Mutiara yang
Terhilang
Oleh:
Joshua MS
Puput Wulandari,
begitulah orang tua memberinya nama. Sudah beberapa hari ini saya mendengarkan
sangat banyak laporan tentang perempuan itu. Beberapa hal bahkan membuat saya
seolah-olah tidak dapat percaya bahwa seorang Puput Wulandari sungguh sangat
berbeda dari kesan namanya.
Mungkin karena
dorongan hati nurani Konselor Kristen dan keingintahuan seorang penulis lepas,
saya berusaha mengatur waktu di sela-sela jadwal pelayanan gereja yang padat
untuk dapat mengunjungi perempuan itu. Walaupun sebenarnya ada banyak hal yang
harus saya kerjakan, menyusul mutasi daerah pelayanan gereja ke wilayah Cilincing Jakarta Utara. Dari
urusan pindah kantor hingga penyesuaian dengan staf baru menjadi agenda yang
kadang-kadang lebih rumit dari sebuah pekerjaan.
Sore itu,
didampingi dua rekan pelayan, kami beringsut di bawah terik matahari menyusur
gang-gang sempit dan sumpek. Seorang pemandu jalan berkali-kali memberi aba-aba
kapan kami harus berbelok dan kemudian hilang di balik gang yang sangat sempit.
Hampir semua
orang sekitar mengenal pemukiman kumuh Tanah Merah adalah bekas lokalisasi
pelacuran Kramat Tunggak. Hampir semua orang juga tahu bahwa pemukiman kumuh
itu ilegal sehingga tidak memiliki pengurus RT/RW sebagaimana lazimnya.
Berkali-kali saya harus melompat cukup jauh untuk menghindari kubangan berbau.
Sekali lagi saya harus membungkukkan badan untuk menyelinap di jalan tikus di
sela-sela rumah bedeng yang berdiri tanpa aturan. Suatu saat saya harus
berlari-lari kecil untuk menghindari kerubutan anak-anak tanpa baju yang sedang
asik bermain bola plastik.
Dengan peluh
yang mengucur deras karena terpanggang terik matahari, akhirnya kami tiba di
depan gang kecil. Gang yang merupakan satu-satunya jalan untuk menuju rumah tinggal
perempuan muda itu.
Hampir tidak
percaya, saya terpaku tak bergeming ketika rumah yang mereka sebut itu tak
lebih dari gubuk reyot. Dengan sedikit senyum di pipi cekungnya, Puput, begitu
orang menyapanya, menyambut kehadiran kami di depan pintu. Seorang perempuan
sangat kurus sehingga hampir terlihat seperti manusia tinggal tulang
mempersilahkan kami masuk.
Bangunan bedeng
reyot berukuran 3 x 3 meter adalah tempat di mana Puput melakukan hampir semua aktifitas sehari-hari.
Mulai dari tidur, masak, mandi, dan menerima tamu. Sebuah kasur lapuk di balut
kain kumal menjadi satu-satunya barang berharga di ruangan itu. Dinding ruangan
yang berlobang-lobang di tutupi dengan kain bekas dan kertas membuat ruangan
semakin pengap. Sebuah potret kemiskinan yang ternyata masih tersisa si
tengah-tengah semarak Kota Metropolitan Jakarta.
Ruangan sempit
dan panas membuat saya berkali-kali mengelap keringat yang mengalir tak
henti-hentinya, namun dorongan untuk memulai perbincangan dengan Puput membuat
saya berupaya mengabaikan ketidaknyamanan itu. Dari atas kasurnya yang sudah
lapuk, Puput bertutur patah-patah kisah hidupnya.
Lembah Kekelaman
“12 January 1981
aku lahir.” Puput memulai kisahnya. Bermula dari karakter ayahnya yang sangat
bertolak belakang dengan fungsi kepala keluarga, Puput akhirnya harus menerima
kenyataaan perceraian ke dua orang tuanya. Dalam usia yang sangat muda, Puput
akhirnya di boyong sang ayah untuk tinggal dengan istri barunya.
Rumah tangga
yang hancur akibat perceraian memang selalu menyisakan kisah sedih bagi semua
anggota keluarga. Hidup dengan ibu tiri dan seorang ayah yang sangat kasar
menjadi bagian keseharian yang penuh air mata bagi Puput yang sedang beranjak
remaja. Dalam keadaan mabuk pulang ke rumah, sang ayah saring kali berlaku
kasar dan bahkan memukul. Belum lagi
tekanan ekonomi yang sangat payah, semua itu menambah beban berat yang di pikul
Puput. Tidak tahan terhadap semua itu, darah remaja Puput memberontak. Ia kabur dari rumah.
Saat itu, Puput
baru genap berumur 12 tahun. Usia remaja yang sangat rentan dan beresiko tinggi
untuk hidup di jalanan. Dalam keadaan bingung karena membutuhkan tempat
tinggal, seorang teman mengajaknya untuk bekerja. Dalam kepolosannya, Puput
tanpa sadar telah terseret dalam kehidupan dunia malam “lembah kelam” Kramat
Tunggak. Lokalisasi prostitusi yang di
cerca dan hujat masyarakat itu menjadi saksi bisu awal masa paling gelap dalam
hidupnya.
Dunia prostitusi
yang gelap membentuk karakter keras pada diri Puput. Tak lama berselang, Puput
yang remaja “bau kencur” sudah terbiasa melayani laki-laki hidung belang,
menenggak minuman keras, mengebul asap rokok, dan bahkan mengkonsumsi
obat-obatan terlarang. Berkali-kali dia di ciduk oleh aparat Trantip dan
dijobloskan ke panti rehabilitasi, tetapi hanya berselang beberapa hari di
lepas, Puput sudah berkeliaran lagi di lokasi yang sama. Berdandan menor
sebagaimana layaknya seorang wanita dewasa, Puput bahkan sudah sangat terlatih
untuk memperdaya laki-laki hidung belang di tiap tikungan remang-remang Kramat
Tunggak.
Suatu hari,
tanpa di duga sebelumnya, Puput bertemu dengan ibu kandungnya. Sebuah peristiwa
yang sangat memilukan karena ternyata sang ibu juga mengalami prahara keluarga
dengan suami barunya. Sebuah drama kehidupan malam tanpa sutradara segera
memulai episode yang baru. Puput dan sang ibu tanpa terelakkan lagi, menjalani
hidup bersama sebagai penggoda laki-laki hidung belang. Sebuah tragedi hidup
yang sebenarnya sangat tidak patut untuk dipercakapkan apalagi dipertontonkan.
Sebuah drama kehidupan tak bermoral yang dengan terpaksa harus di jalani tanpa
berdaya untuk di tolak.
Entah karena
lelah bekerja pada mucikari, Puput akhirnya keluar dari lokalisasi dan mulai
berusaha sendiri dengan memanfaatkan fasilitas sebuah warung remang-remang milik
seorang ibu pedagang minuman. Sementara
itu kebiasaan buruk mengkonsumsi obat telah memperbudaknya sedemikian jauh.
Berkali-kali ia terpaksa harus menyayat-nyayat tangannya hanya sekedar untuk
mengurangi rasa sakit di sekujur tubuh. Narkoba ibarat setan yang semakin hari
semakin memperbudak hingga ia tidak bisa berkata tidak. Jika rupiah hasil
pemburuan malamnya telah habis, maka berkali-kali dalam keadaan sakit obat,
tangan dan bagian tubuh yang lain menjadi sasaran sayatan silet tajam.
Hanya dalam kurun
waktu tak lebih dari 2 tahun, remaja Puput nan polos itu berubah hampir tak
dikenali lagi. Kondisi pisik turun drastis. Tubuhnya kurus kering hampir
tinggal tulang di bungkus kulit. Racun narkoba telah mempengaruhi seluruh
sistem syaraf dalam tubuhnya.
Dalam kondisi
sakit dan kurus kering, tentunya tidak ada lagi laki-laki hidung belang yang
meliriknya. Dunia prostitusi ternyata hampir sama dengan dunia mafia. Siapa
yang kuat, akan menjadi digdaya. Jikalau tidak maka cepat atau lambat dia akan
tergeser dan dilemparkan seperti sampah jalanan yang tak berarti.
Dalam keadaan
sakit dan miskin, Puput akhirnya mengembara di jalanan. Tanpa rumah dan tanpa
keluarga bahkan tanpa segala-galanya. Puput hanya memiliki seonggok tubuh kurus
kering tak berdaya. Sistem syaraf dalam tubuhnya tergantung pada cairan dan
serbuk obat-obat terlarang. Dari kaki lima ke kaki lima yang lain, Puput
mengembara. Hingga satu hari, dalam keadaan lapar dan sakit, Puput terlantar di
kawasan Cilincing Raya Tanjung Priok. Kawasan jalan raya yang ramai dengan
truk-truk trailer sebagai ciri khas kota pelabuhan. Puput yang sakit dan lapar
terlentang tak berdaya walaupun hanya untuk sekedar berdiri dan melanjutkan
langkah kaki. Dunia terasa gelap dan sepertinya kiamat sudah tiba?
Bertemu Tuhan
Sore hari itu,
truk-truk trailer dan kendaraan lainnya ramai melintas di jalanan. Sebuah sedan
mulus tiba-tiba menepi. Seorang pria paruh baya terlihat tenang keluar dari
badan mobil. Lalu dengan tergesa-gesa dia membawa langkahnya menuju kaki lima
sebuah bangunan tua. Seonggok tubuh kurus kering dan berbau yang sedang
tergeletak di sana sangat menyentuh hatinya. Kalau saja tidak bernafas,
seonggok tubuh itu lebih mirip mayat tak bernyawa yang tidak di urus orang.
Pria paruh baya
itu adalah seorang pelayan Tuhan di sebuah gereja lokal yang ada di bilangan
Cilincing Raya. Dia seorang gembala Family Altar dan seorang kepala rumah
tangga yang baik dari 4 orang anak. Pria paruh baya itu juga bekerja di pelabuhan sebagai seorang staf dan
memiliki karir yang di berkati Tuhan. Tanpa ragu-ragu, pria itu memapah tubuh
ringkuh tanpa daya itu.
Bersama dengan
anggota jemaat Family Altar, akhirnya pria paruh baya yang tidak suka
mempublikasikan jasa-jasanya itu mengurus pengobatan Puput. Tidak lama
berselang, bersama jemaat Family Altar Puput boleh bernafas lega karena telah
tinggal di sebuah kamar kecil 3 X 3 meter.
“Saya sangat
bersyukur untuk semua ini!” Demikian Puput bertutur patah-patah. Sebuah kata
yang selama ini tidak pernah keluar dari mulutnya. Sebuah kata yang hanya akan
bisa mengalir dari mulutnya setelah melihat kasih Kristus lewat jemaat Family
Altar yang di gembalakan seorang pria berhati mulia.
“Memang aku
belum sehat total, lihat saja tubuhku masih kurus kering. Aku juga tidak dapat
berdiri tegak karena tulang punggung yang sakit.” Puput bertutur sambil menarik
nafas panjang. Segaris senyum bergayut di pipinya yang cekung. “Satu yang aku
syukuri adalah, aku berhasil melawan dorongan untuk memakai kembali narkoba.”
Puput menggeser posisi duduknya dan berusaha untuk terlihat nyaman.
Puput
mengisahkan panjang lebar bahwa panti rehabilitasi tidak dapat menghentikan dia
mengkonsumsi obat, berhenti melacur, dan menghentikan segala kegiatan yang
diharamkan masyarakat. Hidupnya mulai
berubah bermula ketika Puput bertemu Kristus secara pribadi di tengah-tengah
jemaat Family Altar. Segalanya semakin terlihat baik ketika dengan sangat
hati-hati Puput di tuntun menuruni tangga-tangga kolam baptisan di sebuah
gereja di bilangan Kelapa Gading. “Sekarang aku adalah anak Tuhan!” Ekspresi
wajah Puput berbinar-binar. Puput bahkan
mencoba untuk menerangkan sebuah perikop Alkitab yang mengisahkan
seorang pelacur yang di bawa menghadap Tuhan Yesus oleh orang-orang Farisi. Dengan
sedikit usaha, Puput mencoba untuk menerangkan arti perikop Alkitab yang baru
setahun dia kenal dengan terbata-bata.
“Demikian pula
hal Kerajaan Sorga itu seumpama seorang pedagang yang mencari mutiara yang
indah. Setelah ditemukannya mutiara yang sangat berharga, ia pun pergi menjual
semua miliknya lalu membeli mutiara itu.” (Matius 13:45-46) Sekarang Puput
telah menemukan mutiara yang indah ketika Kristus mengubah hidupnya. Tanpa
malu-malu dia mengatakan sekarang ia adalah seorang Kristen. Seorang yang
mencari dan telah menemukan mutiara yang selama ini terhilang dan telah
ditemukannya. Seorang yang telah menemukan arti kehidupan ketika Kristus telah
bertahta di dalam hatinya. Ketika akhirnya ia mengerti bahwa sekalipun tubuhnya
tetap saja masih ringkuh dan membungkuk di usia 23 tahun, tetapi jiwanya kini
terlepas dan merdeka.
Damai sejahtera
dan kekuatan supra alami yang selalu mengalir
memenuhi hati setiap kali dorongan untuk menyeret ia kembali ke dunia
lama. Semuanya itu karena sekarang ia sudah berubah. Berubah menjadi manusia di
mana Kristus berdiam dan memerintah di dalamnya. Sebuah mutiara yang tak
ternilai harganya. Sebuah mutiara yang kini telah menjadi miliknya.
(Sebagaimana dituturkan Puput
Wulandari kepada Ev. Joshua M.Sinaga, STh)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar