Selasa, 18 Desember 2012

MEMAKNAI HIDUP


Memaknai Hidup
Oleh: Joshua MS

Gundukan tanah merah bergeming. Seperti menggambarkan tubuh-tubuh kaku yang melingkari lubang lembab. Terpatri dari sekian pasang mata sembab dan letih semalaman tak sempat tidur. Nafas-nafas memburu dan tersengal dalam duka yang tak terperi. Dan ulu hati yang nyeri saat menghela udara ke paru-paru yang menyempit. Hening dan membisu sesunyi angin yang bahkan seperti enggan bertiup. Dingin tak beraroma seperti langit yang bergayut awan pekat. Sehitam busana dan kerudung duka.


Aku mencoba melangkah. Pelan dan sangat berat seperti hendak menaklukkan Puncak Jaya. Setelah kaki bertumpu di atas tumpukan tanah merah, aku menghirup aroma yang tak terlukiskan. Atmosfher yang tak dapat tergambarkan, bahkan oleh seorang pendeta yang telah ratusan kali berdiri di hadapan sekian banyak manusia. Sebuah kesuraman yang bahkan lebih gelap dari busana serba hitam yang membalut seluruh tubuhku.

Dalam hening dan detik-detik yang seolah tak kunjung bergulir. Aku menarik nafas sedalam-dalamnya. Seolah paru-paruku kini membutuhkan sekian banyak lagi oksigen. Tarikan nafas seperti kala di Puncak Jaya yang dingin membeku dan tipis oksigen. Aku mengangkat wajah dan menatap hingga kerumunan di bawah rimbun pohon-pohon kamboja. Wajah-wajah duka yang keletihan tiada daya.

Aku membalik-balik beberapa kali halaman Alkitab sampai akhirnya bertemu Mazmur pasal 23. Perlahan-lahan suaraku bergema mengeja kata-kata dari ayat yang bermakna sangat dalam ini: “TUHAN adalah gembalaku, takkan kekurangan aku. Ia membaringkan aku di padang yang berumput hijau, Ia membimbing aku ke air yang tenang; Ia menyegarkan jiwaku. Ia menuntun aku di jalan yang benar oleh karena nama-Nya. Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku; gada-Mu dan tongkat-Mu, itulah yang menghibur aku. Engkau menyediakan hidangan bagiku, di hadapan lawanku; Engkau mengurapi kepalaku dengan minyak; pialaku penuh melimpah. Kebajikan dan kemurahan belaka akan mengikuti aku, seumur hidupku; dan aku akan diam dalam rumah TUHAN sepanjang masa.”

Tidak seperti biasanya, aku dengan begitu cepat menemukan kata-kata pembuka yang mengalir begitu saja. Kali ini kerongkonganku seolah tercekat. Tak  bisa bicara apalagi berkhotbah dengan lantang. Mata yang berkaca-kaca dan mulut yang seolah gagu untuk sesaat menambah haru keheningan tanah pekuburan.

Bagaimana aku dapat menemukan kata yang tepat untuk menggambarkan kebaikan Tuhan pada keluarga sarat dukacita ini. Bagaimanakah aku dapat berkhotbah lantang ketika yang berduka ini adalah kerabat dekatku. Bagaimanakah juga aku dapat melukiskan Tuhan yang menyegarkan jiwa kepada adik sepupuku yang kini telah menjadi janda di usianya yang masih sangat muda. Bagaimanakah aku dapat berteriak Tuhan adalah gembala yang membaringkan domba-dombaNya di padang yang berumput hijau ketika janda muda beranak satu ini di tinggal mati suami justru dengan cara yang tak dapat di terima gereja?

Masih sangat jelas pada pagi-pagi buta sehari yang lalu. Ponselku berdering nyaring. Nyaring hingga aku tak dapat lagi memejamkan mata. Bukan karena suaranya yang terlalu nyaring tetapi karena berita yang terdengar dari seberang. Berita tentang seseorang yang telah tewas tergantung dengan tali pinggang. Seorang suami dari kerabat dekat yang baru beberapa hari berselang makan siang bersama telah ditemukan tewas menggenaskan. Peristiwa bunuh diri yang menggegerkan bukan saja gang  pemukiman mereka. Peristiwa yang bahkan meresahkan aparat penegak hukum. Resah karena anggota mereka yang masih terlalu sangat muda harus mengakhiri hidup secara tragis. Peristiwa gempar yang membangunkan para pemburu berita kriminal dari penantian yang sejujurnya kurang manusiawi.

Lapat-lapat aku temukan mulutku sedang bernyanyi lembut. Nyanyian rohani yang selalu menyentuh relung terdalam dari hatiku. Tanpa aku sadari senandungku ini tak sendiri. Beberapa mulut yang tadi terkatup kaku mulai bersenandung pelan. Semakin lama semakin kuat sampai akhirnya aku sadar ratusan orang telah ikut bernyanyi. “Hidupku segenap, kuserahkanlah, pada Yesus, Jurus’lamat, aku berserah”.

Bagaimanapun, hidup ini memang bukan milik pribadi. Seperti kata-kata manis yang selalu terdengar dari para pemuji di gereja: “Hidup yang ‘kuhidupi sekarang ini adalah milikMU ya Tuhan.” Jadi memang sepantasnyalah diserahkan kembali kepada yang empunya. Kepada Sang Khalik yang mencipta hidup itu.

Aku membungkukkan tubuh. Mengambil segenggam tanah. Melemparkan ke lubang lembab. Beberapa dari tanah itu membentur papan peti. Aku bergumam: “Sama seperti daging manusia di cipta dari tanah biarkan kembali ke tanah. Dari debu biarlah kembali kepada debu.” Tanpa aku mengerti kapan mulai, beberapa tangan kemudian melakukan hal yang sama. Gumpal-gumpal tanah merah itu berdegup membentur peti mati. Dan akhirnya tanah itu membentuk sebuah gundukan basah. Bertabur melati berwarna-warna. Semua sudah berakhir dan tinggal menunggu penghakiman pada harinya kelak jika Sang Pencipta hidup datang sebagai hakim yang Maha Adil.

Aku merasakan aliran keteduhan. Aku bergegas melangkah pergi menjauh. Aku tidak mau dibebani lagi oleh beragam komentar seputar kesediaanku hadir dalam pemakaman. Aku sendiri bahkan mendengar bisikan-bisikan menuding. Kenapa seorang pendeta hadir dalam pemakaman seorang yang meninggal dengan cara yang tidak ditolerir gereja.

Toh aku hadir tidak untuk orang mati. Aku hadir sebagai sesama manusia yang turut berduka karena seseorang yang tidak mengerti makna hidup. Aku hadir sebagai sesama yang kebetulan adalah kerabat dekat dari seseorang yang kini menjanda. Aku hadir sebagai sesama manusia yang tidak mau melangkahi Tuhan dan latah menghakimi seseorang telah masuk neraka. Kalau toh aku hadir dengan jubah seorang pendeta, itu tidaklah berarti saya rohaniwan yang memimpin ritual dan ritus kematian. 

Kehadirianku di hadirin perkabungan ini tak lebih dari seseorang yang belajar dan menemukan makna hidup. Seorang yang akhirnya semakin mampu memaknai hidup melalui peristiwa pahit ini. Seorang yang makin menerti betapa berharganya nafas kehidupan yang dihembuskanNya di dalam tubuh fana manusia. Seperti senandung Daud yang begitu teduh dalam ketenangan, “Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku;” 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar