Perempuan Itu Aku Panggil Ibu
Oleh: Joshua MS
Entah sudah berapa kali aku berkunjung ke kampung sunyi
ini, tetapi jumlah kunjungan ternyata tidak mampu mengikis rindu dan gundah
yang meronta-ronta. Setiap kali aku
menginjakkan kaki di teras rumah tua itu, berbagai gejolak berkecamuk silih
berganti. Lembar-lembar memory masa kecilku seperti potongan-potongan slide
yang silih berganti bermunculan. Seperti sebuah adegan drama kehidupan,
kenanganku di rumah tua ini seolah tak pernah pudar di lindas waktu.
Dua puluh delapan tahun silam, kisah itu di mulai. Hari
Selasa, tepat jam 10 pagi, seorang perempuan muda tak berpengalaman
menghempas-hempaskan tubuhnya di atas dipan. Tak lama berselang, perempuan itu
tergeletak tak berdaya setelah berjuang melawan kontraksi otot rahim. Perempuan
itu telah hampir semalaman berjuang menahan rasa sakit untuk persalinan anak
pertamanya. Entah berapa kali dia menjerit dan berteriak sangat keras. Tembok
putih ruangan praktek bidan desa itu
bergema memantulkan gaung jeritnya. Hingga, ketika matahari pagi mulai
meninggi, suara tangisan mungil seorang bayi memecah sunyi. Seorang bayi
laki-laki mungil untuk pertama kalinya menyapa dunia dengan tangisan
melengking. Perempuan itu beberapa saat tertegun.
Seolah tidak merasakan lagi penderitaannya semalamam,
perempuan itu menantikan anaknya di mandikan. Tidak sabar ia ingin segera
memeluk eret-erat bayi itu. Ia tidak mempedulikan keringat yang mengalir deras
dari pori-pori dahinya. Kebahagiaan memancar dari raut wajahnya yang kelelahan.
Seperti sebuah badai bersama sambaran petir, menit-menit
pertama yang penuh sukacita itu seketika buyar. Untuk pertama kalinya,
perempuan itu terpaku dalam ketidak percayaan. Hatinya meronta dan menangis.
Sedu sedan mengganti wajah riang beberapa menit yang lalu. Entah terbuat dari
apa hati perempuan itu. Setelah sekian lama bergelut dengan sapaan penderitaan,
sekarang dia harus merawat seorang bayi prematur.
Sahabat penderitaan itu sesunguhnya mulai menyapanya sejak
pertama kali menginjak rumah sang mertua. Seorang pemuda yang dia anggap
sebelumnya berhati pangeran berbudi luhur, ternyata hanya pada saat mengucapkan
janji nikah di altar gereja saja terlihat mempesona. Selebihnya, pemuda yang
resmi menjadi suminya itu tidak lebih dari pemuda berandal yang tidak
bertanggungjawab.
Tidak tanggung-tanggung, pemuda itu seolah tidak merasa
bersalah melemparkan apa saja yang dapat di jangkau tangannya. Mulai dari
piring terbang hingga membanting pintu. Rumah itu menjadi saksi bisu kekerasan
seorang suami. Tidak hanya sampai di situ, berkali-kali tamparan keras
menimbulkan sembab di kedua belah pipi perempuan itu. Sekali waktu, tamparan
keras membuat tidak hanya sekedar sembab, darah segar mengalir dari sela-sela
bibirnya. Kekejaman suaminya itu semakin menjadi-jadi setelah mertuanya
meninggal dunia. Seolah lepas kendali dan kerasukan, suaminya semakin tidak
manusiawi.
Mulai dari hidup tidak karuan, judi, mabuk-mabukan, sampai
main perempuan, pemuda itu seolah-olah lupa bahwa dia telah punya seorang
istri. Pulang ke rumah hanya untuk melampiaskan emosi yang tidak tersalurkan di
luar sana. Itulah suasana rumah tangga
yang ada. Hingga suatu hari, karena usia kandungan, dengan berat hati perempuan
itu meninggalkan rumah. Dengan air mata, perempuan itu kembali ke rumah orang
tuanya. Entah karena apa, pesan pernikahan di altar gereja untuk tunduk pada
suami sangat di hayatinya.
Hari ketika aku, bayi prematur itu lahir, pemuda yang tak
lain adalah ayahku itu entah berada di mana. Seharusnya dia menemani istrinya berjuang
menentang maut. Setelah beberapa hari, laki-laki itu baru hadir dengan tidak
bersimpati sedikitpun. Hingga bertumbuh jadi seorang anak normal setelah
melewati masa kritis bagi setiap bayi prematur, aku tidak pernah merasakan
sentuhan kasih sayang sebagai seorang ayah darinya.
Setelah melalui masa kritis, aku bertumbuh menjadi seorang
yang sangat tergantung. Baik kepada pertolongan dan bantuan medis, hingga
ketergantungan kepada orang lain. Aku bertumbuh menjadi seorang remaja yang
sangat rentan terhadap serangan penyakit.
Hampir sepanjang tahun aku lalui dengan berbagai-bagai penyakit. Oleh
kehadiran seorang perempuan yang dengan
setia selalu mendampingi masa-masa sukar, aku dapat bertahan. Entah akan apa
jadinya, jikalau ketika suhu tubuhku di atas normal, perempuan itu tidak ada.
Ketika paru-paru menyempit sehingga aku harus tidur dalam satu posisi dan
megap-megap mencari oksigen, akan seperti apa aku tanpa kehadiran perempuan
itu. Hampir setiap rasa sakit yang mendera semua sistem organ tubuhku,
perempuan itu selalu ada si sebelah tempat tidur.
Dengan beban yang sangat berat, perempuan itu merawat dan
menjaga aku tanpa kontribusi seorang laki-laki yang di sebut ayah. Dengan
segala keterbatasannya, dengan setia dia bekerja dan berdoa. Yang pertama untuk
pertobatan laki-laki tanbatan hatinya, ayahku, dan yang ke dua untuk
kesembuhanku. Dari keterbatasan perempuan yang hanya sempat mengenyam
pendidikan SMP itu, ia bekerja dan berdoa tanpa putus asa. Hingga akhirnya,
pada satu hari menjelang petang.
Sore itu, seperti biasanya, aku tiba di rumah setelah
seharian menghabiskan waktu si sebuah Sekolah Menengah Atas milik pemerintah.
Aku telah di terima di sebuah sekolah negeri. Aku sangat bersyukur, walaupun
aku bertumbuh sebagai remaja yang kurang sehat, aku dikaruniai kecerdasan di
atas rata-rata. Hampir setiap kelas yang aku ikuti dari Sekolah Dasar hingga
sekarang SMA selalu mencatatkan aku sebagai murid yang berprestasi. Aku tidak
habis mengerti mengapa itu bisa terjadi, karena menurut catatan medis,
seharusnya aku menjadi murid yang biasa-biasa saja di sekolah. Mungkin ini
salah satu bentuk kemahaadilan Tuhan. Barangkali.
Suasana rumah sore itu seperti biasanya sepi. Aku segera
bergegas ke dapur. Setelah beberapa jam dalam perjalanan di bawah terik
matahari, aku sangat kehausan. Ketika kakiku bergegas ke dapur, tanpa sengaja
ekor mataku melirik ke arah sebuah kamar. Kamar yang hanya di tempati ayahku untuk tertidur pulas. Sayup-sayup aku
mendengar suara tangisan tertahan.
Karena penasaran, akhirnya aku memutuskan untuk mengintip dari celah-celah
pintu. Sebuah pemandangan yang sangat tidak lajim.
Ayahku sedang sujud berdoa dengan air mata mengalir di
kedua pipinya. Untuk pertama kalinya aku melihat laki-laki itu menangis.
Belakangan aku mengerti bahwa ayahku telah mengalami sebuah perjumpaan
supranatural dengan Tuhan. Ia adalah seorang yang selama ini hanya secara
simbolik menjalankan agama yang di percayainya. Lewat sebuah kebaktian malam
menjelang hari pentakosta, ia telah mengalami perjumpaan supranatural dengan
Tuhan Yesus. Tanpa berdaya untuk membantah, ayahku seolah di dorong dan di
“paksa” untuk bertobat dari jalan-jalanya yang sesat.
Setelah 16 tahun berdoa dan mencucurkan air mata, perempuan
yang aku panggil ibu itu akhirnya menerima jawaban. Laki-laki tidak
bertanggungjawab yang adalah ayahku itu, akhirnya mengenal siapa dirinya dan
siapa Allah yang menciptakannya. Pengenalan itulah yang akhirnya menuntun
laki-laki itu menjadi seorang suami yang baik. Lewat proses yang panjang, ia
telah menjadi kepala rumah tangga yang sungguh sangat bijaksana.
Jawaban doa yang paling membuat dia berbahagia adalah
ketika oleh sebuah mujizat, Tuhan menyembuhkan aku dari semua sakit bawaan
lahir. Peristiwa itu terjadi pada satu malam menjelang tidur. Malam itu,
seperti biasanya setelah selesai belajar, aku hendak beranjak tidur. Tiba-tiba
sebuah cahaya sangat terang, memancar dari sudut langit-langit kamar tidur
tepat mengenai tubuhku yang terlentang di atas dipan.
Sejujurnya, kami sekeluarga bukanlah keluarga Kristen yang
religius. Dan pengalaman-pengalaman berbau religius bukanlah hal yang lajim
dalam keluarga kami. Dari semua anggota keluarga, hanya ibu yang tekun dalam
doa dan ibadah. Tetapi sungguh ajaib, sejak peristiwa malam itu, aku merasa
tubuhku sangat sehat. Sejak peristiwa aneh dan ajaib malam itu, semua terapi
medis secara total berhenti. Aku benar-benar dinyatakan sembuh.
Aku menarik nafas dalam-dalam. Sebelum aku mengetuk kembali
pintu rumah tua ini, ada sebuah kekuatan yang sangat kuat mendorongku untuk
segera berlari ke dalam. Setelah melalui penerbangan yang melelahkan, dan
perjalanan darat hampir setengah hari, akhirnya aku kembali ada di sini. Di
teras rumah tua yang penuh kenangan. Bukan lagi sebagai bayi prematur berkulit
keriput, bukan juga remaja pemalu yang sakit-sakitan, sekarang aku berdiri di
teras rumah ini sebagai seorang pemuda gagah. Seorang pemuda bergelar sarjana.
Seperti cita-cita dan doa perempuan berhati mulia itu, aku telah menyelesaikan
5 tahun masa belajar di sebuah seminari.
Sayup-sayup langkah perempuan itu mendekat pintu. Tidak
sanggup untuk lebih lama menunggu aku berlari menubruk tubuh ringkuhnya.
Wajahnya yang semakin menua, tetap bersinar di sela-sela senyumnya yang tidak
pernah berubah. Air mata hangat dari matanya menetes ketika memeluk keras-kera
leherku. Ah,…Ibu! Betapa aku tidak lagi hanya sekedar berbahagia, tetapi
rasanya aku adalah anak paling berbahagia saat ini. Ketika seorang laki-laki
yang sedari tadi memandangiku dari jauh. Dari pintu kamarnya dia menatapiku
dengan mata berkaca-kaca. Ah,… Ayah!
Setengah menjerit aku memangil namanya dan berlari menjagkau tubuhnya
yang mulaimenua. Dalam tangis bahagia, aku memeluk erat-erat lehernya. Betapa
aku adalah orang yang sangat berbahagia dan bersukacita hari ini.
Dari Seorang
Anak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar