PENDETA DUNIAWI
Oleh:
Joshua MS
Pada
kenyataannya, kata “pendeta” memang tidak pernah dikenal dalam penulisan
Alkitab. Kata pendeta murni adalah istilah “duniawi” yang diadopsi orang-orang
Kristen Indonesia untuk menamai para imam.
Aneh memang, karena ada agama lain juga
menggunakan nama yang sama untuk pemimpin spiritual mereka. Entah karena
kekurangan perbendaharaan, kata “pendeta” sesunggguhnya adalah istilah
“duniawi” dan diterima begitu saja. Mungkin karena istilah Alkitab kurang tren,
orang Kristen lebih menyukai kata-kata “duniawi” dalam mengejawantahkan
keberadaannya.
Kecenderungan orang-orang Kristen menyukai hal-hal
bersifat duniawi bukanlah hal baru. Sejak gereja didirikan pada abad pertama
Masehi, orang-orang yang menyebut diri Kristen jatuh bangun dalam hal mencintai
dunia. Sebut saja contoh paling kelam dalam sejarah Perang Salib. Orang-orang
Kristen tercebur dalam percaturan politik kotor. Mereka mengangkat pedang dan
memancung sesama manusia.
Sungguh ironis. Yesus Kristus yang konon katanya
disembah, berkata: “Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya
kamu.” (Matius 5 :44). Yang paling menyedihkan adalah perang dogma. Satu
denominasi memburu dan membunuh sesama yang berseberangan dengan dogma
denominasinya.
Itu tidak berbeda jauh dengan keadaan belakangan
ini. Para pemimpin orang Kristen yang sering dipanggil pendeta itu terkadang
lebih duniawi. Cobalah kita lihat gaya hidup pendeta-pendeta era milenium ini.
Kalau dibanding-bandingkan, mereka
tak kalah mentereng dengan selebritis. Namun yang sangat ironis adalah ketika
para pendeta yang konon adalah para rohaniwan, ikut-ikutan bergaya seperti
selebritis. Belakangan ini kita sulit membedakan mana selebritis dan mana yang
rohaniwan.
Di Kitab Roma 12:2, Rasul Paulus
dengan tegas berpesan: “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi
berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah
kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah, dan yang sempurna.”
Mudah-mudahan saja, rohaniwan duniawi ini belum pernah membaca ayat ini, jadi
mereka tidak perlu menerima murka panas membara penghuni surga.
Tersebutlah seorang pengusaha
sukses yang lumayan kaya. Atau
mungkin kaya raya menurut takaran ekonomi dunia ketiga. Dia tinggal di bilangan elite utara Jakarta. Namun
entah kenapa, suatu hari dia masuk gereja dengan stelan jas. Kemudian
orang-orang mulai memanggilnya pendeta.
Pengusaha sukses yang konon berkocek tebal dan
suka menyumbang untuk gereja ini hanya membutuhkan waktu beberapa saat untuk
dapat nangkring di mimbar. Hanya sekian waktu, pendeta yang pengusaha ini telah
berkhotbah di hadapan khalayak ramai.
Namun tak lama berselang, pendeta spektakuler yang
kelihatan memang lumayan pintar cuap-cuap di mimbar ini, ketahuan belangnya. Cuap-cuap
di mimbar sungguh bertolak belakang dengan apa yang dikerjakannya sehari-hari.
Bagaimanakah mungkin seorang dapat mengajar
kebaikan sementara dalam keseharian mengintimidasi karyawan yang bekerja di
perusahaannya? Bagaimanakah mungkin seorang dapat berkhotbah kekudusan,
sementara hampir tiap hari mulutnya mengeluarkan sumpah sarapah dan kata-kata
kotor. Sungguh ironis sekali.Aneh bin ajaib, tak lama bergabung dengan gereja
besar, pendeta spektakuler ini telah menduduki sebuah jabatan strategis dalam
departemen misi. Tidak tanggung-tanggung, posisi ketua dipegangnya. Alhasil,
beberapa gereja kecil dilindasnya.
Dengan cerdik
laksana ular, dia mulai mengirimkan bus-bus untuk menjemput jemaat. Tidak
peduli gereja mana angkut saja. Dia memang benar-benar seorang misionaris
keblinger yang bertujuan memenuhi kursi-kursi gedung ber-AC yang disebutnya
gereja. Kalau ada “pendeta” yang
demikian, apakah kebenarannya? Apalagi jika semua mulut seolah terkatup bila
dia sudah menyebutkan sebuah angka rupiah.
Melihat kisah ini, kita harus kembali kepada
keaslian pesan Alkitab. Tak peduli gereja kita besar atau kecil dan hanya
dikunjungi beberapa orang miskin. Gereja harus mulai cerdik menyeleksi para
rohaniwannya. Gereja pun mestinya belajar menggunakan kata-kata Alkitab,
seperti mengubah kata “pendeta” dengan “gembala”.
Dengan demikian para rohaniwan selalu menyadari
bahwa mereka adalah gembala jiwa-jiwa. Mereka juga akan cepat sadar dan
berbalik kepada Tuhan jika hidup mereka mulai condong kepada dunia karena
mereka memang adalah imam yang rohaniwan. Dengan memahami arti dan perannya
sebagai gembala seperti dikatakan Alkitab, para gembala bertugas memelihara
jiwa-jiwa bahkan berkorban untuk jiwa-jiwa.
Mereka bahkan harus berani korbankan nyawanya demi
keselamatan kawanan domba-domba. “Akulah gembala yang baik. Gembala yang baik
memberikan nyawanya bagi domba-dombanya.” (Yohanes 10:11) Kalau saja para
pendeta tetap sadar bahwa seorang gembala harus dekat dengan kawanan
domba-domba, berbagi dengan kawanan domba, bahkan menyerahkan nyawanya untuk
keselamatan kawanan domba, sesungguhnya merekalah rohaniwan sejati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar