Jumat, 28 Desember 2012

SAUH DI BELAKANG TABIR


Sauh di Belakang Tabir (Sebuah Catatan Harian)
Oleh: Joshua MS

Aku mengenal kapal laut baru-baru ini saja. Sejak aku pindah ke kota pelabuhan dan menjadi orang yang sedikit-demi sedikit mengenal kehidupan metropolitan. Suatu hari aku pernah tidur di jalanan dan hampir putus asa karena harapan untuk melanjutkan pendidikan kandas terhempas. Aku tidak lulus testing. Aku menjadi begitu labil dan menangis minta pulang ke kampung halaman. Aku bahkan tidak bisa berbuat apa-apa selain merenung sambil menatap air hujan yang semakin deras mengguyur bumi. 


Aku ingat kala masih di kampung. Aku punya papa yang hebat, dan mami yang penuh kasih sayang. Dia akan membelaiku dan membawakanku cerita tentang kepahlawanan yang menyenangkan. Tidak terasa akupun tidur terlelap bersama semakin jauhnya malam merayap. Sungguh aku ingin pulang dan berlari kembali kepelukan bunda tercinta. Aku benar-benar tidak punya sandaran yang teguh untuk menopang kehidupan di Jakarta. Bahtera hidupku mulai berguncang hebat.

Suatu hari, aku melihat diriku sudah tidak lagi berbentuk. Aku sudah hancur dan berkeping-keping tanpa bentuk. Aku menangis dan menangis lagi meratapi mengapa aku harus menjalani hidup seperti ini. Aku menjalani hidup dalam keputusasaan. Aku bahkan sudah berniat untuk pulang dan menyerah. melupakan komitmen melayani Tuhan yang aku bawa dari kampung. Tapi ada satu yang mengganjal hatiku, dulu aku pernah berjanji harus berhasil. Aku menyeret kaki yang lunglai menekuri trotoar sunyi sepanjang malam. Sepanjang koridor sunyi dari gedung-gedung pencakar langit yang bisu, aku berjalan hampir tanpa arah dan tujuan yang pasti.

Hari-hari itu ternyata tidak selamanya mendung, kata seorang penyair. Perlahan-lahan awan gelap tersibak ketika sang surya mulai bersinar. Aku menatap hari itu dengan semangat. Aku berharap aku akan menang, paling tidak aku tidak akan malu pada Papa dan Bunda yang selalu membanggakan aku. Aduh, ternyata surya yang bersinar ini tidak seramah yang aku duga dan harapkan. Ternyata sinar itu juga panas menyengat sehingga kulitku terbakar. Aku kemudian jatuh, sepertinya aku akan pingsan.

Syukurlah, hatiku menggantung pada sebuah harap yang samar. Sebuah sauh di belakang tabir yang kokoh tak bergeming dan tidak pernah dapat aku lihat. Aku bangkit dan menepis abu-abu kotor yang menempel di sekujur tubuh. Jaket kumal yang membalut tubuh kerdil itu sekarang berubah menjadi penepis rasa dingin satu-satunya. Aku terus berjalan sampai akhirnya  tahu bahwa aku sudah basah kuyup.

Aku masih saja melangkah sampai akhirnya tiba pada satu persimpangan. Satu tubrukan keras menghantam tubuh dekilku. Aku terhempas dan tidak sadar. Aku mencoba membuka kelopak mataku. Aku hanya dapat melihat sebuah cahaya kecil bersinar. Ekor mataku kemudian samar menatap sauh di belakang tabir itu tidak bergeming. Dia tetap kokoh menatang bahtera hidupku yang hampir pecah.

Sekarang aku terbungkus perban-perban putih memerah. Sekujur tubuhku menjadi kaku dan kejang. Malam itu menjadi saat yang sangat panjang dan penuh tangisan yang menyanyat dan memecah sunyi. Hingga mereka yang berbusana aneh putih-putih itu menyeringai. Mereka berpikir aku mungkin lebih baik mati. Ah, mengapa begitu kasar mereka menatap mataku. Bukankah mereka seharusnya menjadi orang yang melindungi, mengapa mereka menatapku dengan sorot menghakimi. Mereka menatapku tajam seolah-olah ingin menghukum.

Syukurlah, aku telah menjadi orang yang terbiasa menatap sauh di belakang tabir yang kokoh terpancang di antara amukan badai. Dia tidak tergoyahkan sedikitpun.

Perlahan aku kembali menapaki jalan-jalan penuh gelombang seperti kemarin. Aku masih saja terhempas dan jatuh. Akupun juga ternyata masih saja tidak bisa berjalan lurus. Aku bahkan masih mengenakan jaket yang lalu. Tetapi sekarang aku berbeda. Ketika jaket itu sekarang telah ditambal. Tambalannya adalah atribut almamater kampus. Aku tidak mengerti sama sekali mengapa itu terjadi.

Ah, aku tidak sadar bahwa sekarang perjuanganku untuk masuk seminari itu sudah di ambang pintu. Dengan bangga aku menjingjing tas kumal di tangan kanan dan melangkan maju. Untuk pertama kalinya aku menawarkan  nama dan berkata. Aku dari seminari.

Yah, Tuhan, aku bangga karena sauh Pengharapan dalam Engkau, Tuhan Yesus, sekarang aku telah berbaju bersih, bertopi aneh, dan mengenakan toga serba hitam. Kemudian di belakang namaku sekarang bertengger sebuah gelar, sarjana teologia. Impian dan kerinduanku telah terwujud untuk menjadi seorang pelayanMu.

Aku kemudian melirik ke belakang tabir itu, ah….. sauh itu tidak pernah bergoyah. Dia tetap tegar menopang hidup susah maupun senang. Dia sungguh adalah sahabat yang sejati. Itulah sauh pengharapan yang tidak akan   pupus sampai hari kiamat. Sauh yang kokoh di belakang tabir Bait Suci, yaitu Tuhan Yesus Kristus. Walaupun seolah-olah Dia datang sangat lambat, tetapi sungguh Dia tidak pernah terlambat.

IBRANI 6:19 "Pengharapan itu adalah sauh yang kuat dan aman bagi jiwa kita, yang telah dilabuhkan sampai kebelakang tabir."

Naskah ini saya Copy dari sebuah catatan harian. Sebuah kesaksian hidup yang di tulis oleh seorang hamba Tuhan dalam buku harian. Sebuah perjuangan yang melukiskan bertapa sangat berharganya komitmen untuk melayani Tuhan, sehingga ketika semua keluarganya “membuang” dia, ketika seolah-olah seminari tidak menerima dia, ketika semua berpaling dan meragukan kemampuannya. Ditengah-tengah keputusasaannya, di tengah ketakutan yang sangat menekannya, dia belajar untuk melabuhkan sauh pengharapannya ke belakang tabir, yaitu Tuhan Yesus Kristus. Semoga hambaNya itu akan terus di pakai dalam ladangNya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar