Rabu, 19 Desember 2012

MENAKLUKKAN HATI


MENAKLUKAN HATI
Oleh: Joshua MS

Kusut dan lusuh. Lunglai seperti tubuh tak bertulang. Aku menghempaskan seluruh berat tubuhku ke tempat tidur. Berharap segera dapat menentramkan jiwa setelah terbaring dan kemudian dapat segera tertidur pulas. Namun mata tak kunjung mengantuk. Berkali-kali aku merapatkan kelopak mata, namun sia-sia saja. Aku tetap terjaga hingga dini hari.

Keletihan mendera membuat aku bahkan hampir tak berdaya untuk sekedar bangun dari tempat tidur. Dengan bertelekan pada kedua siku, aku menyeret tubuh ke sisi tembok kamar. Pandanganku nanar  dan kemudian berputar mengitari semua tembok kamar. Aku baru sadar istriku tetap tertidur lelap di sudut tempat tidur. Begitu lelap seolah tak terganggu dengan kehadiranku. 


Wajahnya tenang dan damai di sela-sela teratur tarikan nafasnya. Beberapa jam yang lewat aku masih terngiang suaranya di telepon. Suara yang secara halus melarang aku maju dalam hiruk pikuk pencalonan Ketua Umum Majelis Sinode di mana gereja dan palayanan kami selama ini bernaung. Suara halus namun bermakna sangat tegas.

Perjalanan yang Melelahkan

Hampir tiga bulan perhatian dan tenagaku terkuras untuk mempersiapkan acara Persidangan Raya Istimewa Sinode. Di mulai dari rapat-rapat maraton, hingga penggalangan dana yang penuh tekanan. Suatu kali ada perdebatan seru yang hampir saja memecah belah panitia pelaksana. Semua bermula dari SK penunjukan ketua panitia yang di rasa sebagian pihak telah menyimpang dari tradisi turun temurun para pendahulu gereja. Kali yang lain, beberapa anggota panitia memilih mengundurkan diri. Sungguh seperti mencoba bertahan di atas tumpukan pasir yang terus dihempas ombak. Aku mengerti bahwa suatu saat kaki yang kokoh pun akan terseret dan terhempas jatuh.

Kehadiranku dalam kepanitiaan pun sebenarnya sangat dilematis. Aku ditempatkan pada posisi yang sama sekali tidak tepat hingga menimbulkan interupsi hangat. Dalam pertemuan-pertemuan lanjutan, akhirnya disepakati proporsi kepanitiaan walaupun tetap tidak memuaskan banyak pihak.

Suatu hari, di tengah kesibukan persiapan menjelang hari pelaksanaan sidang yang tinggal beberap minggu, ketua panitia melakukan kunjungan tiba-tiba ke daerah. Yang paling mengherankan adalah semua biaya perjalanan sang ketua di  tanggung panitia. Dengan dasar sosialisasi dan mobilisasi ke wilayah-wilayah, perjalanan sang ketua pun akhirnya dapat dimaklumi oleh panitia. Belakangan saya dengar sebuah rumor beredar bahwa kunjungan ini sarat dengan muatan kepentingan salah satu kandidat?

Dua minggu menjelang hari pelaksanaan, di tengah-tengah rapat, tim penggalang dana melaporkan hal mengejutkan. Dana operasinal yang dibugetkan panitia tidak tercapai. Kekurangannya bahkan luar biasa besar. Dana yang terkumpul baru sekitar 30 %. Aku sangat heran, karena panitia sepertinya sudah berbuat maksimal. Mulai dari sosialisasi di beberapa radio di Jakarta, pendistribusian proposal, hingga mobilisasi jemaat-jemaat lokal di seluruh Indonesia. Sebuah suara miring yang sempat beredar adalah ketidakpercayaan terhadap kredibilitas panitia. Pukulan hebat karena untuk pertamakalinya aku ada dalam sebuah kepanitiaan yang tidak dipercaya?

Persekongkolan Spiritual

Persidangan Raya Istimewa Sinode akhirnya di buka secara resmi di tengah-tengah berbagai kontraversi. Persidangan yang sedianya diselenggarakan di salah satu kota propinsi di luar Jawa akhirnya dipindahkan ke Jakarta. Dengan alasanan keterbatasan dana dan efisiensi, sidang yang konon disebut agung itu, akhirnya diselenggarakan  dalam kesederhanaan yang amat sangat.

Hari pertama yang merupakan puncak dari agenda persidangan yaitu pemilihan ketua umum majelis sinode yang akan menjabat 5 tahun ke depan, aku berdiri di podium menyampaikan visi dan misi sebagai salah satu persyaratan calon. Ada satu yang menyayat-nyayat hatiku ketika berdiri dan berbicara di hadapan para pejabat gereja. Aku tidak mau ada disini? Suara hatiku menjerit untuk tidak pernah berdiri di podium terhormat ini.

Beberapa jam sebelum aku berdiri dipodium sebagai salah satu calon ketua umum, sidang telah mengalir dengan mengusung 2 kandidat yang memang sudah dipersiapkan jauh sebelumnya. Aku adalah salah seorang penggerak yang mengusung salah satu kandidat tersebut. Namun pada menit terakhir menjelang kepastian calon yang aku dan tim dukung, beliau mengatakan mundur atau tidak bersedia maju. Ini tentulah pukulan berat bagi aku dan tim yang telah melamar dia sejak 3 bulan yang lalu. Yang lebih berat adalah ketika beliau justru mendorong aku yang maju menggantikan dia. Janji dukungan secara menyeluruh dari beliau terasa sangat manis di telinga saya.

Aku tentu menyadari kapasitasku sebagai pemula. Aku mengenal kandidat yang bakal menjadi rivalku dengan segala hal yang melekat padanya. Mulai dari berbagai jabatan yang disangdangnya, pengalaman pelayanannya, gelar doktoralnya, hingga persiapan dan mobilisasinya yang sudah sangat matang. Sementara aku hanya seorang sarjana dan baru beberapa tahun ditahbiskan sebagai pejabat gereja. Yang terpenting dalam hal hiruk pikuk pencalonan ini, sebelumnya tidak pernah terpikir untuk maju sebagai calon. Bagaimana mungkin persiapan yang hanya beberapa jam ini bermakna untuk maju?

Beberapa jam sebelum aku mengatakan ya atau tidak, suara istriku menegur dengan lembut. “Jangan maju sayang!” Kata-kata istri menjadi ganjalan yang menohok jiwaku. Pergulatan antara  suara istri, suara hati, dan suara tim, menohok hingga aku terpojok seperti makan buah simalakama. Jika aku menolak, akan ada banyak orang yang kecewa dalam tim. Jika aku maju aku akan mengingkari hati nuraniku dan tentu mengecewakan hati istriku.

Namun suara tangisan jemaat yang merasa diterlantarkan di berbagai kantong-kantong miskin seperti ledakan keras. Selama ini pejabat sinode sepertinya telah mengabaikan kewajiban meraka untuk mengayomi semua jemaat-jemaat lokal. Namun sungguh memiriskan hati, para pejabat sinode yang adalah rohaniwan itu seperti telah terjerat daya tarik kemakmuran. Isu penelantaran jemaat miskin di daerah memang adalah perbincangan utama sepanjang persidangan. Bagaimanakah mungkin aku melupakan air mata beberapa pendeta miskin itu hanya karena ingin membebaskan diri dari tanggungjawab ini? Bagaimanakah mungkin harus merelakan sinode ini selama lima tahun kembali di pimpin oleh penerus penguasa lama?

Jiwa yang Damai

Ruang persidangan agung itu telah dipenuhi semua pejabat gereja dari tingkat sinodal hingga jemaat lokal. Aku pun telah menganggukkan kepala ketika pimpinan sidang mengajukan pertanyaan kesediaanku maju sebagai salah satu calon. Aku tahu perolehan suara nanti pasti akan sangat jauh selisihnya. Namun aku telah memutuskan untuk maju. Paling tidak momentum ini dapat membuka mata semua bahwa pemula yang serba minus seperti aku juga dapat menggeliat.

Kertas-kertas surat suara itupun akhirnya di hitung satu persatu. Mula-mula kejar-kejaran namun akhirnya tepat seperti dugaanku, namaku mulai tertinggal. Ketika semua surat suara telah habis dibacakan dan namaku tetap tertinggal, tidak ada suara teriakan menang. Namaku ada pada peringkat kedua namun sungguh heran, silisihnya tidak terlalu jauh. Aku berdiri dan menghampiri kandidat yang memenangkan perolehan suara. Dia pun memelukku erat dan memohon kesediaanku bergabung dalam tim yang akan segera dibentuknya. 

Sejarah telah terukir. Untuk pertamakalinya sejak berdiri tahun 1959, gereja misi ini mengakomodir angkatan muda. Tidak tanggung-tanggung, walau tercatat perolehan suaraku kurang, namun selisihnya yang hanya berbeda tipis adalah pukulan telak bagi kalangan pemimpin tradisional yang selama ini enggan berubah.

Seperti surat Rasul Paulus kepada anak rohaninya, Timotius: “Jangan seorang pun menganggap engkau rendah karena engkau muda. Jadilah teladan bagi orang-orang percaya, dalam perkataanmu, dalam tingkah lakumu, dalam kasihmu, dalam kesetiaanmu dan dalam kesucianmu.” (I Timotius 4:12) Yang terutama ternyata adalah teladan. Tidak peduli kita muda atau tua, tanpa keteladanan yang baik, maka benturan demi benturan akan menghadang. Tanpa keteladanan, segala kapasitas tak lebih dari barang rongsokan.

Aku telah mencoba untuk maju. Walau perolehan suaraku kurang namun paling tidak aku telah berani dan mencelikkan mata para pemimpin senior. Walau perolehan suaraku kurang, namun dampak kehadiranku ternyata telah menggugah para pejabat gereja muda untuk bangkit. Walau perolehan suara kurang, namun aku telah berhasil memenangi hatiku yang gundah dan risau. Peristiwa bersejarah ini bahkan telah mendamaikan sedemikian banyak hati angkatan muda yang telah bertekat untuk mengabdi di ladang Tuhan. Bahwa suatu saat nanti jika telah tiba saatnya. Ya Tuhan, aku kini semakin memahami keagungan rencanaMu.

1 komentar:

  1. Lika-liku perjalanan dalam suksesi kepemimpinan. Berbagai hal bisa terjadi termasuk perbuatan curang. Menyedihkan karena itu justru terjadi didalam organisasi gereja?

    BalasHapus