Aku, Binggo dan Adam
Oleh:
Joshua MS
Entah sudah berapa kali aku
keluar masuk kamar mandi. Sepertinya seluruh isi perutku sudah terkuras habis.
Sejak kemarin diare yang tak kunjung reda seperti hendak merontokkan sistem
pertahanan tubuhku. Antibiotik, parasetamol, dan tablet penetral gas dalam
lambung super mahal yang sudah aku telan sedari pagi sepertinya tak bisa
berbuat banyak. Aku tetap saja harus keluar masuk kamar mandi. Bolak-balik
mengeluarkan apa saja yang aku telan.
Sudah dua hari
aku sangat menderita hingga tidak bisa berbuat apa pun. Aku hanya terbaring dan
menatap langit-langit. Diagnosa dokter menyebut diare dan peningkatan gas dalam
lambung. Ah, gas tritis itukan hanya pemanis kata saja. “Sebut saja aku
menderita maag.” Batinku bergolak. Teringat 10 tahun silam saat-saat genting
menyelesaikan skripsi, aku harus terkapar di rumah sakit karena apa yang di
sebut dokter infeksi saluran kandung kemih dan gas tritis. Tingkat stres yang
memuncak akibat tekanan menurut dokter-dokter tua itu memicu perkembangan
bakteri dalam lambung yang akhirnya menggerogoti anti bodi manusia. Jika
demikian adanya, maka tinggal menunggu sakit. Bah, macam mana pula ini?
Saat pikiranku
menerawang jauh, tanpa aku sadari pintu kamar terkuak. Istriku berdiri lengkap
dengan tas kerja. Dia memang sengaja pulang cepat karena kuatir keadaanku yang
belum membaik. Istri yang baik, demikian batinku berkata-kata. Tapi tunggu
dulu. Ada apa
dibelakangnya? Tiba-tiba kepalanya menyembul dari balik pintu. Mahluk lucu
dengan mata sayu berkaki empat. Ah, dia kan
Binggo. Anjing blasteran sahabatku yang berdiam di teras rumah. Istriku
ternyata mengerti gundah di mata Binggo dan membawanya kekamarku. Sudah dua
hari dia tidak bertegur sapa denganku. Karena jangankan untuk memberinya makan,
hanya sekedar beranjak dari kamar pun aku tak berdaya.
Biasanya Binggo
akan berdiri di kedua kaki belakangnya dan berharap aku mengelus kepalanya.
Kemudian dia akan menabrak perutku dan memintaku untuk bermain sebentar sebelum
berangkat kerja. Dia akan terus berdiri sambil menggoyang-goyangkan ekornya
sampai aku menghampirinya. Suatu kali dia bahkan melompat dengan kekuatan penuh
dan membuatku hampir tersungkur. Aku bayangkan seandainya orang asing yang
menerima terjangan itu, barangkali korbannya bisa mati karena serangan jantung.
Binggo adalah anjing yang sepertinya tak pernah lelah.
Tapi hari ini
dia hanya berdiri dengan keempat kaki dan memandangiku dari jauh dengan mata
kosong. Ekor putih hitamnya diam dan terjuntai ke bawah. Tidak ada seringai
lucu di wajahnya. Tidak ada ajakan untuk bermain apalagi untuk menerjang
perutku. Dia hanya memandangiku dengan tatapan memelas tanpa gerakan sedikitpun
selain kejapan matanya. Kejapan-kejapan matanya seperti bertanya: Ada apa denganmu bos?
Kenapa tidur saja? Kenapa tidak mengunjungiku di teras? Kenapa tidak lagi
mengelus kepalaku? Kenapa tidak mengisi mangkokku dengan makanan lezat? Mengapa
dan mengapa lain yang entah berapa banyak lagi.
Sejak hari
pertama kami memelihara Binggo, aku sudah merasa dia akan menjadi sahabat seisi
rumah. Dia sangat cepat akrab dengan seisi rumah bahkan dengan tamu yang baru
pertama kali datang. Binggo akan segera
menerima siapa saja yang telah dibukakan pintu pagar oleh salah seorang
penghuni rumah. Binggo begitu cepat akrab dan bahkan tak sungkan untuk mengajak
tamu bermain. Kadang-kadang aku harus tega “mengusirnya” agar tamu bisa
bernafas.
Awalnya aku
sempat kuatir bahwa Binggo tidak bisa diandalkan untuk menjaga rumah. Hampir 5
bulan Binggo tinggal di rumah namun tidak sekalipun dia menggonggong atau
menyalak sebagaimana lajimnya seekor anjing. Istri dan adik iparku yang memang
pecinta anjing sempat kuatir Binggo bisu. Aku tidak bisa berbuat apa-apa sampai
suatu hari kami sepakat untuk membawanya ke dokter hewan.
Kekuatiran kami
akhirnya terjawab pada suatu malam. Saat kami baru saja meninggalkan ruang
keluarga menuju kamar tidur. Tiba-tiba salakan keras memecah kesunyian malam.
Bukan hanya sekali tetapi berkali-kali. Aku segera berlari ke teras. Dugaanku
ternyata benar. Binggo sedang berusaha keras melepaskan lehernya dari rantai
pengamannya. Dia berdiri di atas keempat kakinya. Ekor putih hitamnya berkibar
seperti bendera. Bulu-bulu di punggung dan lehernya berdiri. Lidahnya menjulur
keluar. Sepintas aku melihat seekor kucing tetangga lari terbirit-birit
melompati pagar.
Sejak peristiwa
malam itu, setiap binatang akan berhati-hati bahkan walau hanya sekedar
melintas di depan pintu pagar. Aku kaget karena kaki Binggo bahkan begitu
cekatan menjepit dan membunuh binatang menjijikkan seperti kecoak dan cicak.
Berkali-kali pengamen dan pemulung lari terbirit-birit sambil ngedumel
sesaat mereka mencoba mendekati pagar rumah. Sifat purba Binggo sebagai
pengawal akhirnya keluar juga.
Sahabat Setia
Setiap kali aku
tiba di rumah, entah itu pagi, siang, malam, atau bahkan tengah malam, Binggo
akan segera berdiri, meluruskan badannya, dan kemudian berdiri di kedua kaki
belakangnya. Entah terbuat dari apa mahluk bernama Binggo ini hingga tak pernah
lelah untuk berdiri hanya sekedar untuk menyambut penghuni rumah yang telah
pulang.
Memang Binggo
tidak selalu benar. Suatu hari dia berlaku seperti mahluk aneh yang menyebalkan. Ia begitu semangat
menggigiti daun pintu. Kali yang lain dia juga melompat dan menarik baju yang
tergantung di jemuran. Berkali-kali kami bahkan harus merelakan handuk menjadi
alas tidur Binggo yang tanpa ijin telah terlebih mengacak-acaknya. Yang paling
parah adalah ketika mulut gatalnya mencoba rasa bemper kendaraan di garasi.
Namun dari semua kesalahan itu, Binggo akan segera berlari ke pojok dan
menundukkan kepala saat mendengar suara kerasku. Dia tahu kalau salah dan
mengakuinya tanpa mencoba beralasan seperti kebiasaan hampir seluruh mahluk
berkaki dua bernama manusia. Menit ini dia di hukum dan tak lama berselang, dia
akan segera berlari-lari dan mengajakku bermain. Melupakan insiden saat sapu
lidi mendarat dipunggungnya dengan cukup keras sebagai hukuman atas
kesalahannya.
Berbeda dengan mahluk yang di
sebut Alkitab bernama Adam. Dari kata adamah (bahasa Ibrani yang berarti tanah)
kita menemukan kata adam yang berarti manusia. Manusia memang sangat jauh
berbeda dengan anjing. Karena anjing hanyalah seekor binatang yang tidak punya
hati. Anjing hanya punya insting sementara manusia diberikan kelengkapan indera
sempurna. Namun perilaku manusia kadang-kadang tidak lebih baik dari seekor
anjing. Manusia yang memang terbuat dari debu tanah itu seringkali berlaku
begitu nista. Berkhianat dengan mengingkari hati nurani. Menyimpan sampah dalam
hati seperti ditulis Rasul Paulus: “Perbuatan daging telah nyata, yaitu:
percabulan, kecemaran, hawa nafsu, penyembahan berhala, sihir, perseteruan,
perselisihan, iri hati, amarah, kepentingan diri sendiri, percideraan, roh
pemecah, kedengkian, kemabukan, pesta pora dan sebagainya.” (Galatia
5:19-21) Padahal hati semestinya dibiarkan bersih karena dari situlah memancar
kehidupan: “Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah
terpancar kehidupan.” (Amsal 4:23).
Masih jelas
dalam ingatan ketika seorang staf senior menghembus-hembuskan rahasia pribadi
hanya untuk mengamankan posisinya dan mencampakkan aku. Masih segar juga dalam
ingatan ketika salah seorang pemimpin dalam salah satu divisi dibawahku berlaku
seperti Judas Iskariot. Seorang lagi yang konon mengatakan diri sebagai
sahabat, dengan enteng tanpa rasa bersalah meninggalkan aku terpuruk menghadapi
badai persoalan mahaberat. Kalau aku menulisnya lagi, akan menjadi daftar yang
sangat panjang tentang kejahatan hati mahluk yang bernama manusia.
Dalam semua hal
mahluk bernama manusia yang coba aku daftarkan memang telah beroleh anugerah
yang luar bisa. Tentu tidak dapat dibandingkan dengan seekor anjing bernama
Binggo. Tetapi sekali lagi, manusia saringkali tidak lebih baik dari seekor
anjing. Bahkan suatu saat dalam pengajaranNya, Yesus Kristus mengatakan bahwa
“anjing” jauh lebih baik dari antara umatNya (Matius 15:22-28). Satu hal yang
kupelajari, walau dalam keterbatasan yang mungkin tak semua orang dapat
menterjemahkannya, Binggo telah menjadi sahabat yang setia. Bahkan, sangat setia melebihi sekian
banyak orang-orang disekitarku.
Pdt. Joshua Mangiring Sinaga, S.Th
Gembala Senior Hati Nurani
Ministries
Pendiri/Pembina Yayasan Hati
Nurani
Alamat: Jl. Cempaka Baru IX/70C
Kemayoran Jakarta Pusat 10640
E-mail: pdt_jms@yahoo.co.id ; Website: www.hatinurani.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar