Senin, 17 Desember 2012

MALAM PERJUMPAAN


Malam Perjumpaan
Oleh: Joshua MS

Kelas pembinaan rohani yang biasanya riuh rendah dengan berbagai celoteh, tiba-tiba hening. Tak satupun suara terdengar bahkan oleh peserta yang paling getol bicara sekalipun. Guru pembina pun berdiri terpaku di sudut kelas. Semua tak bergeming dan sunyi sepi. Semua mata tertuju kepada sosok tubuh ringkuh tertatih-tatih. Dengan susah payah sosok lemah itu berusaha menuju depan kelas dengan bertelekan pada sisi kursi di sebelah kanannya.

Dengan tertatih dan tetap bertelekan pada sudut-sudut kursi, Anna Diana berusaha berdiri tegak. Beberapa kali dia berusaha untuk tetap tenang dan mengatasi gejolak hati. Sementara suasana kelas makin hening, perempuan lemah itu berusaha untuk berdiri dengan tenang. Dengan sendu dia mencoba mengangkat wajahnya dan menatap lurus ke depan. Sementara dia mencoba membuka mulut, bintik-bintik peluh menetes dari dahinya. 


“Aku anak pertama dari lima bersaudara,” suara Anna, begitu dia sering dipanggil memecah hening. “Tepatnya dari ayah kandung kami empat bersaudara.” Dia bergumam. Dengan terpatah-patah, Anna menutur kisah perjalanan hidupnya. Sebuah  cerita kehidupan seorang  Anna yang dibesarkan sebagai seorang penganut agama yang taat. Dia bahkan mengecap pendidikan di sekolah bernuansa spiritual dengan busana yang serba tertutup.

Sejak awal perempuan muda berdarah jawa itu merasa bahwa hidupnya sungguh bahagia. Rutinitas yang dia jalani tidak memiliki gejolak yang berat. Semuanya terasa sangat menyenangkan hingga suatu hari prahara mulai berkunjung satu persatu ke tengah-tengah keluarga. Keretakan hubungan kedua orang tua yang selama ini coba di redam dengan cara menutup-nutupi semakin tak terbendung.

Pertengkaran dan perselisihan kedua orang tuanya semakin meruncing. Sebagai anak sulung, Anna menjadi korban yang paling menderita dari setiap pertengkaran ke dua orang tuanya. Luka keluarga semakin menganga ketika kedua orang tuanya merasa bahwa bahtera keluarga yang selama ini di kayuh berdua sudah kandas. Batu karang permasalahan telah meremukkan pilar-pilar pernikahan mereka. Pada puncaknya, pengadilan agama memutuskan untuk membagi ke empat anak. Dua anak ikut ibu dan dua lagi ikut ayah.

Hari-hari murung bergulir sudah. Anna tetap berusaha tegar mengikuti ibunya yang kini menjanda. Untuk membantu memenuhi tuntutan ekonomi yang semakin berat, Anna memutuskan untuk bekerja sebagai kasir di sebuah pusat perbelanjaan. Berusaha untuk tetap tegar, Anna mulai terbiasa dengan kehidupan barunya. Hidup tanpa kehadiran seorang ayah dan terpisah dengan ke dua adik kandung .

Badai ternyata belum reda, prahara kembali mengunjungi keluarga Anna yang masih murung dan berduka. Sang ibu memutuskan untuk menikah kembali dengan seorang pria. Alasannya sangat klasik, demi anak-anak dan tuntutan ekonomi. Berita ini semakin sulit bagi Anna ketika terbersit berita bahwa sang ayah pun ternyata akan segera menyusul untuk menikah dengan perempuan pilihannya. Semakin lengkaplah sudah derita dan duka anak korban perceraian orang tua. Walaupun demikian hinga di persimpangan ini, Anna berupaya tetap tegar dan berjuang untuk dapat menempatkan diri sebagai anak di tengah-tengah keluarga serta berbakti kepada ayah tirinya. Anna berharap semua gejolak dan prahara dalam hidup keluarganya segera cukup hingga di sini. Semoga kehidupan yang tenang dan dan lebih bersahabat di antara puing-puing reruntuhan keluarga segera menjenguk, demikianlah selalu harapnya.

Prahara tak Kunjung Berlalu

Sore itu Lobby Hotel Nam Centre di kawasan Kemayoran Jakarta Pusat ramai. Beberapa menit yang lalu kebakian minggu sore yang diadakan di ballroom hotel telah usai. Saya berusaha memasang mata dan telinga mengawasi setiap orang yang berlalu lalang dengan berbagai tingkah. Hati kadang-kadang sedih ketika jemaat yang baru saja selesai ibadah justru berdesak-desakan dan tidak mau mengalah. Seolah-olah atmosfer spiritual yang baru saja dibangun dalam ibadah telah hilang di telan angin. 

Di temani seorang rekan satu pelayanan dari Conscience Ministry, akhirnya saya segera mengenali Anna Diana. Seorang gadis jawa berwajah sendu dengan senyum tipis menyapa: “Syalom!”. Salam kristiani yang berarti damai sejahtera terasa sangat berbeda ketika itu keluar dari mulut seorang Anna. Beberapa saat berselang, kami sudah duduk di sudut lobby. Perbincangan hangat penuh kekeluargaan mengalir begitu akrab. Saya sangat senang  akan keramahan dan sikap Anna yang dewasa.

“Keluarga yang berantakan membuat saya mengalihkan fokus ke pekerjaan.” Anna memulai perbincangan sore itu. “Saya melupakan cita-cita untuk bisa kuliah dan menjadi sarjana.” Wajah sendu bergayut di antara raut wajahnya.   

Aktivitas seorang Anna Diana selanjutnya tidak lebih dari pekerjaan dan rumah. Tanpa terasa waktu berlalu demikian cepat. Sekarang dia sudah punya adik tiri buah pernikahan ibu dengan ayah tirinya. Mungkin karena kurang perhatian, Anna tidak terlalu menyadari kalau sesuatu sedang terjadi pada diri ibunya. Belakangan Anna baru menyadari bahwa ibunya telah rutin mengikuti ayah tirinya mengunjungi gereja. Sampai sejauh ini Anna berusaha untuk tidak ikut campur walaupun dalam batinnya ada gejolak dan gelombang protes. Ketika membaur dengan teman-teman satu pekerjaan, Anna berusaha melupakan kerumitan masalah keluarganya.

Namun kepahitan mulai tertanam dalam hati Anna. Kebencian terhadap keadaan keluarga semakin mengakar ketika melihat “pengkhianatan” ketika ibunya mulai mengunjungi gereja. Bagi Anna menjadi kristen adalah suatu pengingkaran dan kemurtadan yang fatal. Menurut iman yang dipeluknya, Neraka Jahanam adalah upah bagi setiap orang yang murtad.

Dalam kemurungan dan diam, Anna terus berusaha untuk tetap tegar dan melanjutkan hidupnya. “Selama saya masih dapat terus berjalan dan bernafas, saya akan teruskan hidup ini.” Begitulah kata-kata bijak yang Anna berusaha lakoni.

Hingga sampai dipersimpangan ini, Anna tetap teguh melangkah di panggung kehidupan yang diperuntukkan baginya. Beberapa kali sang ibu memang mencoba untuk memperkenalkan Kasih Kristus kepadanya. Tapi dengan halus dan lembut, Anna menghindar dan selalu berupaya mengakhiri semua perbincangan yang mengarah kepada hal yang berhubungan dengan gereja. Sikap dan keteguhan Anna sepertinya akan terus bertahan seperti itu sampai suatu sore di kasir pusat perbelanjaan tempat Anna bekerja. Telapak kaki kanannya terasa ngilu dan sangat sakit. Rasa linu dan menusuk-nusuk akhirnya menyebar hingga tungkai lutut dan paha. Tanpa menaruh curiga, Anna beranggapan itu hanyalah sakit biasa karena dia sering naik turun tangga. Memang pusat perbelanjaan tempat di mana dia bekerja adalah sebuah gedung bertingkat sehingga harus berkali-kali naik turun. Anna berharap ngilu dan sakit menusuk-nusuk itu segera hilang dengan cara beristirahat dan meluruskan kakinya.

Sayang sekali, ternyata harapan untuk segera pulih tidak kunjung tiba. Bahkan sekarang rasa sakit itu semakin sering menyerang hingga ke bagian tubuh yang lain. Dalam rasa takut yang mendesak, Anna membawa keluhan hatinya itu kepada neneknya. Memang belakangan ini sang neneklah yang menjadi curahan hatinya. Atas saran sang nenek, Anna yang letih dan sakit itu pasrah dan menurut saja di ajak mengunjungi paranormal. Kesimpulan paranormal yang tidak mau di sebut dukun itu Anna kena santet. Anna telah di santet orang yang tidak menyukainya.

Dalam kekhawatiran, Anna menjalani beberapa terapi paranormal. Dari mandi kembang, persembahan ayam jantan merah, hingga minum air putih yang telah di mantera di jalaninya dengan setia. Sambil terus berharap bahwa semua akan berlalu dan roh santet yang dikirim kepadanya segera mundur, Anna terus beusaha untuk masuk bekerja.

Beberapa lama mengikuti terapi paranormal, keadaan Anna ternyata semakin memburuk. Kaki kanannya lama kelamaan menciut. Sekarang dia harus bertelekan pada tembok atau apa saja yang bisa di jangkau tangannya jika hendak berjalan. Kedua kaki tidak sangup lagi menopang bobot tubuhnya. Dalam ketakutan yang semakin menciutkan hati, Anna kemudian memutuskan untuk mengunjungi sebuah rumah sakit. Atas anjuran ayah tiri dan ibunya, Anna kemudian bersedia menjalani test laboratorium. Sampel sumsum tulang belakangnya di test di laboratorium. Beberapa test laboratorium yang lain pun dilakukan. Sementara itu Anna terus berharap bahwa dia akan sembuh dan kembali dapat bekerja dan melanjutkan hidupnya.

Bagaikan sebuah gelegar petir di siang bolong, hasil test lab menyimpulkan Anna mengidap kanker tulang. Berita getir ini membuat seluruh tubuh Anna lunglai. Dokter menguraikan bahwa sel kanker ganas telah menggerogoti 75 persen tulang pada sekujur tubuhnya. Kanker stadium lanjut yang secara medis sangat berbahaya.

Bagi Anna, berita ini pertanda dunia sudah berlalu dan tamat. Tidak ada lagi harapan untuk dapat melanjutkan sisa hidupnya. Bayangan dan ketakutan ketika mendengar berita-berita tragis pada setiap penderita kanker tulang memupus harapan. Sekarang satu-satunya yang masih dapat dia pikirkan adalah bagaimana mengakhiri semua ini. Informasi lebih pilu adalah bahwa sel kanker ganas yang menggerogoti tulang telah membuat tulang-tulangnya mengeropos.

Suatu saat dalam kesunyian malam, seraya menahan rasa sakit yang semakin sering menusuk-nusuk sekujur tubuh, Anna memandangi botol cairan racun serangga di gengaman tangannya. Entah pikiran apa yang merasuk perempuan yang di kenal tabah ini sehingga dengan sembunyi-sembunyi berhasrat mengakhiri semuanya dengan menenggak racun. Dengan menenggak beberapa teguk cairan racun serangga dalam botol hijau  di tangannya, Anna berharap semuanya akan berakhir.

Uluran Tangan Berlobang Paku

Lemah dan tak berdaya, Anna terkapar di ranjang rumah sakit. Rasa sakit menggerogoti hampir seluruh bagian tubuhnya. Percobaan bunuh diri dengan cairan baygon ternyata tidak berhasil mengakhiri hayatnya. Sekarang rasa sakit itu bertambah ketika kesunyian tanpa orang-orang yang dikasihi di sisinya. Seiring dengan waktu, beberapa orang dari antara mereka yang dekat dan mengasihinya terasa semakin menjauh. Beberapa bahkan mencoba untuk menghindarinya.

Kondisi kesehatan Anna tidak kunjung baik walaupun segala macam cara sudah dilakukan. Terapi berbagai paranormal sudah tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Di sisi lain biaya pengobatan rumah sakit terasa sangat mahal. Semua ini seolah menjadikan derita yang sangat berkepanjangan.

Sedikit harapan dan semangat hidup yang selalu di bisikkan ibunya beberapa kali terasa mengusik dan menggugah gundah hatinya. Menurut ibunya, ada seorang Nabi Besar dari Nazaret yang sanggup menyelesaikan semua masalah hidupnya. Menurut ibunya, Nabi Isa adalah pertolongan terakhir dari segala pertolongan yang Anna butuhkan.

Sang ibu memang tidak pernah secara khusus menyampaikan sesuatu yang bernafas Injil, namun dalam keseharian dan doanya, ibu yang telah berjumpa dengan Juruselamat itu selalu berbisik kelak di suatu hari Anna berjumpa langsung dengan Sang Mesias. Biarlah Allah yang Mahakasih dan Mahakuasa tu berkenan menjenguk umatNya yang terkapar tak berdaya. Belakangan Anna baru sadar akan doa seorang ibu yang tetap mencintai dan mengasihinya. Kasih ibu yang tak pernah luntur walau Anna tak pernah mencoba memberi kesempatan itu diwujudkan.

Tuhan itu memang nyata. Dia itu real dan sangat dapat dibuktikan bahkan oleh orang paling sekuler sekalipun. Dalam keadaan letih lesu, putus asa dan tanpa harapan. Pada satu malam yang hening di tengah sepi kamar perawatan rumah sakit. Dalam pemandangan  seperti fatamorgana yang membingungkan. Anna terkesiap antara sadar dan tertidur. Sosok tubuh mengulurkan tangan untuk menolongnya. Lebih terkejut lagi, tangan yang terulur itu ternyata berlobang. Sejenak dalam ketakutan yang sangat, Anna mencoba mengingat kata-kata ibunya tentang Seorang Manusia yang pernah teraniaya dan di paku di kayu kasar. Manusia Allah yang telah mati tanpa pernah membuka mulutNya untuk membela diri.

Tanpa di ketahui dari mana mulanya, mulut Anna mulai bersuara. Pelan sekali hingga hampir tak terdengar. “Yesus, bila Engkau adalah Tuhan, selamatkanlah hamba!” berkali-kali mulut Anna mendesis hampir tak terdengar. Ketakutannya mulai sirna karena pancaran sinar kasihNya yang lembut. Sudah sekian lama Anna tidak dapat merasakan damai yang sedemikian. Dalam kediniannya akan sebuah penglihatan ilahi, Anna dapat merasakan jamahan yang tak terlukiskan dengan kata-kata. Desir angin lembut membuatnya tak lagi merasakan apa-apa selain sukacita dan damai sejahtera yang meluap seperti gelombang air lautan. Yang ada adalah damai dan damai. Ketenangan jiwa yang terlepas dari belenggu ketakutan akan maut.

Malam perjumpaan itu menjadi malam yang sangat berarti. Malam yang membuat malam-malam selanjutnya tidak lagi menjadi sama. Malam yang telah mengubahnya menjadi Anna yang berbeda. Malam yang telah mengubah kekerasan hatinya yang dahulu. Malam yang telah mempertemukan dia dengan jawaban dari semua pertanyaan-pertanyaan dalam kebimbangan selam ini.

“Sekarang jiwaku tenang!” Anna menatap dinding lobby yang mulai sepi. Bias air matanya menunjukkan kedamaian dan keteduhan jiwa yang tak terkira. “Dalam diagnosa dokter selanjutnya, saya di duga mengidap polio sehingga kaki saya sebelah mengecil.” Anna melanjutkan penuturannya. “Setelah bertemu Yesus Kristus di ruangan perawatan yang sepi itu, saya telah berubah.”

Anna memutuskan untuk keluar dari rumah sakit dan memilih untuk datang sepenuhnya kepada Kristus. Sebuah ayat dalam Alkitab selalu dia ucapkan dengan iman. “Tetapi sesungguhnya, penyakit kitalah yang ditanggungNya, dan kesengsaraan kita yang dipikulNya, padahal kita mengira Dia kena tulah, dipukul dan ditindas Allah. Tetapi Dia tertikam oleh karena pemberontakan kita, Dia diremukkan oleh karena oleh karena kejahatan kita; ganjaran yang mendatangkan keselamatan bagi kita ditimpakan kepadaNya, dan oleh bilur-bilurNya kita menjadi sembuh.” (Yesaya 53:4-5)

“Walaupun hingga hari ini saya belum sembuh total, tetapi saya sangat percaya kuasaNya.” Anna tersenyum sebelum kami menjabat tangannya. Anna harus cepat pulang karena adiknya sudah menunggu sejak tadi di area parkir. Seperti biasa, adiknya kini  dengan setia menjemputnya dari gereja sehabis kebaktian dan kelas pembinaan iman.

Sungguh sebuah pengalaman hidup dari antara sekian banyak orang percaya yang telah berubah dewasa. Masih terngiang-ngiang dalam telinga saya suara serak Anna ketika menyanyikan sebuah  Kidung Rohani. “Engkaulah kekuatanku, tempat perlindunganku. Saat badai menerpa, aku tak akan goyah, aku tak akan goyah, s’bab Kau sertaku…”. Lagu Pujian kesukaan Anna ketika menjadi anggota Kerajaan Allah mengantar kami menekuri jalanan Jakarta yang ramai.

Semua seolah berlomba untuk segera tiba di rumah sebelum hujan mengguyur jalanan Jakarta. “Tuhan Yesus, terimakasih.” Kata-kata itu tanpa terasa mengalir begitu saja. Hati saya sangat damai seperti hujan yang turun deras setelah masa kekeringan yang sangat lama. Semakin damai dan teguh untuk mengikut Dia yang telah menyelamatkan saya jauh sebelum malam ini. “Ya Tuhan, betapa Engkau sungguh tak terduga!”

(Jakarta, 6 February 2005. Sebagaimana dituturkan oleh Anna Diana, 27 tahun, kepada Ev. Joshua M. Sinaga., S.Th)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar