Malam Perjumpaan
Oleh:
Joshua MS
Kelas pembinaan
rohani yang biasanya riuh rendah dengan berbagai celoteh, tiba-tiba hening. Tak
satupun suara terdengar bahkan oleh peserta yang paling getol bicara sekalipun.
Guru pembina pun berdiri terpaku di sudut kelas. Semua tak bergeming dan sunyi
sepi. Semua mata tertuju kepada sosok tubuh ringkuh tertatih-tatih. Dengan
susah payah sosok lemah itu berusaha menuju depan kelas dengan bertelekan pada
sisi kursi di sebelah kanannya.
Dengan tertatih
dan tetap bertelekan pada sudut-sudut kursi, Anna Diana berusaha berdiri tegak.
Beberapa kali dia berusaha untuk tetap tenang dan mengatasi gejolak hati.
Sementara suasana kelas makin hening, perempuan lemah itu berusaha untuk
berdiri dengan tenang. Dengan sendu dia mencoba mengangkat wajahnya dan menatap
lurus ke depan. Sementara dia mencoba membuka mulut, bintik-bintik peluh
menetes dari dahinya.
“Aku anak pertama dari lima
bersaudara,” suara Anna, begitu dia sering dipanggil memecah hening. “Tepatnya
dari ayah kandung kami empat bersaudara.” Dia bergumam. Dengan terpatah-patah,
Anna menutur kisah perjalanan hidupnya. Sebuah
cerita kehidupan seorang Anna
yang dibesarkan sebagai seorang penganut agama yang taat. Dia bahkan mengecap
pendidikan di sekolah bernuansa spiritual dengan busana yang serba tertutup.
Sejak awal perempuan muda
berdarah jawa itu merasa bahwa hidupnya sungguh bahagia. Rutinitas yang dia
jalani tidak memiliki gejolak yang berat. Semuanya terasa sangat menyenangkan
hingga suatu hari prahara mulai berkunjung satu persatu ke tengah-tengah
keluarga. Keretakan hubungan kedua orang tua yang selama ini coba di redam
dengan cara menutup-nutupi semakin tak terbendung.
Pertengkaran dan
perselisihan kedua orang tuanya semakin meruncing. Sebagai anak sulung, Anna menjadi
korban yang paling menderita dari setiap pertengkaran ke dua orang tuanya. Luka
keluarga semakin menganga ketika kedua orang tuanya merasa bahwa bahtera
keluarga yang selama ini di kayuh berdua sudah kandas. Batu karang permasalahan
telah meremukkan pilar-pilar pernikahan mereka. Pada puncaknya, pengadilan
agama memutuskan untuk membagi ke empat anak. Dua anak ikut ibu dan dua lagi
ikut ayah.
Hari-hari murung
bergulir sudah. Anna tetap berusaha tegar mengikuti ibunya yang kini menjanda.
Untuk membantu memenuhi tuntutan ekonomi yang semakin berat, Anna memutuskan
untuk bekerja sebagai kasir di sebuah pusat perbelanjaan. Berusaha untuk tetap
tegar, Anna mulai terbiasa dengan kehidupan barunya. Hidup tanpa kehadiran
seorang ayah dan terpisah dengan ke dua adik kandung .
Badai ternyata
belum reda, prahara kembali mengunjungi keluarga Anna yang masih murung dan
berduka. Sang ibu memutuskan untuk menikah kembali dengan seorang pria.
Alasannya sangat klasik, demi anak-anak dan tuntutan ekonomi. Berita ini semakin
sulit bagi Anna ketika terbersit berita bahwa sang ayah pun ternyata akan
segera menyusul untuk menikah dengan perempuan pilihannya. Semakin lengkaplah
sudah derita dan duka anak korban perceraian orang tua. Walaupun demikian hinga
di persimpangan ini, Anna berupaya tetap tegar dan berjuang untuk dapat
menempatkan diri sebagai anak di tengah-tengah keluarga serta berbakti kepada
ayah tirinya. Anna berharap semua gejolak dan prahara dalam hidup keluarganya
segera cukup hingga di sini. Semoga kehidupan yang tenang dan dan lebih
bersahabat di antara puing-puing reruntuhan keluarga segera menjenguk,
demikianlah selalu harapnya.
Prahara tak Kunjung Berlalu
Sore itu Lobby
Hotel Nam Centre di kawasan Kemayoran Jakarta Pusat ramai. Beberapa menit yang
lalu kebakian minggu sore yang diadakan di ballroom hotel telah usai.
Saya berusaha memasang mata dan telinga mengawasi setiap orang yang berlalu
lalang dengan berbagai tingkah. Hati kadang-kadang sedih ketika jemaat yang
baru saja selesai ibadah justru berdesak-desakan dan tidak mau mengalah.
Seolah-olah atmosfer spiritual yang baru saja dibangun dalam ibadah telah
hilang di telan angin.
Di temani
seorang rekan satu pelayanan dari Conscience Ministry, akhirnya saya
segera mengenali Anna Diana. Seorang gadis jawa berwajah sendu dengan senyum
tipis menyapa: “Syalom!”. Salam kristiani yang berarti damai sejahtera terasa
sangat berbeda ketika itu keluar dari mulut seorang Anna. Beberapa saat
berselang, kami sudah duduk di sudut lobby. Perbincangan hangat penuh kekeluargaan
mengalir begitu akrab. Saya sangat senang
akan keramahan dan sikap Anna yang dewasa.
“Keluarga yang
berantakan membuat saya mengalihkan fokus ke pekerjaan.” Anna memulai
perbincangan sore itu. “Saya melupakan cita-cita untuk bisa kuliah dan menjadi
sarjana.” Wajah sendu bergayut di antara raut wajahnya.
Aktivitas seorang Anna Diana
selanjutnya tidak lebih dari pekerjaan dan rumah. Tanpa terasa waktu berlalu
demikian cepat. Sekarang dia sudah punya adik tiri buah pernikahan ibu dengan
ayah tirinya. Mungkin karena kurang perhatian, Anna tidak terlalu menyadari
kalau sesuatu sedang terjadi pada diri ibunya. Belakangan Anna baru menyadari
bahwa ibunya telah rutin mengikuti ayah tirinya mengunjungi gereja. Sampai
sejauh ini Anna berusaha untuk tidak ikut campur walaupun dalam batinnya ada
gejolak dan gelombang protes. Ketika membaur dengan teman-teman satu pekerjaan,
Anna berusaha melupakan kerumitan masalah keluarganya.
Namun kepahitan
mulai tertanam dalam hati Anna. Kebencian terhadap keadaan keluarga semakin
mengakar ketika melihat “pengkhianatan” ketika ibunya mulai mengunjungi gereja.
Bagi Anna menjadi kristen adalah suatu pengingkaran dan kemurtadan yang fatal.
Menurut iman yang dipeluknya, Neraka Jahanam adalah upah bagi setiap orang yang
murtad.
Dalam kemurungan
dan diam, Anna terus berusaha untuk tetap tegar dan melanjutkan hidupnya.
“Selama saya masih dapat terus berjalan dan bernafas, saya akan teruskan hidup
ini.” Begitulah kata-kata bijak yang Anna berusaha lakoni.
Hingga sampai dipersimpangan ini,
Anna tetap teguh melangkah di panggung kehidupan yang diperuntukkan baginya.
Beberapa kali sang ibu memang mencoba untuk memperkenalkan Kasih Kristus
kepadanya. Tapi dengan halus dan lembut, Anna menghindar dan selalu berupaya
mengakhiri semua perbincangan yang mengarah kepada hal yang berhubungan dengan
gereja. Sikap dan keteguhan Anna sepertinya akan terus bertahan seperti itu
sampai suatu sore di kasir pusat perbelanjaan tempat Anna bekerja. Telapak kaki
kanannya terasa ngilu dan sangat sakit. Rasa linu dan menusuk-nusuk akhirnya
menyebar hingga tungkai lutut dan paha. Tanpa menaruh curiga, Anna beranggapan
itu hanyalah sakit biasa karena dia sering naik turun tangga. Memang pusat
perbelanjaan tempat di mana dia bekerja adalah sebuah gedung bertingkat
sehingga harus berkali-kali naik turun. Anna berharap ngilu dan sakit
menusuk-nusuk itu segera hilang dengan cara beristirahat dan meluruskan
kakinya.
Sayang sekali,
ternyata harapan untuk segera pulih tidak kunjung tiba. Bahkan sekarang rasa
sakit itu semakin sering menyerang hingga ke bagian tubuh yang lain. Dalam rasa
takut yang mendesak, Anna membawa keluhan hatinya itu kepada neneknya. Memang
belakangan ini sang neneklah yang menjadi curahan hatinya. Atas saran sang
nenek, Anna yang letih dan sakit itu pasrah dan menurut saja di ajak
mengunjungi paranormal. Kesimpulan paranormal yang tidak mau di sebut dukun itu
Anna kena santet. Anna telah di santet orang yang tidak menyukainya.
Dalam
kekhawatiran, Anna menjalani beberapa terapi paranormal. Dari mandi kembang,
persembahan ayam jantan merah, hingga minum air putih yang telah di mantera di
jalaninya dengan setia. Sambil terus berharap bahwa semua akan berlalu dan roh
santet yang dikirim kepadanya segera mundur, Anna terus beusaha untuk masuk
bekerja.
Beberapa lama
mengikuti terapi paranormal, keadaan Anna ternyata semakin memburuk. Kaki
kanannya lama kelamaan menciut. Sekarang dia harus bertelekan pada tembok atau
apa saja yang bisa di jangkau tangannya jika hendak berjalan. Kedua kaki tidak
sangup lagi menopang bobot tubuhnya. Dalam ketakutan yang semakin menciutkan
hati, Anna kemudian memutuskan untuk mengunjungi sebuah rumah sakit. Atas
anjuran ayah tiri dan ibunya, Anna kemudian bersedia menjalani test
laboratorium. Sampel sumsum tulang belakangnya di test di laboratorium.
Beberapa test laboratorium yang lain pun dilakukan. Sementara itu Anna terus
berharap bahwa dia akan sembuh dan kembali dapat bekerja dan melanjutkan
hidupnya.
Bagaikan sebuah
gelegar petir di siang bolong, hasil test lab menyimpulkan Anna mengidap kanker
tulang. Berita getir ini membuat seluruh tubuh Anna lunglai. Dokter menguraikan
bahwa sel kanker ganas telah menggerogoti 75 persen tulang pada sekujur
tubuhnya. Kanker stadium lanjut yang secara medis sangat berbahaya.
Bagi Anna,
berita ini pertanda dunia sudah berlalu dan tamat. Tidak ada lagi harapan untuk
dapat melanjutkan sisa hidupnya. Bayangan dan ketakutan ketika mendengar
berita-berita tragis pada setiap penderita kanker tulang memupus harapan.
Sekarang satu-satunya yang masih dapat dia pikirkan adalah bagaimana mengakhiri
semua ini. Informasi lebih pilu adalah bahwa sel kanker ganas yang menggerogoti
tulang telah membuat tulang-tulangnya mengeropos.
Suatu saat dalam
kesunyian malam, seraya menahan rasa sakit yang semakin sering menusuk-nusuk
sekujur tubuh, Anna memandangi botol cairan racun serangga di gengaman
tangannya. Entah pikiran apa yang merasuk perempuan yang di kenal tabah ini
sehingga dengan sembunyi-sembunyi berhasrat mengakhiri semuanya dengan
menenggak racun. Dengan menenggak beberapa teguk cairan racun serangga dalam
botol hijau di tangannya, Anna berharap
semuanya akan berakhir.
Uluran Tangan Berlobang Paku
Lemah dan tak
berdaya, Anna terkapar di ranjang rumah sakit. Rasa sakit menggerogoti hampir
seluruh bagian tubuhnya. Percobaan bunuh diri dengan cairan baygon ternyata
tidak berhasil mengakhiri hayatnya. Sekarang rasa sakit itu bertambah ketika
kesunyian tanpa orang-orang yang dikasihi di sisinya. Seiring dengan waktu,
beberapa orang dari antara mereka yang dekat dan mengasihinya terasa semakin
menjauh. Beberapa bahkan mencoba untuk menghindarinya.
Kondisi kesehatan Anna tidak
kunjung baik walaupun segala macam cara sudah dilakukan. Terapi berbagai
paranormal sudah tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Di sisi lain biaya
pengobatan rumah sakit terasa sangat mahal. Semua ini seolah menjadikan derita
yang sangat berkepanjangan.
Sedikit harapan dan semangat
hidup yang selalu di bisikkan ibunya beberapa kali terasa mengusik dan
menggugah gundah hatinya. Menurut ibunya, ada seorang Nabi Besar dari Nazaret
yang sanggup menyelesaikan semua masalah hidupnya. Menurut ibunya, Nabi Isa
adalah pertolongan terakhir dari segala pertolongan yang Anna butuhkan.
Sang ibu memang tidak pernah
secara khusus menyampaikan sesuatu yang bernafas Injil, namun dalam keseharian
dan doanya, ibu yang telah berjumpa dengan Juruselamat itu selalu berbisik
kelak di suatu hari Anna berjumpa langsung dengan Sang Mesias. Biarlah Allah
yang Mahakasih dan Mahakuasa tu berkenan menjenguk umatNya yang terkapar tak
berdaya. Belakangan Anna baru sadar akan doa seorang ibu yang tetap mencintai
dan mengasihinya. Kasih ibu yang tak pernah luntur walau Anna tak pernah
mencoba memberi kesempatan itu diwujudkan.
Tuhan itu memang
nyata. Dia itu real dan sangat dapat dibuktikan bahkan oleh orang paling
sekuler sekalipun. Dalam keadaan letih lesu, putus asa dan tanpa harapan. Pada satu malam yang hening di tengah sepi kamar
perawatan rumah sakit. Dalam pemandangan
seperti fatamorgana yang membingungkan. Anna terkesiap antara sadar dan
tertidur. Sosok tubuh mengulurkan tangan untuk menolongnya. Lebih terkejut
lagi, tangan yang terulur itu ternyata berlobang. Sejenak dalam ketakutan yang
sangat, Anna mencoba mengingat kata-kata ibunya tentang Seorang Manusia yang
pernah teraniaya dan di paku di kayu kasar. Manusia Allah yang telah mati tanpa
pernah membuka mulutNya untuk membela diri.
Tanpa di ketahui
dari mana mulanya, mulut Anna mulai bersuara. Pelan sekali hingga hampir tak
terdengar. “Yesus, bila Engkau adalah Tuhan, selamatkanlah hamba!” berkali-kali
mulut Anna mendesis hampir tak terdengar. Ketakutannya mulai sirna karena
pancaran sinar kasihNya yang lembut. Sudah sekian lama Anna tidak dapat
merasakan damai yang sedemikian. Dalam kediniannya akan sebuah penglihatan
ilahi, Anna dapat merasakan jamahan yang tak terlukiskan dengan kata-kata.
Desir angin lembut membuatnya tak lagi merasakan apa-apa selain sukacita dan
damai sejahtera yang meluap seperti gelombang air lautan. Yang ada adalah damai
dan damai. Ketenangan jiwa yang terlepas dari belenggu ketakutan akan maut.
Malam perjumpaan
itu menjadi malam yang sangat berarti. Malam yang membuat malam-malam
selanjutnya tidak lagi menjadi sama. Malam yang telah mengubahnya menjadi Anna
yang berbeda. Malam yang telah mengubah kekerasan hatinya yang dahulu. Malam
yang telah mempertemukan dia dengan jawaban dari semua pertanyaan-pertanyaan
dalam kebimbangan selam ini.
“Sekarang jiwaku
tenang!” Anna menatap dinding lobby yang mulai sepi. Bias air matanya
menunjukkan kedamaian dan keteduhan jiwa yang tak terkira. “Dalam diagnosa
dokter selanjutnya, saya di duga mengidap polio sehingga kaki saya sebelah
mengecil.” Anna melanjutkan penuturannya. “Setelah bertemu Yesus Kristus di
ruangan perawatan yang sepi itu, saya telah berubah.”
Anna memutuskan
untuk keluar dari rumah sakit dan memilih untuk datang sepenuhnya kepada
Kristus. Sebuah ayat dalam Alkitab selalu dia ucapkan dengan iman. “Tetapi sesungguhnya, penyakit kitalah yang ditanggungNya,
dan kesengsaraan kita yang dipikulNya, padahal kita mengira Dia kena tulah,
dipukul dan ditindas Allah. Tetapi Dia tertikam oleh karena pemberontakan kita,
Dia diremukkan oleh karena oleh karena kejahatan kita; ganjaran yang
mendatangkan keselamatan bagi kita ditimpakan kepadaNya, dan oleh
bilur-bilurNya kita menjadi sembuh.” (Yesaya 53:4-5)
“Walaupun hingga
hari ini saya belum sembuh total, tetapi saya sangat percaya kuasaNya.” Anna
tersenyum sebelum kami menjabat tangannya. Anna harus cepat pulang karena adiknya
sudah menunggu sejak tadi di area parkir. Seperti biasa, adiknya kini dengan setia menjemputnya dari gereja sehabis
kebaktian dan kelas pembinaan iman.
Sungguh sebuah
pengalaman hidup dari antara sekian banyak orang percaya yang telah berubah
dewasa. Masih terngiang-ngiang dalam telinga saya suara serak Anna ketika
menyanyikan sebuah Kidung Rohani. “Engkaulah kekuatanku, tempat perlindunganku. Saat badai
menerpa, aku tak akan goyah, aku tak akan goyah, s’bab Kau sertaku…”.
Lagu Pujian kesukaan Anna ketika menjadi anggota Kerajaan Allah mengantar kami
menekuri jalanan Jakarta yang ramai.
Semua seolah
berlomba untuk segera tiba di rumah sebelum hujan mengguyur jalanan Jakarta.
“Tuhan Yesus, terimakasih.” Kata-kata itu tanpa terasa mengalir begitu saja.
Hati saya sangat damai seperti hujan yang turun deras setelah masa kekeringan
yang sangat lama. Semakin damai dan teguh untuk mengikut Dia yang telah
menyelamatkan saya jauh sebelum malam ini. “Ya Tuhan, betapa Engkau sungguh tak
terduga!”
(Jakarta, 6 February 2005.
Sebagaimana dituturkan oleh Anna Diana, 27 tahun, kepada Ev. Joshua M. Sinaga., S.Th)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar