Air
Mata Hana
Oleh: Joshua MS
Getar telepon genggam di sebelah
bantal membuyarkan mimpiku. Bola mata terasa susah di ajak untuk melihat.
Dengan mata redup separuh terbuka aku mencoba melirik jam dinding di tembok
kamar tidur. Jarum jam menunjuk pukul 02.15. Artinya ini dini hari. Siapakah
gerangan orang yang tega menelepon di malam buta seperti ini?
Aku beringsut
bagun dan berusaha membaca nama pemanggil di layar ponsel. Nama seorang staf
yayasan berkedip-kedip di sana. Ya Tuhan, ada apa yang terjadi? Tidak biasanya
staf rumah rehabilitasi jiwa itu telepon malam buta begini.
“Shalom!” Salam
yang hampir tidak pernah aku lupakan saat membuka pembicaraan telepon.
“Shalom, maaf
menggangu Kak!” Herawati, staf yayasan
yang mengurus rumah rehabilitasi jiwa menjawab di seberang.
“Ada apa ya?”
“Begini Kak!”
Aku bergegas
mengganti baju. Mengenakan jaket dan
segera meluncur membelah jalanan Jakarta. Aku harus secepatnya tiba di rumah
rehab yang baru saja di rintis oleh Yayasan Hati Nurani di bilangan Sunter Jakarta
Utara. Seorang pasien dan merupakan satu-satunya pasien rumah rehab mengamuk
tidak terkendali. Menurut Herawati, semua barang-barang di rumah sudah
berantakan. Kaca pecah dan beling berhamburan di mana-mana. Yang paling membuat aku cemas adalah pasien
yang mengamuk itu terluka. Pecahan beling telah memecahkan salah satu pembuluh
darahnya. Darah berceceran mulai dari toilet sampai teras rumah.
Masih jelas
dalam ingatanku. Dua bulan yang silam, sebuah keluarga keturunan tionghoa yang
berada menawarkan sebuah pelayanan. Sungguh aneh dan asing mengingat aku
hanyalah seorang penginjil bukan seorang dokter. Bagaimana aku harus memulai
sebuah pelayanan rehabilitasi jiwa dan berkutat dengan orang-orang yang
berperilaku lumayan aneh itu? Yang lebih membuat aku bingung bukan hanya karena
aku tidak pernah melayani orang stres dan sejenisnya, tetapi karena keluarga
itu mengharapkan aku melayani salah satu anggota keluarga mereka yang sudah 20
tahun menghuni panti rehabilitasi jiwa.
Begitulah
awalnya. Pertama kali aku bertemu Hana, hatiku sungguh trenyuh. Perempuan yang
sudah malang melintang di berbagai panti rehabilitasi itu kelihatan murung tak
bergairah.Perempuan 43 tahun itu lebih pantas di sebut nenek renta berusia 60
tahun. Hal yang paling membuat hati miris adalah perempuan berpenampilan 60
tahun itu bertingkah seperti gadis remaja berusia 17 tahun. Mulai dari rambut
yang sudah mulai beruban, tingkah polah yang tidak beraturan, bercampur aduk
dengan tutur katanya yang tidak jelas, hingga air mata yang tanpa terkendali
mengalir dari kelopak matanya. Sungguh keadaan perempuan yang sebenarnya
berparas cantik ini tepat seperti Hana yang dikisahkan dalam Kitab Nabi Samuel.
Sesungguhnya
Hana tidak gila, atau paling tidak katakanlah dia tidak segila yang dituduhkan orang
kepadanya. Aku mengamati dan mengikuti itu setelah melalui proses
tahapan-tahapan konseling yang panjang.
Beberapa staf YHN yang ikut terlibat dalam proses konseling menyimpulkan bahwa
Hana tidak gila. Hana sebenarnya lebih mirip depresi berat atau sejenisnya. Aku
memang tidak mengerti dunia medis tapi paling tidak aku pernah mengunjungi
salah satu rumah sakit jiwa sehingga dapat membuat skala perbandingan antara
orang yang gila dengan orang yang mengalami stres berat. Kesimpulan staf
yayasan yang keseluruhannya hamba Tuhan adalah Hana mengidap luka batin. Luka
batin akibat kepahitan selama bertahun-tahun diperlakukan tidak adil oleh
keluarga. Luka yang dalam karena semua anggota keluarga justru menganggap dia
gila.
Tersebutlah
keluarga keturunan Tionghoa yang kaya raya. Tinggal di sebuah komplek perumahan
elit dengan luas kavling selebar lapangan sebak bola senayan lengkap dengan
bagunan rumah mirip istana nan megah. Keluarga ini memiliki sembilan orang
anak. Sebuah keluarga besar. Sebesar “istana” megah mereka. Namun ada seorang
anak yang perempuan yang bertingkah agak
lain dari yang lain. Mungkin karena kelainan itulah maka anak perempuan yang
satu ini diperlakukan lain pula. Sang nyonya memperlakukan dia berbeda dengan
saudaran-saudaranya yang lain. Awalnya mungkin tidak terasa, namun tanpa mereka
sadari, anak perempuan itu makin hari makin bertambah aneh.
Di sebuah
sekolah lanjutan, perempuan “aneh” bernama Hana itu suatu saat berkenalan dan
berteman baik dengan seorang anak laki-laki. Namun maklumlah, keluarga hartawan
ini menerapkan metode keras dalam hal
pergaulan anak-anak. Cinta yang mulai bersemi di hati Hana akhirnya kandas
karena tirani yang di bangun oleh tradisi keluarga. Hana yang memang sejak awal
sudah menunjukkan gejala kelemahan jiwa pun terpuruk. Hana makin berulah aneh
dan bahkan mulai menyerang teman sekelas. Keluarga pun akhirnya memutuskan
untuk menarik Hana dari sekolah. Tidak ada pilihan lain karena keluarga tak
ingin repot. Akhirnya, untuk pertama kalinya, Hana menghuni Panti rehabilitasi
jiwa.
Perjalanan
panjang dan berliku-liku pun mulai sudah. Di awali dari satu panti rehabilitasi
ke panti rehabilitasi yang lain. Mulai dari kota kelahiran Semarang, Bandung,
dan akhirnya ke Ibukota Jakarta. Pihak keluarga kelihatannya makin kepayahan
sehingga lebih memilih mengeluarkan dana untuk membayar biaya rumah
rehabilitasidari pada merawat Hana di rumah. Sayang, perkembangan Hana di panti
rehab tidaklah menunjukkan kebaikan. Bahkan boleh dikatakan seperti berjalan di
tempat. Belakangan bahkan Hana makin sering kumat. Entah karena sudah jenuh
tinggal di rumah rehab dengan bentakan para perawat atau mungkin juga karena
perasaan yang makin terluka karena keluarga makin menjauhkannya? Rumah
Rehabilitasi terakhir bahkan memilih mengembalikan Hana kepada keluarga karena
merasa tidak mampu merawatnya. Itulah awalnya, Keluarga menyerahkan Hana kepada
Yayasan Hati Nurani. Setelah semuanya angkat tangan.
“Masalah utama
yang paling sering menyulut Hana kambuh adalah laki-laki.” Demikian laporan seorang
staf yayasan.
“Dia terobsesi
untuk menikah dan bersuami. Setiap kali bertemu laki-laki dia akan bereaksi.”
Tambah staf yang lain.
Dalam penanganan
yayasan, kami mengamati memang Hana sangat agresif jika bersama laki-laki.
Tidak peduli laki-laki itu masih sangat muda jadi pantas disebut anaknya, atau
sudah tua beruban sehingga lebih pantas dipanggil bapak. Berkali-kali para
pengurus panti harus merasa malu karena Hana memaksa untuk mencium laki-laki
yang berinteraksi dengan dia. Ini sungguh resiko yang berat sehingga aku telah
memutuskan untuk menarik sejauh mungkin staf laki-laki dari jangkauan Hana.
Bulan pertama
Hana menghuni Panti Rehabilitasi Hati Nurani merupakan hari yang sangat berat.
Segenap kemampuan dan segenap kasih dicurahkan untuk merawat Hana. Oleh karena
kesabaran dan kasih yang tulus dari para staf yayasan, Hana kelihatannya mulai
menunjukkan perkembangan. Volume kemarahan dan tindakan agresifnya makin
berkurang. Aku sungguh sangat senang ketika mengunjungi dia beberapa kali.
Seorang staf bahkan melaporkan Hana sekarang sudah bisa di ajak berkomunikasi.
Bahkan Hana sudah mulai bisa menceritakan isi hatinya walaupun masih
terbata-bata.
Perkembangan ini
tentu menjadi report yang bagus. Aku sungguh bersyukur dan terus
mendukung para staf yayasan untuk lebih semangat lagi. Yang paling membuat aku
bersyukur adalah saat salah satu anggota keluarga Hana mengakui perkembangan
Hana. Semua seolah memiliki waktu untuk bernafas lega ketika kondisi Hana terus
menujukkan perkembangan yang positif. Aku berharap akan terus membaik sampai
pada satu hari harapan itu seolah menjadi tawar. Suatu hari ketika keluarga
memperkenalkan seorang laki-laki kepada Hana. Aku merasakan bahwa mimpi buruk
akan segera menjenguk Panti Rehabilitasi Hati Nurani.
Awal perkenalan
sepertinya tidak ada masalah. Laki-laki itu cukup dalam segala hal. Baik dari
penampilan pisik sampai materi. Menurut cerita staf yayasan yang ikut pada
acara perkenalan, laki-laki itu kelihatan sopan, dewasa, sabar, dan yang lebih
penting lagi rohani. Aku bahkan mendengar bahwa dia direkomendasi oleh seorang
pendeta TV yang terkenal. Sempurnalah sudah. Hana sungguh bahagia dan staf yang
mengurusnya juga bernafas lega.
Mimpi buruk yang
saya cemaskan ternyata datang juga. Aku
mendengar laporan, laki-laki kaya dan tampan itu tiba-tiba menghilang.
Mula-mula tugas luar kantor dan selanjutnya entah apa lagi alasannya. Aku
segera mencium gelagat bahwa sebenarnya laki-laki itu tidak bisa menerima Hana.
Sejak laki-laki itu menghilang, Hana mulai meradang. Mengamuk dengan volume
yang lebih parah dari hari-hari pertama aku mengenalnya. Bahkan ketika Hana
mendengar ibu kandungnya masuk ICU, Hana makin tidak karuan dan mulai mengutuki
siapa saja yang melintas dalam ingatannya.
“Shalom, pagi
pak.” Aku segera menghampiri salah seorang adik laki-laki Hana. Sebelum
berangkat tadi dari rumah aku sudah berjanji untuk bertemu dengan dia. Adik
laki-laki Hana itu segera menjabat tanganku. Beriringan kami memasuki ruangan
yang sehari-harinya di tempati Hana. Hatiku benar-benar remuk. Rumah yang
tadinya begitu rapi dan bersih sekarang seperti kapal pecah. Beling berserakan.
Bekas-bekas makanan berserakan. Dan entah apa lagi yang berserakan di ruangan.
Ngeri sempat melintas ketika mataku melihat ceceran darah yang sudah membeku.
Ya Tuhan, perang apa yang baru saja terjadi di ruangan ini?
Pikiran dan
logikaku pun segera berjalan. Aku harus memutuskan apa yang tepat. Sebagai
pemimpin di Yayasan yang bertanggungjawab atas segala hal, aku harus dapat
mengambil keputusan. Aku segera memaksa Hana masuk mobil dan melarikannya ke
Klinik. Sebuah suntikan tentunya dapat membantu menenangkannya. Aku juga segera
menyuruh pulang staf penuh waktu yang mengurus Hana. Aku tidak tahan melihat
wajahnya tertekuk gemetar di sudut ruangannya.
Tak teras
matahari mulai terbit di ufuk timur. Jingga merah menyambut mentari pagi. Aku
menepuk bahu Hana. Dia sudah lumayan tenang. Aku juga sempat bersenda gurau
dengan seorang pengurus Panti Rehabilitasi Embun Kasih. Aku melihat Hana dapat
menerima rumah barunya. Paling tidak aku dapat melihat dia sudah mulai
tersenyum.
Aku mungkin
harus mengaku terlalu naif dan membuat pengakuan dosa. Talenta dan kemampuan
staf Yayasan yang aku bina belum cukup untuk mengurus Hana sehingga adalah
sebuah kekeliruan untuk mencoba memulai satu pelayanan tanpa kemampuan yang
memadai. Tetapi ini sungguh jadi pelajaran berharga. Semoga di Rumah Rehab yang
baru ini, Hana dapat lebih Baik. Doaku agar cukuplah sudah air mata yang
mengalir. Cukuplah sudah air mata yang mengalir dari kelopak mata Hana.
Penghujung
Oktober 2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar