Coba Mengerti Arti Kematian (Maut)
Dalam bahasa Yunani ‘kematian’ disebut thanatos.
Thanatos berarti bentuk kematian atau keadaan mati. Tetapi kata ini juga
dipakai untuk mengungkapkan hal berbahaya yang mematikan, bagaimana kematian,
ancaman kematian. Thanatos berarti membuat seseorang mati, membunuh, dan
mengakibatkan sesuatu hal berbahaya yang mematikan. Kematian adalah jangka
waktu ketika kita melewati dengan sendiri dunia yang tidak kelihatan.
Apa definisi ‘kematian’? Suatu pertanyaan sederhanayang
kedengarannya sangat gampang untuk dijawab. Kalau seseorang tahu apa definisi ‘kehidupan’,
secara
otomatis ia dapat mendefinisikan kematian. Sebab, definisi kematian tidak lain
adalah kebalikan dari definisi kehidupan itu sendiri. Dalam kenyataan, definisi
kematian jauh lebih pelik daripada yang diprakirakan oleh kebanyakan orang.
Selama berpuluh-puluh abad masyarakat umum terindoktrinasi oleh kepercayaan
bahwa kehidupan adalah sesuatu yangdihembuskanoleh Tuhan ke dalam pernafasan.
Pernafasan dianggap memegang peranan yang sangat penting. Tanpa adanya
pernafasan, tak ada pula kehidupan. Melalui pernafasanlah, makhluk hidup
didunia ini memperoleh oksigen yang sangat dibutuhkan oleh seluruh organ–bahkan
sel–dalam tubuh.
Kalau tidak mendapatkan oksigen yang dipompakan dari
paruparu, jantung akan berhenti berdetak yang berakibat pada terhentinya
peredaran darah dalam tubuh. Apabila jantung dan paruparu berhenti bekerja (cardio-pulmonary
malfunction), otak yang berfungsi sebagai pusat pengaturan saraf
(neurological function) niscaya akan mengalami kerusakan karena kekurangan
oksigen. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, kerusakan ini berakibat fatal
bagi keberlangsungan organisme dalam tubuh makhluk hidup, yakni kematian. Dari
pengertian inilah kemudian didefinisikan bahwa kematian adalah terhentinya
pernafasan (cessation of breathing).
Definisi kematian ini pernah diakui serta diterima oleh
masyarakat umum, kalangan medis maupun kaum agamawan di Barat. Namun, pada
pertengahan abad ke-20, tatkala ilmu pengetahuan serta teknologi mulai
berkembang, definisi kematian itu dipertanyakan keabsahannya. Fungsi pernafasan
alamiah dapat digantikan oleh alat pernafasan mekanis (respirator).
Pernafasan tidak lagi secara mutlak identik dengan
kehidupan. Gagal atau rusaknya sistem pernafasan alamiah tidaklah selamanya
berarti maut atau kematian. Karena itu, definisi kematian perlu dirumuskan
kembali sesuai dengan perkembangan zaman.Ini berlatar-belakang pada penjabaran
yang diberikan oleh ahli saraf di Perancis pada tahun 1958 tentang keadaan
perbatasan antara hidup dan mati yang disebut coma dépassé (secara
harfiah berarti keadaan melebihi pingsan). Pasien-pasien itu seluruhnya
menderita kerusakan otak (brain lesions) yang pokok, struktural, dan tak
tersembuhkan; berada dalam keadaan pingsan (comatose), dan tak mampu
bernafas secara spontan. Mereka tidak hanya kehilangan kemampuan dalam
menanggapi dunia luar, tetapi juga tidak lagi dapat mengendalikan lingkungan
dalam tubuh mereka sendiri.
Mereka tidak dapat mengatur suhu tubuh, mengendalikan
tekanan darah, dan mengatur kecepatan detak jantung secara wajar. Mereka bahkan
tidak dapat menahan cairan dalam tubuh, dan sebaliknya melimpahkanair kencing
dalam jumlah yang sangat banyak. Organisme mereka secara keseluruhan boleh
dikatakan telah berhenti berfungsi. Selanjutnya, pada tahun 1968, panitia
khusus Sekolah Medis Harvard menerbitkan sebuah laporan berjudul
“SebuahDefinisi Keadaan Pingsan yang tak dapat dibalikkan kembali”.
Di situ
didaftarkan cerita bagi pengenalan gejala kematian otak. Laporan ini secara
jelas mengidentifikasi kematian otak (brain-death) sebagai kematian
meskipun tidak secara langsung menjabarkan apa itu yang dimaksud dengan
kematian. Apabila seorang pasien telah berada dalam keadaan seperti itu,
pencabutan alat pembantu pernafasan direstui karena iasecaramedi setelah
dianggap mati. Kegagalan kerja jantung dan paru-paru sangatlah mudah diketahui,
namun tidaklah gampang untuk dapat memastikan kematian otak. Harus dilakukan
pengamatan yang cermat atas rangkaian tanda-tanda kehidupan.
Apakah seorang pasien sama sekali tidak menanggapi
rangsangan (stimulation) apa pun? Dapatkah ia bernafas tanpa alat
pembantu?Adakah pergerakan mata, penelanan atau batuk? Apakah alat pemantau
gelombang otak (EEG: Electro-EncephaloGram) menunjukkan adanya bukti
kegiatan elektrik yang datang dari otak? Adakah harus peredaran darah melalui
otak? Jawaban negatif dari rentetan pertanyaan ini menunjukkan kematian otak.
Namun, satu tanda saja tidaklah cukup untuk membenarkan anggapan demikian.
Walaupun kebanyakan pakar medis telah menyepakati definisi kematian otak, masih
terdapat nuansa dalam rinciannya. Ada yang merujuk pada kerusakan otak secara
keseluruhan (whole-brain), dan adapula yang mengacu pada kerusakan otak
dibagian yang berfungsi lebih tinggi (higher-brain).
Namun, kriteria yang
palingbanyakdianutialahkerusakanotak-pokok (brain-stem). Pada tahun 1973, dua
ahli bedah saraf di Minneapolis mengidentifikasikan kematian otak-pokok sebagai
suatu keadaan yang tak mungkin dapat dikembalikan lagi. Pada tahun 1976 dan
1979, konferensi agung perguruan dan fakultas di Inggris menerbitkan suatu
catatan penting dalam topik ini. Yang pertama menjabarkan ciri-ciri klinis atas
kematian otak-pokok, sedangkan yang kedua mengidentifikasikan kematian
otak-pokok sebagai kematian. Suatu panduan yang mirip dengan ini juga
diterbitkan di Amerika Serikat pada tahun1981. Opini serta praktek
internasional pada dasarnya bergerak selaras dengan garis-garis ini dalam
menerima gagasan tentang kematian otak-pokok. Denmark adalah Negara terakhir di
Eropah yang mengabsahkan definisi kematian otak-pokok (1990).
Otak-pokok adalah suatu bagian yang berbentuk seperti ‘batang’
atau ‘tonggak’, yang berada dibagian dasar/bawah otak. Selain
merupakan pusat jaringan saraf yang mengatur pernafasan, detak jantung dan
tekanan darah, ini juga memegang peranan penting dalam mengelola kesiagaan (dalam
membangkitkan kemampuan bagi kesadaran). Kerusakan pada bagian-bagian yang
penting, walaupun kecil, dapat membuat seseorang berada dalam keadaan pingsan
sepanjang waktu (permanent coma). Otak-pokok ini mempunyai peranan yang
sangat penting atas bekerjanya otak besar dan otak kecil. Hampir semua penserapan
inderawi berjalan melintasi otak-pokok ini. Demikian pula perintah pergerakan
serta percakapan, juga dikirimkan melaluinya.
Tak berfungsinya otak-pokok berarti tidak adanya
kegiatan-kegiatan bermakna pada bagian otak besar; tak ada ingatan, perasaan
dan pemikiran; tak ada interaksi sosial terhadap keadaan lingkungan. Selama
beberapa dasawarsa belakangan ini, memang tidak ada gugatan yang bernilai atas
definisi kematian yang didasarkan pada kerusakan atau kematian pada bagian
otak. Namun, ini bukanlah berarti bahwa inilah definisi kematian ‘yangsesungguhnya’dan
akan dipakai untuk selamanya. Ilmu pengetahuan serta teknologi medis dimasa
depan mungkin mampu menggantikan fungsi kerja otak apakah dengan mempergunakan
peralatan mekanis/elektrik, melalui pembiakan jaringan otak (brain tissue)
ataupun melalui pengarasan (clonning). Dengan begitu, kerusakan pada
bagian otak tidaklah berarti maut atau kematian. Pada waktu itulah, suatu
definisi yang baru atas kematian perlu dirumuskan lagi.
Makna Kematian Dalam
Kehidupan Orang Kristen
Jika kita hanya mengejar hal-hal duniawi maka kita telah
melepaskan diri kita dari sumber kehidupan. Untuk menghadapi kematian, kita
harus sadar bahwa kita hidup sebagai orang berdosa dalam kematian. Dalam
Perjanjian Lama, kematian berarti akhir kesudahan dari keberadaan seseorang (2
Sam. 12:15 ; 14:14). Manusia diciptakan dari tanah dan mereka akan kembali
menjadi debu (Kej. 3:19). Jiwa diartikan sebagai sheol (hades)
yang tidak ada lagi kehidupan di luar daripadanya. Manusia yang mati pergi ke hades
(ruang antara kematian dan penghakiman akhir). Maka sangat bertentangan dan
ditolak kalau ada yang mengatakan masih ada hubungan antara orang mati dengan
orang hidup.
Apakah penyebab kematian ? Paulus berkata bahwa upah
dosa adalah maut/kematian (Rom. 6:23). Dasar pandangan tersebut yaitu iblis
merupakan penguasa kematian (Ibr. 2:14), walaupun sebenarnya Allah sendirilah
yang mampu menghancurkan tubuh dan jiwa dalam dunia kematian (Mat. 10:28 ; Why.
2:23). Dalam perjanjian baru penyebab kematian merupakan hal yang teologis.
Kematian itu universal dan hal tersebut merupakan keuniversalan kesalahan
manusia dan jalan manusia untuk pengampunan.
Dari pembahasan-pembahasan di atas tergambar bahwa kematian dalam
Perjanjian Baru bukanlah sebagai proses yang alamiah, tetapi sebagai peristiwa
sejarah yang mengakibatkan manusia masuk ke dalam keberdosaannya. Pernyataan
tentang kematian Kristus di kayu salib merupakan cerita keselamatan dan selalu
berhubungan dengan kebangkitan dan kemenangan atau hidup baru bagi orang-orang
percaya. Intinya adalah bahwa Allah sendiri merendahkan diri dan menanggalkan
kemuliaanNya dalam kematian, yang justru dalam kematian itu Ia
menunjukkan diri sebagai Tuhan dan Allah yang hidup. Kematian Kristus adalah
keuntungan bagi manusia (1 Tes. 5:10 ; Ibr 2:9-10), kematian Kristus adalah
bagi Hukum Taurat (Rom 7:4), bagi dosa (2 Kor. 5:21), dan bagi kematian kita (2
Tim. 1:10). Kematian Allah berarti final dari segala keberadaan keilahian yang
dipahami di dalam system metafisik kuno dunia.
Kematian bagi orang percaya adalah kekuatan dalam hidup
persekutuan dengan Tuhan bukan hanya sebagai satu hal akhir dari hidup.
Kematian adalah pintu menuju hidup kekal yaitu kelepasan dari segala dosa menuju
hidup kepada kehidupan bersama Allah. Untuk itu, maka kematian menurut
pandangan Kristen harus didasarkan pada ciri : 1. Kematian adalah suatu
hal yang alamiah yaitu manusia mengambil bagian dalam struktur kehidupan
keseluruhan yang kompleks. 2. Kematian adalah suatu hukuman, hukuman
untuk dosa (Rom. 6:21-ff). 3. Kematian adalah panggilan untuk pulang
kepada manusia. Bukan hanya sebagai hukuman tapi juga kabar sukacita,
bukan hanya sebagai pengadilan tapi juga penebusan (Flp. 1:23).
Kematian Kristus
Sebagai Keselamatan
Makna teologis tentang kematian Kristus yang membuka suatu
jalan yang baru dan yang hidup bagi manusia dapat memberikan kepada kita suatu
perspektif iman yang transformatif saat kita menghadapi secara nyata kuasa maut
berupa penderitaan, kepedihan, kegagalan dan kematian. Betapa sering kita
terjebak dalam perasaan putus-asa dan kehilangan gairah hidup pada saat kita
mengalami berbagai kesedihan, kegagalan, penderitaan dan kematian dari
orang-orang yang kita kasihi. Pada saat yang demikian, kita merasa tidak
sanggup lagi menjalani pergumulan kehidupan ini. Kita juga merasa tidak sanggup
lagi melakukan apa yang baik seperti: berbagai ketentuan atau kewajiban agama,
tanggungjawab untuk beribadah, berdoa dan melayani. Saat itu hidup kita seperti
terkurung dalam api neraka, yang begitu menyiksa dan menyakitkan. Tetapi pada
saat kita berada dalam bayang-bayang maut dan kekelaman kematian, tiba-tiba
kita dapat mendengar ucapan Tuhan Yesus saat Dia akan menghembuskan nafasNya: ‘Sudah
selesai!’.
Apa yang terjadi dalam diri kita selanjutnya? Bukankah pada saat
itu kita merasakan atau mengalami seluruh beban yang begitu berat dan menindih
kita tiba-tiba dapat terangkat lepas? Ucapan Kristus yang berkata: ‘Sudah
selesai’ memberikan kepada kita suatu kekuatan yang luar biasa, sehingga kita
dapat menemukan suatu jalan yang baru dan jalan yang hidup di tengah-tengah
berbagai persoalan hidup yang menerpa kita. Pengalaman transformatif ini
mengingatkan saya akan karya dari John Bunyan (1628-1688) yang menulis
suatu buku berjudul “The Pilgrim Progress from This World to That Which Is
to Come”.
Buku tersebut sangat populer dan diterbitkan pada tahun 1678
(kelak diterjemahkan dengan judul: Perjalanan Seorang Musafir). Dalam buku John
Bunyan tersebut, dikisahkan bagaimana seorang tokoh bernama Kristen, tiba-tiba
punggungnya dari hari ke hari makin membesar setelah dia membaca Alkitab. Makin
didalami isi Alkitabnya, si Kristen merasakan punggungnya makin menanggung
beban yang sangat berat. Akhirnya dia memutuskan melakukan perjalanan sebagai
seorang musafir untuk mengetahui kebenaran firman Tuhan. Dalam pengembaraannya
tokoh si Kristen menemui berbagai karakter manusia; akhirnya sampailah si
Kristen itu di depan kayu salib Kristus.
Saat dia berlutut di bawah kaki salib
Kristus, maka seluruh beban di atas punggungnya dapat terlepas. Jelas sifat
tulisan dari John Bunyan bersifat alegoris untuk menggambarkan beban dosa yang
harus ditanggung oleh manusia. Beban dosa tersebut tidak dapat terlepas kecuali
kita menghadap salib Kristus. Bukankah gambaran dari tokoh si Kristen dan
orang-orang yang dijumpai dalam pengembaraannya dalam buku John Bunyan tersebut
menggambarkan kehidupan kita sehari-hari? Beban pergumulan dan dosa atau
kesalahan kita hanya dapat terangkat lepas saat Kristus meneguhkan kita, bahwa
kuasa maut pada hakikatnya telah dipatahkan karena Dia telah menyelesaikan
karya pendamaian di atas kayu salib dengan sempurna.
Karena kematian Kristus merupakan rencana dan wujud dari karya keselamatan Allah yang sempurna, maka tidaklah mengherankan jikalau masalah kematian Kristus sepanjang masa sering dipersoalkan dan menjadi suatu kontroversi. Beberapa kalangan menganggap Yesus Kristus tidak mati, sebab Dia terlebih dahulu diangkat ke sorga oleh Allah. Kalangan lain memiliki anggapan yang berbeda. Sebab bagi mereka Yesus Kristus sungguh-sungguh disalibkan tetapi Dia tidak sampai mati tetapi hanya mengalami mati suri sehingga akhirnya Dia siuman dan berhasil keluar dari kubur.
Kelompok-kelompok yang saling
berbeda pandangan tersebut, pada prinsipnya tetap menolak kematian Kristus.
Sepertinya dalam kelompok-kelompok yang menepiskan kemungkinan
Yesus mengalami kematian di atas kayu salib didasari oleh suatu kekuatiran
tertentu. Mengapa mereka merisaukan soal kemungkinan kematian Kristus di atas
kayu salib, sehingga timbul teori Dia diangkat oleh Allah dan diganti oleh
salah seorang muridNya? Atau teori yang menyatakan bahwa Yesus hanya mati suri
saja, sehingga Dia tidak pernah mengalami kematian di atas kayu salib? Mungkin
satu-satunya tokoh sejarah yang kematianNya selalu dipersoalkan oleh banyak
kalangan adalah kematian Yesus.
Namun iman Kristen berdasarkan kesaksian
Alkitab dan yang dikuatkan oleh dokumen-dokumen sejarah secara pasti menyatakan
bahwa Yesus Kristus wafat di atas kayu salib. Peristiwa kematianNya telah
membawa suatu dampak yang begitu besar dalam sejarah sehingga umat Kristen
dapat hadir dan berperan secara transformatif dalam gelanggang sejarah. Tetapi
juga kematian Kristus terbukti membawa dampak yang begitu besar dalam pemahaman
teologis manusia tentang Allah dan karyaNya. Kematian Kristus memberikan
pemahaman yang baru tentang makna serta tujuan kehidupan. Itu sebabnya
kematian Kristus pada hakikatnya memiliki tempat yang sangat unik, khusus,
memulihkan dan transformatif dalam kehidupan umat manusia. Melalui kematian
Kristus, Allah telah mengungkapkan karya keselamatanNya yang sungguh-sungguh
sempurna sehingga terjadilah pendamaian dan pemulihan hubungan antara Allah
dengan umat manusia.
Kesimpulan
Sebagai orang Kristen kita percaya, dan kita tahu, bahwa kematian bukan akhir dari suatu keberadaan atau kehidupan, namun hal itu tetap merupakan suatu perpisahan dari orang-orang disekitar kita pada masa hidup. Itu adalah akhir dari suatu hubungan yang mempunyai arti istimewa bagi kita dalam kenidupan ini. Langkah pertama dalam memperoleh perspektif yang tepat ialah dengan mengakui bahwa Allah berdaulat dalam semua masalah kehidupan dan kematian, karena Dia telah menunjukkan karya-karya keselamatan untuk menaklukan maut dan kematian. Keyakinan adanya kehidupan setelah kematian merupakan suatu sumber rasa aman, optimisme, dan pemulihan rohani bagi seseorang (1 Yohanes 3:2). Tidak ada suatu pun yang menawarkan lebih banyak kekuatan dan dorongan dari pada keyakinan bahwa ada suatu kehidupan yang lebih baik bagi mereka yang menggunakan masa sekarang untuk mempersiapkan hidup dalam kekekalan.
ANDA TIDAK SENDIRIAN jika Anda secara jujur merasakan
bahwa Anda belum diyakinkan tentang kehidupan setelah kematian. Tetapi ingatlah
bahwa Yesus berjanji untuk memberikan pertolongan Ilahi kepada mereka yang
ingin mengenal kebenaran dan yang mau menaklukkan diri kepadaNya. Ia berkata,
"Barangsiapa mau melakukan kehendak-Nya, ia akan tahu entah ajaran-Ku ini
berasal dari Allah, entah Aku berkata-kata dari diri-Ku sendiri," (Yohanes
7:17).
Bila Anda yakin pada bukti adanya kehidupan setelah
kematian, ingatlah Alkitab berkata bahwa Kristus mati untuk melunasi
hutang-hutang dosa kita, dan bahwa semua orang yang percaya kepadaNya akan
menerima karunia pengampunan dan kehidupan kekal. Keselamatan yang ditawarkan
Kristus bukanlah upah untuk usaha kita, tetapi suatu anugerah bagi mereka yang,
melalui bukti-bukti tersebut, percaya kepadaNya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar