Sauh di Belakang Tabir (Sebuah Catatan Harian)
Oleh: Joshua MS
Aku mengenal kapal laut baru-baru
ini saja. Sejak aku pindah ke kota
pelabuhan dan menjadi orang yang sedikit-demi sedikit mengenal kehidupan
metropolitan. Suatu hari aku pernah tidur di jalanan dan hampir putus asa
karena harapan untuk melanjutkan pendidikan kandas terhempas. Aku tidak lulus
testing. Aku menjadi begitu labil dan menangis minta pulang ke kampung halaman.
Aku bahkan tidak bisa berbuat apa-apa selain merenung sambil menatap air hujan
yang semakin deras mengguyur bumi.
Aku ingat kala masih di
kampung. Aku punya papa yang hebat, dan mami yang penuh kasih sayang. Dia akan
membelaiku dan membawakanku cerita tentang kepahlawanan yang menyenangkan.
Tidak terasa akupun tidur terlelap bersama semakin jauhnya malam merayap.
Sungguh aku ingin pulang dan berlari kembali kepelukan bunda tercinta. Aku
benar-benar tidak punya sandaran yang teguh untuk menopang kehidupan di Jakarta. Bahtera hidupku
mulai berguncang hebat.
Suatu hari, aku melihat
diriku sudah tidak lagi berbentuk. Aku sudah hancur dan berkeping-keping tanpa
bentuk. Aku menangis dan menangis lagi meratapi mengapa aku harus menjalani
hidup seperti ini. Aku menjalani hidup dalam keputusasaan. Aku bahkan sudah
berniat untuk pulang dan menyerah. melupakan komitmen melayani Tuhan yang aku
bawa dari kampung. Tapi ada satu yang mengganjal hatiku, dulu aku pernah
berjanji harus berhasil. Aku menyeret kaki yang lunglai menekuri trotoar sunyi
sepanjang malam. Sepanjang koridor sunyi dari gedung-gedung pencakar langit
yang bisu, aku berjalan hampir tanpa arah dan tujuan yang pasti.
Hari-hari itu ternyata tidak selamanya mendung, kata seorang penyair. Perlahan-lahan awan gelap tersibak ketika sang surya mulai bersinar. Aku menatap hari itu dengan semangat. Aku berharap aku akan menang, paling tidak aku tidak akan malu pada Papa dan Bunda yang selalu membanggakan aku. Aduh, ternyata surya yang bersinar ini tidak seramah yang aku duga dan harapkan. Ternyata sinar itu juga panas menyengat sehingga kulitku terbakar. Aku kemudian jatuh, sepertinya aku akan pingsan.
Hari-hari itu ternyata tidak selamanya mendung, kata seorang penyair. Perlahan-lahan awan gelap tersibak ketika sang surya mulai bersinar. Aku menatap hari itu dengan semangat. Aku berharap aku akan menang, paling tidak aku tidak akan malu pada Papa dan Bunda yang selalu membanggakan aku. Aduh, ternyata surya yang bersinar ini tidak seramah yang aku duga dan harapkan. Ternyata sinar itu juga panas menyengat sehingga kulitku terbakar. Aku kemudian jatuh, sepertinya aku akan pingsan.
Syukurlah, hatiku
menggantung pada sebuah harap yang samar. Sebuah sauh di belakang tabir yang
kokoh tak bergeming dan tidak pernah dapat aku lihat. Aku bangkit dan menepis
abu-abu kotor yang menempel di sekujur tubuh. Jaket kumal yang membalut tubuh
kerdil itu sekarang berubah menjadi penepis rasa dingin satu-satunya. Aku terus
berjalan sampai akhirnya tahu bahwa aku sudah basah kuyup.
Aku masih saja melangkah
sampai akhirnya tiba pada satu persimpangan. Satu tubrukan keras menghantam
tubuh dekilku. Aku terhempas dan tidak sadar. Aku mencoba membuka kelopak
mataku. Aku hanya dapat melihat sebuah cahaya kecil bersinar. Ekor mataku
kemudian samar menatap sauh di belakang tabir itu tidak bergeming. Dia tetap
kokoh menatang bahtera hidupku yang hampir pecah.
Sekarang aku terbungkus
perban-perban putih memerah. Sekujur tubuhku menjadi kaku dan kejang. Malam itu
menjadi saat yang sangat panjang dan penuh tangisan yang menyanyat dan memecah
sunyi. Hingga mereka yang berbusana aneh putih-putih itu menyeringai. Mereka
berpikir aku mungkin lebih baik mati. Ah, mengapa begitu kasar mereka menatap
mataku. Bukankah mereka seharusnya menjadi orang yang melindungi, mengapa
mereka menatapku dengan sorot menghakimi. Mereka menatapku tajam seolah-olah
ingin menghukum.
Syukurlah, aku telah menjadi
orang yang terbiasa menatap sauh di belakang tabir yang kokoh terpancang di
antara amukan badai. Dia tidak tergoyahkan sedikitpun.
Perlahan aku kembali
menapaki jalan-jalan penuh gelombang seperti kemarin. Aku masih saja terhempas
dan jatuh. Akupun juga ternyata masih saja tidak bisa berjalan lurus. Aku
bahkan masih mengenakan jaket yang lalu. Tetapi sekarang aku berbeda. Ketika
jaket itu sekarang telah ditambal. Tambalannya adalah atribut almamater kampus.
Aku tidak mengerti sama sekali mengapa itu terjadi.
Ah, aku tidak sadar bahwa
sekarang perjuanganku untuk masuk seminari itu sudah di ambang pintu. Dengan
bangga aku menjingjing tas kumal di tangan kanan dan melangkan maju. Untuk
pertama kalinya aku menawarkan nama dan berkata. Aku dari seminari.
Yah, Tuhan, aku bangga
karena sauh Pengharapan dalam Engkau, Tuhan Yesus, sekarang aku telah berbaju
bersih, bertopi aneh, dan mengenakan toga serba hitam. Kemudian di belakang
namaku sekarang bertengger sebuah gelar, sarjana teologia. Impian dan
kerinduanku telah terwujud untuk menjadi seorang pelayanMu.
Aku kemudian melirik ke
belakang tabir itu, ah….. sauh itu tidak pernah bergoyah. Dia tetap tegar menopang
hidup susah maupun senang. Dia sungguh adalah sahabat yang sejati. Itulah sauh
pengharapan yang tidak akan pupus sampai hari kiamat. Sauh yang
kokoh di belakang tabir Bait Suci, yaitu Tuhan Yesus Kristus. Walaupun
seolah-olah Dia datang sangat lambat, tetapi sungguh Dia tidak pernah
terlambat.
IBRANI 6:19
"Pengharapan itu adalah sauh yang kuat dan aman bagi jiwa kita, yang telah
dilabuhkan sampai kebelakang tabir."
Naskah ini saya Copy dari sebuah catatan harian. Sebuah kesaksian hidup yang di tulis oleh seorang hamba Tuhan dalam buku harian. Sebuah perjuangan yang melukiskan bertapa sangat berharganya komitmen untuk melayani Tuhan, sehingga ketika semua keluarganya “membuang” dia, ketika seolah-olah seminari tidak menerima dia, ketika semua berpaling dan meragukan kemampuannya. Ditengah-tengah keputusasaannya, di tengah ketakutan yang sangat menekannya, dia belajar untuk melabuhkan sauh pengharapannya ke belakang tabir, yaitu Tuhan Yesus Kristus. Semoga hambaNya itu akan terus di pakai dalam ladangNya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar