Cahaya
Injil dari Negeri Sabah
(Suatu Catatan Kesaksian Pelayanan Pdt
Joshua Mangiring Sinaga, S.Th., M.Th)
Penerbangan hampir dua jam dari Soekarno-Hatta International Airport
menuju Kota Kinabalu International
Airport terasa sangat menyenangkan. Tanpa terasa, pesawat soft landing di bumi Borneo ketika malam
sudah meyelimuti seluruh kota. Untuk pertama kalinya, saya melangkahkan kaki di
Negeri Sabah saat Kota Kinabalu telah diliputi malam. Tidak seperti Jakarta
yagn semarak dengan nuansa kota metropolitas, Kota Kinabalu masuh menyisakan
keheningan malam yang natural. Di sini masih tersisa malam hening ditaburi
bintang-bintang.
Sabah yang sejuk dan hijau. Itulah kesan
yang timbul ketika saya melaju dengan “kereta” (sebutan orang Sabah untuk
mobil) dari Kota Kinabalu menuju Kawasan Entilibon. Perjalanan santai hampir
200 KM dari Ibukota Negeri Sabah menuju Gereja Sidang Injil Borneo (SIB) di
Kampung Sanan terasa sangat memanjakan mata. Sepanjang jalan, kesejukan yang
meneduhkan hati diantara barisan bukit-bukit hijau memanjang seolah tiada habis-habisnya.
Saya mengaminkan pernyataan bahwa Negeri Sabah di Borneo adalah salah satu
paru-paru dunia yang masih tersisa dikawasan Asia Tenggara.
Desember yang basah oleh hujan seperti
ikut menyejukkan perjalanan kereta hampir seharian. Theary Thomas, seorang
cikgu (guru) muda yang menjadi pemandu kereta tak henti-hentinya berkisah
tentang banyak hal. Dimulai dari alam, kultur atau budaya pribumi, hingga
pelayanan gereja. Inilah yang membuat saya terpesona dan takjub. Sebagai hamba
Tuhan yang melayani di negeri minoritas kristiani, saya takjub melihat suatu
negeri yang konon juga kristiani minoritas, sepanjang jalan berdiri papan nama
gereja-gereja. Suatu fakta yang bertolakbelakang dengan informasi umum yang
saya dapatkan di Indonesia. Fakta sebenarnya adalah di Negeri Sabah, umat
kristiani justru menonjol.
Menjelang malam, kereta yang kami
tumpangi tiba di kawasan Gereja SIB Sanan. Para diaken dan Ketua Majelis Sidang
menyambut dengan ramah. “Pounsikou, pounsikou” Para Diaken menyebutkan kata
terimakasih. Kosa kata pertama yang saya mengerti di negeri Sabah. Setelah
melewati perjalanan yang cukup melelahkan, saya pun bisa membaringkan tubuh di
kamar rumah sidang. Tidur paling lelap di negeri orang. Keramahtamahan jemaat
SIB Sanan, menuntaskan kelelahan sepanjang hari.
Gereja
yang Miskin
Gereja Sidang Injil Borneo (SIB) di Kampung Sanan kawasan Entilibon Sabah
Malaysia adalah jemaat dibawah naungan Sabah
Evangelical Church. Sidang ini telah menulis surat undangan pelayanan
kepada saya setahun sebelum 25 Desember 2013. Suatu panggilan pelayanan yang
tidak biasa karena saya sama sekali tidak mengerti apa dan bagaimana keberadaan
jemaat ini. Saya sungguh terpana karena apa yang saya kira sebagai sidang
jemaat kecil di tengah-tengah perkebunan kelapa sawit, ternyata jauh melebih
dari ekspektasi. Jemaat SIB Sanan sesungguhnya adalah gereja modern yang
pertumbuhannya sungguh mempesona. Tuhan telah berkarya melalui gereja ini
sehingga hampir seluruh penduduk dikawasan, telah “dimenangkan” di dalam
Kristus.
Gereja SIB adalah salah satu potret
gereja misioner di zaman modern ini. Hampir diseluruh kawasan berdiri
sidang-sidang yang telah memenangkan mayoritas jiwa-jiwa setempat. Tidak heran,
sepanjang perjalanan dari Ibu Negeri Sabah, Kota Kinabalu, hingga di Kawasan
Entilibon, berdiri di sepanjang jalan papan nama sidang-sidang SIB. Gereja SIB
Sanan, salah satu sidang SIB yang berdiri ditengah-tengah pemukiman kawasan,
pun telah menjadi cerminan betapa hebatnya kuasa Allah melawat Negeri Sabah,
sehingga telah memenangkan hampir seisi permukiman.
Kebaktian Natal dimulai dengan prosesi sambutan
kepada pengkhotbah tamu. Saya sungguh terharu saat dijemput di rumah sidang dan
didampingi ketua majelis sidang bersama para diaken memasuki gereja. Tabuhan
gong khas etnik Dusun, suku asli atau pribumi Sabah, mengiringi langkah-langkah
kami semua memasuki ruangan ibadah. Suasana gedung gereja penuh sesak oleh
jemaat hingga berjejal-jejal. Ibadah pun diawali dengan tarian puji-pujian yang
dikemas dengan busana khas etnik dusun. Semuanya menyiratkan sukacita yang tak
dapat saya gambarkan dengan kata-kata.
Inilah jemaat yang benar-benar lapar
akan hadirat Allah. Saya merasakan bahwa merekalah yang disebutkan oleh Yesus
Kristus sebagai orang-orang yang berbahagia karena miskin di hadapan Tuhan.
Seperti tertulis dalam Matius 5:3
"Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang
empunya Kerajaan Sorga”. Jemaat Sanan memberikan kepada saya pengertian yang
baru tentang arti miskin dihadapan Tuhan.
Hampir 500 orang lebih memadati ruangan
dengan ekspresi hati sukacita dalam lawatan Tuhan. Tak terlihat orang berpaling
dan memusingkan yang lain ketika pujian dan penyembahan dipersembahkan
kehadirat Tuhan. Tidak terlihat ada yang berniat beranjak dari tempat duduknya
ketika mendengarkan khotbah yang saya sampaikan. Tak terlihat juga kesan mereka
merasa terganggu ketika bahasa yang saya gunakan tidak sama dengan bahasa
merekai. Bahasa tubuh jemaat melambangkan kehausan jiwa mereka kepada Injil
yang berkuasa.
Saya pun mendapatkan defenisi lengkap
dari kata berbahagia sebagai orang miskin dihadapan Allah, saat menjadi saksi
kelaparan spiritual jemaat SIB Sanan akan lawatan Tuhan. Jemaat yang berbahagia
dengan kemiskinan rohani yang menjadikan mereka sanggup mengabaikan apapun
untuk menerima dan mendapatkan lawatan Tuhan. Kemiskinan spiritual yang
membangun pengharapan mereka melebihi apa yang dapat saya bagikan. Entahkah
beberapa diantara mereka telah ada pada strata sosial yang berada, ataukah
jemaat yang masih hidup sederhana, semuanya membaur hanyut dalam hadirat Tuhan
yang sangat deras. Beberapa diantara mereka rebah didalam hadiratNya, sementara
yang lain berdiri dengan tangan terangkat tinggi dan sorak-sorai yang gegap
gempita. Kepenuhan hadirat Tuhan, membuat saya hanya berdiri terpaku penuh
kekaguman. Allah sungguh luar biasa dahsyat bagi Negeri Sabah.
Sebuah
Repleksi
Saya sudah menyelesaikan lawatan satu
pekan di Negeri Sabah. Saya pun sudah kembali bergulat dengan kesibukan dan
rutinitas pelayanan di Jakarta. Sebagai seorang pendeta dan sekaligus gembala
sidang gereja yang bertumbuh, saya harus mampu menyesuaikan ritme dengan
tuntutan dan konsekwensi pelayanan di kota metropolitan.
Saya memang harus berjuang untuk dapat
mengadaptasi dengan hiruk pikuk kota Jakarta. Saya lahir dan besar di sebuah
kampung terpencil bernama Huta Pamatang Jorlang Hataran. Hampir tidak dapat
dicari di peta atau googling sekalipun dusun ini. Saya menghabiskan masa kanak-kanak sampai remaja
di dusun dan menjadi remaja yang hampir tidak pernah bersentuhan dengan kota
metropolitan.
Setelah menyelesaikan pendidikan SMA,
saya pun pindah ke Kota Jakarta tahun 1994. Saya diterima di asrama sebuah
sekolah teologi dan menjalani masa sebagai mahasiswa hampir 5 (lima) tahun.
Suatu keputusan luar biasa ketika remaja minder seperti saya, memutuskan untuk
menjadi pemimpin rohani. Itu adalah anugerah dibalik masa kecil saya yang
gelap.
Saya lahir dari sebuah keluarga yang
tidak bahagia. Ayah saya seorang muslim pada masa mudanya, namun menjadi
Kristen akibat penikahan dengan ibu. Sungguh suatu keadaan rohani yang gersang.
Lengkaplah kekelaman masa kecil saya karena kami miskin secara materi dan
rohani. Ayah saya seorang petani miskin didampingi ibu rumah tangga yang juga
tak kalah miskinnya. Kemiskinan ini membuat saya bertumbuh dalam kesulitan
termasuk kesehatan disebabkan kelahiran prematur. Saya pun harus berjuang untuk
tetap hidup ditengah-tengah kemiskinan yang membalut kelam.
Hidup kami sekeluarga memang
menyedihkan. Pada masa paceklik, kami harus makan nasi gaplek. Nasi berbahan
dasar singkong itu menjadi menu makanan ketika persediaan beras hasil panen
sudah habis. Saya bertumbuh menjadi remaja minder karena sakit-sakitan. Keadaan
fisik saya ketika lahir prematur menyisakan permasalahan kronis karena
paru-paru saya bermasalah. Keadaan yang sulit ini memuncak ketika saya memasuki
sekolah SMP. Saya harus dijemput dari sekolah untuk di rawat di rumah akibat
paru-paru basah yang membuat saya sering kesulitan bernafas. Dalam keadaan
antara masih hidup dan mati, saya berdoa. Saya yang tidak mengerti bagaimana
berdoa, bergumul diantara demam yang tinggi dan kesulitan bernafas. Malam yang
panjang ketika saya bergumul di antara kemiskinan dan kekosongan hati.
Tuhan mendengarkan doa. Malam itu,
antara saya sadar atau tertidur, saya mendengar suara yang memanggil
berkali-kali. Antara sadar dan tidur, saya pun mendengar suara yang teduh.
Demam tinggi yang membuat saya kesulitan bernafas pun perlahan-lahan berkurang.
Malam itu saya tidur lelap. Esok harinya saya bangun dalam keadaan tubuh yang
bugar. Saya sembuh dan bernafas dengan sempurna. Malam itu Tuhan menyembuhkan
saya. Tuhan pun memulihkan jiwa saya yang hampa dengan pengurapan pada ibadah
pencuran Roh Kudus tahun 1990. Saya menjadi seorang hamba yang begitu miskin
akan apapun yang berhubungan dengan hadirat Tuhan. Kemiskinan rohani yang terus
menerus mendorong roh dan jiwa saya bergantung sepenuhnya kepada Yesus Kristus.
Saya berkhotbah untuk pertama kalinya
pada umur 16 tahun ketika masih duduk di bangku SMA. Saya kini telah berkhotbah
seantero negara. Saya melayani seminar dan KKR di berbagai kota, baik di dalam
maupun di luar negeri. Saya telah menyaksikan berbagai mukjizat keajaiban
berlaku dalam pelayanan. Saya menyaksikan Tuhan berkarya melalui penumpangan
tangan saya, ketika seorang anak yang sudah mati bangkit kembali. Saya
menyaksikan bagaimana hujan badai berhenti dalam hitungan detik saat doa saya
panjatkan kepada Allah. Saya melihat bagaimana Tuhan mencukupkan kebutuhan
jasmani dengan ajaib. Kemiskinan spiritual yang membuat saya selalu bergantung
sepenuhnya kepada Tuhan, telah membuat Tuhan berkarya hebat melalui seorang
hamba yang tak berarti seperti saya.
Hati dan jiwa saya masih saja merasakan
kehausan yang tak terhingga. Hingga keadaan jasmaniah saya kini terus
dipulihkan dan diperkaya, saya masih terus merasakan jiwa yang haus. Saya telah
menyelesaikan pendidikan di STT dengan baik dan berhasil lulus cumlaude untuk program pascasarjana. Saya
kini memimpin diberbagai lembaga dan menjadi kepala keluarga yang berbahagia.
Namun satu hal yang masih terus melanda jiwa saya adalah kelaparan akan hadirat
Tuhan. Saya terus merasakan kemiskinan rohani yang memaksa saya untuk terjun
labih dalam dihadiratNya. Saya masih miskin spiritual sampai detik ini. Haleluyah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar