KUASA PERKATAAN
Oleh: Ps Joshua Mangiring Sinaga, M.Th
Firman Tuhan: “Setelah TUHAN mengucapkan firman itu
kepada Ayub, maka firman TUHAN kepada Elifas, orang Téman: "Murka-Ku
menyala terhadap engkau dan terhadap kedua sahabatmu, karena kamu tidak berkata
benar tentang Aku seperti hamba-Ku Ayub.” (Ayub 42: 7)
Mengapakah murka Allah tertuju
kepada sahabt-sahabat Ayub? Bukankah mereka telah memberikan waktu yang begitu
banyak untuk menemani dan menghibur Ayub? Masalah yang utama sehingga Allah
murka kepada Elifas, orang Téman, dan
Bildad, orang Suah, serta Zofar, orang Naama adalah karena mereka berkata tidak
benar tentang Allah. Sampai disini kita harus paham poin pentingnya, tidak
berkata benar tentang Allah! Adalah sebuah kesalahan besar yang menyulut murka
Allah jika kita tidak berkata benar tentang Dia.
Alkitab mengatakan bahwa TUHAN yang memberikan karunia
menjadi Pengajar (Guru). “Dan
Ialah yang memberikan baik rasul-rasul maupun nabi-nabi, baik
pemberita-pemberita Injil maupun gembala-gembala dan pengajar-pengajar,”
(Efesus 4:11) Sehingga janganlah kita berlomba-lomba menjadi pengajar, sebab
pertanggungjawabannya sangatlah berat. “Saudara-saudaraku,
janganlah banyak orang di antara kamu mau menjadi guru; sebab kita tahu, bahwa
sebagai guru kita akan dihakimi menurut ukuran yang lebih berat.” (Yakobus 3:1). Apakah dengan demikian kita
tidak boleh lagi berkata-kata? Tentu tidak. Kita tetap harus mengajar tentang
Allah, tetapi yang penting kita pahami adalah, kita hanya boleh mengajarkan
KEBENARAN.
Mengapa demikian
pentingnya berkata-kata tentang kebenaran saja? Jawaban yang pertama adalah
karena ada kuasa di balik perkataan. Dalam Alkitab ada 5016 ayat tentang kata.
Ini sungguh jumlah yang sangat besar bila dibandingkan dengan kata kasih yang
hanya 853 ayat saja. Kita tentu sangat terkejut karena manusia memang senang
berkata-kata. Hampir 25 ribu kata disemburkan begitu saja dari mulut seorang
perempuan normal selama satu hari. Coba kita pikirkan, ada berapa kata yang
benar dan berapa sisanya yang salah? Alkitab mengatakan bahwa setiap kata-kata
salah yang sia-sia harus kita pertanggungjawabkan. “Tetapi Aku
berkata kepadamu: Setiap kata sia-sia yang diucapkan orang harus
dipertanggungjawabkannya pada hari penghakiman.” (Matius 12:36) Akhirnya kita mengerti mengapa murka Allah begitu
menyala terhadap sahabat-sahabat Ayub. Karena mereka berkata salah tentang
Allah dan itu memberikan dampak yang merusak terhadap keberadaan Ayub, sehingga
setiap kata-kata sia-sia mereka bertiga itu haruslah di pertanggungjawabkan di
hadapanNya.
Manusia memang senang bicara, namun manusia ini lebih
senang berkata-kata salah. Bahkan dalam dunia peradilan yang diciptakan oleh
manusia pun kita menemukan ketidakadilan di mana manusia bersilat kata dengan
menyalahkan yang benar dan membenarkan yang salah. Terlepas betapa tidak adilnya dunia
peradilan, kita menemukan satu kebenaran dalam dunia peradilan yaitu setiap
kesaksian yang keluar dari mulut seseorang memiliki kekuatan hukum. Kita
mengenal kepolisian negara demokrasi, USA, yang selalu mengatakan: “Anda
berhak diam, karena perkataan anda akan digunakan untuk melawan anda di
pengadilan!” ketika menangkap seseorang karena melanggar hukum. Mengapa? Karena
setiap perkataannya dapat dijadikan senjata untuk menjerat dia dalam hukum.
Alkitab mengatakan bahwa: “Karena
menurut ucapanmu engkau akan dibenarkan, dan menurut ucapanmu pula engkau akan
dihukum.” (Matius 12:37)
Setiap kata-kata kita dapat menjadi jerat yang membawa
kita kepada penghakiman. “Katanya
kepada orang itu: Hai hamba yang jahat, aku akan menghakimi engkau menurut
perkataanmu sendiri. (Lukas 19:22 a) sehingga seharusnya kita mengawasi
mulut kita. Kita harus mengawasi lidah kita. Orang dunia pernah mengatakan
bahwa lidah tidak bertulang, sehingga gampang saja menyemburkan kata, namun
orang Kristen harus mengenakan kekang pada lidahnya sehingga lidahnya hanyalah
mengeluarkan kata-kata yang benar saja. Sebab jikalau tidak, maka lidah yang
tidak terkendalai akan menyemburkan kata-kata yang akan membakar saiapa saja
yang mendengarkannya. “Demikian
juga lidah, walaupun suatu anggota kecil dari tubuh, namun dapat memegahkan
perkara-perkara yang besar. Lihatlah, betapa pun kecilnya api, ia dapat
membakar hutan yang besar.”
(Yakobus 3:5)
Tadi kita sudah menjelaskan bahwa pengajar atau guru yang
memang harus berkata-kata merupakan karunia dari TUHAN, sehingga sepatutnyalah
dia hanya mengajarkan apa yang benar dari TUHAN. Namun sungguhlah manusia ini
memang lahir dari benih dosa. Lihatlah kisah Ayub, bahkan mereka yang rohaniwan
telah berkata-kata serong tentang Allah kepada Ayub sehingga Ayub mengalami
guncangan. Allah murka kepada 3 rekan Ayub dan hendak mengganjar mereka, namun
oleh karena kemurahan hatinya, Ayub berdoa agar murka Tuhan surut dan
ampunanNya berlaku untuk ketiga sahabatnya itu.
Jadi apa yang akan kita simpulkan dari kebenaranNya kali
ini? Paling tidak ada tiga hal:
1. Marilah
kita menggunakan mulut dan lidah kita untuk mengakui dan memperkatakan kebenaran
FirmanNya. Sama seperti Maria yang berkata: “Sesungguhnya
aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu.” (Lukas
1:38). Marilah kita sungguh-sungguh percaya akan setiap perkataan Firman Allah.
Menerima dan mengaminkannya sehingga terjadi dalam hidup kita. Kunci utamanya
adalah dengan percaya pada perkataan kebenaran. Sekalipun kita memperkatakan
kebenaran, namun kita tidak percaya, maka kita sendang menipu diri kita sendiri
atau kita sedang berlaku sebagai badut rohani yang suka bersandiwara. Kalau
kita mengaku dengan mulut, kita akan diselamatkanNya pada hari penghakiman. “Karena dengan hati orang percaya dan
dibenarkan, dan dengan mulut orang mengaku dan diselamatkan.” (Roma
10:10) Jadi perhatikan betapa dahsyatnya kuasa di balik perkataan kebenaran.
2. Marilah
kita menjadi teladan dalam perkataan. “…;
but be thou an example of the believers, in word, in conversation, in charity,
in spirit, in faith, in purity.” (KJV 1 Timoty:4:12). Rasul Paulus
mengingatkan agar sama seperti Timotius, kita juga harus menjadi contoh yang
benar dalam perkataan. Jangan lagi kita asal bicara sehingga kita menyemburkan
kata-kata yang sia-sia. Tetapi hendaklah kita mengeluarkan kata-kata yang benar
saja. Kata-kata yang berpadanan dengan firmanNya. Seorang hamba Tuhan yang tak
dapat dipegang perkataannya pasti tidak akan berhasil dalam pelayanan. Tinggal
menunggu waktu saja untuk melihat seseorang rubuh dan hancur jika perkataannya
tidak dapat dipertanggungjawabkan.
3. Terimalah
dengan percaya bahwa perkataan kebenaran yang kita sampaikan, akan bekerja dan
menjadi kenyataan. Maka akan ada sebuah kekuatan besar yang sedang bekerja di
alam roh ketiak dengan sepenuh hati dan p[ercaya kita memperkatakan kebenaran.
FirmanNya tidak akan kembali dengan sia-sia tetapi akan bekerja dan mengerjakan
kebenaranitu menjadi mukjizat. Maria pernah berkata kepada malaikat yang memperkatakan
kebenaran kepadanya: “Jadilah padaku seperti perkataanmu!” amin
Intisari bKhotbah
Gembala Sidang, Pdt. Joshua M. Sinaga, S.Th pada Ibadah Raya Minggu, 21 Mei 2006 di HN
Ministries Chapter Induk Semper Jakarta Utara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar