MENAKLUKAN HATI
Oleh: Joshua MS
Kusut dan lusuh. Lunglai seperti tubuh tak bertulang. Aku
menghempaskan seluruh berat tubuhku ke tempat tidur. Berharap segera dapat
menentramkan jiwa setelah terbaring dan kemudian dapat segera tertidur pulas.
Namun mata tak kunjung mengantuk. Berkali-kali aku merapatkan kelopak mata,
namun sia-sia saja. Aku tetap terjaga hingga dini hari.
Keletihan mendera membuat aku
bahkan hampir tak berdaya untuk sekedar bangun dari tempat tidur. Dengan
bertelekan pada kedua siku, aku menyeret tubuh ke sisi tembok kamar.
Pandanganku nanar dan kemudian berputar
mengitari semua tembok kamar. Aku baru sadar istriku tetap tertidur lelap di
sudut tempat tidur. Begitu lelap seolah tak terganggu dengan kehadiranku.
Wajahnya tenang dan damai di
sela-sela teratur tarikan nafasnya. Beberapa jam yang lewat aku masih terngiang
suaranya di telepon. Suara yang secara halus melarang aku maju dalam hiruk
pikuk pencalonan Ketua Umum Majelis Sinode di mana gereja dan palayanan kami
selama ini bernaung. Suara halus namun bermakna sangat tegas.
Hampir tiga bulan perhatian dan
tenagaku terkuras untuk mempersiapkan acara Persidangan Raya Istimewa Sinode.
Di mulai dari rapat-rapat maraton, hingga penggalangan dana yang penuh tekanan.
Suatu kali ada perdebatan seru yang hampir saja memecah belah panitia
pelaksana. Semua bermula dari SK penunjukan ketua panitia yang di rasa sebagian
pihak telah menyimpang dari tradisi turun temurun para pendahulu gereja. Kali
yang lain, beberapa anggota panitia memilih mengundurkan diri. Sungguh seperti
mencoba bertahan di atas tumpukan pasir yang terus dihempas ombak. Aku mengerti
bahwa suatu saat kaki yang kokoh pun akan terseret dan terhempas jatuh.
Kehadiranku dalam kepanitiaan pun
sebenarnya sangat dilematis. Aku ditempatkan pada posisi yang sama sekali tidak
tepat hingga menimbulkan interupsi hangat. Dalam pertemuan-pertemuan lanjutan,
akhirnya disepakati proporsi kepanitiaan walaupun tetap tidak memuaskan banyak
pihak.
Suatu hari, di tengah kesibukan
persiapan menjelang hari pelaksanaan sidang yang tinggal beberap minggu, ketua
panitia melakukan kunjungan tiba-tiba ke daerah. Yang paling mengherankan
adalah semua biaya perjalanan sang ketua di
tanggung panitia. Dengan dasar sosialisasi dan mobilisasi ke
wilayah-wilayah, perjalanan sang ketua pun akhirnya dapat dimaklumi oleh
panitia. Belakangan saya dengar sebuah rumor beredar bahwa kunjungan ini sarat
dengan muatan kepentingan salah satu kandidat?
Dua minggu menjelang hari
pelaksanaan, di tengah-tengah rapat, tim penggalang dana melaporkan hal
mengejutkan. Dana operasinal yang dibugetkan panitia tidak tercapai.
Kekurangannya bahkan luar biasa besar. Dana yang terkumpul baru sekitar 30 %.
Aku sangat heran, karena panitia sepertinya sudah berbuat maksimal. Mulai dari
sosialisasi di beberapa radio di Jakarta, pendistribusian proposal, hingga
mobilisasi jemaat-jemaat lokal di seluruh Indonesia. Sebuah suara miring yang
sempat beredar adalah ketidakpercayaan terhadap kredibilitas panitia. Pukulan hebat
karena untuk pertamakalinya aku ada dalam sebuah kepanitiaan yang tidak
dipercaya?
Persidangan Raya Istimewa Sinode
akhirnya di buka secara resmi di tengah-tengah berbagai kontraversi.
Persidangan yang sedianya diselenggarakan di salah satu kota propinsi di luar
Jawa akhirnya dipindahkan ke Jakarta. Dengan alasanan keterbatasan dana dan
efisiensi, sidang yang konon disebut agung itu, akhirnya diselenggarakan dalam kesederhanaan yang amat sangat.
Hari pertama yang merupakan
puncak dari agenda persidangan yaitu pemilihan ketua umum majelis sinode yang
akan menjabat 5 tahun ke depan, aku berdiri di podium menyampaikan visi dan
misi sebagai salah satu persyaratan calon. Ada satu yang menyayat-nyayat hatiku
ketika berdiri dan berbicara di hadapan para pejabat gereja. Aku tidak mau ada
disini? Suara hatiku menjerit untuk tidak pernah berdiri di podium terhormat
ini.
Beberapa jam sebelum aku berdiri
dipodium sebagai salah satu calon ketua umum, sidang telah mengalir dengan
mengusung 2 kandidat yang memang sudah dipersiapkan jauh sebelumnya. Aku adalah
salah seorang penggerak yang mengusung salah satu kandidat tersebut. Namun pada
menit terakhir menjelang kepastian calon yang aku dan tim dukung, beliau
mengatakan mundur atau tidak bersedia maju. Ini tentulah pukulan berat bagi aku
dan tim yang telah melamar dia sejak 3 bulan yang lalu. Yang lebih berat adalah
ketika beliau justru mendorong aku yang maju menggantikan dia. Janji dukungan
secara menyeluruh dari beliau terasa sangat manis di telinga saya.
Aku tentu menyadari kapasitasku
sebagai pemula. Aku mengenal kandidat yang bakal menjadi rivalku dengan segala
hal yang melekat padanya. Mulai dari berbagai jabatan yang disangdangnya,
pengalaman pelayanannya, gelar doktoralnya, hingga persiapan dan mobilisasinya
yang sudah sangat matang. Sementara aku hanya seorang sarjana dan baru beberapa
tahun ditahbiskan sebagai pejabat gereja. Yang terpenting dalam hal hiruk pikuk
pencalonan ini, sebelumnya tidak pernah terpikir untuk maju sebagai calon.
Bagaimana mungkin persiapan yang hanya beberapa jam ini bermakna untuk maju?
Beberapa jam sebelum aku
mengatakan ya atau tidak, suara istriku menegur dengan lembut. “Jangan maju
sayang!” Kata-kata istri menjadi ganjalan yang menohok jiwaku. Pergulatan
antara suara istri, suara hati, dan
suara tim, menohok hingga aku terpojok seperti makan buah simalakama. Jika aku
menolak, akan ada banyak orang yang kecewa dalam tim. Jika aku maju aku akan
mengingkari hati nuraniku dan tentu mengecewakan hati istriku.
Namun suara tangisan jemaat yang
merasa diterlantarkan di berbagai kantong-kantong miskin seperti ledakan keras.
Selama ini pejabat sinode sepertinya telah mengabaikan kewajiban meraka untuk
mengayomi semua jemaat-jemaat lokal. Namun sungguh memiriskan hati, para
pejabat sinode yang adalah rohaniwan itu seperti telah terjerat daya tarik
kemakmuran. Isu penelantaran jemaat miskin di daerah memang adalah perbincangan
utama sepanjang persidangan. Bagaimanakah mungkin aku melupakan air mata
beberapa pendeta miskin itu hanya karena ingin membebaskan diri dari
tanggungjawab ini? Bagaimanakah mungkin harus merelakan sinode ini selama lima
tahun kembali di pimpin oleh penerus penguasa lama?
Ruang persidangan agung itu telah
dipenuhi semua pejabat gereja dari tingkat sinodal hingga jemaat lokal. Aku pun
telah menganggukkan kepala ketika pimpinan sidang mengajukan pertanyaan
kesediaanku maju sebagai salah satu calon. Aku tahu perolehan suara nanti pasti
akan sangat jauh selisihnya. Namun aku telah memutuskan untuk maju. Paling
tidak momentum ini dapat membuka mata semua bahwa pemula yang serba minus
seperti aku juga dapat menggeliat.
Kertas-kertas surat suara itupun
akhirnya di hitung satu persatu. Mula-mula kejar-kejaran namun akhirnya tepat
seperti dugaanku, namaku mulai tertinggal. Ketika semua surat suara telah habis
dibacakan dan namaku tetap tertinggal, tidak ada suara teriakan menang. Namaku
ada pada peringkat kedua namun sungguh heran, silisihnya tidak terlalu jauh.
Aku berdiri dan menghampiri kandidat yang memenangkan perolehan suara. Dia pun
memelukku erat dan memohon kesediaanku bergabung dalam tim yang akan segera
dibentuknya.
Sejarah telah terukir. Untuk
pertamakalinya sejak berdiri tahun 1959, gereja misi ini mengakomodir angkatan
muda. Tidak tanggung-tanggung, walau tercatat perolehan suaraku kurang, namun
selisihnya yang hanya berbeda tipis adalah pukulan telak bagi kalangan pemimpin
tradisional yang selama ini enggan berubah.
Seperti surat Rasul Paulus kepada anak rohaninya, Timotius:
“Jangan seorang pun menganggap engkau
rendah karena engkau muda. Jadilah teladan bagi orang-orang percaya, dalam
perkataanmu, dalam tingkah lakumu, dalam kasihmu, dalam kesetiaanmu dan dalam
kesucianmu.” (I Timotius 4:12) Yang terutama ternyata adalah teladan. Tidak
peduli kita muda atau tua, tanpa keteladanan yang baik, maka benturan demi
benturan akan menghadang. Tanpa keteladanan, segala kapasitas tak lebih dari
barang rongsokan.
Aku telah mencoba
untuk maju. Walau perolehan suaraku kurang namun paling tidak aku telah berani
dan mencelikkan mata para pemimpin senior. Walau perolehan suaraku kurang,
namun dampak kehadiranku ternyata telah menggugah para pejabat gereja muda
untuk bangkit. Walau perolehan suara kurang, namun aku telah berhasil memenangi
hatiku yang gundah dan risau. Peristiwa bersejarah ini bahkan telah mendamaikan
sedemikian banyak hati angkatan muda yang telah bertekat untuk mengabdi di
ladang Tuhan. Bahwa suatu saat nanti jika telah tiba saatnya. Ya Tuhan, aku
kini semakin memahami keagungan rencanaMu.
Lika-liku perjalanan dalam suksesi kepemimpinan. Berbagai hal bisa terjadi termasuk perbuatan curang. Menyedihkan karena itu justru terjadi didalam organisasi gereja?
BalasHapus