Antara Betlehem,
JCC, dan Hulu Kapuas
Oleh:
Joshua MS
Perempuan-perempuan
tua itu bergerombol menuju ruang ibadah. Tawa canda riang terasa renyah. Mereka
dengan teratur kemudian duduk di kursi-kursi plastik. Panitia yang hampir tak
pernah rapat dan merencakanan format acara hampir tak berbuat apa-apa. Seperti
sudah di komando, kelompok perempuan-perempuan tua itu duduk teratur. Ruangan
ibadah yang berdiri di sebelah kolong jembatan layang itu hampir tak pernah
sepi.
Kini hampir dua
tahun berselang. Perempuan-perempuan tua itu tetap bergerombol menuju ruang
ibadah, tawa canda mereka juga tetap renyah, dan ketika telah duduk di
kursi-kursi plastik mereka tertip menunggu ibadah di mulai. Selama dua tahun
mengikuti pembinaan holistik yang diselenggarakan oleh Yayasan Hati Nurani
hampir tak membuat mereka bergeming.
Suatu sore yang
sendu penghujung desember 2005. Lapat-lapat dari sebuah speaker tua di
pojok ruangan mengalun lembut lagu Malam Kudus. Perempuan-perempuan tua yang
duduk teratur di kursi-kursi plastik sumringah. Mereka kemudian tak dapat
menahan lebih lama untuk tidak ikut bersenandung. Akhirnya semua pun larut
dalam sukacita. Beberapa di antara mereka sibuk menyeka air mata yang tak
terasa menetes. Untuk sesaat mereka
merasa berarti dan berharga. Bungkusan-bungkusan hadiah natal yang dibagikan
yayasan pun, mereka jinjing pulang dengan bahagia.
Mereka yang Terabaikan
Tersebutlah
seorang di antara mereka. Hampir 70 tahun usianya. Hidup menggelandang tanpa
keluarga. Hampir tiap selasa dia datang selalu lebih awal sejam. Dia mengenakan
sebuah kebaya kuning muda di padu kain panjang batik bermotip bunga. Kali ini
dia pun datang dengan busana yang sama. Hampir dua tahun busana ini tak pernah
lepas dari tubuhnya. Setelah aku selidik dengan cerdik agar tak membuatnya
sakit hati, kebaya dan stelannya yang sekarang mulai retas kerena benang
rajutannya sudah lapuk, adalah busana favoritnya. Karena itulah satu-satunya
busana yang dia miliki.
Ada lagi seorang
yang kisah hidupnya sungguh mengiris hati. Seorang perempuan tua yang terlantar
tak punya sanak keluarga. Sehari-hari menggelandang di antara tumpukan sampah.
Mengais rejeki di antara tumpukan lalat dan panasnya udara di utara
Jakarta. Bila matahari sudah beranjak keperaduannya,
dia juga beringsut membuka pintu rumahnya. Rumah yang tak lain dari sebuah drum
bekas. Menjulur seperti mahluk melata, dia masuk merayap dan merebahkan
tubuhnya yang renta dan reot. Terlelap untuk sementara melupakan kerasnya hidup
yang mendera.
Seorang lagi
hidup bahkan tanpa rumah. Sehari-harinya hidup di antara bantalan rel kereta
api. Bila malam tiba dia menggelar tikar kumalnya di tepi bantalan rel kereta.
Dia tak bisa masuk ke tempat yang lebih layak di bawah atap ruang tunggu
stasiun. Beberapa orang yang lebih muda teleh menguasai tempat itu. Suatu hari
dia datang ke pertemuan ibadah dan bercerita. Malam beberapa hari sebelumnya,
hujan mengguyur. Banjir datang seperti setan. Semua basah kuyup termasuk
gelandangan yang tidur di stasiun. Namun Tuhan menyelamatkan perempuan tua ini.
Tempat tidurnya tidak basah sedikitpun. Besok paginya dia bangun dan lihat
sekelilingnya sudah rata dibersihkan banjir. Ibu tua itu berkata mukzijat
bersamanya.
Ketiga perempuan
tua yang tadi hanyalah sebagian dari ratusan manula yang berada dalam pembinaan
Divisi Ministry Yayasan Hati Nurani. Hampir seluruhnya mereka adalah kaum
terabaikan yang mendiami kolong-kolong jembatan layang Warakas Tanjung Priok,
penghuni rumah-rumah bedeng kumuh yang tak laik huni, dan sisanya menggelandang
di jalanan.
JCC oh JCC
Gerombolam
perempuan-perempuan renta itu sudah berkumpul sejak tadi siang. Kolong jembatan
layang yang memang lebih teduh dari pada ruang ibadah lebih mereka pilih untuk
berkumpul. Mereka sedang menunggu bis yang akan mengantar ke bilangan Senayan.
Tepatnya Jakarta Convention Centre (JCC). Mereka di undang oleh sebuah
gereja besar yang menyelenggarakan natal di tempat bergengsi itu.
Mereka memang
sudah terbiasa bergerombol. Celoteh mereka sangat bersahaja. Busana mereka pun
jauh dari layak. Kaum marginal ini pun tak pelak jadi tontonan aneh di antara
pengunjung. Beberapa dari mereka yang terbalut jas dan blazer wangi
membuang wajah. Seolah-olah tidak melihat, atau mungkin tidak mau di hakimi tak
kristiani karena tak menyapa atau sekedar tersenyum ramah.
Entah kenapa,
perempuan-perempuan tua renta itu tak seorang pun mendapatkan tempat duduk.
Mereka akhirnya bergerombol dan duduk di pojok atas anjuran panitia. Lagu-lagu
natal yang dilantunkan dari sound system berkapasitas besar terasa
memekakkan telinga. Dalam gelisah ingin cepat pulang beberapa di antara mereka
mencoba untuk tetap tenang mendengarkan khotbah natal. Walau kadang-kadang
telinga mereka tidak mengerti arti khotbah pendeta karena kerap kali berbahasa
asing.
Hal yang paling
mereka tunggu pun tiba. Pulang segera. Mereka tak lagi terlalu antusias
menerima kotak makanan dari panitia. Bergegas mereka naik bis. Dalam perjalanan
menuju Tanjung Priok tak terdengar lagu-lagu seperti sore tadi mereka
berangkat. Beberapa diantara mereka bahkan tertidur. Terlelap dalam mimpi.
Mimpi tentang sebuah natal yang damai. Natal yang bersahabat. Natal yang tak
membedakan orang karena alasan strata. Natal yang merangkul bahkan para
gelandangan miskin seperti mereka. Natal yang membuat mereka juga dapat merasa
berharga walau hanya beberapa saat.
Hulu Kapuas yang Sunyi
Petang yang sunyi. Beberapa serangga malam mulai
bersenandung. Harmoni alam yang meneduhkan jiwa yang penat. Aku berupaya sekuat
tenaga mengayuh cano menuju hulu. Sungai Kapuas di bulan Desember memang
kerap meluap sampai ketepi. Jadi perlu tenaga lebih untuk membuat cano tetap
melaju ke hulu.
Sudah sejak tadi
pagi kami menyusur Sungai Kapuas. Mulai dari pelabuhan perahu motor di Kota
Pontianak hingga persinggahan terakhir di desa Memperigang. Kami harus turun
dari perahu motor dan melanjutkan perjalanan dengan cano karena badan sungai
semakin mengecil.
Akhirnya setelah
hampir 2 jam mengayuh cano. Kami pun tiba. Sebuah gereja panggung yang sangat
sederhana adalah tempat kami akan merayakan natal. Gereja panggung dari kayu
yang sangat sederhana. Gereja yang jauh dari sentuhan arsitek modern. Sebuah
gereja yang lebih mirip sebagai pondok beratap rumbia.
Petangpun telah
sedari tadi berlalu. Malam menyelimuti alam raya yang maha luas. Bintang-bintang
di langit berbinar cerah seperti ikut bahagia. Sinar lampu petromak menyibak
gelap pekat malam di luar gereja. Sayup-sayup lagu Malam Kudus pun mengalun
lembut dari tenggorokan yang tercekat sukacita. Tanpa piano. Tanpa sound
system. Tanpa kotak-kota makanan. Tanpa baju baru. Bahkan tanpa sepatu. Namun
terasa sungguh damai. Sungguh penuh kasih dan ketenangan dalam kasih
persaudaraan.
Ketika malam
semakin larut, obor-obor yang di gantung di dinding gereja dihidupkan. Jemaat
yang telah mendengarkan pesan natal bergegas menuruni tangga gereja. Penduduk
yang bermukim di hulu Sungai Kapuas itu dengan cekatan melepaskan tali pengikat
cano. Hanya dalam hitungan menit, mereka kembali lenyap dilekukan sungai.
Bergegas mereka menuju rumah-rumah mereka yang terpaut berkilo-kilo dari
gereja. Liukan obor mereka yang hilang ditikungan anak sungai membuat aku juga
bergegas kembali ke ruang pastori.
Kedamaian terasa
menyengat dadaku. Kebersahajaan jemaat pos penginjilan di pedalaman Kalimatan
Barat terasa begitu mengganjal hati. Jemaat yang sederhana namun dengan rela
menembus malam mengayuh cano hingga berjam-jam menuju gereja. Mereka datang
hanya untuk mendengarkan Kabar Baik tanpa pernah memusingkan busana. Tanpa
pernah berharap akan mendapatkan hadiah. Semata-mata untuk memuaskan jiwa dan
bernyanyi dengan segenap hati. “Malam kudus, sunyi senyap, bintangMu
gemerlap. Juru s’lamat manusia, ada datang di dunia. Kristus anak Daud, Kristus
anak Daud.”
Malam semakin larut. Aku hampir
tak dapat memejamkan mata. Pikiranku menerawang pada malam 2000 tahun silam.
Seorang Bunda Maria dan Yosep menunggui dengan bahagia Bayi Kudus. Juruselamat
dunia yang lahir bahkan di kandang domba di Efrata Betlehem. Tidur di bungkus
lampin di dalam palungan. Dingin malam yang menusuk tak membuat ke dua anak
manusia ini berhenti untuk bernyanyi dan memuji kemuliaanNya. Walau tanpa
kata-kata selamat dari kerabat. Tanpa tegur sapa yang manis dari orang. Mereka
terus bernyanyi sukacita.
Sungguh jauh
berbeda dengan dunia dan peradapan di zaman ini. Zaman di mana ketulusan
menjadi barang langka. Zaman di mana paham hedonisme merajalela. Bahkan merasuk
para pelayan-pelayan gereja yang bernama hamba Tuhan. Zaman di mana kemurnian
kasih tak lebih dari tambalan kain kusam. Kain kusam yang sengaja ditambalkan
untuk menutup kemunafikan. Menutup kekerdilan jiwa di antara mereka yang dengan
manis berkata selamat natal namun menutup mata terhadap sesama yang melarat dan
terpuruk dalam penderitaan. Kepicikan yang tertutup dari pernak-pernik dan
kemewahan natal yang semu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar