Ayah Fatamorgana
Oleh: Joshua MS
Mendung bergayut di langit Jakarta. Mendung itu pekat karena jutaan kubik air hujan yang berbulan-bulan ini tak juga turun. Jakarta yang biasanya panas menyengat, tiba-tiba menjadi begitu sejuk. Angin semilir berembus pelan membuat suasana Rumah Sakit Sint Carolus jadi lebih teduh. Teduhnya tampak semu di antara dengusan napas menahan nyeri gerogotan penyakit para pasien yang terkapar di ruang bedah.
Setengah berlari aku menapaki koridor rumah sakit.
Langkahku separuh dipaksa untuk melewati tiap-tiap ubin tua koridor yang lurus
dan panjang. Dengus napasku memburu seperti berlomba dengan hujan yang akhirnya
mengguyur jalanan Jakarta.
SMS yang terkirim tak sempurna dari ponsel istriku beberapa saat yang lalu terasa menendang-nendang ulu hati. Istriku sedang terbaring di ruang Unit Gawat Darurat Rumah Sakit Sint Carolus. Para dokter jaga UGD menunggu kehadiranku, menunggu tanda tangan persetujuanku untuk tindakan operasi.
Penantian Panjang
Satu tahun yang lalu, tepatnya, Sabtu, 17 Desember 2005,
kami menikah di sebuah gereja di Kota Bandung. Sungguh luar biasa sukacita yang
melingkupi keluarga kami.
Keluargaku yang berdarah Tapanuli dapat menerima dengan
lapang dada istriku yang bukan boru Batak tetapi boru China. Suatu kejadian
yang memang terasa sangat berat mengingat aku adalah anak sulung penerus marga
keluarga. Aku sungguh bersyukur karena ibu dan ayahku sungguh mengasihi istriku
dan menyebutnya sebagai parumaen hasian.
Pernikahan kami mungkin adalah sebuah mukjizat. Selain
karena kami dapat mengatasi perbedaan kultur, kami juga dapat mendamaikan kedua
belah pihak keluarga dengan cara memilih menikah secara nasional. Menikah tanpa
mengikut salah satu adat dan tradisi Batak atau China. Dalam resepsi pernikahan
yang meriah, kami melihat betapa rukun dan bahagianya Keluarga Sinaga dengan
Keluarga Widjaja.
Setelah menikah, kami pindah ke Jakarta. Aku bersyukur
karena istriku sangat mengerti profesiku sebagai pendeta. Sementara itu, dia
masih tetap bekerja sebagai karyawati di sebuah bank swasta. Kami melalui
hari-hari yang bahagia walau berbagai kemelut yang dulu tidak pernah kami
pikirkan mulai bermunculan.
Salah satu yang paling mengusik adalah keturunan. Istriku
begitu sangat merindukan saat mendapatkan anak. Berkali-kali dalam doa di pagi
buta, dia meratap dengan linangan air mata untuk dikaruniai anak. Kadang-kadang
aku berpikir, apakah istriku itu mirip dengan Hanna yang dikisahkan oleh Nabi
Samuel. Mengapa dia harus diberi nama Hanna sehingga dia begitu cepat berlinang
air mata dan menangis.
Setiap bulan ketika masa haidnya terlambat, jantung istriku
selalu berdebar-debar. Dia begitu berharap positif hamil dan segera dapat
memberikan anak kepadaku. Walau sesungguhnya aku pun sangat merindukan
kehadiran seorang anak dalam keluarga kami, aku dapat lebih menyembunyikannya
dan hampir tidak pernah menyinggungnya di hadapan istriku.
Pendapat teman-teman tentang sukarnya istriku hamil karena
usia dan kesibukan di kantor, membuat dia makin galau. Aku selalu dapat melihat
kelopak mata istriku berkaca-kaca ketika dia keluar dari kamar mandi. Test pack
menentukan lain dari apa yang diharapkannya. Dia belum hamil.
Demikianlah terjadi selama berbulan-bulan. Test pack selalu
menunjukkan hasil negatif dan istriku selalu keluar dari kamar mandi dengan
mata berkaca-kaca.
Berita Itu Pun Tiba
Seperti kebiasaanku saat mulai menyampaikan khotbah: “Saya
punya dua kabar untuk saudara-saudara, yang pertama kabar baik dan yang kedua
kabar buruk.” Begitulah yang terjadi, selama dua hari berturut-turut aku
mendapatkan kedua berita itu.
Di hadapan dokter spesialis kandungan sebuah rumah sakit
modern di bilangan utara Jakarta, mata istriku berbinar-binar penuh
kebahagiaan. Kebahagiaannya begitu memuncak ketika peralatan medis terkini
mempertontonkan embrio bayi yang telah berumur lima minggu menempel di dinding
rahimnya. Aku juga hampir tak dapat menyembunyikan kebahagiaan begitu mendengar
dokter menyampaikan kabar bahwa istriku positif hamil. Hari itu kami pulang ke
rumah dengan berbagai-bagai ekspresi yang tak dapat aku gambarkan.
Kabar istriku hamil dalam hitungan detik menyebar ke hampir
seluruh penjuru. Mulai dari ayah mertuaku di Bandung, keluarga besar istriku di
Bandung dan Semarang, Ayah dan Ibuku di Sumatera, hingga sahabat-sahabat kami.
Mereka semua menyampaikan selamat dalam sukacita yang
mendalam. Kami begitu larut dalam kebahagiaan karena akan segera menjadi ayah
dan ibu. Keluarga yang sejati ketika telah hadir anak penerus generasi.
Hatiku hampir tak percaya aku akan segera menjadi seorang ayah.
Seorang manusia akan segera lahir dan dia akan memanggilku ayah. Sepertinya
akulah pria paling bahagia di planet ini. Mungkin akulah ayah yang paling
bersukacita hingga tak terpikirkan bahwa sesuatu bisa saja terjadi besoknya.
Demikianlah, besok harinya kabar yang paling buruk itu
berkunjung. Baru saja aku memarkir kendaraan di depan gereja, sebuah pesan SMS
dari istriku seperti pentungan yang memalu dadaku. Istriku mengalami
pendarahan. Entah apa yang harus aku lakukan, karena dalam hitungan menit aku
harus naik mimbar dan memimpin ibadah.
Isak tangisnya ketika aku telepon membuat aku semakin
galau. Untuk menenteramkan hatinya, aku sempat mengirimkan SMS berisi dukungan
dan doaku agar Tuhan memelihara istri dan anakku, walau aku sendiri kalut
setengah mati.
Rupanya Tuhan berkehendak lain. Berbagai cara yang
dilakukan untuk menyelamatkan kandungan istriku yang masih sangat muda,
semuanya sia-sia. Hasil USG menunjuk bahwa embrio itu telah gugur. Seperti
sebuah guntur berita buruk ini memukul keras hati istriku.
Seperti petir berita ini juga menabur mendung di kalangan
keluarga besar kami. Ibuku yang terkasih jatuh di belakang rumah begitu membaca
SMS kabar keguguran kandungan istriku. Tapi mungkin akulah orang yang paling
sakit dan kecewa. Berita kemarin telah membuat kami begitu bahagia dan hampir
tidak bisa tertidur sepanjang malam, tetapi dengan begitu kasar sukacita itu
direnggut paksa keesokan harinya.
Ayah Sesaat
Seperti fatamorgana, antara nyata dan bayang-bayang semata.
Aku merasa aku akan segera menjadi seorang ayah. Tetapi yang aku saksikan
adalah aku mendorong ranjang istriku menuju ruang bedah. Dokter memutus agar
rahim istriku dibersihkan dari sisa-sisa keguguran agar tidak menjadi penyakit
di masa yang akan datang dan siap hamil kembali. Sebuah kalimat klise yang
kerap dikatakan dokter untuk menenangkan hati pasiennya.
Aku mungkin salah seorang penganut paham teologi
konservatif. Bagiku hari peristiwa di mana sel sperma telah membuahi sel telur
telah lahir seorang manusia. Jadi embrio bayi walau baru berusia lima minggu
adalah manusia yang berhak untuk hidup.
Aku sangat menentang abortus dengan apa pun alasannya. Sebab sejak hari pertama pembuahan, Tuhanlah yang menenun embrio itu di rahim ibu: “Sebab Engkaulah yang membentuk buah pinggangku, menenun aku dalam kandungan ibuku.” (Mazmur 139:13).
Aku sangat menentang abortus dengan apa pun alasannya. Sebab sejak hari pertama pembuahan, Tuhanlah yang menenun embrio itu di rahim ibu: “Sebab Engkaulah yang membentuk buah pinggangku, menenun aku dalam kandungan ibuku.” (Mazmur 139:13).
Jadi embrio 5 minggu itu tentu telah memiliki ayah dan ibu
kandung. Aku dan istriku. Walaupun hanya sehari aku menyadarinya, aku telah
menjadi ayah lima minggu, walaupun seperti fatamorgana karena antara nyata dan
bayang-bayang. Aku telah menjadi ayah dan istriku pun telah menjadi ibu. Walau
hanya ayah fatamorgana. Selamat jalan anakku. Aku percaya ada rencana Tuhan
yang indah sehingga ananda tidak pernah lahir ke dunia yang tua renta ini.
Rumah Sakit Katolik Sint Carolus Jakarta, Senin, 4 Desember 2006.
Penulis adalah Rohaniwan dan Pendiri/Pembina Yayasan Hati Nurani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar