Rabu, 05 Desember 2012

Antara Betlehem, JCC, dan Hulu Kapuas


Antara Betlehem, JCC, dan Hulu Kapuas
Oleh: Joshua MS

Perempuan-perempuan tua itu bergerombol menuju ruang ibadah. Tawa canda riang terasa renyah. Mereka dengan teratur kemudian duduk di kursi-kursi plastik. Panitia yang hampir tak pernah rapat dan merencakanan format acara hampir tak berbuat apa-apa. Seperti sudah di komando, kelompok perempuan-perempuan tua itu duduk teratur. Ruangan ibadah yang berdiri di sebelah kolong jembatan layang itu hampir tak pernah sepi.

Kini hampir dua tahun berselang. Perempuan-perempuan tua itu tetap bergerombol menuju ruang ibadah, tawa canda mereka juga tetap renyah, dan ketika telah duduk di kursi-kursi plastik mereka tertip menunggu ibadah di mulai. Selama dua tahun mengikuti pembinaan holistik yang diselenggarakan oleh Yayasan Hati Nurani hampir tak membuat mereka bergeming.


Suatu sore yang sendu penghujung desember 2005. Lapat-lapat dari sebuah speaker tua di pojok ruangan mengalun lembut lagu Malam Kudus. Perempuan-perempuan tua yang duduk teratur di kursi-kursi plastik sumringah. Mereka kemudian tak dapat menahan lebih lama untuk tidak ikut bersenandung. Akhirnya semua pun larut dalam sukacita. Beberapa di antara mereka sibuk menyeka air mata yang tak terasa menetes. Untuk sesaat  mereka merasa berarti dan berharga. Bungkusan-bungkusan hadiah natal yang dibagikan yayasan pun, mereka jinjing pulang dengan bahagia.

Mereka yang Terabaikan

Tersebutlah seorang di antara mereka. Hampir 70 tahun usianya. Hidup menggelandang tanpa keluarga. Hampir tiap selasa dia datang selalu lebih awal sejam. Dia mengenakan sebuah kebaya kuning muda di padu kain panjang batik bermotip bunga. Kali ini dia pun datang dengan busana yang sama. Hampir dua tahun busana ini tak pernah lepas dari tubuhnya. Setelah aku selidik dengan cerdik agar tak membuatnya sakit hati, kebaya dan stelannya yang sekarang mulai retas kerena benang rajutannya sudah lapuk, adalah busana favoritnya. Karena itulah satu-satunya busana yang dia miliki.

Ada lagi seorang yang kisah hidupnya sungguh mengiris hati. Seorang perempuan tua yang terlantar tak punya sanak keluarga. Sehari-hari menggelandang di antara tumpukan sampah. Mengais rejeki di antara tumpukan lalat dan panasnya udara di utara Jakarta.  Bila matahari sudah beranjak keperaduannya, dia juga beringsut membuka pintu rumahnya. Rumah yang tak lain dari sebuah drum bekas. Menjulur seperti mahluk melata, dia masuk merayap dan merebahkan tubuhnya yang renta dan reot. Terlelap untuk sementara melupakan kerasnya hidup yang mendera.

Seorang lagi hidup bahkan tanpa rumah. Sehari-harinya hidup di antara bantalan rel kereta api. Bila malam tiba dia menggelar tikar kumalnya di tepi bantalan rel kereta. Dia tak bisa masuk ke tempat yang lebih layak di bawah atap ruang tunggu stasiun. Beberapa orang yang lebih muda teleh menguasai tempat itu. Suatu hari dia datang ke pertemuan ibadah dan bercerita. Malam beberapa hari sebelumnya, hujan mengguyur. Banjir datang seperti setan. Semua basah kuyup termasuk gelandangan yang tidur di stasiun. Namun Tuhan menyelamatkan perempuan tua ini. Tempat tidurnya tidak basah sedikitpun. Besok paginya dia bangun dan lihat sekelilingnya sudah rata dibersihkan banjir. Ibu tua itu berkata mukzijat bersamanya.

Ketiga perempuan tua yang tadi hanyalah sebagian dari ratusan manula yang berada dalam pembinaan Divisi Ministry Yayasan Hati Nurani. Hampir seluruhnya mereka adalah kaum terabaikan yang mendiami kolong-kolong jembatan layang Warakas Tanjung Priok, penghuni rumah-rumah bedeng kumuh yang tak laik huni, dan sisanya menggelandang di jalanan.

JCC oh JCC

Gerombolam perempuan-perempuan renta itu sudah berkumpul sejak tadi siang. Kolong jembatan layang yang memang lebih teduh dari pada ruang ibadah lebih mereka pilih untuk berkumpul. Mereka sedang menunggu bis yang akan mengantar ke bilangan Senayan. Tepatnya Jakarta Convention Centre (JCC). Mereka di undang oleh sebuah gereja besar yang menyelenggarakan natal di tempat bergengsi itu.

Mereka memang sudah terbiasa bergerombol. Celoteh mereka sangat bersahaja. Busana mereka pun jauh dari layak. Kaum marginal ini pun tak pelak jadi tontonan aneh di antara pengunjung. Beberapa dari mereka yang terbalut jas dan blazer wangi membuang wajah. Seolah-olah tidak melihat, atau mungkin tidak mau di hakimi tak kristiani karena tak menyapa atau sekedar tersenyum ramah.

Entah kenapa, perempuan-perempuan tua renta itu tak seorang pun mendapatkan tempat duduk. Mereka akhirnya bergerombol dan duduk di pojok atas anjuran panitia. Lagu-lagu natal yang dilantunkan dari sound system berkapasitas besar terasa memekakkan telinga. Dalam gelisah ingin cepat pulang beberapa di antara mereka mencoba untuk tetap tenang mendengarkan khotbah natal. Walau kadang-kadang telinga mereka tidak mengerti arti khotbah pendeta karena kerap kali berbahasa asing.

Hal yang paling mereka tunggu pun tiba. Pulang segera. Mereka tak lagi terlalu antusias menerima kotak makanan dari panitia. Bergegas mereka naik bis. Dalam perjalanan menuju Tanjung Priok tak terdengar lagu-lagu seperti sore tadi mereka berangkat. Beberapa diantara mereka bahkan tertidur. Terlelap dalam mimpi. Mimpi tentang sebuah natal yang damai. Natal yang bersahabat. Natal yang tak membedakan orang karena alasan strata. Natal yang merangkul bahkan para gelandangan miskin seperti mereka. Natal yang membuat mereka juga dapat merasa berharga walau hanya beberapa saat.

Hulu Kapuas yang Sunyi

Petang  yang sunyi. Beberapa serangga malam mulai bersenandung. Harmoni alam yang meneduhkan jiwa yang penat. Aku berupaya sekuat tenaga mengayuh cano menuju hulu. Sungai Kapuas di bulan Desember memang kerap meluap sampai ketepi. Jadi perlu tenaga lebih untuk membuat cano tetap melaju ke hulu.

Sudah sejak tadi pagi kami menyusur Sungai Kapuas. Mulai dari pelabuhan perahu motor di Kota Pontianak hingga persinggahan terakhir di desa Memperigang. Kami harus turun dari perahu motor dan melanjutkan perjalanan dengan cano karena badan sungai semakin mengecil.

Akhirnya setelah hampir 2 jam mengayuh cano. Kami pun tiba. Sebuah gereja panggung yang sangat sederhana adalah tempat kami akan merayakan natal. Gereja panggung dari kayu yang sangat sederhana. Gereja yang jauh dari sentuhan arsitek modern. Sebuah gereja yang lebih mirip sebagai pondok beratap rumbia.

Petangpun telah sedari tadi berlalu. Malam menyelimuti alam raya yang maha luas. Bintang-bintang di langit berbinar cerah seperti ikut bahagia. Sinar lampu petromak menyibak gelap pekat malam di luar gereja. Sayup-sayup lagu Malam Kudus pun mengalun lembut dari tenggorokan yang tercekat sukacita. Tanpa piano. Tanpa sound system. Tanpa kotak-kota makanan. Tanpa baju baru. Bahkan tanpa sepatu. Namun terasa sungguh damai. Sungguh penuh kasih dan ketenangan dalam kasih persaudaraan.

Ketika malam semakin larut, obor-obor yang di gantung di dinding gereja dihidupkan. Jemaat yang telah mendengarkan pesan natal bergegas menuruni tangga gereja. Penduduk yang bermukim di hulu Sungai Kapuas itu dengan cekatan melepaskan tali pengikat cano. Hanya dalam hitungan menit, mereka kembali lenyap dilekukan sungai. Bergegas mereka menuju rumah-rumah mereka yang terpaut berkilo-kilo dari gereja. Liukan obor mereka yang hilang ditikungan anak sungai membuat aku juga bergegas kembali ke ruang pastori.

Kedamaian terasa menyengat dadaku. Kebersahajaan jemaat pos penginjilan di pedalaman Kalimatan Barat terasa begitu mengganjal hati. Jemaat yang sederhana namun dengan rela menembus malam mengayuh cano hingga berjam-jam menuju gereja. Mereka datang hanya untuk mendengarkan Kabar Baik tanpa pernah memusingkan busana. Tanpa pernah berharap akan mendapatkan hadiah. Semata-mata untuk memuaskan jiwa dan bernyanyi dengan segenap hati. “Malam kudus, sunyi senyap, bintangMu gemerlap. Juru s’lamat manusia, ada datang di dunia. Kristus anak Daud, Kristus anak Daud.”

Malam semakin larut. Aku hampir tak dapat memejamkan mata. Pikiranku menerawang pada malam 2000 tahun silam. Seorang Bunda Maria dan Yosep menunggui dengan bahagia Bayi Kudus. Juruselamat dunia yang lahir bahkan di kandang domba di Efrata Betlehem. Tidur di bungkus lampin di dalam palungan. Dingin malam yang menusuk tak membuat ke dua anak manusia ini berhenti untuk bernyanyi dan memuji kemuliaanNya. Walau tanpa kata-kata selamat dari kerabat. Tanpa tegur sapa yang manis dari orang. Mereka terus bernyanyi sukacita.

Sungguh jauh berbeda dengan dunia dan peradapan di zaman ini. Zaman di mana ketulusan menjadi barang langka. Zaman di mana paham hedonisme merajalela. Bahkan merasuk para pelayan-pelayan gereja yang bernama hamba Tuhan. Zaman di mana kemurnian kasih tak lebih dari tambalan kain kusam. Kain kusam yang sengaja ditambalkan untuk menutup kemunafikan. Menutup kekerdilan jiwa di antara mereka yang dengan manis berkata selamat natal namun menutup mata terhadap sesama yang melarat dan terpuruk dalam penderitaan. Kepicikan yang tertutup dari pernak-pernik dan kemewahan natal yang semu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar