku merasakan atmosfer ketidaksetujuan dari hampir semua kelas terhadap salah
satu point materi. Aku memang sengaja mengangkat dan menekankan poin
kepemimpinan adalah kehambaan (Leadership Is Servanthood). Suatu konsep
yang aku kembangkan dari ayat kitab suci. Konsep yang sepertinya aneh dan asing
bagi telinga mahasiswa saint.
Mereka bereaksi ketika kepemimpinan sekuler yang berbau
kapitalis dan liberal harus dikonfrontir dengan prinsif kepemimpinan kehambaan
yang diajarkan Alkitab? Pertanyaannya adalah apakah memang Alkitab kita sudah
terlalu tua sehingga prinsip-prinsipnya sudah kadaluwarsa? Prinsip kuno yang
ketinggalan zaman? Tidakkah prinsif itu sudah tidak up date sehingga
perlu dihapuskan saja?
Inti dari pertanyaan-pertanyaan para mahasiswa
berputar-putar di sekitar relevansi prinsip Alkitab dalam dunia kepemimpinan
sekuler? Memang kebingungan yang besar karena mereka harus menerima dua arus
informasi yang kadang-kdang sangat bertolak belakang? Bagaimana mereka harus
belajar lagi bahwa seorang pemimpin yang sejati ternyata adalah seorang
pemimpin yang melayani dengan sikap seorang hamba, sementara selama ini mereka
menelan pola kepemimpinan sekuler yang liberal?
Jam tanganku sudah menunjuk pukul 19.15 WIB. Sebenarnya
kelas sudah usai sejak 15 menit yang lalu tetapi karena hujan tidak kunjung
reda, aku memilih bergabung dengan gerombolan mahasiswa. Mendengar mereka dan
menjawab beberapa pertanyaan mereka yang belum sempat terjawab tadi di kelas.
Gelisah mulai menjalari hatiku karena waktu terus bergulir sementara aku harus
segera pulang ke Jakarta. Aku harus segera meninggalkan kampus ini dan
menumpang bus ke Jakarta.
Aku pamit dan segera bergegas meninggalkan kerumunan
mahasiswa. Separuh ngeri aku melewati koridor kampus yang licin berair tersiram
tempias. Koridor panjang yang sunyi dan tiupan angin kencang menyibak jaketku.
Jaket tua ini memang sudah terlalu lama aku kenakan sampai beberapa kancingnya
tidak lagi dapat tertutup dengan sempurna.
“Tunggu pak!” Suara samar beradu dengan desau hujan dari
belakang punggungku.
“Hei…, kamu Na? Ada apa ya?” Aku segera mengenali wajah Livana. Salah seorang
mahasiswa yang tadi mengukuti ceramahku. Anak gadis yang sudah 4 tahun belajar
di salah satu fakultas IPB.
“Boleh Ana antar ke halte bis?” Anna menyodorkan sebuah
payung
“Wah, terimakasih An! Kamu baik sekali.”
“Ah, nggak juga pak. Kebetulan Ana juga mau pulang ke kos,
jadi sekalian gitu!”
“Oh gitu toh?” Beriringan kami menapak jalanan kampus yang
basah.
“ Boleh nanya lagi pak?”
“Hehehe.. kelas udah berakhir 30 menit yang lalu An.” Aku
sedikit bercanda.
“Boleh, boleh, silahkan An.” Aku segera meralat
“Bagaimana kabar keluarga di kampung?”
“ Oh,.. Puji Tuhan mereka sehat-sehat saja.” Aku mendesah
dan merapatkan kembali kancing jaketku.
Ya Tuhan! Aku kembali terkenang ke masa dulu. Empat tahun
silam aku pulang kampung di Desa Pamatang Jorlang Hataran. Sebuah desa kecil di
Kabupaten Simalungun Sumatera Utara. Aku pulang kampung melepas rindu pada
orang tua dan sekaligus melakukan penelitian lapangan untuk keperluan skripsi.
Aku sangat bersyukur karena bisa masuk di sebuah SMA
Negeri. Sebuah sekolah SMA di mana dulu aku pernah jadi salah satu muridnya.
Guru-gurunya masih banyak yang aku
kenal. Aku bahkan sangat bersyukur karena mantan guru PAK yang dulu banyak
memotivasiku masih aktif mengajar. Beliau memberikan kesempatan seluas-luasnya
kepadaku untuk masuk kelasnya dan melakukan penelitian. Mulai dari wawancara,
angket, bahkan sampai menggantikan dia mengajarkan beberapa topik PAK.
Total 15 kelas dengan jumlah murid lebih dari 700 memang
bukan sebuah pekerjaan gampang. Melakukan penelitian dengan jumlah responden
lebih dari 700 siswa merepotkan sekali sehingga aku harus tinggal hampir 2
bulan penuh. Livana adalah salah satu siswa yang sangat banyak membantuku. Aku
akrab dengan banyak anak-anak bahkan beberapa diantaranya sempat berkunjung ke
rumah. Beberapa di antara mereka hanya ingin berkunjung tetapi sebagian lagi
ingin ngobrol.
Aku tidak mengerti kalau keakrabanku dengan anak-anak itu
justru membuka banyak tabir yang menjadikan hasil penelitianku lebih akurat.
Bagai sebuah mimpi buruk, antara senang dan sedih, semua bercampur aduk dalam
perasaanku. Angket yang total berjumlah 725 eksemplar sudah berdear di seantero
sekolah. Awalnya semua berjalan lancar namun kesan ketidaksenangan mulai
berhembus di lingkungan sekolah. Nada sumbang mulai berkumandang di kantor
guru. Beberapa guru mulai menyatakan sikap ketidaksukaan mereka terhadap isi
angket. Mereka berkomentar bahwa isi angket itu terlalu memojokkan posisi
mereka sebagai guru. Tetapi aku tidak mengerti mengapa angket yang sudah
beredar dengan persetujuan kepala sekolah itu mendapat reaksi keras justru
setelah ada di tangan para siswa?
Sementara atmosfher ketidaksenangan semakin memuncak.
Beberapa siswa berkunjung kembali ke rumah. Aku sangat senang karena mereka
dapat membantu saya mengelola angket yang setengahnya sudah dikembalikan. Mungkin
karena usiaku dengan mereka tidak terpaut jauh, jadi mereka lebih terbuka.
Sore itu, sementara langit mendung, beberapa kali guntur
menggelegar memecah langit. Aku duduk-duduk menanti hujan reda dikelilingi
sekelompok siswa. Entah dari mana awalnya. Tiba-tiab seorang dari antara siswa
perempuan tersedu-sedu. Air matanya mulai mengalir seperti sungai di antara
pipinya. Sementara teman-temannya terdiam. Suasana menjadi sangat hening
sekali. Hanya sesekali guntur memecah langit. Aku masih membiarkan dia terisak
dan menunggu dia bicara. Anak itu akhirnya bercerita panjang lebar. Aku
berpikir dia sudah menceritakan hampir semua kisah sedihnya. Kisah sedih yang
membuat aku pun hampir tidak bisa bergerak dari tempat duduk. Kisah yang
membuat sekumpulan anak-anak yang tadi rame penuh canda, juga bisu tak
bergeming.
“Begitulah pak!” Perempuan yang masih sangat belia itu
akhirnya menutup kisahnya. Sementara beberapa temannya menghapus air mata dan
menenangkannya. Aku berusaha untuk tetap tenang walau hatiku sungguh galau.
Antara marah, sedih, kecewa, dan sebagainya. Bagaimana tidak, perempuan belia
yang polos itu telah diperlakukan dengan tidak bermartabat oleh seorang yang
seharusnya mendidiknya. Seorang guru yang seharusnya mendidik dia menjadi
manusia seutuhnya ternyata tidak lebih dari manusia munafik bernafsu rendah.
Seorang guru yang dengan kekuasaannya melampiaskan hawa nafsu kepada muridnya.
Seorang guru yang seharusnya memimpin dengan bijaksana tetapi ternyata telah
melecehkan martabatnya dengan mencabuli anak didik sendiri.
Belakangan setelah peristiwa sore itu, aku baru mengerti
mengapa angket dengan point moralitas di tentang oleh sebagian guru. Aku
akhirnya sadar bahwa ada di antara mereka yang mengkhawatirkan perbuatan mereka
terusik dan terekspos keluar. Mungkin mereka lebih menyukai untuk
menyembunyikan dosa itu rapat-rapat dari pada mohon ampun kepada Tuhan dan
bertobat.
“Eh, pak! Kita udah nyampe!” Livana mengejutkan aku “Wah,
bapak tadi ngelamun ya? Anna sampe dicuekin!”
“Oh ya, maaf ya!” Aku masih gelagapan dan menjawab
sekenanya.
“Terimakasih buat payungnya ya!”
“Sama-sama pak, Anna mau ke arah lain, pulang ke kos.”
Livana berputar dan berlalu menyusur jalan berair. Seorang Livana yang 4 tahun
silam ada di teras rumahku.
Aku segera melompat ke angkot. Aku kembali merapatkan
kancing jaketku. Tidak terasa aku sudah ada di terminal Baranangsiang Bogor.
Aku segera berlari-lari melompati kubangan dan segera melompat masuk bis
jurusan Jakarta. Sementara bus melaju kencang di jalan tol, kembali rasa sepi
dan nelangsa menekan jiwaku. Pertanyaan tentang nilai kepemimpinan kehambaan?
Di manakah nilai kehambaan dalam Kepemimpinan Kristiani kalau seorang guru
Kristen justru berlaku seperti orang tak beragama? Atau jangan-jangan aku juga
telah terseret dan termasuk di antara pemimpin yang buruk moral itu?
Ya sudahlah, aku tidak mau berburuk sangka. Walaupun hasil
penelitianku 4 tahun silam tidak pernah ditandatangani oleh pihak otoritas
sekolah, tetapi aku telah memperoleh sesuatu. Sesuatu yang nilainya lebih dari
kelulusan sebuah skripsi. Sebuah pesan kepemimpinan yang sejati ketika aku mau
melayani sebagai seorang hamba. Ya Tuhan! Tolong agar aku dapat melayani sebgai
pemimpin yang sejati. Jadikan aku pendeta berhati hamba. Aku menutup mataku dan
senandung pujian mengalir dari tenggorokanku yang masih parau.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar