HATI SEORANG KERDIL
MOBIL Panther yang kami tumpangi
melaju di jalan tol. Perjalanan menjelang senja ini memang tidak pernah
terpikirkan oleh saya sebelumnya. Begitulah keseharian seorang Hamba Tuhan.
Seperti sebuah nast Kitab Suci, “Beritakanlah firman, siap sedialah baik atau
tidak baik waktunya, nyatakanlah apa yang salah, tegorlah dan nasihatilah
dengan segala kesabaran dan pengajaran.” (2 Timotius 4:2)
Beberapa jam yang lalu, masih
dalam suasana Ibadah Raya Minggu pagi, tiba-tiba seorang Diaken membisikkan
sebuah kabar dukacita ke telinga saya. Seorang ibu orang tua dari anak muda yang tengah mengikuti kebaktian
telah di panggil pulang ke rumah Bapa di sorga.
Dengan sedikit terburu-buru, saya
melayat ke rumah duka dengan beberapa pengurus gereja. Seperti biasanya,
sebagaimana layaknya seorang pelayan Tuhan, saya menyampaikan nasehat firman
Tuhan dan mendoakan anggota keluarga yang tengah berduka cita.
Dalam perjalanan pulang kembali
ke gereja, Diaken yang sama kembali menyampaikan sebuah undangan untuk
mengunjungi adik iparnya. Karena kebetulan tidak punya jadwal pelayanan sore,
dengan senang hati saya menyanggupi undangan tersebut. Kunjungan pastoral
memang adalah salah satu pelayanan yang selalu menyenangkan buat saya.
Begitulah mulanya hingga saya
bergabung dengan keluarga Diaken Hendra Junardi meluncur di jalanan menuju
Bogor. Jalanan tidak terlalu ramai. Menjelang memasuki Kota Bogor, mendung
tiba-tiba berganti sangat cepat dengan hujan deras. Kota Bogor memang di kenal
sangat akrab dengan hujan. Dalam jarak pandang yang sangat pendek, akhirnya
mobil harus melaju pelan-pelan.
Entah karena dorongan hati yang
terpendam selama ini, Ibu Evie, yang duduk di jok depan membuka pembicaraan.
Sebuah kehidupan kehidupan yang sama sekali tidak dapat saya mengerti artinya
sebelum tiba di rumah tujuan. Kisah kehidupan yang tidak akan pernah saya
mengerti sebelum mata kepala sendiri menyaksikan sosok seorang gadis kerdil
berumur 30an terbata-bata menyapa di ruang tamu.
Masa Kecil
Hari itu, 31 Mei
1975, seorang bayi perempuan mungil lahir dengan selamat. Tangis mungil bayi
itu memecah ketegangan yang masih
tersisa sejak proses persalinan beberapa jam yang lalu. Semua kerabat bernafas
lega dan segera memburu pintu keluar ruang bersalin. Semua berlomba-lomba ingin
memberi selamat pada sang ibu dan menyentuh bayi mungil itu.
Setelah berjuang
menahan kontraksi otot rahim dan sakit bersalin, wajah ibu paruh baya yang
terbaring kelelahan itu tersenyum bahagia. Belum kering butiran keringat di dahinya,
ibu itu dengan lembut memeluk bayi perempuannya. Menaruh segenap rasa kasih
dalam setiap sentuhan tangannya. Sentuhan kasih tulus menyambut hadirnya
seorang anak kecil yang cantik dan lucu.
Tidak terasa
sepuluh tahun sudah berlalu. Bayi mungil itu sekarang telah menjadi seorang
anak perempuan yang bertumbuh dan sehat. Dalam kesehariannya dia tidak berbeda
dengan anak yang lain. Bahkan kelihatannya dia seorang anak yang menonjol di
antara sebayanya. Dia seorang yang sehat dan ceria.
Tawa dan canda anak
perempuan belia itu selalu membuat suasana jadi riuh. Seperti tidak mengenal
lelah dia bercanda dan menggoda orang-orang di sekitarnya. Perempuan belia,
bungsu dari 9 bersaudara keluarga Tionghoa itu membuat atmosfher rumah selalu
ramai dan hangat.
Mungil, berkulit
putih, dan paras cantik membuatnya nyaris sempurna. Garis wajah khas Tionghoa
bermata sipit membuat anak itu lucu dan manis. Sepertinya dia akan menjadi
“bintang” dalam keluarga. Sepertinya
tidak ada yang kurang dalam dirinya.
Sherly Susanty,
begitulah dia di namai. Sebuah nama yang penuh
makna. Berbagai-bagai harapan pun telah ditujukan padanya. Kelak jika
dia besar akan menjadi anak gadis kebanggaan keluarga. Anak gadis yang akan
membuat keluarga tersenyum bangga dan bahagia.
Sherly, begitu
panggilan akrabnya, ternyata tidak mengecewakan. Dia menunjukkan prestasi yang
sangat baik di sekolah. Daftar nilai rapot anak kelas 4 SD itu selalu di atas
rata-rata. Apalagi kalau pelajaran PAK (Pendidikan Agama Kristen) yang adalah
pelajaran favoritnya.
Hari minggu,
Sherly juga adalah pengunjung Sekolah Minggu yang setia. Dia seorang murid yang
selalu kelihatan lincah dan bersemangat sehingga guru-guru sangat mengenalnya.
Dia terlihat menonjol di antara anak-anak Sekolah Minggu yang lain.
Setumpuk
perhatian dan kasih sayang dari semua anggota keluarga ditujukan kepada Sherly.
Berbagai kemudahan dan fasilitas pun dia peroleh dalam rumah. Singkatnya dia
sedang menjalani hidup yang nyaman dan bahagia. Dan sepertinya tidak ada
kerikil-kerikil tajam dalam perjalanan hidupnya ke depan sampai pada suatu hari
di siang yang terik. Di halaman sebuah sekolah Kristen di Kota Bandung di mana
dia di kenal sebagai murid yang menonjol.
Bintik-Bintik
Merah
Entah dari
bagian mana mulanya, tapi dalam waktu yang relatif sangat cepat hampir seluruh
tubuh Sherly di penuhi bintik-bintik merah. Guru-guru yang khawatir
menganjurkan supaya Sherly pulang dan memeriksakan diri kepada dokter. Awalnya
mereka berpikir bahwa Sherly terserang campak atau sejenisnya. Sepulang dari
dokter, Sherly kembali seperti biasa. Sherly yang ceria dan gembira kelihatan
lunglai dan kelelahan.
Tidak seorang
pun anggota keluarga yang berpikir bahwa bintik-bintik merah itu akan terus
melebar hingga ke seluruh tubuh Sherly. Oleh dokter dianjurkan untuk
mengunjungi dokter spesialis kulit. Dari sinilah semua cerita panjang menjadi
rumit seperti benang kusut. Hasil diagnosa dokter yang salah mengakibatkan
terapi yang salah mengakibatkan Kondisi Sherly semakin parah.
Bintik-bintik
merah semakin melebar. Seluruh tubuh Sherly berubah warna menjadi merah
melepuh. Dari kaki hingga wajahnya merah menggenaskan. Dalam keadaan seperti
itu, keluarga tidak putus asa untuk meneruskan pengobatan ke dokter yang
berbeda. Berbagai prakter dokter dikunjungi, namun apa hendak di kata kondisi
Sherly bukan bertambah baik.
Belakangan
diketahui, diagnosa serta terapi awal yang salah dari dokter terdahulu telah
mengakibatkan sistem motorik dalam tubuh Sherly terganggu. Dalam kondisi yang
menggenaskan di mana kulit menjadi merah melepuh, Sherly hanya mampu
menggerakkan 25 % dari seluruh sistem motorik tubuhnya. Kondisi ini
mengakibatkan pertumbuhan tulang menjadi tidak normal.
Sebuah
perjalanan waktu yang melelahkan dan menguras seluruh perhatian keluarga. Di
tengah-tengah lengan keputusasaan hampir mencengkeram, tiba-tiba timbul ide
untuk mencoba pengobatan alternatif. Entah siapa yang memulai saran itu,
akhirnya keluarga sepakat untuk membawa Sherly ke pada “orang pintar”. Dari
satu dukun ke dukun yang lain keluarga mencoba mengais harapan yang semakin tak
berwujud. Tapi seperti alterntif inipun tidak memberi hasil, mereka selalu
pulang dengan kecewa dan semakin putus asa.
Dalam keadaan
terpuruk seperti itu, Sherly bertumbuh menjadi pribadi yang kehilangan pegangan.
Melihat kondisi keluarga yang kelelahan, Sherly pun semakin terpuruk dalam
lembah keputus asaan. Bayangan suram yang menanti di hari depan menghantui
hatinya.
Dua belas tahun
sudah berlalu sejak siang yang naas di halaman sekolahan dulu. Sekarang kulit
yang membungkus tubuhnya hampir mirip dengan daging terbakar. Sherly pun harus
duduk di kursi karena sendi kakinya tidak dapat digerakkan. Akibat kondisi
kulit yang sedemikian, pertumbuhan tulangnya juga terhenti sehingga tinggi
tubuhnya hanya sekitar satu meter sekian.
Sherly harus
berusaha dengan segala daya upaya untuk dapat menggerakkan anggota badannya
jika ingin menjangkau sesuatu. Ringkasnya, Sherly sekarang hanya tinggal
seonggok daging yang tak berdaya. Pergelangan tangannya mengecil hampir mirip
seperti tangan anak kecil berumur 5 tahun. Kondisi Sherly sungguh sangat
berbeda dengan saat ketika 12 tahun yang lalu. Sherly tak lebih seperti manusia
aneh yang tidak dapat berdiri dengan seluruh kulit memerah seperti bekas
terbakar.
Sepanjang hari yang
Sherly lalui seperti sebuah penantian yang tidak pernah habis-habisnya.
Keputusasaan, kejenuhan, dan ketertutupan menjadi bagaian dari kesehariannya.
Setiap menit yang dilalui seperti persimpangan jalan yang tidak berujung.
Sebuah perjalanan panjang yang sangat melelahkan. Yang dia harapkan
satu-satunya adalah, kapan maut menjenguk.
Dalam kepasrahan
yang terpaksa, keluarga pun sudah menghentikan sama sekali semua pengobatan.
Bahkan ke dukunpun sudah tidak dilakoni lagi. Semua wajah keluarga bermuram durja
dalam keputusasaan. Hilang sudah segala keceriaan yang dulu melekat pada
Sherly. Pupus sudah segala harapan yang dulu pernah ditujukan kepadanya. Satu
per satu keluarga mulai menyerah dan
menjauh.
Seiring
perjalanan waktu, tanpa terasa Sherly kini berusia 29 tahun. Dalam usia seperti
itu, dia terlihat sudah seperti orang tua berumur 50an. Seharusnya sekarang dia
menjadi gadis dewasa yang memiliki tubuh dewasa yang normal dan karir yang
bagus. Namun apa hendak di kata, dia harus tergantung kepada kursi plastik yang
di buat khusus untuk menyanggah tubuh kerdilnya. Sherly tidak lebih dari
seorang manusia sangat kecil yang memilukan. Siapapun yang menatapnya akan
berpikir betapa sangat melangnya hidup seperti Sherly.
Semua orang yang
melihat fisiknya tentulah akan mengatakan keprihatinan, atau mungkin malah
menjauh karena ngeri dan jijik. Semua
orang yang melihatnya tentulah akan mengatakan hal yang sama kecuali jika
mereka denga teliti memperhatikan tatapan sinar matanya yang berbeda. Sebuah
tatapan mata yang tenang dan teduh seperti air yang mengkristal. Tatapan mata
yang tenang seperti danau yang teduh. Tatapan mata yang mengisyaratkan sebuah
pesan kepasrahan yang sangat. Sebuah pesan ketabahan yang sungguh-sungguh tidak
dapat dibahasakan dengan kata-kata.
Bila Tuhan
Menjenguk
Sore menjelang
harus pulang kembali ke Jakarta, sebuah kebenaran yang tak terpikirkan
sebelumnya meronta-ronta dalam hati saya. Masih jelas dalam ingatan saya ketika
Sherly dengan sangat emosional bercerita tentang pertemuannya dengan Tuhan.
Mengenal
keagungan Tuhan itu memang tidak selalu terjadi secara spektakuler. Tidak juga
selalu bernuansa mujizat. Sherly bertemu Tuhan justru dalam kesehariannya yang
membosankan. Sangat sederhana dan bersahaja. Pertemuan itu terjadi ketika
Sherly memutuskan untuk pindah kota dan tinggal bersama keluarga kakak iparnya
di Karawang.
Pertemuan dengan
Tuhan itu mengalir dan bermula dari perkunjungan beberapa anggota Family Altar
satu gereja lokal di Karawang. Bergantian mereka dengan setia menjemput Sherly
untuk mengikuti pertemuan-pertemuan ibadah. Dengan sabar, mereka juga
menyediakan waktu untuk mendengar setiap keluhan dan tangisan gadis yang tidak
sempat menyelesaikan Sekolah Dasarnya. Dengan sangat setia mereka juga
membangun komunikasi dan doa yang berkesinambungan.
“Rasanya saya
ingin kembali secepatnya ke Karawang.” Mata Sherly berbinar-binar. Memang
beberapa hari ini dia mengunjungi salah seorang kakak iparnya yang berdiam di
Kota Bogor.
“Mereka adalah saudara yang telah memperkenalkan
siapa sesungguhnya Tuhan Yesus itu.”
Kali ini mata Sherly berkaca-kaca.
“Dulu saya
memang suka ke gereja mengikuti kelas Sekolah Minggu, tetapi baru 2 tahun yang
lalu saya benar-benar bertemu dan mengenalNya.” Sherly sekarang dapat
berkata-kata dengan lancar sambil sesekali menyeka matanya.
Seperti kisah
Nabi Ayub. Benar-benar sebuah kisah perjalanan hidup yang mirip dengan kisah
Ayub. Mungkin yang berbeda adalah, kalau Ayub dipulihkan kesehatan dan
dikembalikan kekayaannya 2 kali lipat, Sherly tetap kerdil dan tidak bisa
berjalan. Kulitnya tetap merah melepuh. Penampilan wajah gadis 29 tahun itu
tetapa sama seperti orang tua berumur 50 tahun. Tidak ada yang berubah dalam
tampilan fisiknya.
Satu-satunya
yang membuat Sherly terlihat anggun adalah kekayaan rohaninya. Dia adalah
seorang perempuan Kristen yang mengajari saya satu kebenaran yang tidak pernah
saya dapatkan di bangku Sekolah Theologia. Sebuah pengejawantahan ayat Kitab
Suci yang di tulis oleh Nabi Samuel: “janganlah pandang parasnya atau perawakannya
yang tinggi,… Bukan apa yang dilihat manusia yang dilihat Allah; Manusia
melihat apa yang di depan mata tetapi TUHAN melihat hati.” (1 samuei 16:7)
Bahwa Tuhan yang
Mahakuasa ternyata tidak selalu membuat muzijat lewat kesembuhan secara jasmani
semata. Tuhan ternyata telah mengerjakan lebih dari apa yang dapat di pikirkan
secara rasio. Tuhan ternyata telah berkerja melampaui apa yang dapat dipikirkan
oleh hati manusia yang sempit.
Tuhan telah
mengerjakan sebuah muzijat yang seorang nabi seperti Samuel pun harus belajar
dari pengalaman untuk dapat mengerti arti dan luasnya rencana Tuhan. Satu
pelajaran iman Kristen yang hanya akan dapat di mengerti, ketika dengan mata
kepala sendiri saya melihat seorang Sherly Susanty mengagungkan kebesaran Tuhan
dari tengah-tengah ketidakberdayaannya. Sebuah pemandangan rohani yang sangat
indah ketika dengan sangat tulus seorang Sherly Susanty memaafkan dan
mengampuni kesalahan dokter dahulu. Satu pemandangan yang memberi banyak
pelajaran tentang arti hidup sebagai orang Kristen. Pelajaran dari seorang
gadis bertubuh kerdil tetapi berhati Kristus.
(Sebagaimana di
kisahkan oleh Sherly Susanty kepada Ev. Joshua M. Sinaga, STh)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar