Senin, 15 Desember 2014

Mencoba Mengerti Arti Maut (Kematian)



Coba Mengerti Arti Kematian (Maut)



Dalam bahasa Yunani ‘kematian’ disebut thanatos. Thanatos berarti bentuk kematian atau keadaan mati. Tetapi kata ini juga dipakai untuk mengungkapkan hal berbahaya yang mematikan, bagaimana kematian, ancaman kematian. Thanatos berarti membuat seseorang mati, membunuh, dan mengakibatkan sesuatu hal berbahaya yang mematikan. Kematian adalah jangka waktu ketika kita melewati dengan sendiri dunia yang tidak kelihatan.

Apa definisi ‘kematian’? Suatu pertanyaan sederhanayang kedengarannya sangat gampang untuk dijawab. Kalau seseorang tahu apa definisi ‘kehidupan’, secara otomatis ia dapat mendefinisikan kematian. Sebab, definisi kematian tidak lain adalah kebalikan dari definisi kehidupan itu sendiri. Dalam kenyataan, definisi kematian jauh lebih pelik daripada yang diprakirakan oleh kebanyakan orang. Selama berpuluh-puluh abad masyarakat umum terindoktrinasi oleh kepercayaan bahwa kehidupan adalah sesuatu yangdihembuskanoleh Tuhan ke dalam pernafasan. Pernafasan dianggap memegang peranan yang sangat penting. Tanpa adanya pernafasan, tak ada pula kehidupan. Melalui pernafasanlah, makhluk hidup didunia ini memperoleh oksigen yang sangat dibutuhkan oleh seluruh organ–bahkan sel–dalam tubuh. 

Kalau tidak mendapatkan oksigen yang dipompakan dari paruparu, jantung akan berhenti berdetak yang berakibat pada terhentinya peredaran darah dalam tubuh. Apabila jantung dan paruparu berhenti bekerja (cardio-pulmonary malfunction), otak yang berfungsi sebagai pusat pengaturan saraf (neurological function) niscaya akan mengalami kerusakan karena kekurangan oksigen. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, kerusakan ini berakibat fatal bagi keberlangsungan organisme dalam tubuh makhluk hidup, yakni kematian. Dari pengertian inilah kemudian didefinisikan bahwa kematian adalah terhentinya pernafasan (cessation of breathing).        

Definisi kematian ini pernah diakui serta diterima oleh masyarakat umum, kalangan medis maupun kaum agamawan di Barat. Namun, pada pertengahan abad ke-20, tatkala ilmu pengetahuan serta teknologi mulai berkembang, definisi kematian itu dipertanyakan keabsahannya. Fungsi pernafasan alamiah dapat digantikan oleh alat pernafasan mekanis (respirator). 

Pernafasan tidak lagi secara mutlak identik dengan kehidupan. Gagal atau rusaknya sistem pernafasan alamiah tidaklah selamanya berarti maut atau kematian. Karena itu, definisi kematian perlu dirumuskan kembali sesuai dengan perkembangan zaman.Ini berlatar-belakang pada penjabaran yang diberikan oleh ahli saraf di Perancis pada tahun 1958 tentang keadaan perbatasan antara hidup dan mati yang disebut coma dépassé (secara harfiah berarti keadaan melebihi pingsan). Pasien-pasien itu seluruhnya menderita kerusakan otak (brain lesions) yang pokok, struktural, dan tak tersembuhkan; berada dalam keadaan pingsan (comatose), dan tak mampu bernafas secara spontan. Mereka tidak hanya kehilangan kemampuan dalam menanggapi dunia luar, tetapi juga tidak lagi dapat mengendalikan lingkungan dalam tubuh mereka sendiri.
Mereka tidak dapat mengatur suhu tubuh, mengendalikan tekanan darah, dan mengatur kecepatan detak jantung secara wajar. Mereka bahkan tidak dapat menahan cairan dalam tubuh, dan sebaliknya melimpahkanair kencing dalam jumlah yang sangat banyak. Organisme mereka secara keseluruhan boleh dikatakan  telah berhenti berfungsi. Selanjutnya, pada tahun 1968, panitia khusus Sekolah Medis Harvard menerbitkan sebuah laporan berjudul “SebuahDefinisi Keadaan Pingsan yang tak dapat dibalikkan kembali”. 

Di situ didaftarkan cerita bagi pengenalan gejala kematian otak. Laporan ini secara jelas mengidentifikasi kematian otak (brain-death) sebagai kematian meskipun tidak secara langsung menjabarkan apa itu yang dimaksud dengan kematian. Apabila seorang pasien telah berada dalam keadaan seperti itu, pencabutan alat pembantu pernafasan direstui karena iasecaramedi setelah dianggap mati. Kegagalan kerja jantung dan paru-paru sangatlah mudah diketahui, namun tidaklah gampang untuk dapat memastikan kematian otak. Harus dilakukan pengamatan yang cermat atas rangkaian tanda-tanda kehidupan. 

Apakah seorang pasien sama sekali tidak menanggapi rangsangan (stimulation) apa pun? Dapatkah ia bernafas tanpa alat pembantu?Adakah pergerakan mata, penelanan atau batuk? Apakah alat pemantau gelombang otak (EEG: Electro-EncephaloGram) menunjukkan adanya bukti kegiatan elektrik yang datang dari otak? Adakah harus peredaran darah melalui otak? Jawaban negatif dari rentetan pertanyaan ini menunjukkan kematian otak. Namun, satu tanda saja tidaklah cukup untuk membenarkan anggapan demikian. Walaupun kebanyakan pakar medis telah menyepakati definisi kematian otak, masih terdapat nuansa dalam rinciannya. Ada yang merujuk pada kerusakan otak secara keseluruhan (whole-brain), dan adapula yang mengacu pada kerusakan otak dibagian yang berfungsi lebih tinggi (higher-brain).

Namun, kriteria yang palingbanyakdianutialahkerusakanotak-pokok (brain-stem). Pada tahun 1973, dua ahli bedah saraf di Minneapolis mengidentifikasikan kematian otak-pokok sebagai suatu keadaan yang tak mungkin dapat dikembalikan lagi. Pada tahun 1976 dan 1979, konferensi agung perguruan dan fakultas di Inggris menerbitkan suatu catatan penting dalam topik ini. Yang pertama menjabarkan ciri-ciri klinis atas kematian otak-pokok, sedangkan yang kedua mengidentifikasikan kematian otak-pokok sebagai kematian. Suatu panduan yang mirip dengan ini juga diterbitkan di Amerika Serikat pada tahun1981. Opini serta praktek internasional pada dasarnya bergerak selaras dengan garis-garis ini dalam menerima gagasan tentang kematian otak-pokok. Denmark adalah Negara terakhir di Eropah yang mengabsahkan definisi kematian otak-pokok (1990). 

Otak-pokok adalah suatu bagian yang berbentuk seperti ‘batang’ atau ‘tonggak’, yang berada dibagian dasar/bawah otak. Selain merupakan pusat jaringan saraf yang mengatur pernafasan, detak jantung dan tekanan darah, ini juga memegang peranan penting dalam mengelola kesiagaan (dalam membangkitkan kemampuan bagi kesadaran). Kerusakan pada bagian-bagian yang penting, walaupun kecil, dapat membuat seseorang berada dalam keadaan pingsan sepanjang waktu (permanent coma). Otak-pokok ini mempunyai peranan yang sangat penting atas bekerjanya otak besar dan otak kecil. Hampir semua penserapan inderawi berjalan melintasi otak-pokok ini. Demikian pula perintah pergerakan serta percakapan, juga dikirimkan melaluinya. 

Tak berfungsinya otak-pokok berarti tidak adanya kegiatan-kegiatan bermakna pada bagian otak besar; tak ada ingatan, perasaan dan pemikiran; tak ada interaksi sosial terhadap keadaan lingkungan. Selama beberapa dasawarsa belakangan ini, memang tidak ada gugatan yang bernilai atas definisi kematian yang didasarkan pada kerusakan atau kematian pada bagian otak. Namun, ini bukanlah berarti bahwa inilah definisi kematian ‘yangsesungguhnya’dan akan dipakai untuk selamanya. Ilmu pengetahuan serta teknologi medis dimasa depan mungkin mampu menggantikan fungsi kerja otak apakah dengan mempergunakan peralatan mekanis/elektrik, melalui pembiakan jaringan otak (brain tissue) ataupun melalui pengarasan (clonning). Dengan begitu, kerusakan pada bagian otak tidaklah berarti maut atau kematian. Pada waktu itulah, suatu definisi yang baru atas kematian perlu dirumuskan lagi.

Makna Kematian Dalam Kehidupan Orang Kristen

Jika kita hanya mengejar hal-hal duniawi maka kita telah melepaskan diri kita dari sumber kehidupan. Untuk menghadapi kematian, kita harus sadar bahwa kita hidup sebagai orang berdosa dalam kematian. Dalam Perjanjian Lama, kematian berarti akhir kesudahan dari keberadaan seseorang (2 Sam. 12:15 ; 14:14). Manusia diciptakan dari tanah dan mereka akan kembali menjadi debu (Kej. 3:19). Jiwa diartikan sebagai sheol (hades) yang tidak ada lagi kehidupan di luar daripadanya. Manusia yang mati pergi ke hades (ruang antara kematian dan penghakiman akhir). Maka sangat bertentangan dan ditolak kalau ada yang mengatakan masih ada hubungan antara orang mati dengan orang hidup.  

Apakah penyebab kematian ?  Paulus berkata bahwa upah dosa adalah maut/kematian (Rom. 6:23). Dasar pandangan tersebut yaitu iblis merupakan penguasa kematian (Ibr. 2:14), walaupun sebenarnya Allah sendirilah yang mampu menghancurkan tubuh dan jiwa dalam dunia kematian (Mat. 10:28 ; Why. 2:23). Dalam perjanjian baru penyebab kematian merupakan hal yang teologis. Kematian itu universal dan hal tersebut merupakan keuniversalan kesalahan manusia dan jalan manusia untuk pengampunan.

Dari pembahasan-pembahasan di atas tergambar bahwa kematian dalam Perjanjian Baru bukanlah sebagai proses yang alamiah, tetapi sebagai peristiwa sejarah yang mengakibatkan manusia masuk ke dalam keberdosaannya. Pernyataan tentang kematian Kristus di kayu salib merupakan cerita keselamatan dan selalu berhubungan dengan kebangkitan dan kemenangan atau hidup baru bagi orang-orang percaya. Intinya adalah bahwa Allah sendiri merendahkan diri dan menanggalkan kemuliaanNya dalam kematian, yang justru dalam kematian itu Ia menunjukkan diri sebagai Tuhan dan Allah yang hidup. Kematian Kristus adalah keuntungan bagi manusia (1 Tes. 5:10 ; Ibr 2:9-10), kematian Kristus adalah bagi Hukum Taurat (Rom 7:4), bagi dosa (2 Kor. 5:21), dan bagi kematian kita (2 Tim. 1:10). Kematian Allah berarti final dari segala keberadaan keilahian yang dipahami di dalam system metafisik kuno dunia.

Kematian bagi orang percaya adalah kekuatan dalam hidup persekutuan dengan Tuhan bukan hanya sebagai satu hal akhir dari hidup. Kematian adalah pintu menuju hidup kekal yaitu kelepasan dari segala dosa menuju hidup kepada kehidupan bersama Allah. Untuk itu, maka kematian menurut pandangan Kristen harus didasarkan pada ciri : 1. Kematian adalah suatu hal yang alamiah yaitu manusia mengambil bagian dalam struktur kehidupan keseluruhan yang kompleks. 2. Kematian adalah suatu hukuman, hukuman untuk dosa (Rom. 6:21-ff). 3. Kematian adalah panggilan untuk pulang kepada manusia. Bukan hanya sebagai hukuman tapi juga kabar sukacita, bukan hanya sebagai pengadilan tapi juga penebusan (Flp. 1:23). 

Kematian Kristus Sebagai Keselamatan

Makna teologis tentang kematian Kristus yang membuka suatu jalan yang baru dan yang hidup bagi manusia dapat memberikan kepada kita suatu perspektif iman yang transformatif saat kita menghadapi secara nyata kuasa maut berupa penderitaan, kepedihan, kegagalan dan kematian. Betapa sering kita terjebak dalam perasaan putus-asa dan kehilangan gairah hidup pada saat kita mengalami berbagai kesedihan, kegagalan, penderitaan dan kematian dari orang-orang yang kita kasihi. Pada saat yang demikian, kita merasa tidak sanggup lagi menjalani pergumulan kehidupan ini. Kita juga merasa tidak sanggup lagi melakukan apa yang baik seperti: berbagai ketentuan atau kewajiban agama, tanggungjawab untuk beribadah, berdoa dan melayani. Saat itu hidup kita seperti terkurung dalam api neraka, yang begitu menyiksa dan menyakitkan. Tetapi pada saat kita berada dalam bayang-bayang maut dan kekelaman kematian, tiba-tiba kita dapat mendengar ucapan Tuhan Yesus saat Dia akan menghembuskan nafasNya: ‘Sudah selesai!’. 

Apa yang terjadi dalam diri kita selanjutnya? Bukankah pada saat itu kita merasakan atau mengalami seluruh beban yang begitu berat dan menindih kita tiba-tiba dapat terangkat lepas? Ucapan Kristus yang berkata: ‘Sudah selesai’ memberikan kepada kita suatu kekuatan yang luar biasa, sehingga kita dapat menemukan suatu jalan yang baru dan jalan yang hidup di tengah-tengah berbagai persoalan hidup yang menerpa kita. Pengalaman transformatif ini mengingatkan saya akan karya  dari John Bunyan (1628-1688) yang menulis suatu buku berjudul “The Pilgrim Progress from This World to That Which Is to Come”. 

Buku tersebut sangat populer dan diterbitkan pada tahun 1678 (kelak diterjemahkan dengan judul: Perjalanan Seorang Musafir). Dalam buku John Bunyan tersebut, dikisahkan bagaimana seorang tokoh bernama Kristen, tiba-tiba punggungnya dari hari ke hari makin membesar setelah dia membaca Alkitab. Makin didalami isi Alkitabnya, si Kristen merasakan punggungnya makin menanggung beban yang sangat berat. Akhirnya dia memutuskan melakukan perjalanan sebagai seorang musafir untuk mengetahui kebenaran firman Tuhan. Dalam pengembaraannya tokoh si Kristen menemui berbagai karakter manusia; akhirnya sampailah si Kristen itu di depan kayu salib Kristus. 

Saat dia berlutut di bawah kaki salib Kristus, maka seluruh beban di atas punggungnya dapat terlepas. Jelas sifat tulisan dari John Bunyan bersifat alegoris untuk menggambarkan beban dosa yang harus ditanggung oleh manusia. Beban dosa tersebut tidak dapat terlepas kecuali kita menghadap salib Kristus. Bukankah gambaran dari tokoh si Kristen dan orang-orang yang dijumpai dalam pengembaraannya dalam buku John Bunyan tersebut menggambarkan kehidupan kita sehari-hari? Beban pergumulan dan dosa atau kesalahan kita hanya dapat terangkat lepas saat Kristus meneguhkan kita, bahwa kuasa maut pada hakikatnya telah dipatahkan karena Dia telah menyelesaikan karya pendamaian di atas kayu salib dengan sempurna.

Karena kematian Kristus merupakan rencana dan wujud dari karya keselamatan Allah yang sempurna, maka tidaklah mengherankan jikalau masalah kematian Kristus sepanjang masa sering dipersoalkan dan menjadi suatu kontroversi. Beberapa kalangan menganggap Yesus Kristus tidak mati, sebab Dia terlebih dahulu diangkat ke sorga oleh Allah. Kalangan lain memiliki anggapan yang berbeda. Sebab bagi mereka Yesus Kristus sungguh-sungguh disalibkan tetapi Dia tidak sampai mati tetapi hanya mengalami mati suri sehingga akhirnya Dia siuman dan berhasil keluar dari kubur.   

Kelompok-kelompok yang saling berbeda pandangan tersebut, pada prinsipnya tetap menolak kematian Kristus. Sepertinya dalam kelompok-kelompok yang  menepiskan kemungkinan  Yesus mengalami kematian di atas kayu salib didasari oleh suatu kekuatiran tertentu. Mengapa mereka merisaukan soal kemungkinan kematian Kristus di atas kayu salib, sehingga timbul teori Dia diangkat oleh Allah dan diganti oleh salah seorang muridNya? Atau teori yang menyatakan bahwa Yesus hanya mati suri saja, sehingga Dia tidak pernah mengalami kematian di atas kayu salib? Mungkin satu-satunya tokoh sejarah yang kematianNya selalu dipersoalkan oleh banyak kalangan adalah kematian Yesus.  

Namun iman Kristen berdasarkan kesaksian Alkitab dan yang dikuatkan oleh dokumen-dokumen sejarah secara pasti menyatakan bahwa Yesus Kristus wafat di atas kayu salib. Peristiwa kematianNya telah membawa suatu dampak yang begitu besar dalam sejarah sehingga umat Kristen dapat hadir dan berperan secara transformatif dalam gelanggang sejarah. Tetapi juga kematian Kristus terbukti membawa dampak yang begitu besar dalam pemahaman teologis manusia tentang Allah dan karyaNya. Kematian Kristus memberikan pemahaman  yang baru tentang makna serta tujuan kehidupan. Itu sebabnya kematian Kristus pada hakikatnya memiliki tempat yang sangat unik, khusus, memulihkan dan transformatif dalam kehidupan umat manusia. Melalui kematian Kristus, Allah telah mengungkapkan karya keselamatanNya yang sungguh-sungguh sempurna sehingga terjadilah pendamaian dan pemulihan hubungan antara Allah dengan umat manusia.   


Kesimpulan 

Sebagai orang Kristen kita percaya, dan kita tahu, bahwa kematian bukan akhir dari suatu keberadaan atau kehidupan, namun hal itu tetap merupakan suatu perpisahan dari orang-orang disekitar kita pada masa hidup. Itu adalah akhir dari suatu hubungan yang mempunyai arti istimewa bagi kita dalam kenidupan ini. Langkah pertama dalam memperoleh perspektif yang tepat ialah dengan mengakui bahwa Allah berdaulat dalam semua masalah kehidupan dan kematian, karena Dia telah menunjukkan karya-karya keselamatan untuk menaklukan maut dan kematian. Keyakinan adanya kehidupan setelah kematian merupakan suatu sumber rasa aman, optimisme, dan pemulihan rohani bagi seseorang (1 Yohanes 3:2). Tidak ada suatu pun yang menawarkan lebih banyak kekuatan dan dorongan dari pada keyakinan bahwa ada suatu kehidupan yang lebih baik bagi mereka yang menggunakan masa sekarang untuk mempersiapkan hidup dalam kekekalan.

ANDA TIDAK SENDIRIAN jika Anda secara jujur merasakan bahwa Anda belum diyakinkan tentang kehidupan setelah kematian. Tetapi ingatlah bahwa Yesus berjanji untuk memberikan pertolongan Ilahi kepada mereka yang ingin mengenal kebenaran dan yang mau menaklukkan diri kepadaNya. Ia berkata, "Barangsiapa mau melakukan kehendak-Nya, ia akan tahu entah ajaran-Ku ini berasal dari Allah, entah Aku berkata-kata dari diri-Ku sendiri," (Yohanes 7:17).

Bila Anda yakin pada bukti adanya kehidupan setelah kematian, ingatlah Alkitab berkata bahwa Kristus mati untuk melunasi hutang-hutang dosa kita, dan bahwa semua orang yang percaya kepadaNya akan menerima karunia pengampunan dan kehidupan kekal. Keselamatan yang ditawarkan Kristus bukanlah upah untuk usaha kita, tetapi suatu anugerah bagi mereka yang, melalui bukti-bukti tersebut, percaya kepadaNya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar