Istriku
dan Lebaran
Oleh: Joshua
MS
Selasa malam. Jam tua yang setia
melingkar di tangan kiriku menunjuk pukul 19.35 WIB. Seperti biasa, aku harus
turun dulu dari kendaraan dan membukakan pintu pagar. Garasi rumah gelap karena
lampu tidak menyala. Aku bergegas memasukkan kendaraan ke garasi. Tidak berapa
lama, rumah menjadi terang. Aku menghempaskan tubuh yang penat di ruang
keluarga.
Aku telah terbiasa pulang
pelayanan dan menemui rumah gelap. Istriku belakangan ini sering lembur di
kantor. Belum lagi masalah debitur bank dimana istriku menjadi reviewer
mengalami kemacetan. Istriku menjadi kerap keluar kota dan menginap
beberapa hari. Semakin sering aku pulang dan menemukan rumah gelap dan kosong.
Pekerjaan istriku memang sangat
berbeda dengan pekerjaanku. Istriku seorang eksekutif di sebuah bank swasta.
Dia seorang yang sangat sibuk dan akrab dengan masalah yang rumit dalam proses
analisa kredit. Hampir sepanjang jam kerja dia berkutat di depan komputer.
Kesibukannya di mulai dari menerima telepon dari berbagai penjuru, mereview
permohonan kredit dari para marketing, menandatangi berkas-berkas, dan kemudian
mengepak tas untuk segera bergegas ke bandara. Dia sungguh gesit dan sangat
cepat bergerak dari satu tempat ke tempat lain.
Sedangkan aku hanyalah seorang
pendeta. Aku seorang imam yang melayani sebagai gembala sidang sebuah gereja
lokal. Tugasku yang lain adalah membina sebuah yayasan sosial. Pekerjaanku
hanya berkisar di antara pelayanan terhadap sesama manusia. Mulai dari
mengunjungi orang-orang sakit, memimpin ibadah, melayani berbagai-bagai
sakrament gerejawi, dan liturgi gereja lainnya. Di dalam wadah yayasan, aku
beberapa kali diharapkan hadir dan mendukung proyek-proyek kemanusiaan yang
ditujukan untuk menjangkau kaum marginal. Pelayananku sungguh sangat sederhana
dan nyaris tak memerlukan komputer atau teknologi canggih.
Pengasih yang Sederhana
Jam dinding di ruang tamu
menunjuk pukul 20.05 WIB. Deru mesin kendaraan di depan membuatku segera
bergegas menuju pintu. Aku tahu istriku sudah tiba di rumah. Ketika aku membuka
pinta pagar, senyumnya merebak. Walau dia letih, setiap kali bertemu dia tak
pernah lupa untuk tersenyum. Itulah tradisi khas yang membuatku tak pernah
bosan bertemu dengan dia.
Malam ini istriku pulang dengan
bawaan yang lumayan banyak. Aku teringat bahwa tadi siang dia SMS tentang
berbagai-bagai pemberian dari koleganya. Dia cerita barang-barang itu parsel
Idul Fitri. Aku hampir tergelak tertawa ketika dia cerita beberapa orang
menghaturkan ucapan selamat lebaran kepadanya.
Dia memang supel dalam interaksi
sosial. Tak terbersit sedikit pun kesan dia seorang penting di kantor.
Barangkali itu yang membuat hampir semua rekan-rekan menyukainya. Mulai dari cleaning
service, satpam, hingga para eksekutif mengenalnya sebagai pribadi
sederhana. Sangat sederhana hingga orang-orang tidak merasa perlu bertanya apa
agamanya. Keluwesannya membuat dia menjadi sosok yang di tunggu di kantor.
Pribadinya yang bersahaja membuat hampir tak ada orang yang percaya bahwa
selain wanita karir, dia juga adalah istri seorang pendeta.
Aku masih ingat beberapa hari
yang lalu. Begitu sampai di rumah, istriku setengah memaksa aku mengantarkannya
ke sebuah pusat perbelanjaan. Karena aku tak mau mengecewakan, aku menurut dan
mengantarkannya. Dengan lincah dia memilih kue-kue kalengan yang biasa di beli
orang pada saat lebaran. Dia meminta pelayan untuk mengepaknya satu-satu.
Besoknya dia bangun pagi-pagi
benar dan membawa bungkusan-bungkusan kue kalengan itu keluar rumah. Di mulai
dari tukang sayur yang saban hari menjadi langganan kami menerima satu bungkus,
tetangga depan rumah yang cucunya paling sering di sapa istriku, hingga
keluarga bapak sekretaris RT yang selalu ramah kalau kami mintakan bantuan
administrasi di kelurahan. Mereka semua adalah komunitas yang paling sering
bertemu dengan kami. Istriku membagikan bungkusannya dengan sangat manis tanpa
kelihatan oleh siapapun.
Aku juga masih tak bisa melupakan
ketika fajar menyingsing di Hari Raya Idul Fitri, rumah kami penuh dengan
kiriman panganan. Mulai dari ketupat dan opor hingga kue-kue lebaran yang
lain. Kami bahkan tak bisa menghabiskan
semua makanan sebanyak itu. Tetangga kami yang hampir seluruhnya merayakan Idul
Fitri mengirimkan makanan ke rumah layaknya kepada kerabat.
Kristiani Sejati
Kita sering lupa bahwa sebagai
umat Kristiani, kita di utus untuk menjadi garam dan terang di tengah-tengah
dunia ini. Menjadi garam agar komunitas dunia yang sedang mengalami pembusukan
ini dapat bertahan. Menjadi terang agar dunia ini meninggalkan kegelapan dan
menerima cahaya kebenaran dariNya. Kita di utus untuk masuk serta tinggal dalam
komunitas dan menghasilkan dampak yang benar.
Sebagai garam dan terang, kita
seharusnya membaur dengan komunitas. Dalam komunitas itu pun kita seharusnya
berdampak manis. Kehadiran kita pun mestinya oleh karena dorongan kasih sejati.
Sama seperti Tuhan telah mengasihi kita secara total, seharusnyalah kita juga
bergerak menjangkau sesama dengan dorongan kasih yang sama. Sudahlah
sepantasnya kita memberikan rasa yang manis. Patutlah kita juga memberikan
pencerahan dalam keremangan geliat komunitas. Agar apa yang telah mulai
membusuk, dapat bertahan lebih lama. Atau apa yang masih remang-remang, dapat
menerima cahaya kehidupan.
Istriku mungkin adalah satu contoh sederhana dari
sekian banyak sosok kristiani sejati. Meski tak sempurna, orang dapat membaca
pengejawantahan kasih dalam dirinya. Walau masih terlalu sangat sederhana, tapi
tutur kata, keramahan, dan tindakan kasihnya bergaung lembut di pemukiman kami.
Kitab Suci telah berpesan: “Kamu adalah surat pujian kami yang tertulis dalam hati
kami dan yang dikenal dan yang dapat dibaca oleh semua orang.” (II Korintus
3:2). Sesungguhnya istriku telah membuat komunitas kami membaca Injil dalam
dirinya. Walau dia tak pernah sekalipun berkhotbah, namun bahasa kasihnya telah
lebih berdampak dari pada sekian banyak khotbah yang aku sampaikan di mimbar
gereja. Sejatinya, istriku telah menjadi pengkhotbah yang tak pernah naik
mimbar. Khotbah nyata yang dapat dirasakan oleh komunitas yang tak pernah
mengunjungi gereja kami.
Terimakasih istriku, kau sungguh penolong yang telah dikirimNya untuk
mengisi banyak kealfaanku. Terimakasih Tuhan untuk anugerahMu yang terbesar.
(Tulisan ini
aku persembahkan untuk istriku tercinta, Imelda Hanna Widjaja, SE. Jakarta,
Penghujung October 2006)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar