Memaknai Hidup
Oleh:
Joshua MS
Gundukan tanah merah bergeming.
Seperti menggambarkan tubuh-tubuh kaku yang melingkari lubang lembab. Terpatri
dari sekian pasang mata sembab dan letih semalaman tak sempat tidur.
Nafas-nafas memburu dan tersengal dalam duka yang tak terperi. Dan ulu hati
yang nyeri saat menghela udara ke paru-paru yang menyempit. Hening dan membisu
sesunyi angin yang bahkan seperti enggan bertiup. Dingin tak beraroma seperti
langit yang bergayut awan pekat. Sehitam busana dan kerudung duka.
Aku mencoba melangkah. Pelan dan
sangat berat seperti hendak menaklukkan Puncak Jaya. Setelah kaki bertumpu di
atas tumpukan tanah merah, aku menghirup aroma yang tak terlukiskan. Atmosfher
yang tak dapat tergambarkan, bahkan oleh seorang pendeta yang telah ratusan
kali berdiri di hadapan sekian banyak manusia. Sebuah kesuraman yang bahkan
lebih gelap dari busana serba hitam yang membalut seluruh tubuhku.
Dalam hening dan detik-detik yang
seolah tak kunjung bergulir. Aku menarik nafas sedalam-dalamnya. Seolah
paru-paruku kini membutuhkan sekian banyak lagi oksigen. Tarikan nafas seperti
kala di Puncak Jaya yang dingin membeku dan tipis oksigen. Aku mengangkat wajah
dan menatap hingga kerumunan di bawah rimbun pohon-pohon kamboja. Wajah-wajah
duka yang keletihan tiada daya.
Aku membalik-balik beberapa kali
halaman Alkitab sampai akhirnya bertemu Mazmur pasal 23. Perlahan-lahan suaraku
bergema mengeja kata-kata dari ayat yang bermakna sangat dalam ini: “TUHAN
adalah gembalaku, takkan kekurangan aku. Ia membaringkan aku di padang yang
berumput hijau, Ia membimbing aku ke air yang tenang; Ia menyegarkan jiwaku. Ia
menuntun aku di jalan yang benar oleh karena nama-Nya. Sekalipun aku berjalan
dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku; gada-Mu
dan tongkat-Mu, itulah yang menghibur aku. Engkau menyediakan hidangan bagiku,
di hadapan lawanku; Engkau mengurapi kepalaku dengan minyak; pialaku penuh
melimpah. Kebajikan dan kemurahan belaka akan mengikuti aku, seumur hidupku;
dan aku akan diam dalam rumah TUHAN sepanjang masa.”
Tidak seperti biasanya, aku
dengan begitu cepat menemukan kata-kata pembuka yang mengalir begitu saja. Kali
ini kerongkonganku seolah tercekat. Tak
bisa bicara apalagi berkhotbah dengan lantang. Mata yang berkaca-kaca
dan mulut yang seolah gagu untuk sesaat menambah haru keheningan tanah
pekuburan.
Bagaimana aku dapat menemukan
kata yang tepat untuk menggambarkan kebaikan Tuhan pada keluarga sarat dukacita
ini. Bagaimanakah aku dapat berkhotbah lantang ketika yang berduka ini adalah
kerabat dekatku. Bagaimanakah juga aku dapat melukiskan Tuhan yang menyegarkan
jiwa kepada adik sepupuku yang kini telah menjadi janda di usianya yang masih
sangat muda. Bagaimanakah aku dapat berteriak Tuhan adalah gembala yang
membaringkan domba-dombaNya di padang yang berumput hijau ketika janda muda
beranak satu ini di tinggal mati suami justru dengan cara yang tak dapat di
terima gereja?
Masih sangat jelas pada pagi-pagi
buta sehari yang lalu. Ponselku berdering nyaring. Nyaring hingga aku tak dapat
lagi memejamkan mata. Bukan karena suaranya yang terlalu nyaring tetapi karena
berita yang terdengar dari seberang. Berita tentang seseorang yang telah tewas
tergantung dengan tali pinggang. Seorang suami dari kerabat dekat yang baru
beberapa hari berselang makan siang bersama telah ditemukan tewas menggenaskan.
Peristiwa bunuh diri yang menggegerkan bukan saja gang pemukiman mereka. Peristiwa yang bahkan
meresahkan aparat penegak hukum. Resah karena anggota mereka yang masih terlalu
sangat muda harus mengakhiri hidup secara tragis. Peristiwa gempar yang
membangunkan para pemburu berita kriminal dari penantian yang sejujurnya kurang
manusiawi.
Lapat-lapat aku temukan mulutku
sedang bernyanyi lembut. Nyanyian rohani yang selalu menyentuh relung terdalam
dari hatiku. Tanpa aku sadari senandungku ini tak sendiri. Beberapa mulut yang
tadi terkatup kaku mulai bersenandung pelan. Semakin lama semakin kuat sampai
akhirnya aku sadar ratusan orang telah ikut bernyanyi. “Hidupku segenap,
kuserahkanlah, pada Yesus, Jurus’lamat, aku berserah”.
Bagaimanapun, hidup ini memang
bukan milik pribadi. Seperti kata-kata manis yang selalu terdengar dari para
pemuji di gereja: “Hidup yang ‘kuhidupi sekarang ini adalah milikMU ya Tuhan.”
Jadi memang sepantasnyalah diserahkan kembali kepada yang empunya. Kepada Sang
Khalik yang mencipta hidup itu.
Aku membungkukkan tubuh.
Mengambil segenggam tanah. Melemparkan ke lubang lembab. Beberapa dari tanah
itu membentur papan peti. Aku bergumam: “Sama seperti daging manusia di cipta
dari tanah biarkan kembali ke tanah. Dari debu biarlah kembali kepada debu.”
Tanpa aku mengerti kapan mulai, beberapa tangan kemudian melakukan hal yang
sama. Gumpal-gumpal tanah merah itu berdegup membentur peti mati. Dan akhirnya
tanah itu membentuk sebuah gundukan basah. Bertabur melati berwarna-warna.
Semua sudah berakhir dan tinggal menunggu penghakiman pada harinya kelak jika
Sang Pencipta hidup datang sebagai hakim yang Maha Adil.
Aku merasakan aliran keteduhan.
Aku bergegas melangkah pergi menjauh. Aku tidak mau dibebani lagi oleh beragam
komentar seputar kesediaanku hadir dalam pemakaman. Aku sendiri bahkan
mendengar bisikan-bisikan menuding. Kenapa seorang pendeta hadir dalam
pemakaman seorang yang meninggal dengan cara yang tidak ditolerir gereja.
Toh aku hadir tidak untuk
orang mati. Aku hadir sebagai sesama manusia yang turut berduka karena
seseorang yang tidak mengerti makna hidup. Aku hadir sebagai sesama yang
kebetulan adalah kerabat dekat dari seseorang yang kini menjanda. Aku hadir
sebagai sesama manusia yang tidak mau melangkahi Tuhan dan latah menghakimi
seseorang telah masuk neraka. Kalau toh aku hadir dengan jubah seorang pendeta,
itu tidaklah berarti saya rohaniwan yang memimpin ritual dan ritus kematian.
Kehadirianku di hadirin perkabungan ini tak lebih dari seseorang yang belajar
dan menemukan makna hidup. Seorang yang akhirnya semakin mampu memaknai hidup
melalui peristiwa pahit ini. Seorang yang makin menerti betapa berharganya
nafas kehidupan yang dihembuskanNya di dalam tubuh fana manusia. Seperti
senandung Daud yang begitu teduh dalam ketenangan, “Sekalipun aku berjalan
dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku;”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar