Memaknai Pengharapan
Oleh:
Joshua MS
Semilir angin
bertiup. Aku mencoba untuk tetap terlihat tenang. Koridor Rumah Sakit PGI
Cikini murung dan kaku. Sekali aku kaget ketika seorang berteriak keras. Satu
kali lagi aku merinding karena seorang menangis tersedu-sedu sambil memegang
ponsel kuat-kuat. Kali ini aku benar-benar bergidik ngeri.
Ruangan yang
penuh alat-alat menyeramkan bergantungan di dinding putih. Beberapa bunyi aneh
mengikuti garis-garis di monitor terasa sangat menyiksa. Kalau bisa, aku ingin
cepat-cepat meninggalkan ruangan aneh dan asing ini. Bergegas aku meninggalkan
ruangan M2. Seorang Efendy Troy Sitorus, SH terbaring lemah di balik kaca
ruangan cuci darah. Sudah hampir dua jam dia menjalani proses cuci darah di
sana. Walau dia mencoba tersenyum, aku tahu dia menderita kesakitan yang tak
tergambarkan. Perlahan aku mengalihkan perhatian. Aku tidak mau kegundahan
hatiku tergambar jelas di matanya. Seorang perempuan 50 tahun, Ibu yang menjadi
saksi hidup perjalanan panjang seorang notaris muda yang memiliki masa depan
cerah. Saksi dari seorang Efendy Sitorus yang seharusnya duduk di kantor
menangani banyak order dari klien, tetapi sekarang terkapar tak berdaya. Sebuah
riwayat penyakit berantai membelenggunya. Seolah enggan pergi, penyakit itu
begitu erat dan kuat mencengkeram. Penyakit itu seperti sudah menjadi bagian
yang tidak terpisahkan dari hidupnya.
"Dia anak
ke-2 dari 6 bersaudara." Ibu Sitorus berupaya untuk memulai pembicaraan
pastoral dengan aku. Ini menjadi sedikit berbeda karena tidak dilakukan di
kantor gereja sebagaimana biasanya. Koridor rumah sakit yang lengang menjadi
sebuah pilihan untuk duduk dan bercerita dengan seorang ibu yang tertatih dalam
tuntutan memikul salib. Mengikut Kristus dalam perjalanan panjang padang gurun
yang gersang. Pembicaraan pastoral yang menjadi sangat berbeda karena
disampaikan oleh seorang ibu yang melahirkan anak laki-laki dengan segala cinta
dan kasih sayang. Seorang ibu bagi anak laki-laki yang tergeletak tak berdaya
dalam gerogotan penyakit yang silih berganti.
"Awalnya
ibu tidak menyangka jadi serumit ini." Raut wajah perempuan itu terlihat
lelah, bukan hanya karena semalaman dia tidak bisa tidur mengingat darah kental
yang kehitam-hitaman dimuntahkan anak yang paling dikasihinya. Lebih dari itu,
raut wajahnya perempuan itu menggambarkan penderitaan selama bertahun-tahun
merawat anak laki-laki yang terkasih.
"Waktu itu,
keluarga kita terpaksa harus pindah-pindah karena tugas bapak." Ibu
Sitorus mengatur posisi duduknya yang sejak tadi kaku dan tegang.
"Bapak
bekerja sebagai hakim dan sering berpindah-pindah. Tapi karena anak-anak sudah
kuliah, Efendy akhirnya kuliah di UNILA Lampung. Setelah tamat ambil S2 di UI.
Dalam waktu yang singkat, dia dapat panggilan kerja di sebuah instansi pemerintah.
Tapi karena lebih suka usaha sendiri, Efendi lebih memilih mundur dan membuka
kantor sendiri. Dia memulai kantor Notaris dan PPAT di Jawa Barat tepatnya Kota
Padalarang." Ibu Sitorus berdiam sejenak.
"Ketika
kantor di Padalarang siap operasional, tiba-tiba Efendy jatuh sakit. Ibu kira
mungkin karena dia kecapaian jadi ibu minta pulang ke Jakarta sekalian medical
chek up. Tapi sangat aneh, ketika dicek oleh dokter tensi darah Efendy sangat
tinggi dan sangat berisiko. Kami semua kalang kabut. Dokter menganjurkan untuk
tes laboratorium. Diagnosis sementara dokter, Efendy mengalami gangguan
ginjal." Aku melihat mendung bergayut di raut muka Ibu Sitorus.
"Berita
buruk itupun akhirnya datang, ginjal Efendy tinggal 9%. Ibu mulanya berpikir
yang rusak 9% tetapi ternyata yang tertinggal justru hanya 9%. Ibu sungguh
terpukul dengan angka-angka yang membingungkan itu. Menurut dokter,
satu-satunya cara adalah transplantasi ginjal. Seluruh anggota keluarga
berunding dan diputuskan untuk segera dibawa ke Mount Elizabeth Hospital
di Singapore. Kami tidak mau ambil risiko. Setibanya di Singapura, dokter di
sana geleng-geleng kepala, mereka berkata mengapa selalu setelah parah baru
dibawa ke sini? Ibu tidak mau pusingkan itu, yang penting anakku sembuh."
Ibu Sitorus mengusap wajahnya yang kuyu. Garis-garis wajahnya masih terlihat
cantik. Perempuan Batak kelahiran Pematang Siantar ini memang masih tetap
terlihat cantik di usianya yang menjelang senja.
"Singkat
cerita, seluruh keluarga berunding, adik perempuannya yang sekarang tinggal di
Lampung bersedia mendonorkan ginjalnya. Puji Tuhan, setelah melalui beberapa
tes medis yang ketat, semua syarat-syarat medis untuk transplantasi memenuhi
syarat. Hati Ibu benar-benar terguncang dan pilu ketika melihat kedua kakak
beradik itu didorong ke ruang bedah. Ibu hanya berdoa dan menangis. Tuhan
tolonglah kami, hanya itu yang dapat ibu katakan."
"Puji
Tuhan, operasi berjalan dengan baik dan ketakutan yang sempat dipikirkan
keluarga ternyata tidak terjadi. Adik perempuan Efendy ternyata tetap dapat
melahirkan dan Efendy dapat hidup dengan normal dengan ginjal dari adiknya
sendiri. Ibu berpikir Tuhan sudah membawa keluarga ini keluar dan melalui badai
yang berat. Walau semua harta tersita dan terkuras untuk membayar semua biaya
rumah sakit, akomodasi, dan transportasi ke Singapura, yang penting semua anak-
anak sehat dan bahagia, itu doa Ibu." Aku melihat ada setitik garis sendu
di wajah Ibu Sitorus. Garis senyum yang memancarkan aura keteguhan iman dan
hatinya. Dia kemudian menarik nafas dalam-dalam untuk melanjutkan kesaksiannya.
"Selama
hampir satu tahun, semua berjalan dengan baik. Ginjal Efendy berfungsi dengan
baik. Tapi tahun kedua masalah baru datang. Efendy waktu itu sudah pindah
kantor ke Jakarta, jadi ibu dapat mengontrol. Lagi-lagi Efendy harus dilarikan
ke rumah sakit. Hasil diagnosis dokter, levernya mengalami gangguan serius. Ibu
menyaksikan sendiri perlahan-lahan perut Efendy membesar. Seperti perempuan
hamil delapan bulan. Ya! Seperti orang yang sedang hamil, sedangkan badannya
kurus kering. Ibu kembali menjerit kepada Tuhan. Dokter menganjurkan agar
cairan yang tidak terkendali akibat lever yang tidak berfungsi disedot secara
rutin. Ya Tuhan, ujian apa lagi ini yang harus kami alami? Ibu benar-benar
sangat bingung." Mendung kembali bergayut di raut wajahnya.
"Ibu
berdoa, Tuhan aku minta lagi mujizat-MU. Jikalau cairan yang memenuhi perut
anak saya harus di sedot, aku minta cukup satu kali saja. Ajaib sekali, Tuhan
mendengarkan doa ibu. setelah di sedot satu kali, Efendy bisa pulang ke rumah
dan tidak perlu di sedot lagi. Belakangan dokter yang melakukan operasi
penyedotan itu bertemu Efendy setelah satu tahun berlalu. Tuhan bekerja dengan
sangat ajaib. Bahkan dokterpun terhera-heran. Ibu sungguh sangat terheran-heran
dan mengucap syukur atas mujzat ini." Segaris senyum di paras ibu Sitorus.
"Waktu
bergulir, ternyata Tuhan masih terus menguji. Sejujurnya Ibu sudah tidak kuat.
Bermula dari ketiadaan dana untuk pulang-pergi ke rumah sakit di Singapura,
akhirnya perawatan dirujuk di salah satu rumah sakit di Jakarta. Entah karena
apa, anak saya jatuh sakit lagi, kali ini benar-benar berat dan tidak
terkira-kira."
"Dua hari
yang lalu Ibu pergi mengunjungi adik ipar Efendy di Pondok Kopi, Jakarta Timur,
adik iparnya yang berdarah Eropa itu jatuh sakit. Tapi karena takut rumah sakit
Indonesia, dia tidak mau di bawa ke rumah sakit. Di rumah Ken, adik ipar
Efendy, sangat tiba-tiba suhu badan Efendy naik. Dia juga merasa mual dan
pusing. Ibu mencoba mengolesi dengan minyak angin. Bukan membaik, ternyata
malah semakin tidak keruan," katanya.
"Puncaknya,
Efendy muntah darah kental yang menghitam. Ibu panik, keluarga panik, kami
semua panik dan menjerit-jerit. Segera kami larikan dia ke rumah sakit PGI
Cikini." Ibu Sitorus mengatur desah nafasnya. Rasa galau, takut, dan sedih
bercampur aduk tidak karuan.
"Apalagi
Tuhan yang hendak Engkau lakukan? Ibu terus bertanya-tanya pada Tuhan. Tapi
kali ini Tuhan memvonis sangat berat, analisis dokter sudah positif, Efendy
terserang Hepatitis C. Dugaan sementara penularan penyakit akibat terapi dan
penggunaan alat-alat medis rumah sakit yang tidak steril. Sepertinya dunia ini
berwarna kelabu, hitam pekat dan mengerikan. Ibu benar-benar terpukul, anakku
terserang penyakit yang mengerikan. Ibu pikir Tuhan sudah keterlaluan!"
Ibu Sitorus terengah-engah. Nafasnya memburu, air matanya mulai jatuh, biji
matanya berkaca-kaca menambah sendu dan suaranya pun mulai serak.
"Kemarin
ususnya mengalami varises, jadi pembuluh darahnya ada yang pecah. Efendy harus
menjalani rawat intensif. Cuci darah secara rutin. Ibu sudah pasrah, Ibu tidak
punya apa-apa lagi. Uang sudah habis dan semua angota keluarga sudah letih.
Yang Ibu tahu dan masih ingat Tuhan Yesus tidak memberikan ujian melebihi
kemampuan kita. Ibu masih percaya bahwa Tuhan dapat melakukan apa yang mustahil
bagi manusia. Ibu percaya mujizat."
Aku terhenyak
mendengar kata-kata Ibu Sitorus kali ini. Dalam keadaan terempas dan
tergeletak, Ibu yang berhati teguh ini berhasil mengkhotbahi aku. Pikiranku
cepat-cepat berlari kepada sebuah ayat dalam Kitab Suci,
"Pencobaan-pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa, yang
tidak melebihi kekuatan manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan
membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan
memberikan kepadamu jalan keluar, sehingga kamu dapat menanggungnya." 1
Korintus 10:13. Matahari sudah tergelincir ke ufuk barat. Senja mulai
membiaskan jingga di langit Jakarta. Perlahan-lahan malam akan turun menyelimuti
bumi. Akupun telah sedari tadi pamit setelah menumpangkan tangan dan berdoa.
"Firman
Tuhan berkata, Oleh bilur-bilurNya kamu telah sembuh, jadi berdoalah dengan
Iman!" Aku mencoba untuk membangun kembali iman dan pengharapan ibu yang
hampir terpuruk ini. Masih sempat aku bacakan beberapa ayat yang sudah menjadi
kesukaanku sebagai seorang pelayan dan konselor Kristen kalau akan mendoakan
orang sakit. Akupun masih menyaksikan wajah Effendy yang berseri-seri dan
mengangguk-angguk. Dia sangat senang mendengar Yesaya 53 : 3-5 yang sengaja aku
bacakan lembut di sampingnya. Sekarang akupun harus pulang dan melangkah pergi
meninggalkan rumah sakit yang telah menguras segenap perasaanku. Meningalkan
Ibu Sitorus yang dengan setia tidak mau beranjak dari sisi anak laki-laki
kesayangannya. Langkahku berat menuruni tangga. Sebuah pikiran aneh tiba-tiba
mengejarku. Tuhan apakah aku tidak sedang menipu diriku sendiri? Sejujurnya
akupun tidak menyakini akan mampu berdiri tegar dengan ujian seberat Effendy.
Aku bahkan hampir tidak bisa berpikir akan ada sebuah mujizat lagi yang akan
menyelamatkan dia dari penyakit maut itu. Ah, peduli amat dengan apa yang aku
pikirkan. Yang aku tahu, aku punya iman yang membuatku harus menawan segala
pikiran dan menaklukkannya. Aku harus mengenakan pikiran Kristus. Bukankah
dengan mendengarkan firman Tuhan akan mengalirkan iman dalam jiwa? Aku kemudian
berjalan melintas pelataran parkir. Jiwaku mulai menghafalkan ayat favoritku,
"Sebab bagi Allah tidak ada yang mustahil (Lukas 1 :37)".Amin.
Sumber:
http://www.sinarharapan.co.id/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar