RELASI ANTARA IMAN DAN PERBUATAN
1. Definisi Iman
Hal
yang paling mendekati definisi dari iman di dalam Perjanjian Baru di temukan di
Ibrani 11:1, “Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan
bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat.” Dalam kamus bahasa Indonesia,
iman adalah kepercayaan kepada Tuhan (berkaitan dengan agama); keyakinan dan
kepercayaan kepada Allah; ketetapan hati, keteguhan hati.[6]
Dalam
Perjanjian Baru iman berarti: mengamini dengan segenap kepribadian dan cara
hidupnya kepada janji Allah, bahwa Ia di dalam Kristus telah mendamaikan
orang berdosa dengan diriNya sendiri, sehingga segenap hidup orang yang beriman
dikuasai oleh keyakinan yang demikian itu.
Jadi,
iman di pandang sebagai tangan yang diulurkan manusia guna meneriman kasih
karunia Allah yang besar. Juga dapat dikatakan bahwa iman dipandang sebagai
“jalan keselamatan”. Dalam arti yang demikian jugalah kata iman dipakai di
dalam ungkapan “orang benar itu akan hidup oleh imannya atau percayanya” (Hab.
2:4; bnd Rm. 1:17; Gal 3:11; Ibr. 10:38).
2. Jenis-jenis Iman
Alkitab
tidak selalu membicarakan iman dalam pengertian yang sama. Louis Berkhof
membagi empat jenis iman sebagai berikut:[7]
a) Iman historis
Iman
ini sepenuhnya merupakan penerimaan atas kebenaran, tanpa memperhatikan tujuan
moral maupun spiritual. Iman ini mungkin akibat dari suatu tradisi, pendidikan,
pendapat umum, atau suatu kekaguman atas kebesaran Alkitab, dan sebagainya,
yang disertai dengan tindakan umum Roh kudus. Mungkin saja iman ini sangat
ortodoks dan alkitabiah, tetapi tidak berakar dalam hati, Mat 7:26; Kis 26:27;
Yak 2:19
b) Iman Mujizat
Yang
disebut dengan iman mujizat adalah suatu kepercayaan yang ada di dalam pikiran
seseorang bahwa sebuah mujizat akan dapat dilakukannya atau dilakukan atas
namanya. Allah dapat memberikan kepada seseorang satu pekerjaan yang mengatasi
kekuatan alamaiahnya dan memungkinkan dia melakukannya. Setiap usaha semacam
itu mambutuhkan iman. Hal ini sangat jelas dalam keadaan dimana manusia tampil
hanya sekedar sebagai alat Tuhan atau sebagai seorang yang mengumumkan bahwa
Tuhan akan mengerjakan mujizat, sebab orang semacam itu harus mempunyai rasa
percaya yang penuh bahwa Tuhan tidak akan mempermalukan dia. Akhirnya Tuhan
hanya dilihat hanya sebagai pembuat meujizat. Iman inipun dapat disertai iman
yang menyelamatkan, Mat 8:10-13; Yoh 11:22.
c) Iman Sementara
Iman
seperti ini adaalah kepercayaan terhadap kebenaran agama yang disertai dengan
tuntunan hati nurani dan pengaruh perasaan, tetapi tidak berakar dalam. Istilah
ini diambil dari Mat 13:20,21. Disebut sebagai iman sementara sebab tidak
permanen dan gagal mempertahankan diri pada hari pencobaan dan kesulitan. Iman
semacam ini kadang-kadang disebut iman munafik. Mungkin sebaiknya iman ini
disebut sebagai iman khayalan. Kristus menyebut orang yang percaya sedemikian:
“tidak berakar pada dirinya sendiri” (Mat. 13:21). Secara umum dapat dikatakan
bahwa iman sementara berdasar pada hidup emosional dan berusaha mencari
kesenangan pribadi dan bukan kemuliaan Tuhan.
d) Iman yang Benar dan Menyelamatkan
Iman
yang benar dan menyelamatkan adalah suatu iman yang memiliki kedudukan dalam
hati dan berakar pada hidup yang telah mengalami kelahiran kembali. Iman ini
pertama-tama bukan tindakan manusia akan tetapi suatu potensi yang diberikan
oleh Tuhan dalam hati orang berdosa. Benih iman ditanamkan dalam diri manusia
ketika ia mengalami kelahiran kembali. Hanya sesudah Tuhan menanamkan benih
dalam hati manusia, maka ia dapat melakukan tindakan iman. Iman yang
menyelamatkan dapat didefinikan sebagai suatu keyakinan yang pasti yang
ditanamkan dalam hati manusia oleh Roh Kudus, kepada kebenaran injil dan suatu
kepercayaan yang sesungguhnya pada janji Allah dalam Kristus. Akhirnya memang
benar bahwa Kristus adalah objek iman yang menyelamatkan, tetapi Ia diberikan
kepada kita hanya melalui injil.
3. Diselamatkan Hanya Oleh Karena Iman
Di
dalam Yohanes 19:30 dapat dibaca mengenai saat-saat terakhir penderitaan Yesus
pada kayu salib, “Sesudah Yesus meminum anggur asam itu, berkatalah Ia:
“Suda selesai.” Lalu Ia menundukkan kepala-Nya dan menyerahkan nyawa-Nya.”
Di
sini perkataan bahasa Yunani yang diterjemahkan “sudah selesai” merupakan
pilihan kata yang paling sempurna yang dapat dipakai. Itulah kata kerja dalam
bentuk perfek itu sendiri mengandung dengan tuntas, dan hasilnya masih tuntas
sampai sekarang (sempurna). Untuk menggambarkannya: “sudah disempurnakan dengan
sempurna” atau sudah dipenuhi dengan sepenuhnya”. Artinya, benar-benar selesai,
sehingga tidak diperlukan apa-apa lagi untuk menambahkan kesempurnan.
Segala
sesuatu yang perlu dilakukan untuk membayar lunas hukuman atas dosa-dosa
manusia dan membeli kebebasan dan keselamatan semua manusia sudah dikerjakan
melalui penderitaan dan kematian Yesus pada kayu salib. Jika kita
mengajarkan, bahwa masih ada yang harus dilakukan di samping apa yang telah
dilakukan oleh Kristus, sesungguhnya kita menolak mengakui bahwa karya
penebusan Yesus sempurna.
Dengan
demikian, jika seseorang ingin mengusahakan sendiri keselamatannya dengan
perbuatan yang baik, baik seluruhnya ataupun sebagian saja, sesungguhnya
ia menghina Allah Bapa dan Allah Anak. Mengapa? Karena hal itu menimbulkan
kesan seolah-olah karya penebusan dan keselamatan yang sejak semula
direncanakan oleh Anak-Nya itu belum cukup, belum selesai. Ini jelas
bertentangan dengan apa yang diajarkan oleh seluruh Perjanjian Baru.
Rasul
Paulus dengan tegas dan secara berulang kali mengajarkan hal ini. Di dalam Roma
4:4-5 ia menulis, “Kalau ada orang yang bekerja, upahnya tidak diperhitungkan
sebagai hadiah, tetapi sebagai haknya. Tetapi kalau ada orang yang tidak
bekerja, namun percaya kepada Dia yang membenarkan orang durhaka, imannya
diperhitungkan menjadi kebenaran.”
Perhatikan
ungkapan “orang yang tidak bekerja, namun percaya”. Jelas dikatakan di situ,
untuk mendapatkan keselamatan ada satu syarat yang harus dipenuhi: orang itu
sama sekali tidak boleh bekerja. Ia harus berhenti berusaha melakukan sesuatu
untuk memperoleh keselamatan. Sebagai suatu imbalan. Keselamatan hanya
diperoleh karena iman. Selama manusia masih juga berusaha melakukan sesuatu untuk
memperoleh keselamatannya, ia tidak akan mengalami keselamatan yang
diberikan Allah, sebab keselamatan itu hanya diperoleh dengan percaya.[8]
Paulus
menegaskan kebenaran ini dalam Efesus 2:8-9, “Sebab karena kasih karunia kamu
diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu
bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri.” Perhatikan
bahwa di dalam tulisan bahasa Yunani, Paulus memakai kata kerja bentuk perfek,
artinya “kamu sudah diselamatkan”. Ayat ini mengatakan bahwa kita sudah
diselamatkan sekarang juga, pada waktu masih hidup di dunia ini. Jadi,
keselamatan itu bukanlah sesuatu yang baru didapatkan sesudah kematian.
Keselamtan
bukanlah ‘upah’ dari perbuatan baik, melainkan ‘karunia’ dari Allah. Hal ini
dijelaskan oleh Paulus dalam Titus 3:5, “Pada waktu itu Dia telah menyelamatkan
kita, bukan karena perbuatan baik yang telah kita lakukan, tetapi karena
rahmat-Nya oleh permandian kelahiran kembali dan oleh pembaharuan yang
dikerjakan oleh Roh Kudus…” melalui ayat ini cukup jelas, Dia telah
menyelamatkan kita bukan karena perbuatan baik yang telah kita lakukan, tetapi
karena rahmatNya. Jika kita diselamatkan, hal itu bukan terjadi karena
perbuatan baik yang kita lakukan, tetapi karena belas kasihan dan rahmat Allah
semata-mata.[9]
4. Relasi Iman dan Perbuatan Menurut
Rasul Paulus
Rasul
Paulus memberi penjelasan yang luas tentang kaitan antara keselamatan dengan
iman dan perbuatan. Namun pemahaman yang tepat tidak didapatkan tanpa
mengetahui bahwa Pada intinya Paulus berjuang melawan konsep para rabi Yahudi
tentang keselamatan yang diperoleh perbuatan berdasarkan hukum taurat. Oleh
karena itu maka Paulus menyatakan, “Kita dibenarkan hanya oleh iman dan bukan
oleh perbuatan-perbuatan berdasarkan hukum taurat (Rm 3:28).”[10] Herman Riderbos menyatakan, “Bagi
Yudaisme, taurat adalah penangkal penting bagi ancaman dan kuasa dosa. Taurat
adalah sarana penting untuk mendapatkan kebenaran di hadapan Allah”[11] Selanjutnya Riderbos menjelaskan bahwa
yudaisme tidak mengenal jalan keselamatan selain oleh taurat. Israel memeluk
taurat sebagai sumber keselamatan. Taurat dianggap sanggup memberikan hidup
kepada manusia dan melakukan taurat dapat mengurangi hukuman dosa.[12]
Berlawanan
dengan faham yudaisme di atas, dasar ajaran Paulus mengenai pembenaran adalah
karya Allah yang dilaksanakan di dalam Kristus. Semua ini dari Allah, yang
dengan perantaraan Kristus telah mendamaikan kita manusia dengan diriNya; sebab
Allah mendamaikan dunia dengan diriNya oleh Kristus” (2 Kor. 5:18-19). Ayat
lain mengatakan, “Ia telah melepaskan kita dari kekuasaan kegelapan dan
memindahkan kita ke dalam kerajaan AnakNya yang kekasih; di dalam Dia kita
memiliki penebusan kita” (Kol. 1:13-14). Dalam Roma 3:26 dikatakan bahwa Allah
membenarkan orang yang percaya kepada Kristus.[13]
Dalam
surat Paulus kata “membenarkan” paling tidak mempunyai beberapa arti: (1)
Allah menyatakan orang , yang percaya kepada Tuhan Yesus Kristus mempunyai
hubungan yang benar dengan-Nya (Rm. 3:26); (2) Manusia dibebaskan dari
dosa (Rm. 6:7); (3) Manusia dibebaskan dari kesalan (Rm. 2:13); (4)
Allah terbukti benar (Rm. 3:4). Ajaran Paulus mengenai “dibenarkan” berhubungan
dengan tantangan besar yang dihadapinya, yaitu yudaisme yang percaya bahwa
kebaikan manusia perlu diperhitungkan di depan Allah. Jadi dalam banyak kasus
Paulus menunjukkan bahwa keselamatan semata-mata adalah anugerah Tuhan.
Anugerah ini diberikan kepada manusia melalui imannya kepada Yesus Kristus (Rm.
3:24). Jadi iman yang dimaksud Paulus adalah sikap dan keputusan yang
menyerahkan diri sepenuhnya kepada anugerah Allah.[14]
Paulus
menegaskan “Tetapi sekarang, tanpa hukum Taurat kebenaran Allah telah
dinyatakan, seperti yang disaksikan dalam Kitab Taurat dan Kitab-kitab para
nabi, yaitu kebenaran Allah karena iman dalam Yesus Kristus bagi semua orang
yang percaya.” (Roma 3 21-24). Keselamatan menjadi efektif bagi manusia kalau
diterima dalam iman. Oleh sebab itu Paulus dapat berkata bahwa manusia
dibenarkan karena iman, dengan kadang-kadang menambahkan tanpa pengalaman
hukum.
Manusia
menjadi benar artinya tanpa salah di hadapan Tuhan, bukan karena ia memang
tanpa salah tetapi karena Allah telah memperdamaikan dunia dengan dunia dengan
diriNya dalam Kristus dengan tidak memperhitungkan pelanggaran-pelanggaran
lagi. Dalam Kristus Allah menerima manusia berdosa dan dengan demikian Allah
meniadakan dosa. Sebetulnya tidak dapat dikatakan (dalam arti yang sebenarnya)
bahwa imanlah yang menyelamatkan: yang menyelamatkan adalah Allah sendiri,
tetapi karya Allah itu menjadi efektif bagi manusia kalau diamini dengan iman.
Maka
berlawan dengan pengalaman hukum atau usaha manusia lainnya, tepatlah perkataan
bahwa manusia diselamatkan oleh iman. Dari pihak manusia hanya ada satu jalan
kepada keselamatan yakni menerima dalam iman-dari tangan Tuhan, dengan
cuma-Cuma. Singkatnya: “Oleh rahmat kamu diselamatkan dengan jalan kepercayaan,
bukan oleh usaha kamu sendiri melainkan secara dianugerahi oleh Allah, jadi
tidak berdasarkan perbuatan-perbuatan agar jangan seorangpun memegahkan diri”
(Ef. 2:8-9).
Kesimpulan
penulis adalah ketika Paulus mengatakan “manusia dibenarkan hanya oleh iman dan
bukan karena perbuatan-perbuatannya” maka perbuatan yang Paulus maksudkan
disini adalah Perbuatan berdasarkan hukum taurat. Pernyataan-pernyataan Paulus
tentang “keselamatan hanya oleh iman dan bukan karena pekerjaanmu atau usahamu”
maka pekerjaan atau usaha yang dimaksud Paulus adalah usaha menaati hukum
taurat sebagai yang olehnya mereka (yudaisme) diselamatkan.
5. Relasi Iman dan Perbuatan Menurut
Para Reformator
Isu
berkenaan dengan usaha manusia dan anugerah dalam keselamatan merupakan inti
dari perbedaan historis antara teologi Roma Katolik dengan Protestan. Deklarasi
utama dari reformasi adalah sola gratia, yaitu keselamatan hanya
merupakan anugerah Allah semata-mata. Sebelum reformasi pada abad 16 yang
dipelopori oleh Marthin Luther, pemahaman tentang peranan iman dalam
keselamatan telah mangalami pertukaran posisi. Iman bukan lagi sebagai yang
utama dalam keselamatan tetapi perbuatan atau amal baik manusia.
Stephen
Tong menyatakan,“Para reformator menekankan mengenai iman kepercayaan. Iman
kepercayaan bukan semacam pengakuan intelektual terhadap doktrin yang
dipaksakan. Juga bukan semacam pengertian ajaran yang hanya bersifat rasionil
saja. Tetapi iman kepercayaan bagi Luther adalah suatu
penerimaan-atas-penerimaan. Artinya anugerah diberikan kepada kita, yaitu Allah
menerima orang berdosa. Iman itu suatu penyerahan total dihadapan anugerah
Allah yang menghentikan segala pergumulan atau penyandaran pada diri sendiri
yang tidak layak, sebaliknya melihat Dia yang melayakkan kita”[15]
R.C.
Sproul menyatakan, “Deklarasi Marthin Luther bahwa pembenaran hanya berdasarkan
iman merupakan artikel yang di atasnya berdiri dan jatuh. Pembenaran dapat
dijabarkan sebagai tindakan dimana orang berdosa yang tidak benar dibenarkan
dihadapan Allah yang kudus dan adil. Kebutuhan utama dari orang yang tidak
benar adalah kebenaran. Kebenaran yang tidak dimiliki inilah yang disediakan
oleh Kristus kepada orang berdosa yang percaya. Pembenaran berdasarkan iman
saja berarti pembenaran yang terjadi oleh karena usaha Kristus semata-mata,
bukan karena kebaikan kita atau perbuatan-perbuatan baik kita”[16]
Jadi,
para reformator sampai pada keyakinan yang kuat bahwa keselamatan hanya
berdasarkan iman (sola fide) dan bukan karena perbuatan baik manusia. 31
Oktober 1517, pada waktu Luther menempelkan sembilan puluh sembilan tesis di
pintu gereja di Witenberg, dapat dilihat sebagai permulaan reformasi,
dengan pengukuhan dari keselamatan berdasarkan anugrah melalui iman,
bukan pandangan sinergistik atau kerjasama antara iman dan perbuatan dari
gereja Roma Katolik[17]. Sebagai akibatnya Luther menolak
doktrin pengakuan dosa, pengampunan dosa dan bentuk lain apapun dari usaha
manusia yang dibutuhkan untuk keselamatan dari Roma Katolik. Luther sampai pada
suatu kesimpulan bahwa hanya anugerah Allah yang merupakan dasar dan fondasi
dari keselamatan serta jastifikasi manusia. Ia mengajarkan bahwa hanya anugerah
Allah yang mengampuni dosa-dosa dan pengimputasian kebenaran dari Kristus pada
mereka yang percaya.[18]
Paul
Ennes menyatakan, “Luther mengajarkan bahwa perbuatan baik tidak berbagian
dalam keselamatan. Perbuatan-perbuatan baik merupakan hasil atau buah dari
keselamatan, tetapi tidak pernah bagian dari keselamatan.”[19]
Kesimpulan
penulis dari uraian di atas adalah bahwa sebelum reformasi, gereja Roma Katolik
menganut paham keselamatan diperoleh melalui kerja sama dari
perbuatan-perbuatan baik dengan iman. Sebelum reformasi, perbuatan atau amal
baik menempati posisi utama sebagai sarana bagi keselamatan daripada iman.
Kemudian Luther melakukan reformasi bahwa keselamatan berdasarkan anugerah
melalui iman, perbuatan baik tidak berbagian dalam keselamatan.
Perbuatan-perbuatan baik merupakan hasil atau buah dari keselamatan, tetapi
tidak pernah bagian dari keselamatan. Karena itu bagi reformator berbuat baik
karena telah selamat bukan berbuat baik supaya selamat.
RELASI IMAN DAN PERBUATAN BERDASARKAN EKSPOSISI YAKOBUS 2 : 14 – 26
Sangat
penting untuk mengeksposisi Yakobus 2:14-26 terlebih dahulu untuk mendapatkan
relasi yang tepat dan benar antara iman dan perbuatan karena ayat-ayat inilah
yang diaanggap akan memberikan informasi yang lengkap akan hubungan keduanya.
A. Kajian Eksposisi Yakobus
2:14-26
Douglas J. Moo seorang penafsir konservatif memberi
judul untuk Yakobus 2:14-26, Iman yang menyelamatkan menyatakan dirinya dalam
perbuatan-perbuatan[20]. Kalau memperhatikan isi dan unsur
retorik dalam Yakobus 2:14, 17, 20 dan 26, jauh lebih baik Yakobus 2:14-26
dibagi menjadi tiga bagian subbagian: Yakobus 2:14-17, 18-20, 21-26. Dengan
pembagian ini, tiga subbagian berdiri sendiri namun saling berkaitan. Garis
besar seperti ini akan lebih memperhatikan argument-argumen Yakobus yang kuat
dan menarik. Pembagian ini dilakukan karena masing-masing subbagian mempunyai
pembahsan yang utuh. Ditambah lagi ayat 17, 20 dan 26 mempunyai topik dan pola
yang mirip yang menandakan berakhirnya suatu subbagian.[21]
1) Yakobus 2:14-17
(Iman dan Prakteknya)
Yakobus 2:14, Apakah gunanya, saudara-saudaraku, jika seorang
mengatakan, bahwa ia mempunyai iman, padahal ia tidak mempunyai perbuatan?
Dapatkah iman itu menyelamatkan dia?
Tafsiran
J.J.W. Gunning menyatakan, “Tidak ada gunanya kalau seseorang mempunyai iman
yang tidak disertai perbuatan. Iman itu sendiri tidak dapat menyelamatkan atau
dengan kata lain iman itu tidak akan diteima Allah.[22] Iman itu tidak menyelamatkan dirinya dan
karena itu tidak berguna.
Kata
Iman di dalam ayat 14 kemungkin besar adalah kepercayaan kepada Yesus
Kristus secara pribadi. Pengertian ini dikuatkan oleh kenyataan bahwa iman
dihubungkan dengan keselamatan seseorang. Kemudian kata perbuatan jangan
diartikan sama dengan pengertian yang biasa terdapat dalam surat-surat Paulus
yaitu menaati peraturan hukum Musa. Disini yang dimaksud adalah
perbuatan-perbuatan baik seperti belas kasihan (ay 13) dan pemberian sedekah
kepada orang miskin yang berkekurangan (ay 15 dan 16)[23] Perbuatan yang dimaksud oleh Yakobus
bukanlah perbuatan menurut pemahaman Yahudi yaitu sarana untuk memperoleh
keselamatan, namun perbuatan iman hasil moral dari kesalehan sejati da
khususnya perbuatan kasih.[24]
Kalimat
dapatkah iman itu menyelamatkan dia? Di sini Yakobus seolah-olah tidak
sepakat bahwa keselamatan hanya oleh iman saja. Namun, umumnya penafsir
menjawab pertanyaan ini “tidak”. Charles F. Pfeifer dan Everent F. Harrison
menyatakan, “Jawaban yang diharapkan dari pertanyaan dalam ayat ini adalah
“tidak” yang tegas. Mengapa? Karena penting untuk dicatat bahwa iman yang
dibahas di sini adalah iman yang palsu. Hal ini di jelaskan oleh: (1)
pernyataan jika seorang mengatakan bahwa ia mempunyai iman dan (2)
pemakaian kata sandang tertentu yang digabungkan dengan kata iman pada anak
kalimat terakhir. Hanya iman palsu yang tidak dapat menghasilkan perbuatan dan
tidak mampu menyelamatkan.”[25] Apa yang ingin ditekankan Yakobus adalah
kenyataan bahwa iman tanpa perbuatan tidak memiliki kekuatan: iman itu tidak
dapat menyelamatkan.
Yakobus
menekankan bahwa tidak ada pemisahan antara iman dan perbuatan. Tidak ada
seorangpun dapat mengatakan bahwa dirinya memiliki iman jika tidak ada
perbuatan yang membuktikannya. Iman yang sesungguhnya harus diungkapkan dalam
perbuatan.[26] William Barclay, “Satu hal yang yang
ditentang penulis surat yakobus adalah pengakuan iman tanpa dibarengi praktek,
kata-kata tanpa perbuatan.”[27]
Pada ayat 15 Yakobus memberi gambaran seseorang yang sangat miskin
sehingga kebutuhan hidup yang paling dasarpun seperti pakaian dan makanan,
tidak dapat dipenuhi. Ini merupakan gambaran seorang yang kedinginan (kalau
daerah itu memang dingin) atau kelaparan. Pada ayat 16 dia melanjutkan ilustrasinya
yang hampir sama maknanya.
William
Barclay menyatakan, “Yakobus memilih ilustrasi yang secara gamblang menjelaskan
yang ia maksud. Jikalau seorang tidak meiliki pakaian untuk melindungi dirinya
ataupun makanan untuk dimakan, dan sahabat orang itu mengungkapkan rasa
simpatinya yang terdalam untuk keadaan yang menyedihkan itu, namun simpatinya
itu berhenti hanya pada kata-kata dan tidak ada usaha yang dilakukannya untuk
mengatasi keadaan orang yang malang itu, apa gunanya semua itu? Apakah gunanya
simpati itu tanpa ada usaha mewujudkannya dalam tidndakan nyata. Iman tanpa
perbuatan adalam mati.”[28]
Dalam Yakobus 2:17 Demikian juga halnya dengan iman: Jika
iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati.
Klausa ‘demikian juga halnya dengan iman’ merupakan kesimpulan dari
perbandingan pada ayat sebelumnya. Yakobus melakukannya dengan menggunakan kata
“demikian” yang mempunyai arti sejajar dengan contoh yang diberikan. Demikian
di sini sama artinya dengan frasa “dengan cara yang sama”.
Kata
iman (ay 17) yang digunakan Yakobus menunjuk pada apa yang disebut iman
pada ayat 14.[29] Demikianlah juga iman yang
tidak disertai dengan perbuatan tidak ada artinya. Iman yang demikian tidak
boleh sama sekali disebut iman.[30]
Kata-kata
jika iman itu tidak disertai perbuatan secara harafiah berarti “jika
iman tidak memiliki perbuatan” maka jelas bahwa perbuatan bukan sesuatu yang
ditambahkan pada iman – keduanya harus ada bersama-sama. Penulis tidak
bermaksud untuk membedakan antara iman dan perbuatan; yang dibedakan adalah
antara iman yang disertai perbuatan dan iman yang tidak disertai perbuatan.
Bagi Yakobus iman harus disertai oleh perbuatan. Yang satu tidak dapat ada
tanpa yang lain, sebab iman yang tanpa perbuatan adalah mati.
Kemudian
Yakobus menyatakan, “Maka iman itu pada hakekatnya adalah mati.” Kata mati
dipakai sebagai kiasan yang artinya “tidak hidup, tidak bekerja, tidak
berguna”. Dalam banyak bahasa, penerjemah perlu mengatakan sebagai berikut: kepercayaanmu
tidak berguna, atau percaya seperti itu tidak berguna/(tidak
menghasilkan apa-apa). Kesimpulan itu menjelaskan bahwa orang Kristen tidak
cukup hanya mengucapkan kata-kata harapan kepada saudara dan saudarinya yang
berkekurangan. Orang yang mengaku Kristen harus memberikan pertolongan kepada
yang membutuhkannya. Kalau tidak kepercayaan itu keparcayaan yang mati.
Ronald
A. Ward menyatakan, “Dalam hal ini kita mendapat suatu ajaran bila
membandingkan dengan Lukas 23:43. Penjahat yang bertobat itu tidak mempunyai
waktu lagi untuk berbuat sesuatu sedangkan imannya tidak mempunyai waktu untuk
mati. Tentu Yakobus tidak mau menyangkal hal ini. Yang dimaksud ialah iman yang
sungguh-sungguh mempunyai kesempatan untuk dinyatakan di dalam perbuatan, tetapi
kesempatan yang ada tidak digunakannya.”[31]
Jadi,
ayat 14 menjelaskan dengan terus terang bahwa iman tidak berguna tanpa
perbuatan. Dalam ayat 17, Iman demikian tidak ada gunanya. Karena iman yang
tanpa perbuatan itu tidak ada gunanya, maka iman kepercayaan demikian tidak
dapat menyelamatkan jiwanya. Artinya Iman tanpa perbuatan adalah iman yang
palsu. Karena iman ini mati, maka iman ini tidak dapat menyelamatkan orang yang
bersangkutan.[32]
2) Yakobus 2:18-20
(Iman dan Perbuatan Tidak Dapat Dipisahkan)
Dalam lalimat ‘tetapi mungkin ada orang berkata’ penerjemah menghadapi masalah
karena tidak tahu siapa lawan bicaranya ini, ada bebrapa kemungkinan
pemecahannya, tetapi tidak ada satupun yang benar-benar meyakinkan, sehingga
kita harus puas dengan pemecahan yang paling sedikit kesulitannya:
a)
Beberapa ahli menganggap bahwa orang lain itu lawan
Yakobus. Hal ini berarti kata tetapi menrupakan pengantar terhadap
suatu sanggahan. Masalahnya, di manakah kata-kata orang yang membantah itu
selesai dan di manakah kata-kata Yakobus dimulai. Kebanyakan ahli menganggap
kata-kata orang lain itu hanya padamu ada iman dan padaku ada perbuatan.
Tafsiran ini yang diikuti oleh TB
b)
Kemungkinan yang lain adalah dengan menganggap kata
ganti “mu” dan “ku” pada bagian pertama ayat ini bukan lawan Yakobus,
tetapi sebagai wakil dari dua kelompok dalam jemaat. Ada beberapa orang yang
mengatakan bahwa mereka hanya hanya memiliki iman (tanpa perbuatan), sedangkan
yang lain memiliki perbuatan saja. Orang-orang itu menyatakan bahwa iman dan
perbuatan merupakan anugerah yang terpisah satu sama lain (1Kor. 12:4-10);
Seseorang dapat memiliki salah satu saja dari keduanya, tetapi tidak selalu
meiliki keduanya secara bersamaan. Kemudian Yakobus membantah pendapat yang
mengatakan bahwa tidak ada pemisahan antara iman dan perbuatan. Jadi,
kata ganti “mu” dan “ku” sama dengan ‘orang’ dan “yang lain”. Tafsiran ini
diikuti oleh BIMK (“ada orang yang bersandar kepada imannya dan ada pula
yang bersandar kepada perbuatannya”) dan salah satu terjemahan membuatnya
sebagai “seorang memilih iman, yang lain memilih perbuatan atau ada orang
yang berkata, aku mempunyai dan yang lain berkata aku mempunyai perbuatan”. Agar
urutan percakapan itu jelas, kita perlu menambahkan sesuatu yang tersirat dalam
teks untuk memperjelas perkembangan pemikirannya, umpamanya aku akan
menjawab dia (TB), saya akan menjawab (BIMK).
Walaupun masih ada kesulitan, mungkin kita harus
mengikuti tafsiran (b), karena tafsiran itu kelihatannya paling sesuai dengan
konteks sehingga lebih banyak penerjemah dan ahli tafsir yang mengikutinya.[33]
Yakobus 2:19 Engkau percaya, bahwa hanya ada satu Allah saja? Itu baik!
Tetapi setan-setanpun juga percaya akan hal itu dan mereka gemetar. Kini Yakobus membandingkan iman yang tidak
ditunjukkan dengan perbuatan dengan iman yang dimiliki setan-setan. Untuk
memulai pendapatnya dia mengutip apa yang menjadi inti iman Yahudi, yang diakui
oleh dirinya dan lawannya.
Kata
percaya di sisni adalah kepercayaan berdasarkan pemikiran saja yaitu
bahwa hanya ada satu Allah saja. Pengakuan ini bersumber dari pengakuan iman shema
yang terkandung dalam ajaran agama Yahudi (Ul. 6:4) dan dipakai juga oleh orang
Kristen (Mrk. 12:29; Rm. 3.30). Yabobus bermaksud mengatakan bahwa orang yang
percaya bahwa Allah itu esa tanpa membiarkan kepercayaan ini mengubah
perilakunya, memiliki iman yang sama dengan setan-setan, yaitu roh-roh jahat.
Iman itu tidak dapat menyelamatkan.
Kepercayaan demikian hanya berada dalam tahap
pengetahuan dan belum diwujudkan dalam kelakuan. Iman kepercayaan seperti ini
bukanlah iman yang sejati, karena di dalamnya tidak ada pertobatan dan kasih.
Tanpa kedua unsur ini, iman kepercayaan setan-setan tidak menolong diri mereka.
Analogi ini cukup keras, terlebih bagi orang Kristen yang
mempunyai latar belakang Yahudi. [34]
Yakobus 2:20 Hai manusia yang bebal, maukah engkau mengakui sekarang, bahwa
iman tanpa perbuatan adalah iman yang kosong? Kalimat Hai manusia yang
bebal berarti “orang bodoh yang kosong kepalanya”. Kata kosong di sini
menunjukkan kurangnya pengertian yang berarti “tidak berakal” atau
“bodoh”. Maukah engkau mengakui bahwa iman tanpa perbuatan adalah iman
yang kosong. Pemikiran yang sama dengan ini telah dinyatakan beberapa
kali. Iman tidak ada perbuatan disebut tidak ada gunanya pada ayat 14,
disebut mati pada ayat 17 dan di sini disebut kosong yang secara
harafiah berarti “tidak bekerja”, yaitu “tidak berpengaruh” atau “tidak
menghasilkan”. Dapat diamati permainan kata-kata di sini: “iman tanpa perbuatan
adalah tidak berbuat”. Pernyataan ini menyimpulkan pokok pikiran utama dalam
bagian ini.
Yakobus hendak menegaskan adanya iman tidak dapat
dibuktikan tanpa melalui perbuatan. Iman justru menyatakan keberadaannya
memalui perbuatan. Perbuatan-perbuatan Yakobus merupakan bukti nyata tentang
adanya iman pada dirinya. Ini tidak berarti perbuatan itu lebih penting
daripada iman. Bila seseorang berbuat baik (membuahkan perbuatan) tetapi itu
bukan hasil dari beriman, maka sia-sialah perbuatan itu. Maksudnya perbuatan
itu tidak ada artinya di mata Tuhan. Bukankah kita diselamatkan oleh iman
kepada Yesus, bukan karena perbuatan baik kita? Kita tidak berbuat baik untuk
diselamatkan, tetapi kita berbuat baik karena sudah diselamatkan.[35]
3) Yakobus 2:21-26
(Iman dan Buktinya)
Sub
unit ini mengambil dua tokoh dalam sejarah orang Yahudi Abraham dan Rahab
sebagai contoh. Mereka telah membuktikan iman mereka dengan berani dalam
tindakan nyata. Iman Abraham terbuti dengan mempersemahkan anak yang dikasinya.
Sedangkan Rahab menyatakan imannya melalui pertolongan yang dia berikan kepada
dua orang pengintai. Yakobus 2:21
Bukankah Abraham, bapa kita, dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya,
ketika ia mempersembahkan Ishak, anaknya, di atas mezbah?
Penafsiran
tentang kata “dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya” perlu diperhatikan
suasana perselisihan di antara yang kaya dan yang miskin. Berita utama Yakobus
dalam konteks ini tidak berkaitan langsung dengan soteriologi. Maka kalimat “dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya” di Yakobus 2:21 harus dimengerti dari
Perjanjian Lama. Tindakan Abraham mempersembahkan Ishak diperkenan Allah
(Kejadian 22:1-19). Dengan konteks ini kata “dibenarkan” mempunyai
arti dikenal dan diberi pahala oleh Allah; Perbuatannya diperkenankan Allah.[36] Dengan demikian pembaca surat Yakobus
mendapat dorongan besar untuk mengikuti jejak bapak leluhur mereka, Abraham. Di
lain pihak, contoh ini mengingatkan mereka akan keputusan berani yang diambil
Abraham. Banyak hal memang membutuhkan keberanian. Ini amat dirasakan oleh
pembaca kitab ini. Tidak mudah untuk tidak memandang muka atau memberi bantuan
kepada saudara seiman yang kelaparan. Dalam masyarakat yang kebanyakan
penduduknya miskin, tidak mudah membantu orang lain. Bukan saja karena
kebutuhan sendiri belum terjamin, tetapi juga karena pemberian sedikit bantuan
akan menarik lebih banyak orang datang untuk minta bantuan. Ini semua sangat
tidak mudah di atasi.[37]
Menurut Charles F. Pfeiffer dan Everent F. Harison bahawa kata yang
diterjemahkan menjadi dibenarkan di sini jangan dikelirukan dengan
pemakaian istilah tersebut oleh Paulus dalam hubungan dengan Abraham (bnd Rm.
4:1-5). Paulus menunjuk kepada pembenaran awal Abraham ketika “percayalah
Abraham kepada Allah, maka Allah memperhitungkan hal itu kepadanya sebagai
kebenaran (bnd. Kej 15:6). Yakobus mengacu pada suatu peristiwa yang terjadi
beberapa tahun kemudian, yaitu ketika Abraham diminta untuk mempersembahkan
anaknya Ishak. Melalui tindakan ini dia menunjukkan realitas dari pemahaman
kejadian 15. [38] Yakobus 2:22, Kamu lihat, bahwa iman bekerjasama
dengan perbuatan-perbuatan dan oleh perbuatan-perbuatan itu iman menjadi
sempurna.Nya.
Bagi Yakobus, iman tidak mungkin bisa dipisahkan
dengan perbuatan-perbuatan, karena seseorang yang mengaku diri beriman kepada
Allah, ia harus menjalankan perintah-perintah-Nya dan otomatis
perbuatan-perbuatannya mencerminkan bahwa seseorang itu beriman kepada Allah
atau bukan. Doren
Wjdana menyatakan bahwa Perbuatan tanpa iman adalah perbuatan yang sia-sia.
Iman tanpa perbuatan adalah iman yang kosong. Iman yang bekerja sama dengan
perbuatan adalah iman sejati.[39]
Perbuatan
dan iman kepercayaan sama pentingnya. Untuk menegaskan maksud ini, Yakobus
memakai kata “bekerja sama” dan menjadi “sempurna” (atau diterjemahkan
“disempurnakan”, kata pertama “bekerja sama” dapat dibaca sebagai suatu
permaiman kata yang menanggapi kata “perbuatan” di ayat 21. Kata “bekerja sama”
ini dapat juga diterjemahkan “membantu”. Terjemahan ini serasi dengan
kata “disempurnakan” di ayat 22b.
Apa
arti disempurnakan? Ini berkaitan dengan kedewasaan yang dibahas Yakobus 1:4.
Kalau memperhatikan topik bagian ini, ayat ini sebaiknya dipahami sebagai “iman
membantu perbuatan terlaksana dalam kehidupan; iman tidak dapat dikatakan
“sejati” (sempurna) tanpa perbuatan yang nyata.”[40] Memisahkan iman dari perbuatan suatu
yang mustahil (bnd ay 18). Di dalam kasus Abraham, kedua hal tersebut berjalan
bersama-sama.”[41]
Yakobus 2:23, Dengan jalan demikian genaplah nas yang mengatakan: "Lalu
percayalah Abraham kepada Allah, maka Allah memperhitungkan hal itu kepadanya
sebagai kebenaran." Karena itu Abraham disebut: "Sahabat Allah."
Melalui ayat 23, Yakobus tetap mengatakan bahwa Allah memperhitungkan
iman (kepercayaan) Abraham (bukan perbuatannya) kepada Allah sebagai status
yang dibenarkan. Bagian ini mengutip kitab Kejadian 15:6 yang mengatakan, “Lalu
percayalah Abram kepada TUHAN, maka TUHAN memperhitungkan hal itu kepadanya
sebagai kebenaran.” Iman
Abraham berkaitan dengan kebenaran, menemukan makna terakhirnya dalam
ketaatannya.[42]
Sebenarnya
ayat ini dapat dipahami dengan pendekatan yang lebih sederhana.Yakobus menulis
bagian ini dengan tujuan yang jelas. Dia menekankan bahwa iman kepercayaan
tanpa perbuatan tidak berguna. Tetapi di lain pihak dia ingin menjaga
keseimbangan. Abraham diperkenan Allah karena dia adalah seorang yang beriman. Iman
kepercayaannya sudah terlihat jauh sebelum ia mempersembahkan Ishak. Apa
yang dilakukan Abraham kemudian menggenapkan apa yang disabdakan Allah tentang
dia di Kejadian 15:6. Allah berkenan padanya karena Abraham memperlihatkan iman
kepercayaannya yang konsisten.[43]Yakobus
2:24 Jadi kamu lihat, bahwa manusia dibenarkan karena
perbuatan-perbuatannya dan bukan hanya karena iman.
Dalam
penafsiran ayat ini, Kata-kata “…bukan hanya karena iman” seharusnya
dimengerti dalam subbab ini, khususnya Yakobus 2: 18, 19. Manusia dibenarkan
bukan karena iman yang kosong, contohnya iman kepercayaan setan-setan (ay 19).
Jadi iman yang sejati yang berguna bagi manusia. Iman seperti ini diwujudkan
dalam perbuatan. Ayat ini ditunjukkan kepada “saudara-saudaraku” di Yakobus
2:14 bukan penentang di Yakobus 2:18.
Manusia tetap dibenarkan melalui iman kepada Tuhan
Yesus Kristus, tetapi kalau iman yang menyelamatkan itu saja yang menjadi
pegangan, bagaimana orang lain dapat melihat bahwa diri kita beriman, kalau
perbuatan-perbuatan kita sama jahatnya dengan orang-orang dunia? Di sini,
Yakobus ingin menyeimbangkan dan mengintegrasikan iman yang menyelamatkan dan
hidup dengan perbuatan-perbuatan sehari-hari yang memuliakan Allah.
Yakobus 2:25 Dan bukankah demikian juga Rahab, pelacur itu, dibenarkan karena
perbuatan-perbuatannya, ketika ia menyembunyikan orang-orang yang disuruh itu
di dalam rumahnya, lalu menolong mereka lolos melalui jalan yang lain? Di
sini Yakobus menambahkan satu contoh lagi untuk membuktikan pendapatnya bahwa
iman harus dinyatakan dalam perbuatan agar diterima oleh Allah.
Rahab
tokoh penting dalam PL. Dia dikenal karena dua hal, pertama, dia dikenal
sebagai seorang pelacur bukan yahudi, yang mengeluarkan pengakuan yang terkenal
“TUHAN”, Allahmu, ialah Allah di langit di atas dan di bumi di bawah (Yosua
2:11).” Kedua, dia juga dikenal sebagai orang asing yang menyamakan dirinya
dengan orang Israel dan masuk dalam masyarakat tersebut, dan “sampai hari ini
keturunan Rahab masih ada di Israel (Yosua 6:25, BIMK)”.
Dibenarkan
karena perbuatan-perbuatannya: kata-kata ini, artinya sama dengan di ayat 21. Dalam hal ini,
perbuatan-perbuatan Rahab adalah penyambut pengintai-pengintai bangsa
Israel dan menolong mereka untuk melarikan diri. Disini kata-kata “dibenarkan
karena perbuatan-perbuatannya” dapat juga diterjemahkan sebagai Allah
menerimanya sebagai orang yang baik karena perbuatan-perbuatan baik yang
dilakukannya. Lebih tepatnya Hasan Susanto menyatakan bahwa kata “dibenarkan”
pada kalimat “dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya” lebih mungkin berarti
dikenal dan diberi pahala oleh Allah. Iman kepercayaan Rahab terbukti melalui
perbuatannya. Dia diperkenan oleh Allah.[44]
Yakobus 2:26 Sebab seperti tubuh tanpa roh adalah mati, demikian
jugalah iman tanpa perbuatan-perbuatan adalah mati. Disini Yakobus
menyimpulkan pendapatnya. Dia mengulangi pemikiran-pemikirannya yang dinyatakan
pada ayat 17, yaitu bahwa iman tanpa perbuatan-perbuatan adalah mati,
tetapi dia menambahkan perbandingan untuk membuatnya lebih jelas. Yakobus
membandingkan iman tanpa perbuatan denga tubuh tanpa roh. Menarik sekali bahwa,
dalam kalimat ini, iman disejajarkan dengan tubuh, dan perbuatan
dengan roh. Mungkin hal ini tidak sesuai dengan yang kita harapkan,
namun kita tidak perlu mencari rincian perbandingan itu yang setepatnya.
Yakobus tidak tertarik akan hal ini, sebaliknya dia ingin menunjukkan bahwa
yang satu tidak dapat hidup tanpa yang lain.
Tubuh
tanpa roh adalah mati, pada kalimat ini ada kemungkinan bahwa Yakobus
menunjuk kepada pemikiran yang mendasari Kejadian 2:7, di mana manusia dianggap
terdiri atas tubuh tanpa roh (baik dalam bahasa Ibrani maupun dalam bahasa
Yunani kata yang dipakai untuk “roh” dapat diartikan “napas maupun roh). Ada
hubungan antara keduanya; apabila keduanya dipisahkan, hasilnya adalah
kematian. Di sini roh mungkin lebih ditafsirkan sebagai napas yang memberi
kehidupan, umpamanya tubuh akan mati kalau tanpa napas, atau seperti tubuh mati
jika tidak ada napas di dalamnya, dan setiap orang yang tidak bernapas adalah
mati.
Jadi
jika orang tidak melakukan perbuatan-perbuatan baik, iman orang itu tidak
berguna, atau jadi jika seseorang berkata, aku percaya kepada Allah,
tetapi tidak melakukan perbuatan-perbuatan baik, dia tidak sungguh-sungguh
percaya.
B. Relasi Iman dan Perbuatan
Berdasarkan Yakobus 2:24-26
Berdasarkan uraian di
atas tentang eksposisi Yakobus 2:14-26, maka penulis akan memaparkan relasi
iman dan perbuatan dalam Konteks Keselamatan, seperti berikut ini:
1) Iman Sejati Dipraktekkan Dalam Perbuatan
Tidak ada gunanya kalau seseorang
mempunyai iman yang tidak disertai perbuatan. Iman itu sendiri tidak dapat
menyelamatkan atau dengan kata lain iman itu tidak akan diteima Allah. Iman itu
tidak menyelamatkan dirinya dan karena itu tidak berguna. Tetapi istilah
“perbuatan” ini jangan diartikan sama dengan pengertian yang biasa
terdapat dalam surat-surat Paulus yaitu menaati peraturan hukum Musa. Disini
yang dimaksud adalah perbuatan-perbuatan baik seperti belas kasihan (ay 13) dan
pemberian sedekah kepada orang miskin yang berkekurangan (ay 15 dan 16);
Perbuatan iman hasil moral dari kesalehan sejati dan khususnya perbuatan kasih.
Iman yang tidak disertai dengan perbuatan adalah iman yang palsu. Hanya iman
palsu yang tidak dapat menghasilkan perbuatan dan tidak mampu menyelamatkan.
Perbuatan
bukan sesuatu yang ditambahkan pada iman – keduanya harus ada bersama-sama.
Penulis tidak bermaksud untuk membedakan antara iman dan perbuatan; yang
dibedakan adalah antara iman yang disertai perbuatan dan iman yang tidak
disertai perbuatan. Bagi Yakobus iman harus disertai oleh perbuatan. Yang satu
tidak dapat ada tanpa yang lain, sebab iman yang tanpa perbuatan adalah mati.
Iman yang tanpa perbuatan bukan saja tidak berguna bagi diri orang yang
bersangkutan, juga tidak bermafaat bagi orang yang membutuhkan bantuan. Orang
hidup dalam kekurangan yang disebutkan dalam ayat 15 dan 16 sangat
mungkin mereka adalah saudara dan saudari seiman.
2) Iman dan Perbuatan Tidak Dapat Dipisahkan
Ada orang yang bersandar kepada imannya dan ada pula
yang bersandar kepada perbuatannya, keduanya tidak benar. Yakobus membantah dan
mengatakan bahwa iman yang tidak ditunjukkan dengan perbuatan sama dengan iman
yang dimiliki setan-setan (Yak. 2:19). Iman itu adalah pemikiran umum yang
intelektual dan iman itu dapat digabungkan dengan kejahatan. Sama seperti setan-setan
… percaya dan melanjutkan kekejiannya, demikian pula engkau pun dapat
percaya dan melanjutkan dosamu. Yang menjadi masalah bukan isi iman yang salah,
melainkan iman itu tidak disertai perbuatan baik.
Orang yang bersandar kepada imannya dan ada pula
yang bersandar kepada perbuatannya, keduanya tidak benar. Tidak mungkin orang
itu mengasihi Allah dan sesamanya (perbuatan) tanpa iman dan tidak orang
mengaku beriman tanpa mengasihi Allah dan sesamanya.
Tidak
ada gunanya mengaku percaya pada Yesus Kristus, tetapi tidak melakukan
perbuatan-perbuatan baik, atau jika engkau tidak melakukan perbuatan-perbuatan
baik, maka tidak ada gunanya engkau mengaku percaya kepada Yesus Kristus.
3) Iman Sejati Dibuktikan Melalui Perbuatan
Perlu
harus disadari bahwa harus ada iman dahulu, baru sesudah itu perbuatannya.
Perbuatan-perbuatan adalah buah yang dengan sendirinya tumbuh dari iman itu.
Perbuatan-perbuatan harus ada, namun bukan sebagai syarat yang mutlak
ditambahkan untuk memperoleh keselamatan karena Allah telah menyelamatkan kita
bukan karena perbuatan baik yang kita lakukan, tetapi karena rahmatNya
Iman
harus ditunjukkan melalui perbuatan-perbuatan sehingga iman itu menjadi hidup
bukannya mati. “Segala sesuatu yang tidak berdasarkan iman, adalah dosa”,
demikian tulisan Rasul Paulus dalam Roma 14:23. Sedangkan dasar iman itu
sendiri adalah Kristus. Perbuatan baik adalah tanda bahwa kita telah
diselamatkan.
Iman
disempurnakan dengan perbuatan-perbuatan. Artinya iman membantu perbuatan terlaksana dalam kehidupan; Iman
tidak dapat dikatakan “sejati” (sempurna) tanpa perbuatan yang nyata. Jika
tidak ada perbuatan-perbuatan yang membuktikan iman yang diakuinya, itu berarti
bahwa sebanarnya tidak ada iman yang hidup di dalam dirinya.
Shalom bapak, ibu dan saudara/i yang dikasihi oleh Tuhan. Apakah ada diantara bapak, ibu maupun saudara/i yang pernah mendengar tentang Shema Yisrael dan V'ahavta? Kalimat pernyataan keesaan YHWH ( Adonai/ Hashem ) dan perintah untuk mengasihiNya yang dapat kita temukan dalam Ulangan/ דברים/ Devarim 6 : 4 - 6 yang juga pernah dikutip oleh Yeshua/ ישוע/ Yesus di dalam Injil khususnya dalam Markus 12 : 29 - 31, sementara perintah untuk mengasihi sesama manusia dapat kita temukan dalam Imamat/ ויקרא/ Vayikra 19 : 18. Mari kita pelajari cara membacanya satu-persatu seperti yang akan dijabarkan di bawah ini :
BalasHapusUlangan/ דברים/ Devarim 6 : 4 - 6, " שְׁמַ֖ע יִשְׂרָאֵ֑ל יְהֹוָ֥ה אֱלֹהֵ֖ינוּ יְהֹוָ֥ה ׀ אֶחָֽד׃. וְאָ֣הַבְתָּ֔ אֵ֖ת יְהֹוָ֣ה אֱלֹהֶ֑יךָ בְּכׇל־לְבָבְךָ֥ וּבְכׇל־נַפְשְׁךָ֖ וּבְכׇל־מְאֹדֶֽךָ׃. "
Cara membacanya dengan mengikuti aturan tata bahasa Ibrani yang berlaku, " Shema Yisrael! YHWH [ Adonai ] Eloheinu, YHWH [ Adonai ] ekhad. V'ahavta e YHWH [ Adonai ] Eloheikha bekol levavkha uvkol nafshekha uvkol me'odekha
Imamat/ ויקרא/ Vayikra 19 : 18, " וְאָֽהַבְתָּ֥ לְרֵעֲךָ֖ כָּמ֑וֹךָ. "
Cara membacanya dengan mengikuti aturan tata bahasa Ibrani yang berlaku, " V'ahavta l'reakha kamokha "
Untuk artinya dapat dilihat pada Alkitab LAI.
Terkadang pula ada sisipan kalimat Barukh seperti ini setelah diucapkannya Shema
" . בָּרוּךְ שֵׁם כְּבוֹד מַלְכוּתוֹ לְעוֹלָם וָעֶד. "
( Barukh Shem kevod malkuto, le'olam va'ed, artinya Diberkatilah Nama yang mulia, KerajaanNya untuk selamanya )
Semoga bermanfaat.
🕎✡️🐟🤚🏻👁️📜🕯️🤴🏻👑🗝️🛡️🗡️🏹⚖️⚓🕍✝️🗺️🌫️☀️🌒⚡🌈🌌🔥💧🌊🌬️❄️🌱🌾🍇🍎🍏🌹🍷🥛🍯🐏🐑🐐🐂🐎🦌🐪🐫🦁🦅🕊️🐍₪🇮🇱