Minggu, 30 Desember 2012

DUKA DARI NIAS


Sepenggal Duka dari Nias
Oleh: Joshua MS.

Siang yang terik. Gemah Ripah, nama taxi yang membawa rombongan kami meluncur menyusuri jalanan kota Bandung. Entah karena efek global pemanasan bumi atau apalah, kota Bandung sekarang sungguh berbeda bila di banding 10 tahun yang lalu. Waktu itu untuk pertama kalinya aku mengunjungi Bandung, suhunya masih terasa sejuk. Itulah sebabnya setiap kali liburan semester, aku lebih suka ke Bandung daripada pulang kampung ke Sumatera.



Gedung itu beralamat di Jalan Dewi Sartika nomor 104 Bandung. Gedung yang lebih mirip sebagai rumah toko, memanjang ke belakang. Sepintas aku sudah dapat menduga-duga bahwa ruangan-ruangan yang ada di dalamnya pasti mirip ruko. kami segera membongkar bagasi taxi. Siang ini kami akan berbagi kasih dengan anak-anak Panti Asuhan Peduli Kasih. Membagikan paket sembako dan paket perlengkapan sekolah.

Beberapa anak dengan sigap menyambut paket yang aku jinjing. Mereka sungguh terlatih untuk membantu dan melayani. Tiba-tiba seorang wanita paruh baya muncul dari pintu bagian dalam. Dengan senyuman yang ramah, wanita itu menyalami kami.

“Selamat datang Ibu, selamat datang Bapak!” berkali-kali dia mengulang kata-kata salam. Wajah ramahnya sungguh raut tulus yang tidak dipaksakan. Secepatnya barang-barang dan paket kami bereskan di sudut ruangan. Seorang petugas panti muncul lagi dari pintu dalam. Dia juga terlihat santun dan ramah.

“Boleh kami lihat-lihat ke dalam Ibu?” Saya mencoba seramah mungkin.
“Oh tentu boleh, mari, silahkan!” Rombongan kami beriringan masuk keruangan dalam melewati koridor sempit. Ruangan standar ruko yang memanjang dan tersambung ke bangunan penyanggah di belakang. Pada ujung ruang penyanggah kami tiba di ruangan makan dan dapur. Ruangan yang terkesan apa adanya.

Sebuah meja makan yang terbuat dari triplek. Beberapa kursi kayu yang di buat memanjang. Entah mengapa, di atas meja makan itu terpajang satu unit televisi 17 inch yang sudah tua. Agak dipojokan terletak dapur dengan beberapa kompor dan dandang yang menghitam. Paling pojok kanan dua kamar mandi. Lebih maju ke depan aku lihat ada kamar pengurus panti yang bersebelahan dengan kamar putri panti. Aku yakin itu adalah kamar anak perempuan karena di pintunya ada gambar-gambar lucu, ciri kahas perempuan.

“Kami melakukan hampir semua kegiatan di sini” Jelas ibu paruh baya itu. “Sekarang kita ke atas, ke kamar laki-laki.” Dia mendahului kami melangkah ke arah tangga yang menghubungkan ruang bawah ke lantai satu. Kami kemudian menekuri tangga menuju kamar laki-laki di atas.

 Sebuah ruang tamu yang dipenuhi loker. Di pojok ruangan sebuah pintu kamar yang lumayan besar. Kamar tidur laki-laki berisi 5 tempat tidur tingkat. Tampaknya mereka tinggal dengan berdesakan di kamar ini. Kamar memang terkesan sangat sesak dengan tempat tidur tingkat dan lemari-lemari pakaian.

“Mereka semua tidur di sini.” Ibu paruh baya itu kembali menerangkan.

Sebelum turun, beberapa kali aku mencoba mengabadikan ruangan dengan kamera. Kami turun, ternyata anak-anak sudah banyak yang berdatangan. Mereka baru pulang berenang. Satu acara rutin ketika mereka libur sekolah. Hari libur memang selalu dimanfaatkan oleh mereka untuk olah raga dan rekreasi. Aku melihat wajah-wajah sumringah anak yang semuanya berasal dari Nias. Sikap mereka sangat santun. Satu persatu mereka menyalami kami.

Bencana tak Terduga.

Sudah 3 hari hujan turun terus menerus. Desember, nama anak laki-laki yang lahir Bulan Desember, berbaring dengan menyelimuti dirinya rapat-rapat. Angin malam terasa menusuk. Anak laki-laki berumur 12 tahun itu terlelap dalam tidurnya. Dia asik dengan mimpinya tanpa mempedulikan hujan yang semakin deras seolah tercurah dari langit.

Menjelang tengah malam, Desember dibangunkan oleh ibunya. Kaget, Desember buru-buru bangun. Dalam keadaan setengah sadar dia mengusap mata. “Cepat, cepat, bangun!” Seluruh rumah jadi sibuk. Desember dan ketiga saudaranya segera dilarikan ke arah gunung. Suasana mencekam, sementara air luapan sungai mulai mengalir masuk dan menggenangi lantai rumah. Syukurlah, setelah berusaha dengan susah payah, satu keluarga itu akhirnya tiba di gunung dengan selamat.



Sementara itu di perkampungan, dalam hitungan menit, rumah-rumah yang termasuk wilayah kecamatan Lohesa kabupaten Nias tenggelam di amuk banjir. Yang ada hanyalah air kotor yang membawa lumpur dan kayu-kayu dari hulu sungai. Seperti air bah, air mengalir deras dari hulu sungai membawa tanah lonsor dan kayu-kayu meluluhlantakkan bangunan-bangunan rumah, sekolah, dan gereja.

Desember mengusap air matanya. Beberapa menit sebelum kampung terendam air hingga 15 meter. Ibunda terkasih menitipkan adik dan saudara-saudara padanya. Ibunda berlari turun gunung untuk menyelamatkan harta benda mereka yang tertinggal di rumah. Malang nian nasib ibunya, dia hanyut terbawa arus deras dan jenasahnya baru ditemukan 2 hari kemudian.

“Aku sudah melupakannya, aku tidak mau terus terusan hidup dalam bayang-bayang itu.” Desember mengakhiri kisahnya.Walaupun di sudut matanya ada titik-titik air mata yang mengkristal. Desember yang kini telah duduk di bangku SMP itu berupaya tersenyum.

Kejadian tengah malam 31 Juli 2001 yang menenggelamkan 6 kecamatan dan menelan korban hampir 1000 orang itu adalah lembaran kenangan hitam bagi dia. Sekarang dia bersama anak-anak yang lainnya resmi diadopsi oleh Yayasan Peduli Kasih. Mereka ditempatkan di sebuah rumah panti yang di bina oleh seorang pengusaha keturunan di kota Bandung. Sementara waktu terus bergulir, Desember kini belajar giat untuk mewujudkan cita-citanya menjadi seorang dokter.

Duka di Panti Asuhan


“Dulunya mereka 20 orang.” Mbak Dewi, salah seorang juru bahasa yang turut dibawa dari Nias berkisah tentang suka duka melayani di panti asuhan. “Tetapi, ada dua orang yang dipulangkan karena tidak dapat di atur! Mereka nakal dan sudah diingatkan berkali-kali, akhirnya kami pulangkan.”

“Panti ini lebih kepada sebuah keluarga, jadi kami menerapkan pelayanan sebagaimana layaknya sebuah keluarga.” Mbak Dewi melanjutkan penjelasannya.

“Berhubung karena Panti belum memiliki tempat yang tetap, kami beberapa kali harus berpindah-pindah. Puncaknya adalah ketika kami terpaksa menitipkan 18 anak ke sebuah Panti Asuhan di daerah Bekasi.” Mbak Dewi kelihatan sedikit serius, gurat wajahnya seketika mendung.

“18 anak yang kami titipkan itu awalnya merasa sangat asing. Mungkin karena lingkungan yang asing dan aturan panti yang berbeda.” Mbak Dewi berhenti sebentar, dia memutar pandangannya. Tiba-tiba dia memanggil seorang anak panti, anak itu masih sangat lugu. Robyanto Hulu bocah berumur 10 tahun segera menghampiri Mbak dewi.

“Robi ini dulunya dua bersaudara. Orang tua mereka meninggal dalam bencana banjir, jadi keduanya diadopsi yayasan. Keduanya kami titipkan bersama teman-temannya yang lain ke panti di Bekasi.Adiknya bernama Arisman Hulu, masih sangat kecil kelas satu SD.”

“Suatu hari, guru sekolah di mana anak-anak panti disekolahkan telepon ke kantor panti. Mereka melaporkan bahwa Aris telah mencuri makanan dari seorang temannya. Jadi guru itu meminta pengurus panti menghadap ke sekolah.” Mbak Dewi menatap Robyanto.

“Setelah diselidiki, ternyata memang benar Aris telah mengambil kue dari tas temannya. Selidik punya selidik Aris mengambil kue itu hanya karena lapar. Kami baru tau ternyata di pagi hari mereka hanya dikasih sarapan sepotong kue dan teh manis, sehingga sebelum pulang mereka sudah kelaparan. Aris tidak tahan, jadi begitu dia lihat kue ada di tas temannya, dia langsung ambil dan makan.” Mbak Dewi melanjutkan ceritanya. Ekspresinya berubah-ubah.

“Singkat cerita, petugas panti datang dan membawa Aris pulang. Selanjutnya dari cerita anak-anak, Aris dihukum.” Mbak Dewi menahan emosi. Sekarang ekspresi wajahnya jadi tegang. Seperti menahan sebuah amarah yang mau meledak.

“Kalau hanya didisiplin, kami tidak akan marah. Tapi bentuk hukuman itu sungguh biadab dan tidak berprikemanusiaan. Pengurus panti yang nota bene hamba Tuhan itu menghukum Aris dengan cara yang sangat sadis. Aris dipaksa makan dan minum sampai kenyang dan hampir tidak bisa bernafas. Pengurus panti itu bilang ini hukuman untuk orang yang tidak bisa menahan nafsu makan. Setelah selesai makan dan minum hingga kembung, Aris disuruh mandi. Beberapa kali dia dipukul dan ditendang hingga jatuh tertelungkup. Belum puas menghukum dengan cara demikian, Aris dibiarkan terkapar tanpa ada yang menolong dipojok ruangan.”

“Menjelang sore Aris muntah-muntah dan kesulitan bernafas. Pengurus panti tetap tak bergeming dan berkilah Aris hanya pura-pura. Dia bahkan melarang anak-anak yang lain yang berniat menolong Aris. Tetapi karena yang lain mulai panik melihat keadaan Aris, akhirnya pelayan panti itu mengijinkan Aris dibawa ke rumah sakit. Dalam perjalanan ke rmah sakit, Aris menghembuskan nafas terakhir. Bocah cilik itu  meninggal oleh kekerasan seorang manusia yang menyebut dirinya hamba Tuhan?” Mbak Dewi diam, berusaha menenangkan gejolak hatinya.

“Kami dihubungi via telepon ke Bandung, dan kabar yang kami terima Aris meninggal karena sakit. Saya segera ke sana dan mengurus segala sesuatunya. Tetapi begitu tiba di Bekasi, saya sudah mengendus adanya ketidakberesan. Anak-anak dipaksa tutup mulut, mereka diancam dan disuruh masuk kamar. Saya tidak putus asa karena saya memang dekat dengan mereka jadi saya mencoba mendekati beberapa anak. Namanya anak-anak, mereka pasti tidak  bisa diajak bohong.  Berita kekerasan itu akhirnya terbongkar, saya segera lapor polisi dan dalam waktu yang singkat polisi yang disertai wartawan segera menggerebek Panti Asuhan. Pengurus panti yang berinisial nama Rasul itu segera diciduk. Dia mengakui semua dan akhirnya dihukum 10 tahun penjara.”

“Setelah berembuk, akhirnya kami memutuskan untuk menarik semua anak-anak kembali ke Bandung. Puji Tuhan, seorang dermawan memberikan gedung ini untuk kami tempati. Gratis. Tuhan itu sangat baik. Di sini sekarang tinggal 17 anak. Robyanto Hulu sudah dapat melupakan tragedi atas adiknya Aris. Kejahatan yang terjadi didepan matanya sendiri hingga merenggut nyawa adiknya seolah menjadi dorongan yang kuat agar dia terus berusaha dan menjadi anak yang lebih baik.”

Nias yang Malang


Suasana ruang makan Panti Asuhan Peduli Kasih yang biasanya ramai dengan celoteh dan canda tawa, hening dan murung. Belasan pasang mata mulai berkaca-kaca. Bening mengkristal mengalir seperti anak sungai di pipi anak-anak panti. Sementara itu reporter televisi swasta terus menerus dengan terbata-bata dan ekspresi duka melaporkan secara langsung kondisi Kota Nias yang porak poranda. Televisi 17 inch yang di pajang di sudut meja makan triplek itu menjadi saksi bisu tangisan anak-anak nias penghuni Panti Asuhan Peduli Kasih.

Seperti lirik lagu seorang musisi balada, Ebiet G. Ade, Menoreh Luka Baru di Atas Luka Lama. Belum lama berselang, bencana 31 Juli 2001 kembali menoreh luka di jiwa penduduk Nias. Belum tuntas anak-anak panti mengikis trauma air banjir yang menenggelamkan kampung halaman dan merengut nyawa orang-orang yang mereka kasihi, kini dengan mata kepala mereka sendiri menatap duka kembali menjenguk Nias.Gempa Bumi dengan kekuatan 8,7 pada skala richter merobek dan menghantam bumi Nias. Mencabik-cabik pertahanan yang mereka bangun selama hampir empat tahun. Meluluhlantakkan semua yang mereka pernah banggakan di bumi tanah tumpah darah mereka.

Sementara teriak dan tangisan bercampur aduk dari para pengungsi yang berebut mendapatkan beras dan mie instant terus menerus dilaporkan para reporter. Jerita dan ar mata yang mengantar anak-anak polos itu beranjak menuju tempat tidur masing-masing. Beribu pertanyaan yang tak bisa mereka jawab memenuhi jiwa mereka. Oh Tuhan, tidakkah ini terlalu berat untuk mereka? Tidakkah Nias juga berhak tahu mengapa bencana tak kunjung berakhir menjenguk tanah dan pulau nan permai itu? Hanya Tuhan yang tahu.

Bandung, 5 Juli 2005

Jumat, 28 Desember 2012

SAUH DI BELAKANG TABIR


Sauh di Belakang Tabir (Sebuah Catatan Harian)
Oleh: Joshua MS

Aku mengenal kapal laut baru-baru ini saja. Sejak aku pindah ke kota pelabuhan dan menjadi orang yang sedikit-demi sedikit mengenal kehidupan metropolitan. Suatu hari aku pernah tidur di jalanan dan hampir putus asa karena harapan untuk melanjutkan pendidikan kandas terhempas. Aku tidak lulus testing. Aku menjadi begitu labil dan menangis minta pulang ke kampung halaman. Aku bahkan tidak bisa berbuat apa-apa selain merenung sambil menatap air hujan yang semakin deras mengguyur bumi. 


Aku ingat kala masih di kampung. Aku punya papa yang hebat, dan mami yang penuh kasih sayang. Dia akan membelaiku dan membawakanku cerita tentang kepahlawanan yang menyenangkan. Tidak terasa akupun tidur terlelap bersama semakin jauhnya malam merayap. Sungguh aku ingin pulang dan berlari kembali kepelukan bunda tercinta. Aku benar-benar tidak punya sandaran yang teguh untuk menopang kehidupan di Jakarta. Bahtera hidupku mulai berguncang hebat.

Suatu hari, aku melihat diriku sudah tidak lagi berbentuk. Aku sudah hancur dan berkeping-keping tanpa bentuk. Aku menangis dan menangis lagi meratapi mengapa aku harus menjalani hidup seperti ini. Aku menjalani hidup dalam keputusasaan. Aku bahkan sudah berniat untuk pulang dan menyerah. melupakan komitmen melayani Tuhan yang aku bawa dari kampung. Tapi ada satu yang mengganjal hatiku, dulu aku pernah berjanji harus berhasil. Aku menyeret kaki yang lunglai menekuri trotoar sunyi sepanjang malam. Sepanjang koridor sunyi dari gedung-gedung pencakar langit yang bisu, aku berjalan hampir tanpa arah dan tujuan yang pasti.

Hari-hari itu ternyata tidak selamanya mendung, kata seorang penyair. Perlahan-lahan awan gelap tersibak ketika sang surya mulai bersinar. Aku menatap hari itu dengan semangat. Aku berharap aku akan menang, paling tidak aku tidak akan malu pada Papa dan Bunda yang selalu membanggakan aku. Aduh, ternyata surya yang bersinar ini tidak seramah yang aku duga dan harapkan. Ternyata sinar itu juga panas menyengat sehingga kulitku terbakar. Aku kemudian jatuh, sepertinya aku akan pingsan.

Syukurlah, hatiku menggantung pada sebuah harap yang samar. Sebuah sauh di belakang tabir yang kokoh tak bergeming dan tidak pernah dapat aku lihat. Aku bangkit dan menepis abu-abu kotor yang menempel di sekujur tubuh. Jaket kumal yang membalut tubuh kerdil itu sekarang berubah menjadi penepis rasa dingin satu-satunya. Aku terus berjalan sampai akhirnya  tahu bahwa aku sudah basah kuyup.

Aku masih saja melangkah sampai akhirnya tiba pada satu persimpangan. Satu tubrukan keras menghantam tubuh dekilku. Aku terhempas dan tidak sadar. Aku mencoba membuka kelopak mataku. Aku hanya dapat melihat sebuah cahaya kecil bersinar. Ekor mataku kemudian samar menatap sauh di belakang tabir itu tidak bergeming. Dia tetap kokoh menatang bahtera hidupku yang hampir pecah.

Sekarang aku terbungkus perban-perban putih memerah. Sekujur tubuhku menjadi kaku dan kejang. Malam itu menjadi saat yang sangat panjang dan penuh tangisan yang menyanyat dan memecah sunyi. Hingga mereka yang berbusana aneh putih-putih itu menyeringai. Mereka berpikir aku mungkin lebih baik mati. Ah, mengapa begitu kasar mereka menatap mataku. Bukankah mereka seharusnya menjadi orang yang melindungi, mengapa mereka menatapku dengan sorot menghakimi. Mereka menatapku tajam seolah-olah ingin menghukum.

Syukurlah, aku telah menjadi orang yang terbiasa menatap sauh di belakang tabir yang kokoh terpancang di antara amukan badai. Dia tidak tergoyahkan sedikitpun.

Perlahan aku kembali menapaki jalan-jalan penuh gelombang seperti kemarin. Aku masih saja terhempas dan jatuh. Akupun juga ternyata masih saja tidak bisa berjalan lurus. Aku bahkan masih mengenakan jaket yang lalu. Tetapi sekarang aku berbeda. Ketika jaket itu sekarang telah ditambal. Tambalannya adalah atribut almamater kampus. Aku tidak mengerti sama sekali mengapa itu terjadi.

Ah, aku tidak sadar bahwa sekarang perjuanganku untuk masuk seminari itu sudah di ambang pintu. Dengan bangga aku menjingjing tas kumal di tangan kanan dan melangkan maju. Untuk pertama kalinya aku menawarkan  nama dan berkata. Aku dari seminari.

Yah, Tuhan, aku bangga karena sauh Pengharapan dalam Engkau, Tuhan Yesus, sekarang aku telah berbaju bersih, bertopi aneh, dan mengenakan toga serba hitam. Kemudian di belakang namaku sekarang bertengger sebuah gelar, sarjana teologia. Impian dan kerinduanku telah terwujud untuk menjadi seorang pelayanMu.

Aku kemudian melirik ke belakang tabir itu, ah….. sauh itu tidak pernah bergoyah. Dia tetap tegar menopang hidup susah maupun senang. Dia sungguh adalah sahabat yang sejati. Itulah sauh pengharapan yang tidak akan   pupus sampai hari kiamat. Sauh yang kokoh di belakang tabir Bait Suci, yaitu Tuhan Yesus Kristus. Walaupun seolah-olah Dia datang sangat lambat, tetapi sungguh Dia tidak pernah terlambat.

IBRANI 6:19 "Pengharapan itu adalah sauh yang kuat dan aman bagi jiwa kita, yang telah dilabuhkan sampai kebelakang tabir."

Naskah ini saya Copy dari sebuah catatan harian. Sebuah kesaksian hidup yang di tulis oleh seorang hamba Tuhan dalam buku harian. Sebuah perjuangan yang melukiskan bertapa sangat berharganya komitmen untuk melayani Tuhan, sehingga ketika semua keluarganya “membuang” dia, ketika seolah-olah seminari tidak menerima dia, ketika semua berpaling dan meragukan kemampuannya. Ditengah-tengah keputusasaannya, di tengah ketakutan yang sangat menekannya, dia belajar untuk melabuhkan sauh pengharapannya ke belakang tabir, yaitu Tuhan Yesus Kristus. Semoga hambaNya itu akan terus di pakai dalam ladangNya.

Kamis, 27 Desember 2012

ROHANIWAN SEJATI?


PENDETA DUNIAWI
Oleh: Joshua MS

Pada kenyataannya, kata “pendeta” memang tidak pernah dikenal dalam penulisan Alkitab. Kata pendeta murni adalah istilah “duniawi” yang diadopsi orang-orang Kristen Indonesia untuk menamai para imam. 


Aneh memang, karena ada agama lain juga menggunakan nama yang sama untuk pemimpin spiritual mereka. Entah karena kekurangan perbendaharaan, kata “pendeta” sesunggguhnya adalah istilah “duniawi” dan diterima begitu saja. Mungkin karena istilah Alkitab kurang tren, orang Kristen lebih menyukai kata-kata “duniawi” dalam mengejawantahkan keberadaannya.

Kecenderungan orang-orang Kristen menyukai hal-hal bersifat duniawi bukanlah hal baru. Sejak gereja didirikan pada abad pertama Masehi, orang-orang yang menyebut diri Kristen jatuh bangun dalam hal mencintai dunia. Sebut saja contoh paling kelam dalam sejarah Perang Salib. Orang-orang Kristen tercebur dalam percaturan politik kotor. Mereka mengangkat pedang dan memancung sesama manusia.

Sungguh ironis. Yesus Kristus yang konon katanya disembah, berkata: “Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu.” (Matius 5 :44). Yang paling menyedihkan adalah perang dogma. Satu denominasi memburu dan membunuh sesama yang berseberangan dengan dogma denominasinya.

Itu tidak berbeda jauh dengan keadaan belakangan ini. Para pemimpin orang Kristen yang sering dipanggil pendeta itu terkadang lebih duniawi. Cobalah kita lihat gaya hidup pendeta-pendeta era milenium ini.

Kalau dibanding-bandingkan, mereka tak kalah mentereng dengan selebritis. Namun yang sangat ironis adalah ketika para pendeta yang konon adalah para rohaniwan, ikut-ikutan bergaya seperti selebritis. Belakangan ini kita sulit membedakan mana selebritis dan mana yang rohaniwan.

Di Kitab Roma 12:2, Rasul Paulus dengan tegas berpesan: “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah, dan yang sempurna.” Mudah-mudahan saja, rohaniwan duniawi ini belum pernah membaca ayat ini, jadi mereka tidak perlu menerima murka panas membara penghuni surga.

Tersebutlah seorang pengusaha sukses yang lumayan kaya. Atau mungkin kaya raya menurut takaran ekonomi dunia ketiga. Dia tinggal di bilangan elite utara Jakarta. Namun entah kenapa, suatu hari dia masuk gereja dengan stelan jas. Kemudian orang-orang mulai memanggilnya pendeta.

Pengusaha sukses yang konon berkocek tebal dan suka menyumbang untuk gereja ini hanya membutuhkan waktu beberapa saat untuk dapat nangkring di mimbar. Hanya sekian waktu, pendeta yang pengusaha ini telah berkhotbah di hadapan khalayak ramai.

Namun tak lama berselang, pendeta spektakuler yang kelihatan memang lumayan pintar cuap-cuap di mimbar ini, ketahuan belangnya. Cuap-cuap di mimbar sungguh bertolak belakang dengan apa yang dikerjakannya sehari-hari.

Bagaimanakah mungkin seorang dapat mengajar kebaikan sementara dalam keseharian mengintimidasi karyawan yang bekerja di perusahaannya? Bagaimanakah mungkin seorang dapat berkhotbah kekudusan, sementara hampir tiap hari mulutnya mengeluarkan sumpah sarapah dan kata-kata kotor. Sungguh ironis sekali.Aneh bin ajaib, tak lama bergabung dengan gereja besar, pendeta spektakuler ini telah menduduki sebuah jabatan strategis dalam departemen misi. Tidak tanggung-tanggung, posisi ketua dipegangnya. Alhasil, beberapa gereja kecil dilindasnya.

Dengan cerdik laksana ular, dia mulai mengirimkan bus-bus untuk menjemput jemaat. Tidak peduli gereja mana angkut saja. Dia memang benar-benar seorang misionaris keblinger yang bertujuan memenuhi kursi-kursi gedung ber-AC yang disebutnya gereja. Kalau ada “pendeta” yang demikian, apakah kebenarannya? Apalagi jika semua mulut seolah terkatup bila dia sudah menyebutkan sebuah angka rupiah.

Melihat kisah ini, kita harus kembali kepada keaslian pesan Alkitab. Tak peduli gereja kita besar atau kecil dan hanya dikunjungi beberapa orang miskin. Gereja harus mulai cerdik menyeleksi para rohaniwannya. Gereja pun mestinya belajar menggunakan kata-kata Alkitab, seperti mengubah kata “pendeta” dengan “gembala”.

Dengan demikian para rohaniwan selalu menyadari bahwa mereka adalah gembala jiwa-jiwa. Mereka juga akan cepat sadar dan berbalik kepada Tuhan jika hidup mereka mulai condong kepada dunia karena mereka memang adalah imam yang rohaniwan. Dengan memahami arti dan perannya sebagai gembala seperti dikatakan Alkitab, para gembala bertugas memelihara jiwa-jiwa bahkan berkorban untuk jiwa-jiwa.

Mereka bahkan harus berani korbankan nyawanya demi keselamatan kawanan domba-domba. “Akulah gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba-dombanya.” (Yohanes 10:11) Kalau saja para pendeta tetap sadar bahwa seorang gembala harus dekat dengan kawanan domba-domba, berbagi dengan kawanan domba, bahkan menyerahkan nyawanya untuk keselamatan kawanan domba, sesungguhnya merekalah rohaniwan sejati.

Rabu, 26 Desember 2012

KASIH IBU SEPANJANG JALAN


Perempuan Itu Aku Panggil Ibu

Oleh: Joshua MS

Entah sudah berapa kali aku berkunjung ke kampung sunyi ini, tetapi jumlah kunjungan ternyata tidak mampu mengikis rindu dan gundah yang  meronta-ronta. Setiap kali aku menginjakkan kaki di teras rumah tua itu, berbagai gejolak berkecamuk silih berganti. Lembar-lembar memory masa kecilku seperti potongan-potongan slide yang silih berganti bermunculan. Seperti sebuah adegan drama kehidupan, kenanganku di rumah tua ini seolah tak pernah pudar di lindas waktu. 


Dua puluh delapan tahun silam, kisah itu di mulai. Hari Selasa, tepat jam 10 pagi, seorang perempuan muda tak berpengalaman menghempas-hempaskan tubuhnya di atas dipan. Tak lama berselang, perempuan itu tergeletak tak berdaya setelah berjuang melawan kontraksi otot rahim. Perempuan itu telah hampir semalaman berjuang menahan rasa sakit untuk persalinan anak pertamanya. Entah berapa kali dia menjerit dan berteriak sangat keras. Tembok putih ruangan  praktek bidan desa itu bergema memantulkan gaung jeritnya. Hingga, ketika matahari pagi mulai meninggi, suara tangisan mungil seorang bayi memecah sunyi. Seorang bayi laki-laki mungil untuk pertama kalinya menyapa dunia dengan tangisan melengking. Perempuan itu beberapa saat tertegun.

Seolah tidak merasakan lagi penderitaannya semalamam, perempuan itu menantikan anaknya di mandikan. Tidak sabar ia ingin segera memeluk eret-erat bayi itu. Ia tidak mempedulikan keringat yang mengalir deras dari pori-pori dahinya. Kebahagiaan memancar dari raut wajahnya yang kelelahan.

Seperti sebuah badai bersama sambaran petir, menit-menit pertama yang penuh sukacita itu seketika buyar. Untuk pertama kalinya, perempuan itu terpaku dalam ketidak percayaan. Hatinya meronta dan menangis. Sedu sedan mengganti wajah riang beberapa menit yang lalu. Entah terbuat dari apa hati perempuan itu. Setelah sekian lama bergelut dengan sapaan penderitaan, sekarang dia harus merawat seorang bayi prematur.

Sahabat penderitaan itu sesunguhnya mulai menyapanya sejak pertama kali menginjak rumah sang mertua. Seorang pemuda yang dia anggap sebelumnya berhati pangeran berbudi luhur, ternyata hanya pada saat mengucapkan janji nikah di altar gereja saja terlihat mempesona. Selebihnya, pemuda yang resmi menjadi suminya itu tidak lebih dari pemuda berandal yang tidak bertanggungjawab.

Tidak tanggung-tanggung, pemuda itu seolah tidak merasa bersalah melemparkan apa saja yang dapat di jangkau tangannya. Mulai dari piring terbang hingga membanting pintu. Rumah itu menjadi saksi bisu kekerasan seorang suami. Tidak hanya sampai di situ, berkali-kali tamparan keras menimbulkan sembab di kedua belah pipi perempuan itu. Sekali waktu, tamparan keras membuat tidak hanya sekedar sembab, darah segar mengalir dari sela-sela bibirnya. Kekejaman suaminya itu semakin menjadi-jadi setelah mertuanya meninggal dunia. Seolah lepas kendali dan kerasukan, suaminya semakin tidak manusiawi.

Mulai dari hidup tidak karuan, judi, mabuk-mabukan, sampai main perempuan, pemuda itu seolah-olah lupa bahwa dia telah punya seorang istri. Pulang ke rumah hanya untuk melampiaskan emosi yang tidak tersalurkan di luar sana.  Itulah suasana rumah tangga yang ada. Hingga suatu hari, karena usia kandungan, dengan berat hati perempuan itu meninggalkan rumah. Dengan air mata, perempuan itu kembali ke rumah orang tuanya. Entah karena apa, pesan pernikahan di altar gereja untuk tunduk pada suami sangat di hayatinya.

Hari ketika aku, bayi prematur itu lahir, pemuda yang tak lain adalah ayahku itu entah berada di mana. Seharusnya dia menemani istrinya berjuang menentang maut. Setelah beberapa hari, laki-laki itu baru hadir dengan tidak bersimpati sedikitpun. Hingga bertumbuh jadi seorang anak normal setelah melewati masa kritis bagi setiap bayi prematur, aku tidak pernah merasakan sentuhan kasih sayang sebagai seorang ayah darinya. 

Setelah melalui masa kritis, aku bertumbuh menjadi seorang yang sangat tergantung. Baik kepada pertolongan dan bantuan medis, hingga ketergantungan kepada orang lain. Aku bertumbuh menjadi seorang remaja yang sangat rentan terhadap serangan penyakit.  Hampir sepanjang tahun aku lalui dengan berbagai-bagai penyakit. Oleh kehadiran seorang perempuan yang  dengan setia selalu mendampingi masa-masa sukar, aku dapat bertahan. Entah akan apa jadinya, jikalau ketika suhu tubuhku di atas normal, perempuan itu tidak ada. Ketika paru-paru menyempit sehingga aku harus tidur dalam satu posisi dan megap-megap mencari oksigen, akan seperti apa aku tanpa kehadiran perempuan itu. Hampir setiap rasa sakit yang mendera semua sistem organ tubuhku, perempuan itu selalu ada si sebelah tempat tidur.

Dengan beban yang sangat berat, perempuan itu merawat dan menjaga aku tanpa kontribusi seorang laki-laki yang di sebut ayah. Dengan segala keterbatasannya, dengan setia dia bekerja dan berdoa. Yang pertama untuk pertobatan laki-laki tanbatan hatinya, ayahku, dan yang ke dua untuk kesembuhanku. Dari keterbatasan perempuan yang hanya sempat mengenyam pendidikan SMP itu, ia bekerja dan berdoa tanpa putus asa. Hingga akhirnya, pada satu hari menjelang petang. 

Sore itu, seperti biasanya, aku tiba di rumah setelah seharian menghabiskan waktu si sebuah Sekolah Menengah Atas milik pemerintah. Aku telah di terima di sebuah sekolah negeri. Aku sangat bersyukur, walaupun aku bertumbuh sebagai remaja yang kurang sehat, aku dikaruniai kecerdasan di atas rata-rata. Hampir setiap kelas yang aku ikuti dari Sekolah Dasar hingga sekarang SMA selalu mencatatkan aku sebagai murid yang berprestasi. Aku tidak habis mengerti mengapa itu bisa terjadi, karena menurut catatan medis, seharusnya aku menjadi murid yang biasa-biasa saja di sekolah. Mungkin ini salah satu bentuk kemahaadilan Tuhan. Barangkali.

Suasana rumah sore itu seperti biasanya sepi. Aku segera bergegas ke dapur. Setelah beberapa jam dalam perjalanan di bawah terik matahari, aku sangat kehausan. Ketika kakiku bergegas ke dapur, tanpa sengaja ekor mataku melirik ke arah sebuah kamar. Kamar yang hanya di tempati  ayahku untuk tertidur pulas. Sayup-sayup aku mendengar  suara tangisan tertahan. Karena penasaran, akhirnya aku memutuskan untuk mengintip dari celah-celah pintu. Sebuah pemandangan yang sangat tidak lajim.

Ayahku sedang sujud berdoa dengan air mata mengalir di kedua pipinya. Untuk pertama kalinya aku melihat laki-laki itu menangis. Belakangan aku mengerti bahwa ayahku telah mengalami sebuah perjumpaan supranatural dengan Tuhan. Ia adalah seorang yang selama ini hanya secara simbolik menjalankan agama yang di percayainya. Lewat sebuah kebaktian malam menjelang hari pentakosta, ia telah mengalami perjumpaan supranatural dengan Tuhan Yesus. Tanpa berdaya untuk membantah, ayahku seolah di dorong dan di “paksa” untuk bertobat dari jalan-jalanya yang sesat. 

Setelah 16 tahun berdoa dan mencucurkan air mata, perempuan yang aku panggil ibu itu akhirnya menerima jawaban. Laki-laki tidak bertanggungjawab yang adalah ayahku itu, akhirnya mengenal siapa dirinya dan siapa Allah yang menciptakannya. Pengenalan itulah yang akhirnya menuntun laki-laki itu menjadi seorang suami yang baik. Lewat proses yang panjang, ia telah menjadi kepala rumah tangga yang sungguh sangat bijaksana. 

Jawaban doa yang paling membuat dia berbahagia adalah ketika oleh sebuah mujizat, Tuhan menyembuhkan aku dari semua sakit bawaan lahir. Peristiwa itu terjadi pada satu malam menjelang tidur. Malam itu, seperti biasanya setelah selesai belajar, aku hendak beranjak tidur. Tiba-tiba sebuah cahaya sangat terang, memancar dari sudut langit-langit kamar tidur tepat mengenai tubuhku yang terlentang di atas dipan.

Sejujurnya, kami sekeluarga bukanlah keluarga Kristen yang religius. Dan pengalaman-pengalaman berbau religius bukanlah hal yang lajim dalam keluarga kami. Dari semua anggota keluarga, hanya ibu yang tekun dalam doa dan ibadah. Tetapi sungguh ajaib, sejak peristiwa malam itu, aku merasa tubuhku sangat sehat. Sejak peristiwa aneh dan ajaib malam itu, semua terapi medis secara total berhenti. Aku benar-benar dinyatakan sembuh.  

Aku menarik nafas dalam-dalam. Sebelum aku mengetuk kembali pintu rumah tua ini, ada sebuah kekuatan yang sangat kuat mendorongku untuk segera berlari ke dalam. Setelah melalui penerbangan yang melelahkan, dan perjalanan darat hampir setengah hari, akhirnya aku kembali ada di sini. Di teras rumah tua yang penuh kenangan. Bukan lagi sebagai bayi prematur berkulit keriput, bukan juga remaja pemalu yang sakit-sakitan, sekarang aku berdiri di teras rumah ini sebagai seorang pemuda gagah. Seorang pemuda bergelar sarjana. Seperti cita-cita dan doa perempuan berhati mulia itu, aku telah menyelesaikan 5 tahun masa belajar di sebuah seminari.

Sayup-sayup langkah perempuan itu mendekat pintu. Tidak sanggup untuk lebih lama menunggu aku berlari menubruk tubuh ringkuhnya. Wajahnya yang semakin menua, tetap bersinar di sela-sela senyumnya yang tidak pernah berubah. Air mata hangat dari matanya menetes ketika memeluk keras-kera leherku. Ah,…Ibu! Betapa aku tidak lagi hanya sekedar berbahagia, tetapi rasanya aku adalah anak paling berbahagia saat ini. Ketika seorang laki-laki yang sedari tadi memandangiku dari jauh. Dari pintu kamarnya dia menatapiku dengan mata berkaca-kaca. Ah,… Ayah!  Setengah menjerit aku memangil namanya dan berlari menjagkau tubuhnya yang mulaimenua. Dalam tangis bahagia, aku memeluk erat-erat lehernya. Betapa aku adalah orang yang sangat berbahagia dan bersukacita hari ini.

Dari Seorang Anak

Joshua MS