Minggu, 23 Desember 2012

MUTIARA YANG TERHILANG


Mutiara yang Terhilang
Oleh: Joshua MS

Puput Wulandari, begitulah orang tua memberinya nama. Sudah beberapa hari ini saya mendengarkan sangat banyak laporan tentang perempuan itu. Beberapa hal bahkan membuat saya seolah-olah tidak dapat percaya bahwa seorang Puput Wulandari sungguh sangat berbeda dari kesan namanya.


Mungkin karena dorongan hati nurani Konselor Kristen dan keingintahuan seorang penulis lepas, saya berusaha mengatur waktu di sela-sela jadwal pelayanan gereja yang padat untuk dapat mengunjungi perempuan itu. Walaupun sebenarnya ada banyak hal yang harus saya kerjakan, menyusul mutasi daerah pelayanan gereja  ke wilayah Cilincing Jakarta Utara. Dari urusan pindah kantor hingga penyesuaian dengan staf baru menjadi agenda yang kadang-kadang lebih rumit dari sebuah pekerjaan.

Sore itu, didampingi dua rekan pelayan, kami beringsut di bawah terik matahari menyusur gang-gang sempit dan sumpek. Seorang pemandu jalan berkali-kali memberi aba-aba kapan kami harus berbelok dan kemudian hilang di balik gang yang sangat sempit.

Hampir semua orang sekitar mengenal pemukiman kumuh Tanah Merah adalah bekas lokalisasi pelacuran Kramat Tunggak. Hampir semua orang juga tahu bahwa pemukiman kumuh itu ilegal sehingga tidak memiliki pengurus RT/RW sebagaimana lazimnya. Berkali-kali saya harus melompat cukup jauh untuk menghindari kubangan berbau. Sekali lagi saya harus membungkukkan badan untuk menyelinap di jalan tikus di sela-sela rumah bedeng yang berdiri tanpa aturan. Suatu saat saya harus berlari-lari kecil untuk menghindari kerubutan anak-anak tanpa baju yang sedang asik bermain bola plastik.

Dengan peluh yang mengucur deras karena terpanggang terik matahari, akhirnya kami tiba di depan gang kecil. Gang yang merupakan satu-satunya jalan untuk menuju rumah tinggal perempuan muda itu.

Hampir tidak percaya, saya terpaku tak bergeming ketika rumah yang mereka sebut itu tak lebih dari gubuk reyot. Dengan sedikit senyum di pipi cekungnya, Puput, begitu orang menyapanya, menyambut kehadiran kami di depan pintu. Seorang perempuan sangat kurus sehingga hampir terlihat seperti manusia tinggal tulang mempersilahkan kami masuk.

Bangunan bedeng reyot berukuran 3 x 3 meter adalah tempat di mana Puput  melakukan hampir semua aktifitas sehari-hari. Mulai dari tidur, masak, mandi, dan menerima tamu. Sebuah kasur lapuk di balut kain kumal menjadi satu-satunya barang berharga di ruangan itu. Dinding ruangan yang berlobang-lobang di tutupi dengan kain bekas dan kertas membuat ruangan semakin pengap. Sebuah potret kemiskinan yang ternyata masih tersisa si tengah-tengah semarak Kota Metropolitan Jakarta.

Ruangan sempit dan panas membuat saya berkali-kali mengelap keringat yang mengalir tak henti-hentinya, namun dorongan untuk memulai perbincangan dengan Puput membuat saya berupaya mengabaikan ketidaknyamanan itu. Dari atas kasurnya yang sudah lapuk, Puput bertutur patah-patah kisah hidupnya.

Lembah Kekelaman

“12 January 1981 aku lahir.” Puput memulai kisahnya. Bermula dari karakter ayahnya yang sangat bertolak belakang dengan fungsi kepala keluarga, Puput akhirnya harus menerima kenyataaan perceraian ke dua orang tuanya. Dalam usia yang sangat muda, Puput akhirnya di boyong sang ayah untuk tinggal dengan istri barunya.

Rumah tangga yang hancur akibat perceraian memang selalu menyisakan kisah sedih bagi semua anggota keluarga. Hidup dengan ibu tiri dan seorang ayah yang sangat kasar menjadi bagian keseharian yang penuh air mata bagi Puput yang sedang beranjak remaja. Dalam keadaan mabuk pulang ke rumah, sang ayah saring kali berlaku kasar dan bahkan memukul.  Belum lagi tekanan ekonomi yang sangat payah, semua itu menambah beban berat yang di pikul Puput. Tidak tahan terhadap semua itu, darah remaja Puput  memberontak. Ia kabur dari rumah.

Saat itu, Puput baru genap berumur 12 tahun. Usia remaja yang sangat rentan dan beresiko tinggi untuk hidup di jalanan. Dalam keadaan bingung karena membutuhkan tempat tinggal, seorang teman mengajaknya untuk bekerja. Dalam kepolosannya, Puput tanpa sadar telah terseret dalam kehidupan dunia malam “lembah kelam” Kramat Tunggak. Lokalisasi prostitusi yang  di cerca dan hujat masyarakat itu menjadi saksi bisu awal masa paling gelap dalam hidupnya.

Dunia prostitusi yang gelap membentuk karakter keras pada diri Puput. Tak lama berselang, Puput yang remaja “bau kencur” sudah terbiasa melayani laki-laki hidung belang, menenggak minuman keras, mengebul asap rokok, dan bahkan mengkonsumsi obat-obatan terlarang. Berkali-kali dia di ciduk oleh aparat Trantip dan dijobloskan ke panti rehabilitasi, tetapi hanya berselang beberapa hari di lepas, Puput sudah berkeliaran lagi di lokasi yang sama. Berdandan menor sebagaimana layaknya seorang wanita dewasa, Puput bahkan sudah sangat terlatih untuk memperdaya laki-laki hidung belang di tiap tikungan remang-remang Kramat Tunggak.

Suatu hari, tanpa di duga sebelumnya, Puput bertemu dengan ibu kandungnya. Sebuah peristiwa yang sangat memilukan karena ternyata sang ibu juga mengalami prahara keluarga dengan suami barunya. Sebuah drama kehidupan malam tanpa sutradara segera memulai episode yang baru. Puput dan sang ibu tanpa terelakkan lagi, menjalani hidup bersama sebagai penggoda laki-laki hidung belang. Sebuah tragedi hidup yang sebenarnya sangat tidak patut untuk dipercakapkan apalagi dipertontonkan. Sebuah drama kehidupan tak bermoral yang dengan terpaksa harus di jalani tanpa berdaya untuk di tolak.

Entah karena lelah bekerja pada mucikari, Puput akhirnya keluar dari lokalisasi dan mulai berusaha sendiri dengan memanfaatkan fasilitas sebuah warung remang-remang milik seorang ibu pedagang minuman.  Sementara itu kebiasaan buruk mengkonsumsi obat telah memperbudaknya sedemikian jauh. Berkali-kali ia terpaksa harus menyayat-nyayat tangannya hanya sekedar untuk mengurangi rasa sakit di sekujur tubuh. Narkoba ibarat setan yang semakin hari semakin memperbudak hingga ia tidak bisa berkata tidak. Jika rupiah hasil pemburuan malamnya telah habis, maka berkali-kali dalam keadaan sakit obat, tangan dan bagian tubuh yang lain menjadi sasaran sayatan silet tajam.

Hanya dalam kurun waktu tak lebih dari 2 tahun, remaja Puput nan polos itu berubah hampir tak dikenali lagi. Kondisi pisik turun drastis. Tubuhnya kurus kering hampir tinggal tulang di bungkus kulit. Racun narkoba telah mempengaruhi seluruh sistem syaraf dalam tubuhnya. 

Dalam kondisi sakit dan kurus kering, tentunya tidak ada lagi laki-laki hidung belang yang meliriknya. Dunia prostitusi ternyata hampir sama dengan dunia mafia. Siapa yang kuat, akan menjadi digdaya. Jikalau tidak maka cepat atau lambat dia akan tergeser dan dilemparkan seperti sampah jalanan yang tak berarti.

Dalam keadaan sakit dan miskin, Puput akhirnya mengembara di jalanan. Tanpa rumah dan tanpa keluarga bahkan tanpa segala-galanya. Puput hanya memiliki seonggok tubuh kurus kering tak berdaya. Sistem syaraf dalam tubuhnya tergantung pada cairan dan serbuk obat-obat terlarang. Dari kaki lima ke kaki lima yang lain, Puput mengembara. Hingga satu hari, dalam keadaan lapar dan sakit, Puput terlantar di kawasan Cilincing Raya Tanjung Priok. Kawasan jalan raya yang ramai dengan truk-truk trailer sebagai ciri khas kota pelabuhan. Puput yang sakit dan lapar terlentang tak berdaya walaupun hanya untuk sekedar berdiri dan melanjutkan langkah kaki. Dunia terasa gelap dan sepertinya kiamat sudah tiba?

Bertemu Tuhan

Sore hari itu, truk-truk trailer dan kendaraan lainnya ramai melintas di jalanan. Sebuah sedan mulus tiba-tiba menepi. Seorang pria paruh baya terlihat tenang keluar dari badan mobil. Lalu dengan tergesa-gesa dia membawa langkahnya menuju kaki lima sebuah bangunan tua. Seonggok tubuh kurus kering dan berbau yang sedang tergeletak di sana sangat menyentuh hatinya. Kalau saja tidak bernafas, seonggok tubuh itu lebih mirip mayat tak bernyawa yang tidak di urus orang.

Pria paruh baya itu adalah seorang pelayan Tuhan di sebuah gereja lokal yang ada di bilangan Cilincing Raya. Dia seorang gembala Family Altar dan seorang kepala rumah tangga yang baik dari 4 orang anak. Pria paruh baya itu juga bekerja  di pelabuhan sebagai seorang staf dan memiliki karir yang di berkati Tuhan. Tanpa ragu-ragu, pria itu memapah tubuh ringkuh tanpa daya itu.

Bersama dengan anggota jemaat Family Altar, akhirnya pria paruh baya yang tidak suka mempublikasikan jasa-jasanya itu mengurus pengobatan Puput. Tidak lama berselang, bersama jemaat Family Altar Puput boleh bernafas lega karena telah tinggal di sebuah kamar kecil 3 X 3 meter.

“Saya sangat bersyukur untuk semua ini!” Demikian Puput bertutur patah-patah. Sebuah kata yang selama ini tidak pernah keluar dari mulutnya. Sebuah kata yang hanya akan bisa mengalir dari mulutnya setelah melihat kasih Kristus lewat jemaat Family Altar yang di gembalakan seorang pria berhati mulia.

“Memang aku belum sehat total, lihat saja tubuhku masih kurus kering. Aku juga tidak dapat berdiri tegak karena tulang punggung yang sakit.” Puput bertutur sambil menarik nafas panjang. Segaris senyum bergayut di pipinya yang cekung. “Satu yang aku syukuri adalah, aku berhasil melawan dorongan untuk memakai kembali narkoba.” Puput menggeser posisi duduknya dan berusaha untuk terlihat nyaman.

Puput mengisahkan panjang lebar bahwa panti rehabilitasi tidak dapat menghentikan dia mengkonsumsi obat, berhenti melacur, dan menghentikan segala kegiatan yang diharamkan masyarakat.  Hidupnya mulai berubah bermula ketika Puput bertemu Kristus secara pribadi di tengah-tengah jemaat Family Altar. Segalanya semakin terlihat baik ketika dengan sangat hati-hati Puput di tuntun menuruni tangga-tangga kolam baptisan di sebuah gereja di bilangan Kelapa Gading. “Sekarang aku adalah anak Tuhan!” Ekspresi wajah Puput berbinar-binar. Puput bahkan  mencoba untuk menerangkan sebuah perikop Alkitab yang mengisahkan seorang pelacur yang di bawa menghadap Tuhan Yesus oleh orang-orang Farisi. Dengan sedikit usaha, Puput mencoba untuk menerangkan arti perikop Alkitab yang baru setahun dia kenal dengan terbata-bata.

“Demikian pula hal Kerajaan Sorga itu seumpama seorang pedagang yang mencari mutiara yang indah. Setelah ditemukannya mutiara yang sangat berharga, ia pun pergi menjual semua miliknya lalu membeli mutiara itu.” (Matius 13:45-46) Sekarang Puput telah menemukan mutiara yang indah ketika Kristus mengubah hidupnya. Tanpa malu-malu dia mengatakan sekarang ia adalah seorang Kristen. Seorang yang mencari dan telah menemukan mutiara yang selama ini terhilang dan telah ditemukannya. Seorang yang telah menemukan arti kehidupan ketika Kristus telah bertahta di dalam hatinya. Ketika akhirnya ia mengerti bahwa sekalipun tubuhnya tetap saja masih ringkuh dan membungkuk di usia 23 tahun, tetapi jiwanya kini terlepas dan merdeka.

Damai sejahtera dan kekuatan supra alami yang selalu mengalir  memenuhi hati setiap kali dorongan untuk menyeret ia kembali ke dunia lama. Semuanya itu karena sekarang ia sudah berubah. Berubah menjadi manusia di mana Kristus berdiam dan memerintah di dalamnya. Sebuah mutiara yang tak ternilai harganya. Sebuah mutiara yang kini telah menjadi miliknya.

(Sebagaimana dituturkan Puput Wulandari kepada Ev. Joshua M.Sinaga, STh)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar