Sepenggal Duka dari
Nias
Oleh:
Joshua MS.
Siang yang terik. Gemah Ripah,
nama taxi yang membawa rombongan kami meluncur menyusuri jalanan kota Bandung.
Entah karena efek global pemanasan bumi atau apalah, kota Bandung sekarang
sungguh berbeda bila di banding 10 tahun yang lalu. Waktu itu untuk pertama
kalinya aku mengunjungi Bandung, suhunya masih terasa sejuk. Itulah sebabnya
setiap kali liburan semester, aku lebih suka ke Bandung daripada pulang kampung
ke Sumatera.
Gedung itu
beralamat di Jalan Dewi Sartika nomor 104 Bandung. Gedung yang lebih mirip
sebagai rumah toko, memanjang ke belakang. Sepintas aku sudah dapat
menduga-duga bahwa ruangan-ruangan yang ada di dalamnya pasti mirip ruko. kami
segera membongkar bagasi taxi. Siang ini kami akan berbagi kasih dengan
anak-anak Panti Asuhan Peduli Kasih. Membagikan paket sembako dan paket
perlengkapan sekolah.
Beberapa anak
dengan sigap menyambut paket yang aku jinjing. Mereka sungguh terlatih untuk
membantu dan melayani. Tiba-tiba seorang wanita paruh baya muncul dari pintu
bagian dalam. Dengan senyuman yang ramah, wanita itu menyalami kami.
“Selamat datang
Ibu, selamat datang Bapak!” berkali-kali dia mengulang kata-kata salam. Wajah
ramahnya sungguh raut tulus yang tidak dipaksakan. Secepatnya barang-barang dan
paket kami bereskan di sudut ruangan. Seorang petugas panti muncul lagi dari
pintu dalam. Dia juga terlihat santun dan ramah.
“Boleh kami
lihat-lihat ke dalam Ibu?” Saya mencoba seramah mungkin.
“Oh tentu boleh,
mari, silahkan!” Rombongan kami beriringan masuk keruangan dalam melewati
koridor sempit. Ruangan standar ruko yang memanjang dan tersambung ke bangunan
penyanggah di belakang. Pada ujung ruang penyanggah kami tiba di ruangan makan
dan dapur. Ruangan yang terkesan apa adanya.
Sebuah meja makan
yang terbuat dari triplek. Beberapa kursi kayu yang di buat memanjang. Entah
mengapa, di atas meja makan itu terpajang satu unit televisi 17 inch yang sudah
tua. Agak dipojokan terletak dapur dengan beberapa kompor dan dandang yang
menghitam. Paling pojok kanan dua kamar mandi. Lebih maju ke depan aku lihat
ada kamar pengurus panti yang bersebelahan dengan kamar putri panti. Aku yakin
itu adalah kamar anak perempuan karena di pintunya ada gambar-gambar lucu, ciri
kahas perempuan.
“Kami melakukan
hampir semua kegiatan di sini” Jelas ibu paruh baya itu. “Sekarang kita ke
atas, ke kamar laki-laki.” Dia mendahului kami melangkah ke arah tangga yang
menghubungkan ruang bawah ke lantai satu. Kami kemudian menekuri tangga menuju
kamar laki-laki di atas.
Sebuah ruang tamu yang dipenuhi loker. Di
pojok ruangan sebuah pintu kamar yang lumayan besar. Kamar tidur laki-laki
berisi 5 tempat tidur tingkat. Tampaknya mereka tinggal dengan berdesakan di
kamar ini. Kamar memang terkesan sangat sesak dengan tempat tidur tingkat dan
lemari-lemari pakaian.
“Mereka semua
tidur di sini.” Ibu paruh baya itu kembali menerangkan.
Sebelum turun,
beberapa kali aku mencoba mengabadikan ruangan dengan kamera. Kami turun,
ternyata anak-anak sudah banyak yang berdatangan. Mereka baru pulang berenang.
Satu acara rutin ketika mereka libur sekolah. Hari libur memang selalu
dimanfaatkan oleh mereka untuk olah raga dan rekreasi. Aku melihat wajah-wajah
sumringah anak yang semuanya berasal dari Nias. Sikap mereka sangat santun.
Satu persatu mereka menyalami kami.
Bencana tak
Terduga.
Sudah 3 hari
hujan turun terus menerus. Desember, nama anak laki-laki yang lahir Bulan
Desember, berbaring dengan menyelimuti dirinya rapat-rapat. Angin malam terasa
menusuk. Anak laki-laki berumur 12 tahun itu terlelap dalam tidurnya. Dia asik
dengan mimpinya tanpa mempedulikan hujan yang semakin deras seolah tercurah
dari langit.
Menjelang tengah
malam, Desember dibangunkan oleh ibunya. Kaget, Desember buru-buru bangun.
Dalam keadaan setengah sadar dia mengusap mata. “Cepat, cepat, bangun!” Seluruh
rumah jadi sibuk. Desember dan ketiga saudaranya segera dilarikan ke arah
gunung. Suasana mencekam, sementara air luapan sungai mulai mengalir masuk dan
menggenangi lantai rumah. Syukurlah, setelah berusaha dengan susah payah, satu
keluarga itu akhirnya tiba di gunung dengan selamat.
Sementara itu di
perkampungan, dalam hitungan menit, rumah-rumah yang termasuk wilayah kecamatan
Lohesa kabupaten Nias tenggelam di amuk banjir. Yang ada hanyalah air kotor
yang membawa lumpur dan kayu-kayu dari hulu sungai. Seperti air bah, air
mengalir deras dari hulu sungai membawa tanah lonsor dan kayu-kayu
meluluhlantakkan bangunan-bangunan rumah, sekolah, dan gereja.
Desember
mengusap air matanya. Beberapa menit sebelum kampung terendam air hingga 15
meter. Ibunda terkasih menitipkan adik dan saudara-saudara padanya. Ibunda
berlari turun gunung untuk menyelamatkan harta benda mereka yang tertinggal di
rumah. Malang nian nasib ibunya, dia hanyut terbawa arus deras dan jenasahnya baru
ditemukan 2 hari kemudian.
“Aku sudah
melupakannya, aku tidak mau terus terusan hidup dalam bayang-bayang itu.”
Desember mengakhiri kisahnya.Walaupun di sudut matanya ada titik-titik air mata
yang mengkristal. Desember yang kini telah duduk di bangku SMP itu berupaya
tersenyum.
Kejadian tengah
malam 31 Juli 2001 yang menenggelamkan 6 kecamatan dan menelan korban hampir
1000 orang itu adalah lembaran kenangan hitam bagi dia. Sekarang dia bersama
anak-anak yang lainnya resmi diadopsi oleh Yayasan Peduli Kasih. Mereka
ditempatkan di sebuah rumah panti yang di bina oleh seorang pengusaha keturunan
di kota Bandung. Sementara waktu terus bergulir, Desember kini belajar giat
untuk mewujudkan cita-citanya menjadi seorang dokter.
Duka di Panti Asuhan
“Dulunya mereka
20 orang.” Mbak Dewi, salah seorang juru bahasa yang turut dibawa dari Nias
berkisah tentang suka duka melayani di panti asuhan. “Tetapi, ada dua orang
yang dipulangkan karena tidak dapat di atur! Mereka nakal dan sudah diingatkan
berkali-kali, akhirnya kami pulangkan.”
“Panti ini lebih
kepada sebuah keluarga, jadi kami menerapkan pelayanan sebagaimana layaknya
sebuah keluarga.” Mbak Dewi melanjutkan penjelasannya.
“Berhubung
karena Panti belum memiliki tempat yang tetap, kami beberapa kali harus
berpindah-pindah. Puncaknya adalah ketika kami terpaksa menitipkan 18 anak ke
sebuah Panti Asuhan di daerah Bekasi.” Mbak Dewi kelihatan sedikit serius,
gurat wajahnya seketika mendung.
“18 anak yang
kami titipkan itu awalnya merasa sangat asing. Mungkin karena lingkungan yang
asing dan aturan panti yang berbeda.” Mbak Dewi berhenti sebentar, dia memutar
pandangannya. Tiba-tiba dia memanggil seorang anak panti, anak itu masih sangat
lugu. Robyanto Hulu bocah berumur 10 tahun segera menghampiri Mbak dewi.
“Robi ini
dulunya dua bersaudara. Orang tua mereka meninggal dalam bencana banjir, jadi
keduanya diadopsi yayasan. Keduanya kami titipkan bersama teman-temannya yang
lain ke panti di Bekasi.Adiknya bernama Arisman Hulu, masih sangat kecil kelas
satu SD.”
“Suatu hari,
guru sekolah di mana anak-anak panti disekolahkan telepon ke kantor panti.
Mereka melaporkan bahwa Aris telah mencuri makanan dari seorang temannya. Jadi
guru itu meminta pengurus panti menghadap ke sekolah.” Mbak Dewi menatap
Robyanto.
“Setelah
diselidiki, ternyata memang benar Aris telah mengambil kue dari tas temannya.
Selidik punya selidik Aris mengambil kue itu hanya karena lapar. Kami baru tau
ternyata di pagi hari mereka hanya dikasih sarapan sepotong kue dan teh manis,
sehingga sebelum pulang mereka sudah kelaparan. Aris tidak tahan, jadi begitu
dia lihat kue ada di tas temannya, dia langsung ambil dan makan.” Mbak Dewi
melanjutkan ceritanya. Ekspresinya berubah-ubah.
“Singkat cerita,
petugas panti datang dan membawa Aris pulang. Selanjutnya dari cerita
anak-anak, Aris dihukum.” Mbak Dewi menahan emosi. Sekarang ekspresi wajahnya
jadi tegang. Seperti menahan sebuah amarah yang mau meledak.
“Kalau hanya
didisiplin, kami tidak akan marah. Tapi bentuk hukuman itu sungguh biadab dan
tidak berprikemanusiaan. Pengurus panti yang nota bene hamba Tuhan itu
menghukum Aris dengan cara yang sangat sadis. Aris dipaksa makan dan minum
sampai kenyang dan hampir tidak bisa bernafas. Pengurus panti itu bilang ini
hukuman untuk orang yang tidak bisa menahan nafsu makan. Setelah selesai makan
dan minum hingga kembung, Aris disuruh mandi. Beberapa kali dia dipukul dan
ditendang hingga jatuh tertelungkup. Belum puas menghukum dengan cara demikian,
Aris dibiarkan terkapar tanpa ada yang menolong dipojok ruangan.”
“Menjelang sore
Aris muntah-muntah dan kesulitan bernafas. Pengurus panti tetap tak bergeming
dan berkilah Aris hanya pura-pura. Dia bahkan melarang anak-anak yang lain yang
berniat menolong Aris. Tetapi karena yang lain mulai panik melihat keadaan
Aris, akhirnya pelayan panti itu mengijinkan Aris dibawa ke rumah sakit. Dalam
perjalanan ke rmah sakit, Aris menghembuskan nafas terakhir. Bocah cilik
itu meninggal oleh kekerasan seorang
manusia yang menyebut dirinya hamba Tuhan?” Mbak Dewi diam, berusaha
menenangkan gejolak hatinya.
“Kami dihubungi
via telepon ke Bandung, dan kabar yang kami terima Aris meninggal karena sakit.
Saya segera ke sana dan mengurus segala sesuatunya. Tetapi begitu tiba di
Bekasi, saya sudah mengendus adanya ketidakberesan. Anak-anak dipaksa tutup
mulut, mereka diancam dan disuruh masuk kamar. Saya tidak putus asa karena saya
memang dekat dengan mereka jadi saya mencoba mendekati beberapa anak. Namanya
anak-anak, mereka pasti tidak bisa
diajak bohong. Berita kekerasan itu
akhirnya terbongkar, saya segera lapor polisi dan dalam waktu yang singkat
polisi yang disertai wartawan segera menggerebek Panti Asuhan. Pengurus panti
yang berinisial nama Rasul itu segera diciduk. Dia mengakui semua dan akhirnya
dihukum 10 tahun penjara.”
“Setelah
berembuk, akhirnya kami memutuskan untuk menarik semua anak-anak kembali ke
Bandung. Puji Tuhan, seorang dermawan memberikan gedung ini untuk kami tempati.
Gratis. Tuhan itu sangat baik. Di sini sekarang tinggal 17 anak. Robyanto Hulu
sudah dapat melupakan tragedi atas adiknya Aris. Kejahatan yang terjadi didepan
matanya sendiri hingga merenggut nyawa adiknya seolah menjadi dorongan yang
kuat agar dia terus berusaha dan menjadi anak yang lebih baik.”
Nias yang Malang
Suasana ruang makan Panti Asuhan
Peduli Kasih yang biasanya ramai dengan celoteh dan canda tawa, hening dan
murung. Belasan pasang mata mulai berkaca-kaca. Bening mengkristal mengalir
seperti anak sungai di pipi anak-anak panti. Sementara itu reporter televisi
swasta terus menerus dengan terbata-bata dan ekspresi duka melaporkan secara
langsung kondisi Kota Nias yang porak poranda. Televisi 17 inch yang di pajang
di sudut meja makan triplek itu menjadi saksi bisu tangisan anak-anak nias
penghuni Panti Asuhan Peduli Kasih.
Seperti lirik
lagu seorang musisi balada, Ebiet G. Ade, Menoreh Luka Baru di Atas Luka
Lama. Belum lama berselang, bencana 31 Juli 2001 kembali menoreh luka di
jiwa penduduk Nias. Belum tuntas anak-anak panti mengikis trauma air banjir
yang menenggelamkan kampung halaman dan merengut nyawa orang-orang yang mereka
kasihi, kini dengan mata kepala mereka sendiri menatap duka kembali menjenguk
Nias.Gempa Bumi dengan kekuatan 8,7 pada skala richter merobek dan menghantam
bumi Nias. Mencabik-cabik pertahanan yang mereka bangun selama hampir empat
tahun. Meluluhlantakkan semua yang mereka pernah banggakan di bumi tanah tumpah
darah mereka.
Sementara teriak
dan tangisan bercampur aduk dari para pengungsi yang berebut mendapatkan beras
dan mie instant terus menerus dilaporkan para reporter. Jerita dan ar mata yang
mengantar anak-anak polos itu beranjak menuju tempat tidur masing-masing.
Beribu pertanyaan yang tak bisa mereka jawab memenuhi jiwa mereka. Oh Tuhan,
tidakkah ini terlalu berat untuk mereka? Tidakkah Nias juga berhak tahu mengapa
bencana tak kunjung berakhir menjenguk tanah dan pulau nan permai itu? Hanya
Tuhan yang tahu.
Bandung, 5 Juli
2005