Selasa, 25 Desember 2012

PENDETA NEBUKADNEZAR


PENDETA NEBUKADNEZAR
Oleh: Joshua MS

Pada kenyataannya kata pendeta memang tidak pernah dikenal dalam penulisan Alkitab. Kata pendeta murni adalah istilah “duniawi” yang di adopsi oleh orang-orang Kristen Indonesia untuk menamai para imam. Aneh memang, karena ada agama lain juga menggunakan nama yang sama untuk pemimpin spiritual mereka. Entah karena kekurangan perbendaharaan, kata pendeta sesunggguhnya adalah istilah “duniawi” dan diterima begitu saja. Mungkin karena istilah Alkitab kurang trend, orang kristen lebih menyukai kata-kata “duniawi” dalam mengejawantahkan keberadaannya.


Kecenderungan orang-orang Kristen dalam menyukai hal-hal yang bersifat duniawi bukanlah hal yang baru. Sejak gereja didirikan pada abad pertama Masehi, orang-orang yang menyebut diri Kristen jatuh bangun dalam hal mencintai dunia. Sebut sajalah contoh paling kelam dalam sejarah Perang Salip. Orang-orang Kristen tercebur dalam percaturan politik kotor. Mereka mengangkat pedang dan memancung sesama manusia. Sungguh ironis, Yesus Kristus yang konon katanya disembah, berkata: “Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu.” (Matius 5 :44). Yang paling menyedihkan adalah perang dogma. Satu denominasi memburu dan membunuh sesama yang berseberangan dengan dogma denominasinya.

Tidak berbeda jauh dengan keadaan belakangan ini.  Para pemimpin orang Kristen yang sering dipanggil pendeta itu lebih duniawi ketimbang rohaniawan. Memang tidak semua, namun kita dapat mengerti bahwa persentasi pendeta yang rohaniawan dengan yang duniawi. Cobalah kita lihat gaya hidup pendeta-pendeta milenium itu. Kalau dibanding-bandingkan, mereka tak kalah mentereng dengan selebritis. Namun yang sangat ironis adalah, ketika para pendeta yang konon katanya adalah para rohaniawan, ikut-ikutan bergaya seperti selebritis. 

Belakangan ini kita sulit membedakan mana selebritis dan mana yang rohaniawan. Padahal  kalau kita membaca Kitab Roma 12:2, Rasul Paulus dengan tegas berpesan: “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.” Mudah-mudahan saja rohaniawan duniawi ini belum pernah membaca ayat ini, jadi mereka tidak perlu menerima murka yang panas membara penghuni sorga.

Tersebutlah seorang pengusaha sukses yang lumayan kaya. Atau mungkin kaya raya menurut takaran ekonomi dunia ketiga. Dia tinggal di bilangan elit utara Jakarta. Rumahnya sangat bagus dan luas. Mobilnya keluaran terbaru dengan harga yang hanya beberapa orang saja dapat membeli. Sehari-harinya dia bergelut dengan berbagai bisnisnya yang menggurita. Namun entah kenapa, suatu hari dia masuk gereja dengan stelan jas. Kemudian orang-orang Kristen mulai memanggilnya pendeta. Lebih ajaib dari pengalaman Rasul Petrus. Kalau Rasul Petrus harus belajar dengan Maha Guru selama  tiga setengah tahun siang malam tanpa pernah libur dan cuti, barulah ia bisa berkhotbah, pengusaha sukses yang konon berkocek tebal dan suka menyumbang gereja ini hanya membutuhkan waktu beberapa saat untuk dapat nangkring di mimbar. Hanya sekian saat waktu, pendeta yang pengusaha ini telah berkhotbah di hadapan khalayak ramai. 

Namun tak lama berselang, pendeta spektakuler yang kelihatan memang lumayan pintar cuap-cuap di mimbar ini, ketahuan belangnya. Cuap-cuap di mimbar sungguh bertolak belakang dengan apa yang dikerjakannya sehari-hari. Namun entah kenapa, lembaga gereja dengan begitu mudah meloloskannya sebagai pendeta. Bagaimanakah mungkin seorang dapat mengajar kebaikan sementara dalam keseharian mengintimidasi karyawan yang bekerja diperusahaannya? Bagaimanakah mungkin seorang dapat berkhotbah kekudusan, sementara hampir tiap hari mulutnya mengeluarkan sumpah sarapah dan kata-kata kotor. Sungguh ironis sekali, pendeta spektakuler yang lebih spektakuler dari Indonesian Idol ini hanya beberapa saat saja rohaniawan selama memasuki gedung gereja. Selebihnya, pendeta ini tak lebih dari manusia sekuler yang menghalalkan berbagai cara dalam memenuhi hasrat dan ambisi bisnisnya.

Kalau mencoba mendaftarkan hal-hal duniawi yang di lakukan pendeta ini mungkin tak cukup satu hari. Mulai dari menghalalkan suap, memberangus karyawan, menuduh gereja lain sesat, memaki pembantu dengan kata-kata jorok. Satu hal yang lebih parah adalah melakukan praktek-praktek duniawi dalam membangun sebuah gereja. Aneh bin ajaib, tak lama bergabung dengan gereja besar, pendeta spektakuler ini telah menduduki sebuah jabatan strategis dalam departemen misi. Tidak tanggung-tanggung, posisi ketua dipegangnya. Alhasil, beberapa gereja kecil dilindasnya. Dengan cerdik laksana ular, dia mulai mengirimkan bus-bus untuk menjemput jemaat. Tidak peduli gereja mana angkut saja. Dia memang benar-benar seorang  missionaris keblinger yang bertujuan untuk memenuhi kursi-kursi gedung ber AC yang dia sebutnya gereja.

Sekali lagi aneh bin ajaib, denominasi yang konon gembar-gembor adalah gereja beraliran kharismatik sejati. Aliran Kristen yang mana semua hal yang dilaksanakan dalam gereja hanya apa yang diinginkan Roh Kudus. Gereja ini terjerat oleh mamon. Denominasi ini merekrut manusia aneh yang bernama pendeta spektakuler tadi konon adalah bermotif uang. Barangkali karena konon orang ini tak segan-segan menyumbang gereja dengan jumlah yang spektakuler?

Kalau demikian, apakah kebenarannya? Pada pemandangan orang yang paling duniawi pun, gereja ini sesungguhnya telah mengaduk adonannya dengan ragi yang beracun. Padahal Alkitab pernah berpesan, jangan mencampur adonan dengan ragi karena ragi yang sedikit akan mengkhamiri seluruh adonan. Tetapi apa yang sedang kita saksikan sekarang? Justru makin bertengger dengan perkasa sang pendeta di atas tahtanya. Bahkan sekarang tak ada lagi yang berani untuk meluruskan jalannya. Semua mulut seolah terkatup bila dia sudah menyebutkan sebuah angka rupiah.

Sejatinya, kita harus kembali kepada keaslian pesan Alkitab. Tak peduli gereja kita besar atau kecil dan hanya dikunjungi oleh beberapa orang miskin. Gereja harus mulai cerdik menyeleksi para rohaniawannya. Gereja pun mestinya belajar untuk menggunakan kata-kata Alkitab seperti mengubah kata pendeta dengan gembala. Dengan demikian para rohaniawan selalu menyadari bahwa meraka adalah gembala jiwa-jiwa. Mereka juga akan cepat sadar dan berbalik kepada Tuhan jika hidup mereka mulai condong kepada Dunia kaerna mereka memang adalah imam yang rohaniwan.

Dengan memahami arti dan peran sebagai gembala seperti dikatakan Alkitab. Para gembala bertugas untuk memelihara jiwa-jiwa bahkan berkorban untuk jiwa-jiwa. Mereka bahkan harus berani korbankan nyawanya demi keselamatan kawanan domba-domba. “Akulah gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba-dombanya.” (Yohanes 10:11)

Dengan menyadari fungsi sebagai gembala, pendeta spektakuler yang konon masih tetap tak mau berobah itu akan berhenti berkata: “Jangan terlalu dekat dengan jemaat, nanti UUD, ujung-ujungnya duit!”. Kalau saja para pendeta tetap sadar bahwa seorang gembala harus dekat dengan kawanan domba-domba, berbagi dengan kawanan domba, bahkan menyerahkan nyawanya untuk keselamatan kawanan domba, maka sesungguhnya merekalah rohaniawan sejati. Jika tidak, mereka tak lebih dari Kaisar Nebukadnezar yang berjubah pendeta. Jika mereka tak juga sadar dan bertobat, seharusnya menukar namanya. Mereka lebih tepat bernama Pendeta Nebukadnezar saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar