Kamis, 13 Desember 2012

HATI SEORANG KERDIL


HATI SEORANG KERDIL
Oleh: Joshua MS

MOBIL Panther yang kami tumpangi melaju di jalan tol. Perjalanan menjelang senja ini memang tidak pernah terpikirkan oleh saya sebelumnya. Begitulah keseharian seorang Hamba Tuhan. Seperti sebuah nast Kitab Suci, “Beritakanlah firman, siap sedialah baik atau tidak baik waktunya, nyatakanlah apa yang salah, tegorlah dan nasihatilah dengan segala kesabaran dan pengajaran.” (2 Timotius 4:2)

Beberapa jam yang lalu, masih dalam suasana Ibadah Raya Minggu pagi, tiba-tiba seorang Diaken membisikkan sebuah kabar dukacita ke telinga saya. Seorang ibu orang tua dari  anak muda yang tengah mengikuti kebaktian telah di panggil pulang ke rumah Bapa di sorga. 


Dengan sedikit terburu-buru, saya melayat ke rumah duka dengan beberapa pengurus gereja. Seperti biasanya, sebagaimana layaknya seorang pelayan Tuhan, saya menyampaikan nasehat firman Tuhan dan mendoakan anggota keluarga yang tengah berduka cita.

Dalam perjalanan pulang kembali ke gereja, Diaken yang sama kembali menyampaikan sebuah undangan untuk mengunjungi adik iparnya. Karena kebetulan tidak punya jadwal pelayanan sore, dengan senang hati saya menyanggupi undangan tersebut. Kunjungan pastoral memang adalah salah satu pelayanan yang selalu menyenangkan buat saya.

Begitulah mulanya hingga saya bergabung dengan keluarga Diaken Hendra Junardi meluncur di jalanan menuju Bogor. Jalanan tidak terlalu ramai. Menjelang memasuki Kota Bogor, mendung tiba-tiba berganti sangat cepat dengan hujan deras. Kota Bogor memang di kenal sangat akrab dengan hujan. Dalam jarak pandang yang sangat pendek, akhirnya mobil harus melaju pelan-pelan.

Entah karena dorongan hati yang terpendam selama ini, Ibu Evie, yang duduk di jok depan membuka pembicaraan. Sebuah kehidupan kehidupan yang sama sekali tidak dapat saya mengerti artinya sebelum tiba di rumah tujuan. Kisah kehidupan yang tidak akan pernah saya mengerti sebelum mata kepala sendiri menyaksikan sosok seorang gadis kerdil berumur 30an terbata-bata menyapa di ruang tamu.

Masa Kecil

Hari itu, 31 Mei 1975, seorang bayi perempuan mungil lahir dengan selamat. Tangis mungil bayi itu memecah ketegangan yang  masih tersisa sejak proses persalinan beberapa jam yang lalu. Semua kerabat bernafas lega dan segera memburu pintu keluar ruang bersalin. Semua berlomba-lomba ingin memberi selamat pada sang ibu dan menyentuh bayi mungil itu.

Setelah berjuang menahan kontraksi otot rahim dan sakit bersalin, wajah ibu paruh baya yang terbaring kelelahan itu tersenyum bahagia. Belum kering butiran keringat di dahinya, ibu itu dengan lembut memeluk bayi perempuannya. Menaruh segenap rasa kasih dalam setiap sentuhan tangannya. Sentuhan kasih tulus menyambut hadirnya seorang anak kecil yang cantik dan lucu.

Tidak terasa sepuluh tahun sudah berlalu. Bayi mungil itu sekarang telah menjadi seorang anak perempuan yang bertumbuh dan sehat. Dalam kesehariannya dia tidak berbeda dengan anak yang lain. Bahkan kelihatannya dia seorang anak yang menonjol di antara sebayanya. Dia seorang yang sehat dan ceria.

Tawa dan canda anak perempuan belia itu selalu membuat suasana jadi riuh. Seperti tidak mengenal lelah dia bercanda dan menggoda orang-orang di sekitarnya. Perempuan belia, bungsu dari 9 bersaudara keluarga Tionghoa itu membuat atmosfher rumah selalu ramai dan hangat.

Mungil, berkulit putih, dan paras cantik membuatnya nyaris sempurna. Garis wajah khas Tionghoa bermata sipit membuat anak itu lucu dan manis. Sepertinya dia akan menjadi “bintang” dalam keluarga.  Sepertinya tidak ada yang kurang dalam dirinya.

Sherly Susanty, begitulah dia di namai. Sebuah nama yang penuh  makna. Berbagai-bagai harapan pun telah ditujukan padanya. Kelak jika dia besar akan menjadi anak gadis kebanggaan keluarga. Anak gadis yang akan membuat keluarga tersenyum bangga dan bahagia.

Sherly, begitu panggilan akrabnya, ternyata tidak mengecewakan. Dia menunjukkan prestasi yang sangat baik di sekolah. Daftar nilai rapot anak kelas 4 SD itu selalu di atas rata-rata. Apalagi kalau pelajaran PAK (Pendidikan Agama Kristen) yang adalah pelajaran favoritnya.

Hari minggu, Sherly juga adalah pengunjung Sekolah Minggu yang setia. Dia seorang murid yang selalu kelihatan lincah dan bersemangat sehingga guru-guru sangat mengenalnya. Dia terlihat menonjol di antara anak-anak Sekolah Minggu yang lain.

Setumpuk perhatian dan kasih sayang dari semua anggota keluarga ditujukan kepada Sherly. Berbagai kemudahan dan fasilitas pun dia peroleh dalam rumah. Singkatnya dia sedang menjalani hidup yang nyaman dan bahagia. Dan sepertinya tidak ada kerikil-kerikil tajam dalam perjalanan hidupnya ke depan sampai pada suatu hari di siang yang terik. Di halaman sebuah sekolah Kristen di Kota Bandung di mana dia di kenal sebagai murid yang menonjol.

Bintik-Bintik Merah

Entah dari bagian mana mulanya, tapi dalam waktu yang relatif sangat cepat hampir seluruh tubuh Sherly di penuhi bintik-bintik merah. Guru-guru yang khawatir menganjurkan supaya Sherly pulang dan memeriksakan diri kepada dokter. Awalnya mereka berpikir bahwa Sherly terserang campak atau sejenisnya. Sepulang dari dokter, Sherly kembali seperti biasa. Sherly yang ceria dan gembira kelihatan lunglai dan kelelahan.

Tidak seorang pun anggota keluarga yang berpikir bahwa bintik-bintik merah itu akan terus melebar hingga ke seluruh tubuh Sherly. Oleh dokter dianjurkan untuk mengunjungi dokter spesialis kulit. Dari sinilah semua cerita panjang menjadi rumit seperti benang kusut. Hasil diagnosa dokter yang salah mengakibatkan terapi yang salah mengakibatkan Kondisi Sherly semakin parah.

Bintik-bintik merah semakin melebar. Seluruh tubuh Sherly berubah warna menjadi merah melepuh. Dari kaki hingga wajahnya merah menggenaskan. Dalam keadaan seperti itu, keluarga tidak putus asa untuk meneruskan pengobatan ke dokter yang berbeda. Berbagai prakter dokter dikunjungi, namun apa hendak di kata kondisi Sherly bukan bertambah baik.

Belakangan diketahui, diagnosa serta terapi awal yang salah dari dokter terdahulu telah mengakibatkan sistem motorik dalam tubuh Sherly terganggu. Dalam kondisi yang menggenaskan di mana kulit menjadi merah melepuh, Sherly hanya mampu menggerakkan 25 % dari seluruh sistem motorik tubuhnya. Kondisi ini mengakibatkan pertumbuhan tulang menjadi tidak normal.   

Sebuah perjalanan waktu yang melelahkan dan menguras seluruh perhatian keluarga. Di tengah-tengah lengan keputusasaan hampir mencengkeram, tiba-tiba timbul ide untuk mencoba pengobatan alternatif. Entah siapa yang memulai saran itu, akhirnya keluarga sepakat untuk membawa Sherly ke pada “orang pintar”. Dari satu dukun ke dukun yang lain keluarga mencoba mengais harapan yang semakin tak berwujud. Tapi seperti alterntif inipun tidak memberi hasil, mereka selalu pulang dengan kecewa dan semakin putus asa.

Dalam keadaan terpuruk seperti itu, Sherly bertumbuh menjadi pribadi yang kehilangan pegangan. Melihat kondisi keluarga yang kelelahan, Sherly pun semakin terpuruk dalam lembah keputus asaan. Bayangan suram yang menanti di hari depan menghantui hatinya.

Dua belas tahun sudah berlalu sejak siang yang naas di halaman sekolahan dulu. Sekarang kulit yang membungkus tubuhnya hampir mirip dengan daging terbakar. Sherly pun harus duduk di kursi karena sendi kakinya tidak dapat digerakkan. Akibat kondisi kulit yang sedemikian, pertumbuhan tulangnya juga terhenti sehingga tinggi tubuhnya hanya sekitar satu meter sekian.

Sherly harus berusaha dengan segala daya upaya untuk dapat menggerakkan anggota badannya jika ingin menjangkau sesuatu. Ringkasnya, Sherly sekarang hanya tinggal seonggok daging yang tak berdaya. Pergelangan tangannya mengecil hampir mirip seperti tangan anak kecil berumur 5 tahun. Kondisi Sherly sungguh sangat berbeda dengan saat ketika 12 tahun yang lalu. Sherly tak lebih seperti manusia aneh yang tidak dapat berdiri dengan seluruh kulit memerah seperti bekas terbakar.

Sepanjang hari yang Sherly lalui seperti sebuah penantian yang tidak pernah habis-habisnya. Keputusasaan, kejenuhan, dan ketertutupan menjadi bagaian dari kesehariannya. Setiap menit yang dilalui seperti persimpangan jalan yang tidak berujung. Sebuah perjalanan panjang yang sangat melelahkan. Yang dia harapkan satu-satunya adalah, kapan maut menjenguk.

Dalam kepasrahan yang terpaksa, keluarga pun sudah menghentikan sama sekali semua pengobatan. Bahkan ke dukunpun sudah tidak dilakoni lagi. Semua wajah keluarga bermuram durja dalam keputusasaan. Hilang sudah segala keceriaan yang dulu melekat pada Sherly. Pupus sudah segala harapan yang dulu pernah ditujukan kepadanya. Satu per satu keluarga  mulai menyerah dan menjauh.

Seiring perjalanan waktu, tanpa terasa Sherly kini berusia 29 tahun. Dalam usia seperti itu, dia terlihat sudah seperti orang tua berumur 50an. Seharusnya sekarang dia menjadi gadis dewasa yang memiliki tubuh dewasa yang normal dan karir yang bagus. Namun apa hendak di kata, dia harus tergantung kepada kursi plastik yang di buat khusus untuk menyanggah tubuh kerdilnya. Sherly tidak lebih dari seorang manusia sangat kecil yang memilukan. Siapapun yang menatapnya akan berpikir betapa sangat melangnya hidup seperti Sherly.

Semua orang yang melihat fisiknya tentulah akan mengatakan keprihatinan, atau mungkin malah menjauh karena ngeri dan jijik.  Semua orang yang melihatnya tentulah akan mengatakan hal yang sama kecuali jika mereka denga teliti memperhatikan tatapan sinar matanya yang berbeda. Sebuah tatapan mata yang tenang dan teduh seperti air yang mengkristal. Tatapan mata yang tenang seperti danau yang teduh. Tatapan mata yang mengisyaratkan sebuah pesan kepasrahan yang sangat. Sebuah pesan ketabahan yang sungguh-sungguh tidak dapat dibahasakan dengan kata-kata.

Bila Tuhan Menjenguk

Sore menjelang harus pulang kembali ke Jakarta, sebuah kebenaran yang tak terpikirkan sebelumnya meronta-ronta dalam hati saya. Masih jelas dalam ingatan saya ketika Sherly dengan sangat emosional bercerita tentang pertemuannya dengan Tuhan.

Mengenal keagungan Tuhan itu memang tidak selalu terjadi secara spektakuler. Tidak juga selalu bernuansa mujizat. Sherly bertemu Tuhan justru dalam kesehariannya yang membosankan. Sangat sederhana dan bersahaja. Pertemuan itu terjadi ketika Sherly memutuskan untuk pindah kota dan tinggal bersama keluarga kakak iparnya di Karawang.

Pertemuan dengan Tuhan itu mengalir dan bermula dari perkunjungan beberapa anggota Family Altar satu gereja lokal di Karawang. Bergantian mereka dengan setia menjemput Sherly untuk mengikuti pertemuan-pertemuan ibadah. Dengan sabar, mereka juga menyediakan waktu untuk mendengar setiap keluhan dan tangisan gadis yang tidak sempat menyelesaikan Sekolah Dasarnya. Dengan sangat setia mereka juga membangun komunikasi dan doa yang berkesinambungan.

“Rasanya saya ingin kembali secepatnya ke Karawang.” Mata Sherly berbinar-binar. Memang beberapa hari ini dia mengunjungi salah seorang kakak iparnya yang berdiam di Kota Bogor.
 “Mereka adalah saudara yang telah memperkenalkan siapa sesungguhnya Tuhan Yesus itu.”  Kali ini mata Sherly berkaca-kaca.
“Dulu saya memang suka ke gereja mengikuti kelas Sekolah Minggu, tetapi baru 2 tahun yang lalu saya benar-benar bertemu dan mengenalNya.” Sherly sekarang dapat berkata-kata dengan lancar sambil sesekali menyeka matanya.

Seperti kisah Nabi Ayub. Benar-benar sebuah kisah perjalanan hidup yang mirip dengan kisah Ayub. Mungkin yang berbeda adalah, kalau Ayub dipulihkan kesehatan dan dikembalikan kekayaannya 2 kali lipat, Sherly tetap kerdil dan tidak bisa berjalan. Kulitnya tetap merah melepuh. Penampilan wajah gadis 29 tahun itu tetapa sama seperti orang tua berumur 50 tahun. Tidak ada yang berubah dalam tampilan fisiknya.

Satu-satunya yang membuat Sherly terlihat anggun adalah kekayaan rohaninya. Dia adalah seorang perempuan Kristen yang mengajari saya satu kebenaran yang tidak pernah saya dapatkan di bangku Sekolah Theologia. Sebuah pengejawantahan ayat Kitab Suci yang di tulis oleh Nabi Samuel: “janganlah pandang parasnya atau perawakannya yang tinggi,… Bukan apa yang dilihat manusia yang dilihat Allah; Manusia melihat apa yang di depan mata tetapi TUHAN melihat hati.” (1 samuei 16:7)

Bahwa Tuhan yang Mahakuasa ternyata tidak selalu membuat muzijat lewat kesembuhan secara jasmani semata. Tuhan ternyata telah mengerjakan lebih dari apa yang dapat di pikirkan secara rasio. Tuhan ternyata telah berkerja melampaui apa yang dapat dipikirkan oleh hati manusia yang sempit.

Tuhan telah mengerjakan sebuah muzijat yang seorang nabi seperti Samuel pun harus belajar dari pengalaman untuk dapat mengerti arti dan luasnya rencana Tuhan. Satu pelajaran iman Kristen yang hanya akan dapat di mengerti, ketika dengan mata kepala sendiri saya melihat seorang Sherly Susanty mengagungkan kebesaran Tuhan dari tengah-tengah ketidakberdayaannya. Sebuah pemandangan rohani yang sangat indah ketika dengan sangat tulus seorang Sherly Susanty memaafkan dan mengampuni kesalahan dokter dahulu. Satu pemandangan yang memberi banyak pelajaran tentang arti hidup sebagai orang Kristen. Pelajaran dari seorang gadis bertubuh kerdil tetapi berhati Kristus.

(Sebagaimana di kisahkan oleh Sherly Susanty kepada Ev. Joshua M. Sinaga, STh)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar