Bila Tuhan Menenun
Oleh:
Joshua MS
Mataku
berkaca-kaca. Bening air mata hangat mengalir dan jatuh begitu saja tak terasa.
Apa yang aku saksikan seperti dalam mimpi. Bayi mungil merah dengan nafas
teratur terbaring di dalam box
pemanas. Kedua pipinya ranun kemerahan dan leher yang hampir tak terlihat.
Sesekali dia menggerakkan kedua belah tangannya yang mungil. Kemudian dia
menendang sampai selimutnya tersibak dan kaki serta jari-jari mungilnya
tersingkap.
Aku mematung tak
bergerak. Dadaku penuh sesak rasa kagum. Mahluk mungil di dalam box pemanas itu begitu menakjubkan hati.
Betapa sempurna tangan Sang Pencipta menenun tiap sel bayi mungil ini. Kagum
yang tak terasa melantun puji syukur di hati. Sama seperti air mata bahagia
mengalir tak terasa, doa yang melantun lembut dari hati pun begitu saja. Sebuah
doa syukur atas Mahakarya Sang Pencipta yang kini terbaring manis dihadapanku.
Perlahan aku
beringsut dengan hati tak rela. Paramedis mempersilahkan aku kembali ke ruang
tunggu sementara mereka melanjutkan tugas-tugasnya. Masih seperti sedang
bermimpi, aku melangkah ke ruang tunggu. Bertemu kembali dengan beragam
ekspresi wajah yang sedari pagi seperti menjadi teman tanpa pernah berkenalan.
Ekspresi wajah penunggu yang cemas berbaur dengan takut yang menusuk-nusuk ulu
hati. Ekspresi sama yang jelas tergambar di wajahku beberapa saat yang lalu.
Bagaimana hati
tidak cemas dan rasa takut tak memukul-mukul ulu hati. Sejak hari mengetahui
secara positif kehamilan istri, hingga detik akan melahirkan, prediksi medisnya
selalu membuat lolong sedih di ulu hatiku. Kesedihan yang menyayat hati dan
memecah tangis yang tak tertahan.
Dua bulan usia
kandungan isteriku, ancaman keguguran di tandai dengan pendarahan membuat aku
panik tak paham hendak berbuat apa. Ketakutan menyelinap saat tragedi janin
pertama di rahim istriku harus dikuret mendakwa seperti hakim yang tak berhati
terulang kembali. Namun penanganan medis yang cepat dan tepat akhirnya berhasil
menyelamatkan embrio di rahim isteriku. Walau untuk itu, isteriku harus
terbaring total 24 hari. Perjuangan hampir satu bulan yang sungguh sangat berat
itu memperlihatkan cinta istriku pada jabang bayi yang tak dapat aku gambarkan
dalamnya. Dengan rela dia terbaring seperti layaknya orang sakit tanpa
melakukan gerakan apapun selain membalik atau menyerongkan tubuhnya. Pada
pertengahan badrest, hampir seluruh kulit
terutama bagian punggung istriku mengelupas akibat keringat dan kurang
sirkulasi udara. Walau dokter menyarankan obat, istriku memilih tak
menggunakannya. Dia lebih memilih bayinya aman tanpa efek samping obat-obatan.
Akhir trimester
pertama, aku dan istri dapat bernafas lega. Dokter mengijinkan istriku beraktifitas
kembali. Walau di batasi, namun ini adalah berita yang sangat baik. Istriku
kembali dapat bersenda gurau dengan teman-temannya di kantor, sementara aku
dapat kembali lebih fokus pada pelayanan jemaat di gereja. Aku dapat merasakan
sukacita yang memancar dari raut wajah isteriku. Tak henti-hentinya dia berbagi
cerita dengan semua teman-temannya di kantor. Beberapa di antara teman-temannya
bahkan terinspirasi dan merencanakan untuk segera punya momongan.
Namun ujian
ternyata belum cukup. Dan ujian kali ini terasa seperti vonis bengis yang
terlalu. Dokter spesialis kandungan rumah sakit elit di kawasan Kemayoran
membeberkan diagnosa medis sehubungan dengan hasil laboratorium. Istri saya
mengalami infeksi toxoplasma IgG di atas ambang toleransi medis. Untuk lebih
mendapatkan hasil detail, dokter kemudian menyarankan untuk melakukan pemeriksaan
lanjutan di laboratorium. Hasilnya memang terjadi infeksi HI Avidity 0,517 di mana
sebenarnya ambang toleransi berada harusnya pada angka 0,300. Dokter kemudian
menyarankan agar kami mengikuti program pengobatan yang panjang sampai janin
lahir. Sebagai orang awam, tentu aku dan istri menjadi sangat gamang. Apalagi
mendengar resiko yang akan terjadi sehubungan dengan infeksi toxoplasma
tersebut. Salah satunya yang paling menakutkan adalah kemungkinan bayi
mengalami hydrocepallus atau
pembesaran kepala akibat penyumbatan saluran. Belum lagi kemungkinan cacat yang
mengancam.
Mendung kembali bergayut
dalam rentang hari bahagia kami yang sangat sempit. Bayangan kemungkinan medis
yang mengerikan membuat kami begitu kalut. Air mata isteriku yang terus
mengalir semakin membuatnya terpuruk. Kemungkinan medis yang menyeramkan itu
membuat hampir semua tiang-tiang ketabahannya runtuh. Aku berupaya tetap tegar
dan terus mengatakan bahwa masih ada second
opinion dengan cara konsultasi ke dokter kandungan yang lain. Beberapa kali
aku berbicara pada hati bahwa dokter bukan Tuhan. Bukankah masih ada satu hal
yang tak dapat dikerjakan oleh dokter yaitu mukjizat? Bukankah Tuhan adalah
Dokter dari segala dokter?
Dalam kepenatan
itulah, aku membawa isteriku ke sebuah rumah sakit anak dan ibu di kawasan
Jatinegara Jakarta. Seorang teman satu gereja merekomendasikan nama seorang
dokter. Pada hari kami akan bertemu
dengan dokter hasil rekomendasi itu, jantungku berdebar tak karuan. Sementara menunggu giliran kami memasuki ruang
dokter, aku berusaha tenang disamping isteriku yang sangat gelisah. Jantung
berdebar sangat kencang sementara menuntun isteriku memasuki ruang prakter
dokter yang ternyata telah sangat senior itu. Entah kenapa, ada aura ketenangan
di raut wajah sang dokter. Senyumnya seperti mampu memaksa ketakutan kami menguap
entah kemana. Dokter berkarisma itu membalikkan beberapa kali hasil lab dan
menatap kami. Kata pertama yang keluar dari mulutnya adalah no problem! Berikutnya dia mengatakan
bahwa memang terdeteksi adanya infeksi toxoplasma yang menurut standar
laboratorium rumah sakit sebelumnya, termasuk kategori rawan. Dokter ini
menolak pengobatan dan membiarkan janin itu bertumbuh sealami mungkin. Isteriku
hanya diberikan resep multivitamin dan disarankan untuk mengkonsumsi makanan
yang sehat dan tentu menenangkan jiwa dengan banyak berdoa.
Begitulah hari
terus berlalu. Kami kembali menjalani keseharian dengan berusaha untuk hidup
senormal mungkin. Aku pun paham bahwa dukungan phsikologis sangat berarti untuk
isteriku. Dia pun kembali ke kantor sementara aku kembali kepada runtinitas
sebagai rohaniwan melayani jemaatNya.
Tanpa terasa kandungan isteriku telah melewati trimester
kedua. Dia sangat sehat dan hanya beberapa minggu sempat menderita sindrom muntah-muntah.
Yang memusingkan hanya kalau ngidamnya kambuh, aku harus pontang-panting
mencari makanan yang ketika aku sudah hidangkan hanya dibolak-baliknya. Ah,
ternyata memang benar bahwa ngidam itu menyebalkan sekali.
Hari bergulir
tenang. Tak lagi ada riak atau gelombang yang cukup berarti. Aku juga berlaku
seperti tidak terjadi apa-apa dengan kandungan dan janinnya. Aku dan isteriku
seolah sepakat untuk bersikap bahwa tidak ada masalah. Walau kami sama-sama
menyadari, setiap saat dalam doa menjelang fajar, air mata selalu terjatuh dari
sudut mata. Doa dalam kekalutan yang sangat untuk memohon kekuatan dan
ketabahan. Dalam keseharian, kami berusaha untuk tidak membuka pembicaraan ke arah
diagnosa medis. Aku juga akan secara reflek mengganti chanel televisi yang
menayangkan hal-hal yang dapat membuat istriku gelisah.
Ketenangan semu
itu akhirnya segera juga berlalu. Ketika usia kandungan isteriku telah hampir
genap tujuh bulan, tengah malam menjelang dini hari. Kontraksi hebat yang
melilit rahim dan rasa panas di punggung membuat isteriku menjerit-jerit tak
karuan. Menurut petunjuk buku yang aku baca, itu adalah gejala kelahiran
prematur. Aku segera melarikan isteriku kembali ke rumah sakit. Dokter pun memutuskan
untuk merawat dan berupaya menunda kelahiran mengingat usia kandungan masih
sangat riskan dan berat bayi masih di bawah 2000 gram.
Mendung kembali bergayut.
Dakwaan diagnosa medis itu pun kembali memukul-mukul ulu hatiku. Ketakutan
seperti duri yang menusuk-nusuk setiap kali aku melangkah di koridor rumah
sakit menuju ruang isteriku di rawat. Sesak jiwa yang jauh lebih sakit dari
sakit yang pernah aku derita di usia mudaku. Sesak jiwa yang lebih menekan bila
di banding ketika masih di usia sekolah dasar aku harus bernafas dengan
paru-paru yang terinfeksi.
Selang 5 hari di
rawat, istriku diperbolehkan pulang dengan persyaratan sangat ketat. Tidak
boleh ada aktifitas yang memicu kontraksi. Dokter menatapku dan berkata: “Pak,
di tangan anda kunci kesehatan dan keelamatan isteri dan bayi. Jadi bantulah
mereka!” Seperti sebuah resep mahal, aku berupaya menebusnya dengan mengurangi
kegiatan di luar dan konsentrasi penuh merawat isteri.
Putri Kami Pun
Lahir
Sore itu kami
sekeluarga bersantai dengan berbelanja di sebuah pusat perbelanjaan yang tidak
terlalu jauh dari rumah. Aku kurang memperhatikan isteri ketika dia minta duduk
sementara kami terus mencari barang-barang keperluan sehari-hari. Setiba di
rumah isteriku merasa mules dan sakit di sekitar rahim hingga punggung. Mules
yang disertai sakit melilit itu berlanjut hingga dini hari. Bergegas aku
membawa dia ke rumah sakit.
Penanganan paramedis
yang cepat dan informasi yang tepat bahwa proses persalinan normal yang kami
rencanakan akan segera berlangsung. Aku bersyukur karena dokter yang menangani
isteriku sangat perhatian dan sering memakai posisinya sebagai salah seorang
direktur untuk membuat urusan kami lancar.
Pukul sembilan
pagi bukaan jalan lahir sudah tiga cm. Isteriku pun sudah melewati ritual medis
pra natal yang cukup ribet. Monitor yang mendeteksi denyut jantung bayi dan
kontaksi memperdengarkan bunyi-bunyian yang sangat menggangu telingaku. Belum
lagi monitor tekanan darah yang sesekali mengeluarkan bunyi aneh membuatku
tidak betah lama-lama di ruang bersalin yang sangat asing.
Jam berlalu
seperti sangat lama. Pukul 14.30 speaker
di langit-langit ruang tunggu seperti guntur.
Seseorang dari ruang bersalin memanggil namaku agar segera masuk ruang bersalin.
Aku bergegas tanpa peduli tatap mata banyak penghuni ruang tunggu. Yang ada
dibenakku adalah tangis melengking anakku. Namun sungguh aneh, seorang suster
justru menyodorkan gagang telepon. Di ujung telepon suara dokter yang sudah
saya kenal mendesah. Informasinya bahwa bukaan jalan lahir tidak mengalami
progres sementara tekanan darah sudah di ambang riskan. Intinya harus segera
melakukan operasi. Seperti kerbau di cucuk hidung, aku mengangguk dan
menyetujui eksekusi caesar. Yang
terpikir hanya bagaimana menyelamatkan dua jiwa yang begitu aku kasihi.
Menit yang
begitu berat ketika aku harus mendorong bad
istriku memasuki ruang operasi. Langkahku terhenti di depan pintu pembatas
ruangan operasi. Waktu terasa begitu berat menghimpit hingga diafragma begitu
susah membuka untuk menghirup oksigen. Aku mematung di antasa ruang tunggu
dengan pintu kaca pembatas ruang operasi. Berperang melawan waktu. Menunggu
saat pertama kali aku akan mendengar tangis bayi dan wajah bahagia isteriku.
Waktu kini seperti
menggelinding kencang. Aku segera berlari menuju pintu kaca ruang bersalin
sesaat setelah namaku dipanggil. Dan hanya sesaat aku sudah berhadapan dengan
seorang dokter anak. Nafasku memburu tak karuan. Dokter menyalamiku dan
menyebut kata selamat. Anakku telah lahir dengan sehat. Tidak ada tanda-tanda
yang mengkhawatirkan. Semua alat vital
sempurna. Berat hingga panjang yang normal untuk ukuran anak asia.
Tanpa terasa air
mata mengalir membasahi mataku yang hampir 24 jam tidak tertidur. Lega seperti air yang membasahi padang gurun kering. Sebuah kidung syukur dan
doa yang tak tergambarkan pun mengalir untuk kebesaranNya. Putri pertama kami,
Corinthia Evangeline Joshua, telah lahir ari Rabu, pukul 14.48 WIB, 28 Mei
2008, dengan berat badan 3275 gram dan panjang 48 cm. Putri yang cantik menurun dari ibunya, dan
kerangka yang kokoh diwarisinya dari aku ayahnya.
Seperti namanya
yang berarti putri cantik pembawa kabar baik yaitu keselamatan. Kabar baik
bahwa Mahakarya Tuhan melebihi prediksi medis. Seperti sebuah Mazmur yang indah
mengatakan: “Sebab Engkaulah yang membentuk buah pinggangku, menenun aku dalam
kandungan ibuku.” (139:13) Demikianlah tidak ada yang dapat menghalangi Allah
menenun Orin, panggilan anak kami, hingga lahir dengan sempurna. TanganNya yang
menenun dengan sempurna, maka segala hal yang hendak merusak kesempurnaan
ciptaanNya harus hengkang.
Terimakasih
Tuhan, karena kebesaranMulah, kami telah melewati lembah yang kelam dan
memasuki fajar yang bersinar terang. Fajar yang terbit yang membawa kabar
keagungan Tuhan dan hasil tenunanNya yang sempurna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar