Senin, 10 Desember 2012

George Bush, Malaikat dari Amerika?


George Bush, Malaikat dari Amerika?
Oleh: Joshua MS

Tentu akan ada banyak prasangka membaca sekilas judul di atas. Bagaimana mungkin seorang George Walker Bush dipersonifikasikan sebagai malaikat? Di negeri sendiri, USA, Bush bahkan telah menjadi tidak begitu populer. Bush di tuding memberikan kontribusi signifikan atas kekalahan Partai Republik dalam pemilihan anggota kongres beberapa saat lalu. Para pengamat politik menyatakan bahwa isu perang Irak yang di protes partai Demokrat menjadi salah satu isu paling tajam yang membuat konstituen Amerika beralih memilih Partai Demokrat. Ini merupakan isu sentral penyebab kekalahan Partai Republik.


Di belahan dunia lain, khususnya negara-negara berpenduduk muslim, tumbuh bagai cendawan di musim penghujan gerakan anti Bush dan Amerika. Terlepas gerakan anti Bush dan Amerika itu murni sebagai sebuah fenomena sosial atau merupakan produk dari sebauh rekayasa politik, bagaimana pun juga sosok Bush memang telah sedemikian kontrafersi.

Di Indonesia, Bush bagaikan sebuah “bus” tua yang sudah tak layak operasi tetapi tetap dipaksakan mengangkut penumpang. Kehadirin Bus sudah sedemikian menggerahkan sampai-sampai para ulama yang mestinya bertugas membina umat menjaga ahlak dan moral, turun ke jalan dan menyemburkan kata-kata yang tak pantas. Bush dan Amerika bagaikan setan laknak yang harus di bakar dan di injak-injak sehingga para demonstran sedemikian garang merobek, membakar, dan menginjak-injak bendera Amerika. Belum cukup sampai di situ, mereka  lalu menginjak-injak, meludahi, dan lalu membakar gambar Bush. Harap kita tahu bahwa mereka juga telah mempersonipikasi seorang Bush seperti seekor monyet. Sebuah prilaku tak etis yang tak pantas bila mengingat kita adalah bangsa yang santun dan religius.

Bagaimana dan dengan apakah masih dapat di serap akal sehat untuk mengatakan Bush adalah malaikat Amerika? Berdasarkan sudut pandang penulis sebagai rohaniwan, Bush, terlepas dari semua kontrafersi yang menderanya, telah menjalankan “sebuah” misi atas keadaan dunia yang karut marut. Sebagaimana fungsinya, malaikat adalah utusan Yang Maha Tinggi untuk menolong umatNya, Bush tanpa kita sadari, senang atau benci, telah menjadi sosok pemimpin yang berupaya menahan pengeroposan tatanan sosial umat manusia di planet ini. Tentu dengan sudut pandang dan tradisi demokrasi Amerika yang khas.

Agama yang sejati selalu terhubung dengan simpul kasih sayang sehingga sejatinya haruslah selalu mengajarkan dan mengamalkan kedamaian. Namun belakangan, segelintir orang dengan mengatasnamakan agama telah merenggut dengan paksa ratusan bahkan ribuan jiwa umat manusia yang tak berdosa. Mereka berupaya membangun dan menyebarkan opini yang  keliru di masyarakat bahwa tindakan mereka demi membela ajaran agama. Dengan alasan yang tak jauh berbeda, mereka menebar teror ke seantero dunia. Mereka menjadi seperti bayang-bayang maut yang tak tahu kapan muncul dan meluluhlantakkan kehidupan. Atas nama agama yang tentu merupakan interpretasi yang ekstrim, segelintir orang ini merasa bangga untuk meledakkan diri dikeramaian dan  merenggut nyawa manusia. Terlepas dari berbagai kepentingan yang melatarbelakangi tindakan-tindakan tak manusiawi tadi, apa pun alasannya, manusia yang beradap tidak dapat membenarkan tindakan menghilangkan nyawa orang lain.

Klimaks dari semua ketegangan yang bak bola salju itu mungkin adalah peristiwa kelabu 11 September 2001. Pesawat sipil yang dibajak para teroris menghantam gedung pusat bisnis WTC di kota super sibuk New York. Ribuan orang terkubur hidup-hidup. Ribuan orang kehilangan orang yang dicintai. Ribuan orang harus menahan isak haru yang tak terkira. Sementara segelintir orang tertawa terbahak-bahak. Bersorak gembira untuk sebuah kemenangan ego. Mungkin inilah sebuah kemenangan paling semu bagi kejaliman yang mengatasnamakan agama.

Dalam kesigapannya sebagai keturunan pemimpin kaliber dunia, Bush segera beranjak dari tempat peristirahatannya. Dengan begitu lugas walau sedikit terputus, Bush menyampaikan pidato resminya dalam menyikapi peristiwa 11 September di Gedung Putih. Rasa dukanya yang mendalam untuk semua keluarga korban, dan tekadnya yang tegas dan bulat untuk menumpas teroris. Akhirnya kita semua mengerti ketika ribuan tentara Amerika di sebar ke seantero benua untuk menumpas para teroris. Beberapa negara harus di tekan dengan kekuatan militer untuk menumbangkan rezim yang di duga memberikan kontribusi perkembangan kelompok teroris. Kita tentu dapat mahpum bahwa ujung senapan tentu tak enak untuk dijadikan alat menyelesaikan sebuah perseteruan. Tapi apalah daya, demi demokrasi dalam keadaan yang sangat memaksa, kadang-kadang harus menyemburkan peluru.

Bagaimanapun juga tak ada gading yang tak retak. Bush tentu bukan Tuhan. Dia juga adalah manusia biasa yang berupaya menorehkan sejarah dalam peradapan dunia ini. Sebuah kenangan yang tentu tak semua menyukainya. Namun bagaimana pun juga, Bush telah mencoba untuk menjadi “malaikat” agar dunia yang semakin tua dan renta dapat menjadi lebih aman, tenteram, dan damai. Bukankan dengan itu maka geliat pembangunan dan pertumbuhan ekonomi akan lebih baik?

Kita semua paham bahwa Bush tidak sempurna. Interpretasinya tentang terorisme juga tak sempurna. Sejatinya, seorang George Walter Bush tak lebih dari seorang pribadi yang mencoba untuk memberikan kontribusi bagi peradapan dunia yang modern dan aman. Sama seperti malaikat saja bisa berbuat salah (Bacalah Kitab Nabi Yehezkiel 28:1-10), apalagi seorang Bush. Lantas mengapa kita harus menghabiskan energi untuk menyemburkan kata-kata tak bagus. Bukankah dalam peradapan sebuah negara yang demokratis kita wajib menghormati tamu yang berkunjung?  Katakanlah penyambutan Bush terlalu berlebihan hingga menghabiskan dana pemerintah 6 miliar. Pengamanan yang super ketat hingga mengorbankan sekelompok orang di Kota Bogor. Kita semua harus mahfum, selain merupakan sebuah konsekwensi dalam penyambutan tamu negara, tentu ini berkaitan dengan resistensi suhu politik dalam negeri yang kurang bersahabat.

Akhirnya, bukankah lebih bermanfaat bila kita berharap agar kehadiran Bush membawa setitik cahaya pengharapan untuk  kehidupan sosial ekonomi yang lebih baik. Bukankah lebih bermanfaat jika kita berharap Bush dapat menjadi “malaikat” yang menolong kita cepat keluar dari krisis multidimensi yang tak kunjung hengkang dari negeri tercinta. Bukankah akan lebih bermanfaat jika isu Soft Power yang di usung Bus akan membuat pendidikan, kesehatan, investasi, perdagangan, dan kehidupan sosial yang lebih baik di bumi Nusantara? Bukankah tidak lebih baik kita berharap kehadiran Bush menjadi sebuah loncatan panjang untuk menuju Indonesia yang lebih baik?

Sejak Bush mendarat dengan Airforseone di Bandara Halim Perdanakusuma Senin, 20 November 2006, pukul 15.30 WIB sampai kemudian menuju Istana Bogor dengan helikopter Sukorsky Black Hawk “Marine One”,  semoga sejak itu sentuhan “malaikat” Amerika ini tak hanya menyentuh komplek Istana Bogor yang berhias sangat istimewa, tetapi lebih lagi hingga ke seluruh Nusantara. Semoga!


Penulis adalah Rohaniwan dan  Pendiri/Pembina Yayasan Hati Nurani

Tidak ada komentar:

Posting Komentar