Kamis, 13 Desember 2012

HUJAN di BOGOR


Hujan di Bogor
Oleh: Joshua MS

Hujan deras mengguyur Kota Bogor. Sesekali geledek menggelegar sperti hendak mengoyak langit. Angin berembun bertiup dari sela-sela kaca nako menyusur semua sisi ruangan kuliah. Namun suasana ruang kuliah salah satu fakultas IPB sungguh berbeda dengan haru biru hujan di luar. Anak-anak muda yang memadati ruang kuliah yang ekstra luas, seolah-olah tidak mempedulikan sama sekali hujan di luar. Mungkin anak-anak kuliahan ini sudah immune dengan keadaan alam Kota Bogor yang basah dan akrab dengan hujan.

Untuk yang kesekian kali aku merapatkan kancing jaket semi jas hitam yang membalut tubuhku. Sementara tanganku sibuk mengganti tranparansi materi ceramah dari atas kaca OHP. Sepuluh Prinsip Dasar Kepemimpinan adalah tema ceramah yang aku bawakan pada pertemuan rutin mahasiswa Kristen IPB. Entah kenapa, setiap kali bicara tentang kepemimpinan, aku selalu bersemangat. Tanpa terasa jam tanganku sudah menunjuk pukul enam sore kurang. Artinya hampir satu jam aku berdiri di kelas super padat ini.


Sekarang saatnya sesi tanya jawab. Aku tidak terlalu berharap bahwa topik yang aku bawakan akan memancing animo para mahasiswa muda ini. Namun sungguh diluar dugaan, ternyata materi cukup menggugah hampir 150 anak mahasiswa yang sedari awal kelas menyimak paparanku. Seorang mahasiswa yang aku minta bantu membacakan lembaran pertanyaan aku lihat hampir kewalahan. Aku merasakan atmosfer ketidaksetujuan dari hampir semua kelas terhadap salah satu point materi. Aku memang sengaja mengangkat dan menekankan poin kepemimpinan adalah kehambaan (Leadership Is Servanthood). Suatu konsep yang aku kembangkan dari ayat kitab suci. Konsep yang sepertinya aneh dan asing bagi telinga mahasiswa saint.

Mereka bereaksi ketika kepemimpinan sekuler yang berbau kapitalis dan liberal harus dikonfrontir dengan prinsif kepemimpinan kehambaan yang diajarkan Alkitab? Pertanyaannya adalah apakah memang Alkitab kita sudah terlalu tua sehingga prinsip-prinsipnya sudah kadaluwarsa? Prinsip kuno yang ketinggalan zaman? Tidakkah prinsif itu sudah tidak up date sehingga perlu dihapuskan saja?

Inti dari pertanyaan-pertanyaan para mahasiswa berputar-putar di sekitar relevansi prinsip Alkitab dalam dunia kepemimpinan sekuler? Memang kebingungan yang besar karena mereka harus menerima dua arus informasi yang kadang-kdang sangat bertolak belakang? Bagaimana mereka harus belajar lagi bahwa seorang pemimpin yang sejati ternyata adalah seorang pemimpin yang melayani dengan sikap seorang hamba, sementara selama ini mereka menelan pola kepemimpinan sekuler yang liberal?

Jam tanganku sudah menunjuk pukul 19.15 WIB. Sebenarnya kelas sudah usai sejak 15 menit yang lalu tetapi karena hujan tidak kunjung reda, aku memilih bergabung dengan gerombolan mahasiswa. Mendengar mereka dan menjawab beberapa pertanyaan mereka yang belum sempat terjawab tadi di kelas. Gelisah mulai menjalari hatiku karena waktu terus bergulir sementara aku harus segera pulang ke Jakarta. Aku harus segera meninggalkan kampus ini dan menumpang bus ke Jakarta.

Aku pamit dan segera bergegas meninggalkan kerumunan mahasiswa. Separuh ngeri aku melewati koridor kampus yang licin berair tersiram tempias. Koridor panjang yang sunyi dan tiupan angin kencang menyibak jaketku. Jaket tua ini memang sudah terlalu lama aku kenakan sampai beberapa kancingnya tidak lagi dapat tertutup dengan sempurna.

“Tunggu pak!” Suara samar beradu dengan desau hujan dari belakang punggungku.
“Hei…, kamu Na? Ada apa ya?” Aku segera  mengenali wajah Livana. Salah seorang mahasiswa yang tadi mengukuti ceramahku. Anak gadis yang sudah 4 tahun belajar di salah satu fakultas IPB.
“Boleh Ana antar ke halte bis?” Anna menyodorkan sebuah payung
“Wah, terimakasih An! Kamu baik sekali.”
“Ah, nggak juga pak. Kebetulan Ana juga mau pulang ke kos, jadi sekalian gitu!”
“Oh gitu toh?” Beriringan kami menapak jalanan kampus yang basah.
“ Boleh nanya lagi pak?”
“Hehehe.. kelas udah berakhir 30 menit yang lalu An.” Aku sedikit bercanda.
“Boleh, boleh, silahkan An.” Aku segera meralat
“Bagaimana kabar keluarga di kampung?”
“ Oh,.. Puji Tuhan mereka sehat-sehat saja.” Aku mendesah dan merapatkan kembali kancing jaketku.

Ya Tuhan! Aku kembali terkenang ke masa dulu. Empat tahun silam aku pulang kampung di Desa Pamatang Jorlang Hataran. Sebuah desa kecil di Kabupaten Simalungun Sumatera Utara. Aku pulang kampung melepas rindu pada orang tua dan sekaligus melakukan penelitian lapangan untuk keperluan skripsi.

Aku sangat bersyukur karena bisa masuk di sebuah SMA Negeri. Sebuah sekolah SMA di mana dulu aku pernah jadi salah satu muridnya. Guru-gurunya  masih banyak yang aku kenal. Aku bahkan sangat bersyukur karena mantan guru PAK yang dulu banyak memotivasiku masih aktif mengajar. Beliau memberikan kesempatan seluas-luasnya kepadaku untuk masuk kelasnya dan melakukan penelitian. Mulai dari wawancara, angket, bahkan sampai menggantikan dia mengajarkan beberapa topik PAK.

Total 15 kelas dengan jumlah murid lebih dari 700 memang bukan sebuah pekerjaan gampang. Melakukan penelitian dengan jumlah responden lebih dari 700 siswa merepotkan sekali sehingga aku harus tinggal hampir 2 bulan penuh. Livana adalah salah satu siswa yang sangat banyak membantuku. Aku akrab dengan banyak anak-anak bahkan beberapa diantaranya sempat berkunjung ke rumah. Beberapa di antara mereka hanya ingin berkunjung tetapi sebagian lagi ingin ngobrol.

Aku tidak mengerti kalau keakrabanku dengan anak-anak itu justru membuka banyak tabir yang menjadikan hasil penelitianku lebih akurat. Bagai sebuah mimpi buruk, antara senang dan sedih, semua bercampur aduk dalam perasaanku. Angket yang total berjumlah 725 eksemplar sudah berdear di seantero sekolah. Awalnya semua berjalan lancar namun kesan ketidaksenangan mulai berhembus di lingkungan sekolah. Nada sumbang mulai berkumandang di kantor guru. Beberapa guru mulai menyatakan sikap ketidaksukaan mereka terhadap isi angket. Mereka berkomentar bahwa isi angket itu terlalu memojokkan posisi mereka sebagai guru. Tetapi aku tidak mengerti mengapa angket yang sudah beredar dengan persetujuan kepala sekolah itu mendapat reaksi keras justru setelah ada di tangan para siswa?

Sementara atmosfher ketidaksenangan semakin memuncak. Beberapa siswa berkunjung kembali ke rumah. Aku sangat senang karena mereka dapat membantu saya mengelola angket yang setengahnya sudah dikembalikan. Mungkin karena usiaku dengan mereka tidak terpaut jauh, jadi mereka lebih terbuka.

Sore itu, sementara langit mendung, beberapa kali guntur menggelegar memecah langit. Aku duduk-duduk menanti hujan reda dikelilingi sekelompok siswa. Entah dari mana awalnya. Tiba-tiab seorang dari antara siswa perempuan tersedu-sedu. Air matanya mulai mengalir seperti sungai di antara pipinya. Sementara teman-temannya terdiam. Suasana menjadi sangat hening sekali. Hanya sesekali guntur memecah langit. Aku masih membiarkan dia terisak dan menunggu dia bicara. Anak itu akhirnya bercerita panjang lebar. Aku berpikir dia sudah menceritakan hampir semua kisah sedihnya. Kisah sedih yang membuat aku pun hampir tidak bisa bergerak dari tempat duduk. Kisah yang membuat sekumpulan anak-anak yang tadi rame penuh canda, juga bisu tak bergeming.

“Begitulah pak!” Perempuan yang masih sangat belia itu akhirnya menutup kisahnya. Sementara beberapa temannya menghapus air mata dan menenangkannya. Aku berusaha untuk tetap tenang walau hatiku sungguh galau. Antara marah, sedih, kecewa, dan sebagainya. Bagaimana tidak, perempuan belia yang polos itu telah diperlakukan dengan tidak bermartabat oleh seorang yang seharusnya mendidiknya. Seorang guru yang seharusnya mendidik dia menjadi manusia seutuhnya ternyata tidak lebih dari manusia munafik bernafsu rendah. Seorang guru yang dengan kekuasaannya melampiaskan hawa nafsu kepada muridnya. Seorang guru yang seharusnya memimpin dengan bijaksana tetapi ternyata telah melecehkan martabatnya dengan mencabuli anak didik sendiri.

Belakangan setelah peristiwa sore itu, aku baru mengerti mengapa angket dengan point moralitas di tentang oleh sebagian guru. Aku akhirnya sadar bahwa ada di antara mereka yang mengkhawatirkan perbuatan mereka terusik dan terekspos keluar. Mungkin mereka lebih menyukai untuk menyembunyikan dosa itu rapat-rapat dari pada mohon ampun kepada Tuhan dan bertobat.

“Eh, pak! Kita udah nyampe!” Livana mengejutkan aku “Wah, bapak tadi ngelamun ya? Anna sampe dicuekin!”
“Oh ya, maaf ya!” Aku masih gelagapan dan menjawab sekenanya.
“Terimakasih buat payungnya ya!”
“Sama-sama pak, Anna mau ke arah lain, pulang ke kos.” Livana berputar dan berlalu menyusur jalan berair. Seorang Livana yang 4 tahun silam ada di teras rumahku.

Aku segera melompat ke angkot. Aku kembali merapatkan kancing jaketku. Tidak terasa aku sudah ada di terminal Baranangsiang Bogor. Aku segera berlari-lari melompati kubangan dan segera melompat masuk bis jurusan Jakarta. Sementara bus melaju kencang di jalan tol, kembali rasa sepi dan nelangsa menekan jiwaku. Pertanyaan tentang nilai kepemimpinan kehambaan? Di manakah nilai kehambaan dalam Kepemimpinan Kristiani kalau seorang guru Kristen justru berlaku seperti orang tak beragama? Atau jangan-jangan aku juga telah terseret dan termasuk di antara pemimpin yang buruk moral itu?

Ya sudahlah, aku tidak mau berburuk sangka. Walaupun hasil penelitianku 4 tahun silam tidak pernah ditandatangani oleh pihak otoritas sekolah, tetapi aku telah memperoleh sesuatu. Sesuatu yang nilainya lebih dari kelulusan sebuah skripsi. Sebuah pesan kepemimpinan yang sejati ketika aku mau melayani sebagai seorang hamba. Ya Tuhan! Tolong agar aku dapat melayani sebgai pemimpin yang sejati. Jadikan aku pendeta berhati hamba. Aku menutup mataku dan senandung pujian mengalir dari tenggorokanku yang masih parau.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar