KRITIK
TERHADAP PEMIKIRAN
ATHEISME
(Suatu
Pendekatan Efistemologi)
Oleh: Pdt. Joshua Mangiring Sinaga, S.Th, M.Th, M.Pd.K
BAB I
PENDAHULUAN
Epistemologi atau filsafat pengetahuan adalah salah satu
cabang filsafat yang membidangi atau yang memfokuskan penelitian kepada hakikat
dari pengetahuan. Yang menjadi objek materi dari filsafat ilmu pengetahuan
adalah ilmu pengetahuan itu sendiri, sebab dari ilmu pengetahuan itu sendirilah
akan muncul pengetahuan. Tetapi walaupun demikian tidak selamanya ilmu
pengetahuan itu menjadi suatu pengetahuan yang baik, bermakna, yang bisa
dipertanggung jawabkan untuk kesejahteraan umat manusia. Memang segala sesuatu
yang ”diketahui” dan yang
“tidak diketahu” adalah merupakan
“pengetahuan”. Tetapi yang pasti adalah bahwa di dalam ilmu pengetahuan
terkandung pengetahuan. Mencari hal-hal
yang demikianlah yang menjadi tugas dari epistemologi.
Pada umumnya setiap manusia ingin memperoleh dan ingin mengetahui yang
namanya pengetahuan, baik itu
pengetahuan harian (pengetahuan yang tidak ilmiah atau pengetahuan yang
bersifat kebetulan dan subyektif) maupun pengetahuan yang bersifat ilmiah
(pengetahuan yang obyektif koheran, dengan cara metodis, sistematis dan kritis)[1].
Tetapi seiring dengan kemajuan zaman,
maka seakan-akan pengetahuan harian ditinggalkan karena dianggap usang
dan tidak bermakna bagi kemajuan ilmu pengetahuan. Masalah-masalah atau
problema yang menjadi pembahasan di dalam
epistemologi adalah aliran-aliran yang berat sebelah, yang dalam arti
sangat menekankan satu aliran atau paham tertentu.
Oleh karena epistemologi adalah
filsafat pengetahuan yang mencari hakikat dari pengetahuan itu sendiri, maka cenderung beberapa aliran di dalam berepistemologi dengan cara yang
salah, yaitu dengan memutlakkan yang tidak mutlak, dan memprioritaskan yang tidak
layak menjadi prioritas. Ketika ada orang yang memprioritaskan yang tidak
mutlak, maka tanpa disadari dia telah
menurunkan Allah dari tahta-Nya (sekalipun Allah tidak bisa diturunkan dari
tahta-Nya) dan dia menjadi allah atas dirinya sendiri. Dan pada posisi seperti
inilah seseorang itu menjadi seorang ateis.
Amsal 1:7 menyatakan ; Takut akan TUHAN adalah permulaan pengetahuan,
tetapi orang bodoh menghina hikmat dan didikan.
Jadi dapat simpulkan dari nats Alkitab tersebut bahwa tidak akan ada
pengetahuan yang benar-benar pengetahuan yang dapat bermakna jikalau tidak
didasari dari takut akan Tuhan. jadi yang menjadi prioritas dan mutlak adalah
takut akan Allah . Adapun pengetahuan yang dinamakan pengetahuan yang tidak
didasari dari takut akan Allah adalah pengetahuan yang bodoh. Jikalau
pengetahuan itu adalah pengetahuan yang bodoh, berarti pengetahuan yang
demikian tidak akan pernah membawa kesejahteraan bagi manusia. Kenapa
pengetahuan itu menjadi pengetahuan yang dapat mensejahterakan manusia? Tentunya karena diawali dari takut akan
Tuhan.
Memang teologi adalah ilmu
pengetahuan, tetapi ilmu pengetahuan
yang berawal dari Tuhan dan terarah kepada Tuhan, yang dalam arti subyek dan
obyek dari Teologi adalah Tuhan itu sendiri. Seseorang dapat mengetahui pengetahuan akan Allah, oleh karena Dia yang
memberikan pengetahuan itu. Dan pada intinya semua ilmu pengetahuan haruslah
bersifat demikian.
A.
PENGERTIAN
ETIMOLOGI
1.
KRITIK,
Menurut W.J.S
Poerwadarminta berarti: 1. Genting; kemelut, sangat berbahaya (tentang keadaan)
[2].
Jadi apabila memerlukan suatu kritik, itu berhubungan dengan suatu keadaan
kritis yang memerlukan penanganan segera. Itu berhubungan dengan suatu keadaan
yang genting dan menjadi kemelut serta membahayakan. Dalam hal ini, atheisme
dilihat sebagai suatu fenomena yang membutuhkan kritik karena dampaknya yang
membahayakan terhadap iman Kristen.
2. EPISTEMOLOGI
Kata epistemologi berasal dari bahasa Yunani yaitu episteme = pengetahuan
dan logos = pemikiran, pengetahuan.
Menurut kamus teologi oleh Gerald dan Edward menyatakan bahwa
epistemologi merupaka ”cabang filsafat yang menyelidiki pengetahuan manusia;
hakikat, sumbernya, kriterianya, kemungkinan-kemungkinan, serta
keterbatasan-keterbatasannya”. [3]
Sedangkan kamus bahasa Indonesia menjelaskannya sebagai berikut; “cabang
ilmu filsafat tentang dasar-dasar dan batas-batas pengetahuan”. [4]
Jikalau kita lihat, lebih jelas lagi defenisi yang dijelaskan oleh Yusuf dan
Donni. Dia menjelaskan hakikat dari
pengetahuan dari empat segi untuk memperoleh hakikat dari pengetahuan tersebut.‘”cabang
filsafat yang mengkaji hakikat dari pengetahuan dari empat segi yaitu; sumber
pengetahuan, batas pengetahuan, struktur pengetahuan, dan keabsahan
pengetahuan”. [5].
Mengacu dari berbagai defenisi di atas, maka dapat kita
defenisikan bahwa epistemologi adalah filsafat pengetahuan tentang pengetahuan,
yaitu yang mencari hakikat dari pengetahuan, baik itu metodenya, ruang
lingkupnya dan manfaatnya bagi pengetahuan, dan terutama bagi Manusia.
3. ATHEISME
Menurut kamus teologi, bahwa ateis adalah penolakan akan
adanya Allah, dalam teori maupun dalam praktik[6]. Sedangkan
atheisme adalah paham yang secara praktis dan teoritis menolak keberadaan
Allah. Menurut kamus besar bahasa
Indonesia, atheis adalah sebagai “orang yang tidak percaya akan adanya Tuhan atau
orang yang tidak mengambil bagian dalam upacara agama”[7].
Kata ateis berasal dari bahasa Yunani yaitu; a
= bukan atau tidak dan Theos
= Allah. Jadi jelaslah apa yang dikatakan di dalam kamus
diatas jikalau ditinjau dari yang di defenisikan oleh Laehy dalam hal
hubungannya denga ateis teoritis dan ateis praktis.
“Ateis ialah pengingkaran akan Allah. Seorang ateis
praktis meskipun yakin bahwa Allah itu ada, hidup seolah-olah Allah tidak Ada: cara
hidupnya itulah yang merupakan pengingkaran akan Allah. Seorang ateis teoritis
percaya bahwa Allah tidak ada: ia menyangkal Allah dengan akal budinya; ia
menetapkan bahwa Allah tidak ada[8]”
Memang jikalau diselidiki dengan secara seksama, pada hakikatnya tidak ada manusia
yang tidak mengakui akan keberadaan Allah yang exsis secara teoritis. Sebab
sejarah telah mencatat akan penyembahan setiap etnis atau suku bangsa kepada
sesuatu yang dianggap oknum atau pribadi yang berkuasa. Dan lebih lagi jika
dilihat dari tuntutan hati nurani dan dinamika akal budi serta pengalaman
beragama, akan pertanggung jawaban hidup[9]
[2] W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum bahasa
Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1996
BAB II
TINJAUAN
UMUM EPISTEMOLOGI
A.
Tokoh-tokoh Dalam Aliran
Epistemologi
Di dalam bab ini
akan diperkenalkan aliran dan tokoh-tokoh dalam epistemologi serta pandangannya. Sebelum pandangannya
terhadap epistemologi dijelaskan maka terlebih dahulu akan dijelaskan
latar belakang dan sejarah singkat hidup
dari setiap tokoh
1.
RASIONLAISME
Pada hakikatnya aliran rasionalisme sangat menekankan keunggulan dan kemutlakan rasio.
Tetapi walaupun demikian dari penganut paham rasionalisme terdapat perbedaan
yang sangat menonjol di dalam memaparkan sistem-sistem pendekatan mereka. Diantara penganut paham itu adalah sebagai berikut:
a.
Rene Descartes
Rene Descartes
(1596-1650) lahir pada 31 Maret 1598 di La Haye Totiraine didaerah yang kecil
di Prancis tengah. Dia adalah anak
ketiga dari Joachim Descartes, seorang anggota parlemen Bretagene, dan
juga seorang pengacara dan hakim. Descartes dijuluki
sebagai “Bapa filsafat modern”, oleh karena pemikirannya yang cemerlang yang
membawa pembaharuan mulai dari abad yang ke 15 yaitu abad pencerahan
(renaissance) hingga ke jaman sekarang, yaitu abad yang ke 21 dimana di
zaman modern ini konsep pemikirannya masih mempunyai
pengaruh yang sangat kuat. Filsafat Descartes dipengaruhi oleh ilmu metematika,
fisika, dan astronomi.[1] Menurutnya, adapun kebenaran yang harus dipandang sebagai kebenaran yang
benar adalah apa yang jelas dan terpilah-pilah (clear and distincly). Adapun yang jelas dan terpilah-pilah itu
adalah, bahwa gagasan-gagasan atau ide-ide yang satu harus dipisah dengan
gagasan-gagasan atau ide-ide yang lain. Oleh karena itu, menurutnya semua ilmu
pengetahuan harus mengikuti jejak ilmu pasti, dan ilmu pastilah yang harus
menjadi contoh bagi semua ilmu. Tetapi walaupun demikian bukan berarti
bahwa ilmu pasti itu menjadi metode yang
sebenarnya bagi ilmu pengetahuan.
Namun ilmu
pasti adalah ilmu yang cocok menjadi metode ilmu ilmiah. Menurutnya bahwa
filsafat tradisional yang diwariskan oleh Plato dan Aristoteles adalah filsafat
gabungan antara yang masuk akal dengan yang tidak masuk akal yang disebabkan
oleh karena gabungan dari yang tidak pasti dengan yang pasti. Descartes juga
menolak filsafat klasik kuno dari Socrates dengaan metode diskusi atau dialog
dari berbagai orang yang diprakarsai oleh Socrates. Menurutnya kesatuan seluruh
ilmu harus digarap dan dikonsepsikan oleh satu orang dengan satu metode. Jika
tidak demikian maka ilmu itu akan kacau.[2]
Descartes
menyatakan, bahwa kebenaran itu memang ada dan bisa dikenal dan ditemukan.
Bagaimanakah cara mengenal dan menemukan kebenaran itu? Dia menjelaskan,
bahwa kebenaran bisa ditemukan jikalau
seseorang membebaskan jiwanya dari apa yang diketahuinya dari semula, dan
menutup jalan dari luar ke dalam, tetapi memulai lagi dengan jalan dari dalam
keluar.[3]
Menurut Descartes seperti inilah yang dinamakan ilmu pasti. Ini menandakan
bahwa kebenaran itu harus didasari dari diri tanpa dipengaruhi dan intervensi
dari luar diri. Ini sangat erat dengan pandangan eksistensialisme, bahwa jika
memandaang segala sesuatu berpangkal dari eksistensi, yang titik sentralnya
adalah manusia.[4]
Dari sini dapat dilihat bagaimana rasio
manusia itu diutamakan.
Descartes
mengatakan segala sesuatu harus diragukan. Bahkan sekalipun pengetahuan yang
telah ada sebelumya harus diragukan. Karena menurutnya mungkin saja pengetahuan
itu adalah hasil khayalak atau tipu daya roh jahat, bahkan apa yang dianggap
benar dan pasti juga harus diraguukan, baik itu ilmu pasti, (menurutnya
hitungan dan ukuran memberi kepastian, juga terdapat di dalam impian)
pengetahuan tentang Allah dan tentang adanya tubuh. Bahkan pada suatu saat
Descartes pernah meragukaan keberadaan
dirinya yang ada didekat tungku perapian sedang berpikir dan memakai
baju putih. Sebab pada waktu yang lalu dia pernah bermimpi sedang duduk dekat
tungku perapian sedang berpikir dan memakai baju putih, padahal kenyataannya
dia sedang bermimpi.[5]
Maka oleh
karena itu, dia berusaha untuk mencari kebenaran dari pengetahuan yang memiliki
kepastian yang tidak dapat diragukan, sehingga dia berkata: kalau saya
ragu-ragu, saya berpikir dan kalau saya berpikir pasti saya ada (cogito ergo sum).[6] Inilah
aksioma dari Descartes. Segala sesuatu bisa diraguukan, tetapi cuman satu
kenyataan yang tida bisa diragukan yaitu bahwa faktanya saya sedang ragu-ragu.
Dan salah satunya fakta bawa dia sedang ragu-ragu dan berpikir, itu berarti dia
harus ada.[7]
Dengan itu keluarlah proposisi Descrates yang menyatakan: saya ragu-ragu atau
saya berpikir, dan oleh karena aku berpikir maka aku ada. Cogito
argo sum inilah yang dimaksudkan oleh Descartes dengan kebenaran, apa yang benar, apa yang jelas dan
terpilah-pilah. Sebab cogito (aku berpikir) adalah pasti, cogito adalah jelas
dan terpilah-pilah.
b. Baruch
Spinoza
Barukh Spinoza (1632-1677) adalah anak dari orang Yahudi yang lahir di
Amsterdam, Belanda, dan ayahnya sorang pedagang yang kaya. Di dalam
kehidupannya, dia tidak hanya belajar matematika dan ilmu alam, dia juga
mempelajari berbagai bahasa, diantaranya: bahsa Latin, Yunani, Belanda,
Spanyol, Prancis,Yahudi, Jerman, dan Italia. Tetapi pada usia yang 18 tahun
Spinoza membuat marah bangsanya (kaum Yahudi) karena dia meragukan Kitab Suci
yang adalah Firman Tuhan yang diwahyukan oleh Allah. Dalam keadan yang telah
dikucilkan, membuat dirinya harus mandiri untuk mencukupi semua kebutuhan
hidupnya. Dan akhirnya pada tahun 1677 tanggal 21 Februari dia meninggal, pada usia
yang ke 44 tahun, oleh karena penyakit TBC yang telah lama dia deritanya.
Sebagai mana Descartes, demikian juga Spinoza, bahwa pemikirannya
dipengaruhi oleh ilmu pasti geometri.
Sebagaimanaa yang dipandang Descartes bahwa pikiran dan realita eksternal
adalah satu. Tentang hakikat, Spinoza
mengatakan bahwa harus ada keharmonisan dan keberaturan yang dalam arti bahwa
suatu hukum hanya akan benar jikalau seirama dan harmonis dengan sistem
keteraturan yang meliputi seluruh realitas eksternal. Spinoza membagi
pengetahuan kedalam tiga tarap diantaranya: 1.Tarap persepsi atau imajinasi. 2.
Tarap refleksi yang mengarah pada prinsip-prinsip dan. 3. Tarap intuisi dan
rsional.
Menurutnya pengetahuan memang didapatkan dari pengamatan inderawi. Tetapi
di dalam pengamatan inderawi ini tidak bisa ditentukan yang mana atau apa yang
subyektif dan apa yang obyektif. Sebab jikalau dianganggap bahwa kesan-kesan
subyektif sebaagai kebenaran, maka hal itu akan mengakibatkan gambaran-gambaran yang kacau di dalam
imajinasi. Segala pengetahuan dimulai dengan gambaran-gambaran inderawi.[8]
Tetapi gaambaran-gambaran yang didapat dari pengalaman inderawi itu tidak akan
jelas dan pasti, jikalau tidak sampai kepada tahap yang paling tinggi yaitu
tahap pengetahuan rasional dan intuitif. Dalam hal ini kita masih bisa melihat
bahwa Spinoza masih memberikan ruang
(masih mengakui peranan empiris di dalam proses dalam pembentukan
hakikat pengetahuan) kepada pengalaman. Dia mengatakan bahwa di dalam
pengetahuan rasional seseorang hanya mendapatkan dan mengambil
kesimpulan-kesimpilan.
Tetapi di dalaam pengetahuan intuitif seseorang itu mempunyai ide-ide
tentang Allah. Jikalau Descartes menyatakan bahwa yang dinamakan yang benar
adalah apa yang jelas dan terpilah-pilah adalah Allah. Demikian juga bagi
Spinoza yang dikatakan kebenaran yang
jelas dan terpilah-pillah adalah yang terdapat di dalalm jiwa manusia yaitu
idea-idea Allah. Idea-idea itu tidak ada di luar dirinya, tetapi berada di
dalam dirinya secara sempurna yang menjadi jaminan kepastian (inilah yang
dimaksudkannya dengan substansi). Jikalau tidak demikian akan menjadi suatu
campuran yang tidak jelas. Sebab idea-idea yang di luar dan di dalam adalah
sama dalam realitanya, karean itu sifatnya adalah jelas dan terpilah-pilah.
Descartes mencari hakikat pengetahuan dengan menemukan dasar akhir
kesimpulan pada keragu-raguan, maka Spinoza menemukannya dengan satu kesimpulan
pada satu substansi. Oleh karena menurutnya hanya ada satu substansi tunggal
yaitu substansi yang mandiri dan juga terisolasi dari kenyataan-kenyataan lain.
Maka tuhan itu adalah alam dan alam itu adalah tuhan, yang dalam arti bahwa
tuhan dan alam adalah kenyataan yang tunggal sebap tuhan dan alam adalah
keluasan yang terpisah dari kenyataan-kenyataan lain dan terpisah.
Karena menurut Spinoza bahwa pengertia substansi adalah yang ada pada
dirinya sendiri dan dipahami melalui dirinya sendiri. Maka tuhan dan alam
adalah yang ada pada dirinya sendiri dan dipahami melalui dirinya sendiri.
Substansi itu tidak berelasi dengan yang lain dan tidak disebapkan oleh sesuatu
yang lain. Dalam hal ini Spinoza digolongkan sebagai penganut paham panteisme
(yang mennyatakan bahwa pada dasarnya realita adalah satu, bahwa alam dan Allah
adalah identik dan satu adanya. Alam semesta ini adalah perluasan dari esensi
Allah dan bukan ciptaan Allah).[9]
c.
Blaise Pascal
Blaise Pascal lahir pada tanggal 19 juni 1623 di Clermont-Feerand, Prancis. Anak dari Etienne Pascal seorang
penasehat kerajaan dan petugas penarik pajak yang kemudian diangkat sebagai
presiden organisasi the courtof aids dikota Clermont. Ibunya wafat saat dia berusia
kira-kita 3-4 tahun, ibunya meninggalkan dia dan dua saudaranya perempuan
yaitu; Gilberte dan Jacqueline. Pada tahun 1631 keluarganya pindah ke Paris.
Memang sejak kecil Pascal telah menunjukkan bakatnya sebagai ahli matematika
yang disegani, pakar dalam ilmuan, pakar dalam bahasa Prancis serta dikenal
sebagai filsuf besar yamg relijius.
Pada usia 12 tahun ayahnya telah terbiasa mengajaknya untuk menghadiri
perkumpulan-perkumpulan diskusi matematik. Dari kebiasaan itu Pascal menjadi
mempunyai ketertarikan dalam ilmu metematika, bahkan dia sudah bisa menemukan
bentuk dan rumusan geometri dan standarnya, yang dimana nama rumusan itu dia
buat dengan namanya sendiri. Oleh karena mereka adalah keluarga yang mempunya
perekonomian yang baik, maka setelah anyahnya meninggal, Pascal pun
berpoya-poya menikmati kehidupan duniawinya dengan warisan yang ditinggakan
oleh ayahnya bersama dengan teman-temannya dari kalangan bangsawan. Dan pada
tanggal 9 Agustus 1662 pada usia yang ke 36 tahun, Pascal meninggal dunia yang
dimana penyebab kematiannya tidak diketahui.
Sebagai mana para filsuf rasionalisme, demikian juga halnya dengan Pascal,
yaitu konsep filsafat mereka yang dilatar belakangi dengan pendidikan dan
pengetahuan tentang ilmu pasti dan ilmu alam. Kalau dilihat dari beberpa
laporan dari penulis buku yang mempelajari pemikiran Pascal, tidak ada
pemikirannya yang menonjol tentang epistemologi. Konsep pemikirannya dan hasil
karyanya banyak terlihat di dalam ilmu metematika, rumus-rumusan ilmu hitung
dan pembuatan mesin hitung.
Memang kita tidak melihat di dalam pemikira Pascal konsep empirisme. Pada
dasarnya dia adalah penganut paham
rasionalisme. Tetapi walaupun demikian dia tidak seperti rekan-rekannya (para penganut paham rasionalisme)
yang menitik beratkan bahkan
memutlakkan rasio. Menurutnya masih ada yang mengatasi rasio yaitu hati. Akal
atau rasio memang dapat menberi
pengetahuan kepada kita tentang rahasia realitas hidup ini. Oleh karena itu
Pascal menyatakan bahwa akal atau rasio tidak dapat merumuskannya dengan dan
dalam pengertian-pengertian yang memadai. Karena menurutnya di dalam manusia
ada dua yang selalu bertentangan yaitu tubuh dan jiwa, oleh karena itu manusia
ada di dalam suatu ketegangan. Dan ketegangan ini selalu menuntut suatu
keputusan yang menentukan.[10]
Yang menjadi rumit adalah bahwa ketegangan tidak lepas dari suatu
keputusan. Oleh karena itu keputusan
tidak bisa hanya diambil oleh rasio tetapi juga hati yang justru sangat mengambil peran. Pascal
mengatakan bahwa hati letaknya lebih dalam dari pada akal atau pikiran. Karena
di dalam hati manusia diperhadapkan dengan Allah. Jadi keputusa-keputusan yang
meniadakan ketegangan adalah keputusan yang selalu melibatkan Allah. Dia
mengatakan bahwa manusia didunia ini
bukanlah apa-apa, tetapi di dalam jagat raya ini bahwa manusia adalah
satu-satunya mahluk yang berpikir, oleh karena itu hanya manusia yang dapat
bekomunikasi dengsa Allah.
2.
EMPIRISME
Sebagaimana para penganut paham rasionalisme yang mengatakan bahwa sumber
pengetahuan yang mencakup dan yang dapat dipercayai adalah rasio. Demikian juga
halnya dengan para pengenut paham empirisisme yang mengklaim bahwa
pengalamanlah yang menjadi sumber
pengetahuan, yaitu pengalaman inderawi.[11]
Walaupun demikiaan ada perbedaan yang cukup menonjol dari para penganut
paham empirisisme di dalam menjelaskan kemutlakan pengalaman untuk mendapatkan
pengetahuan. Dalam hal ini ada kaum empirisisme yang terlalu ekstrim, sehingga
rasio tidak mempunyai peranan untuk mendapatkan pengetahuan. Mereka meyatakan
bahwa; “pengalaman indarawi adalah satu-satunya sumber dan penjamin kepastian
kebenaran pengetahuan.”[12]
oleh karena sumber pengetahuan adalah pengalaman, maka mereka memakai metode
pengamatan induktif. Tetapi ada juga
yang memberikan ruang kepada rasio dalam proses untuk mendapatkan pengetahuan.
Dalam hal ini Ronald menyatakan “bahwa sebahagian pengetahuan manusia tidak
dihasilkan dari pengalaman yang masuk akal”.[13]
Dibawah ini akan dijelaskan tokoh-tokoh empirisisme yang cukup menonjol.
a.
John Locke
John Locke adalah anak seorang pemilik tanah dan pengacara disebuah kota kecil
yang bernama John locke juga.[14]
Ibunya yang berama, Agnes Keene. Locke
lahir pada tanggal 29 Agustus 1632 disebua pondok kecil beratap jereami di
gereja Wrington. Pada tahun 1647 John Locke dikirim ke sekolah yang bergengsi
di London, yang disponsori oleh Alexander Popham. Sekolah ternaama tersebut
berada di dalam kejayaannya yang dimana di
zaman John Owen yang menjadi dekan perguruan tinggi
tersebut yang menjabat sebagai wakil rektor. Kesehatan Locke makin menurun dalam
tahun-tahun terakhir kehidupannya dan ia menderita penyakit asma. Ia meninggal tanggal 28 Oktober
1704 dan dikuburkan di High Laver.
John Locke
mendasarkan teorinya mulai dari
pengenalan, yaitu pengenalan tentang suatu gagasan atau ide-ide. Dia mengatakan
bahwa, yang menjadi sasaran pengenalan adalah gagasan-gagasaan atau ide-ide
semata-mata. Dari manakah manusia mendapatkan pengenalan suatu gagasan itu?
John Locke mengatakan manusia mendapatkan pengenalan suatu gagasan-gagasan
tidak lain dari pengalaman (empiris). Manusia sebagai subyek yang mengenal
gagasan-gagasan mendapatkan suatu kesan-kesan.[15]
Locke
membedakan gagasan-gagasan tunggal dan gagasan majemuk. Dia menjelaskan lebih
lanjut, bahwa gagasan-gagasan tunggal yang secara langsung mendatangi manusia
melalui pengalaman, tanpa pengolahan logis apapun. Sedangkan pengelaman majemuk
timbul dari percampuran atau penggabungan dari gagasan-gagasan tunggal. Ada
gagasan-gagasan yang timbul secara bersama, tetapi itu harus dianggap sebagai
gagasan-gagasan yang sama yang berdiri sendiri, yang juga disebut sebagai
substansi. [16]
John Loske
menolak gagasan para penganut aliran rasionalisme yang menyatakan bahwa, sejak
lahir pikiran manusia telah berisi beberapa gagasan-gagasan yang mendasari dan
terbukti sendiri. Sebaliknya dia mengatakan bahwa pikiran manusia bagaikan
suatu blangko kosong atau kertas putih yang menerima kesan dari luar (tabula rasa).[17]
Untuk
menjelaskan hal ini Locke membuat suatu pertanyaan retorik seperti yang dijelaskan
oleh Colin: jika kita mengatakan pikiran bagaikan kertas putih bersih dari
segala tulisan tanpa ide atau pikiran apapun. Kalau begitu, bagaimanakah itu
terisi? Darimanakah datangnya
simpanan yang sangat banyak yang berfariasi itu? Dari manakah pikiran itu mempunyai
segala bahan pikiran dan pengetahuan?
Dalam hal ini, dengan gamblang Locke menjawap hanya denga satu perkataan yaitu;
pengalaman. Di dalam pengalaman pengetahuan kita dibentuk dan dari pengalaman
juga pikiran memperoleh bentuknya sendiri.[18]
Locke membedakan pengalaman lahiriah dan pengalaman batiniah. Tetapi pengalaman
itu saling jalin-menjalin, yang dalam arti bahwa pengalaman lahiriah
menghasilkan gajala-gejala psikis dan harus ditangkap oleh pengalaman batiniah.
Karena ide-ide
atau gagasan-gagasan itu tidak satu, dan harus ada hubungannya antara ide-ide
yang satu dengan ide-ide yang lain, baik dalam bentuk kenyataan, identitas dan
ada bersama-sama (koeksistensi). Jadi untuk menghubungkan ide yang satu denga
ide yang lain harus ada keputusan. Jikalau berbicara keputusan, ada keputusan
yang benar dan ada juga keputusan yang salah. Keputusan gagasan-gagasan yang
benar adalah keputusan yang hanya mengenai pengetahuan. Sepeti pengetahuan ilmu
pasti dan etika. Jadi kesimpulannya adalah keputusan yang benar diperoleh
karena pengenalan akan intuitif.[19]
b.
Thomas Hobes
Thomas Hobes
dilahirkan di Malmesbury, disebuah kota kecil Inggris. Ia dilahirkan pada tanggal 15 April 1588.
Ayahnya adalah seorang pendeta di
Westport. Hobes lahir pada masa peperangan yang paling ganas, dimana peperangan
antara Inggris dan Spanyol. Pada tahun 1646, Hobes diminta untuk
menjadi pengajar matematika bagi Pangeran Charles II, anak dari Raja Charles I.
Hobes meninggal pada tanggal 4 Desember 1679 Ia mengidap
sakit serius sejak bulan Oktober dan seminggu sebelum meninggal ia terkena stroke. Hobes dimakamkan di Hault Hukcnall, dekat Hardwick Hall
Pemikiran Hobes
berakar dari empiris. Empirisisme menyatakan bahwa pengalaman adalah akar dari
pengetahuan. menurut Hobes bahwa filsafat adalah suatu ilmu pegetahuan tentang
efek-efek atau akibat-akibat dari beberapa fakta yang dapat diamati. Segala
yang “ada’ ditentukkan oleh sebap tertentu, yang mengikuti hukum ilmu pasti dan ilmu alam. Menurutnya yang
nyata adalah apa yang dapat yang diamati oleh indera manusia, dan sama sekali
tidak tergantung kepada rasio manusia, apa yang dinyatakan yang benar adalah
apa yang didapat inderawi.[20]
Konsep pemikiran Hobes adalah gabungan dari empirisisme dan rasionalisme
matematis. Rasionalime matematis yang dimaksud oleh Hobes adalah rasionalisme
dalam ilmu alam yaitu hukum sebab-akibat.
Bagi Hobes
pengenalan adalah pengetahuan, Dan pengetahuan itu diperoleh dari pengalaman.
Awal dari segala pengetahauan adalah pengalaman, dan pengalaman itu membentuk
asa-asas pengetahuan. Jadi yang dapat menjadi jalan kepastian adalah pengalaman.
Rasio atau akal memang mempunyai peranan, tetapi peranannya hanya di dalam
mekanisme semata-mata yang dalam arti rasio hanya mengolah untuk dapat
disampaikan dengan kata-kata. Hobes mengartikan pengalaman sebagai keseluruhan
atau totalitass segala pengamatan, yang disimpan di dalam ingatan dan
digabungkan dengan satu pengharapan akan masa depan, sesuai apa yang telah
diamati padamasa lampau. Memang kualitas ada di dalam obyek. Tetapi itu harus
disesuaikan dengan penginderaan yang bergerak menekan indera. contohnya: bentuk
benda yang dilihat, suara musik yang didengar, bentuk dan suara itu tidak ada
di dalam obyek atau di dalam dirinya,
tetapi ada di dalam subyek, yaitu di dalam yang mendengar dan melihat.
Seperti yang
telah dijelaskan di atas bahwa pengenalan akal adalah pengenalan yang hanya
berfungsi sebagai mekanis. Sebab pengenalan dengan akal dimulai denga kata-kata
yang menunjuk kepada tanda-tanda tertentu yang sebenarnya yang sesuai dengan
kebiasan saja. Sedangkan pengertian-pengertian umum adalah hanya sebatas nama
belaka sebagai gambaran-gambaran, bukan sebagai nama benda yang ada pada
dirinya. Mekanisme yang dimaksudkan oleh Hobes adalah, dimana pengamatan
terjadi karena gerak benda-benda diluar manusia yang menyebabkan adanya ransangan
terhadap indera manusia. Dan ransangan itu diteruskan ke otak, dan dari otak ke
jantung. Di dalam jantung timbullah reaksi tertentu yang merespon pengmatan
tersebut.
c.
David Home.
Home lahir di
Edinburg pada tanggaal 25 April 1711,
ayahnya seorang pengacara dan tuan tanah. Ayahnya telah meninggal pada
waktu dia masih bayi (kira-kira berumur 2 tahun). Ayahnya meninggalkan kepada
keluarganya sebuah perkebunan kecil. kemudia David tinggal bersama kakeknya di
Ninewells. Setelah mengabdi selama tiga tahun di Undersecretary
of State, Hume pensiun
di Edinburg dan
akhirnya iapun meniggal pada tanggal 25 Agustus 1776 pada usia yang ke 60 tahun.
David Hume yang
lahir setelah, Bacon, Hobes, Locke, dan Barkeley, yang adalah para pendahulunya
dalam merintis paham empiris yang dimana puncaknya yang sangat radikal dan
ekstrim berada di dalam pemikiran Home.[21]
Sebagaimana para pendahulunya Huma juga berpendapat bahwan manusia tidak
mempunyai ide-ide bawaan di dalam hidupnya. Dalam hal ini ada perbedaan antara
Hume dan para pendahulunya dalam masalah sumber pengetahuan, Hume mengatakan
bahwa pengetahuan bersumber dari pengamatan yaitu pengamatan inderawi.
Pengamatan
memberikan 2 hal di dalam persepsi, bahwa akal manusia berasal dari pengalaman
yaitu; 1. Kesan-kesan. yang dimaksud
denga kesan-kesan adalah pengamatan langsung yang diterima dari pengalaman yang
masuk melalui akal yang jelas kuat dan hidup.[22]
2. Ide-ide atau pengertian. Yang dimaksud denga ide-ide atau pengertian adalah
gambaran-gambaran dari kesan-kesa tentang apa yang pernah kita lihat dan alami.
Karena itu merupakan gambaran dari kesan-kesan, maka ide-ide atau pengertian
itu sama dengan photo kopi yang tidak jelas yaitu kopian dari
kesan-kesan.[23]
Jikalau
Descartes mendasarkan pikiran dan argumentasinya dari keragu-raguan, maka Hume
membantahnya dengan mengatakan bahwa keragu-raguan timbul karena manusia
mendasarkan atau mendapatkan pengetahuan dari
hal-hal yang tidak langsung yaitu dari ide-ide atau pengertian-pengertian.
Kepastian pengetahuan yang layak dipercaya hanya dari kesan-kesan pengalaman,
baik itu pengalaman lahiriah maupun batiniah. Diluar itu, pengetahuan itu
samar-samar dan tidak jelas. Tetapi ide-ide
yang samar-samar dan tidak jelas itu bisa hilang jikalau ditemukan
kembali kepada sumbernya yaitu kesan-kesan yang diterima dari pengalaman.
d. George
Barkeley (1685-1753)
George Barkeley
lahir pada tanggal 12 Maret 1685 di Dysart Castle di rumah keluarganya dekat
Thomastown, Irlandia[24].
Dia adalah anak tertua dari William Barkeley, yang adalah seorang kader dari
keluarga mulia. Barkeley dididik di Palembang Cologe dan dihadiri Trinity
Cologe. Dia menyelesaikan gelar masternya pada tahun 1707 di Cologe. Tahun 1721
dia dianugerahi Doktoral dari gereja Irlandia dalam keillahian dalam bahasa
Ibrani.
Barkeley juga
dikenal sebagai seorang Bishop yang juga adalah seorang filsuf Anglo-Irlandia.
Pada tahun 1728 ia menikah dengan Anne froster, putri ketua mahkamah Irlandia.
Pada tahun 1752 dia pindah ke Oxford bersama dengan keluarganya dan itu
dilakukannya setelah dia pensiun. Dan pada tanggal 14 Januari 1753 dia
meninggal, ia dikuburkan digereja katederal Oxford.
Sebagaimana para pendahulunya, demikian juga denga Barkeley, dimana dia
mengikuti jejak atau pendekatan dari Locke tentang pengalaman yang menjadi
titik tolak dari pengetahuan. Ia menerima pendekataan Locke tentang teori
representatif mengenai persepsi, tetapi ia memberikan suatu corak yang baru dan
kesimpulan yang lebih tajam. Dia setuju bahwa apa yang benar-benar dirasakan
bukanlah dunia luar dari hal-hal yang bersifat materi, melainkan ide-ide atau
persepsi.[25] Dia
juga mengatakan bahwa segala pengetahuan manusia bersandar pada pengamatan.
Penyangkalan Barkeley akan adanya suatu dunia yang ada di luar kesadaran
manusia menimbulkan Teorinya yang dikenal dengan teory empirisnya tentang
‘imaterialisme atau idealisme’. Apakah yang dimaksud oleh Barkeley tentang imaterialisme
idealisme itu? Yang dimaksud dengan imaterialisme idealisme adalah; bahwa
manusia yang adalah individu, hanya dapat mengetahui sensasi dan ide-ide dari
benda, bukan abstraksi seperti materi tetapi yang konkrit, dan ide-ide
tergantung pada pengamatan pikiran akan, untuk keberadaan mereka.
Menurutnya pengematan identik dengan gagasan yang diamati. Jika ditanyakan, yang menjadi pertanyaan dasar
adalah; bagaimanakah pengamatan itu terjadi? Menurutnya pengamatan terjadi
bukan karena hubungan antara subyek yang mengamati dan obyek yang diamati,
tetapi pengamatan terjadi karena hubungan pengamatan indera yang satu dengan
pengamatan indera yang lain. Sebagai contoh pengamataan: Jarak dan luas antara
sabyek dan obyek yang diamati. Di sini dapat diketehui bahwa hubungan itu
terjadi karena pengamatan indera pengelihatan dan pengamatan indera peraba.
Bagi Barkeley berada berarti mengamati dan diamati. Realitas dari hal-hal yang
diamati treletak hanya di dalam hal ini, yaitu bahwa hal-hal itu diamati
Jadi baginya bahwa berada berarti meresakan, dirasakan, mengamati dan
diamaati. Dalam hal ini juga ia membuat suatu contoh yang sederhana yaitu; meja
tempat belajar, dikatakan ada karena
orang belajar diatas meja itu melihat dan merasakannya. Dan jikalau
sudah selesai belajar, maka orang yang belajar di atas meja itu dapat mengatakan bahwa meja itu ada. Jadi dapat dikatakan
bahwa jikalau seseorang belajar berarti dia merasakannya.
[1] Ibid,p,17.
[6] Eta Linneman, Teologi Kontemporer, Ilmu
Atau Praduga (Institut Iinjil Indonesia ,Malang,1991),p,31.
[7]
Colin Brown, Op,Cit, p. 67
[12] A
Yusuf L. Dan D Gahrel.A, Op. Cit, p.45
[17] Colin Brown,Filsafat
dan Iman Kristen,( Surabaya, Momentum,Lembaga,Reformed Injili Indonesia, 2005)
[18] Ibid,
p. 82
[20] Ibid,
p. 34
[22]Ibid,
p,53
[24] Colin
Brown, Op.Citp, p. 85
[25] Colin Brown, Op. Cip, p,86.
BAB
III
KECENDERUNGAN
EPISTEMOLOGI ATHEISME
Ateisme itu dapat dibagi menjadi dua bagian: yang pertama
ateisme yang praktis dan ateisme filosofis. Keduanya sama-sama
berbahaya dan mendegradasi teologi Injili. Setiap manusia mengakui akan adanya Allah atau suatu oknum
yang lebih tinggi dan berkuasaa dari padanya yang selayaknya harus disembah. Itu
adalah tuntutan hati
nurani
yang sangat deras. Hati nurani secara istimewa merupakan jalan menuju pengetahuan akan
Allah, dimana setiap manusia akan bertanggung jawab akan tindak tanduknya.
Sebagaimana bahwa pengalaman religius berkenaan dengan hati nurani dan tuntutan
moral.[1]
Kepada siapakah dia akan mempertanggung jawabkannya? Tentunya kepada oknum yang
lebih tinggi dari padaanya yaitu Allah.
Atheis pasti berbahaya, tetapi kalau dikatakan mana yang lebih berbahaya?
Sudah pasti ateis praktislah yang lebih berbahaya. Sebab kalau dipelajari
secara mendalam bahwa seungguhnya tidak ada orang yang ateis secara
filosofis/teoritis. Orang-orang yang mengaku akan adanya Allah tetapi dari
setiap tindakannya tidak tercermin bahwa Allah itu ada dan berkuasa untuk
memelihata dirinya adalah yang paling berbahaya, karena orang seperti inilah
yang banyak merusak iman kekristenan.
Oleh karena itu yang dibahas adalah orang yang mengaku bahwa sebenarnya
bahwa Tuhan itu ada, tetapi kenyataan bahwa Tuhan itu ada, tidak terlihat di
dalam kehidupannya sehari-hari (ateis praktis), yang ada dalam aliran
rasionalisme dan empirisisme. Sadar atau tidak sadar ternyata paham-paham seperti
inilah yang banyak merusak iman kepercayaan manusia (terutama iman kepercayaan
kristen) yaitu yang mengandalkan diri sendiri. Setiap orang yang mengandalkan
diri sendiri adalah orang ateis. Ketika manusia itu mengandalkan dirinya
sendiri, tanpa disadari dia sudah mengambil posisi Allah yang adalah sumber
kekuatan.
Jadi di bawah ini akan diperlihatkan penyebab kecendrungan keateisan (ateis
praktis) dari kedua aliraan epistemologi ini (rasionalisme dan empirisisme). Yang
pertama-tama akan diperlihatkan kecenderungan keateisan dari aliran rasionalisme.
A. Kecenderungan
Atheis
dari Epistemologi Rasionalisme
Bagi kaum rasionalisme bahwa kepastian pengetahuan itu dapat diketahui,
yatu dengan cara mengandalkan rasio manusia yang tanpa di pengaruhi oleh apapun
terutama pengalaman yang subjektif. Inilah yang dimaksudkan oleh para kaum
rasionalisme dengan istilah pengetahuan “kriteria.”[2]
Jadi bagi mereka bahwa pengetahuan harus di
bagun melalui metode atau proses deduktif yang dimulai
dengan pengetahuan kriteria dan kemudian akan menarik kesimpulan yang deduktif.
Sedangkan yang dimaksud dengan pengetahuan kriteria adalah dimana manusia dapat
menilai kebenaran dari objek yang diselidiki. Maka oleh karena itu muncullah
evidensi rasionalisme yang menyatakan bahwa hanya logika deduktiflah yang
menjadi kepastian.
Jadi untuk menilai benar salahnya dan ada tidaknya sesuatu hal itu harus sesuai dengan logika deduktif, sebab jika dimulai dengan dasar-dasar yang
pasti (logika deduktif), maka akan mendapatkan kesimpulan yang pasti juga.
Akibatnya para rasionalisme murni menyatakan “saya hanya dapat memiliki
kepastian hanya dengan bergantung kepada pikiran murni saya”[3]
Sebagaimana teori Rene Descartes yang mendasarkan kepada pemikiran, yang
dimana dia menyatakan, bahwa dia adalah manusia yang berpikir, oleh karena itu
dia memulai dengan kriteria yang pasti bahwa dia adalah mahluk yang berpikir.
Maka dari kriteria-kriteria pemikiran itu manusia akan bisa mengetahui bahwa
sesungguhnya eksistensi Allah, realitas dunia dan lain sebagainya. Oleh karena
itu segala sesuatu bisa diragukan akan keberadaannya, tetapi hanya satu hal
yang tidak bisa diragukan yaitu bahwa faktanya saya sedang ragu-ragu, dan
ketika saya ragu-ragu, maka saya berpikir, dan ketika saya berpikir, maka saya
ada. Oleh karenaa itu, keragu-raguan merupakan dasar pemikiran yang tak
bisa digoyahkan. Jadi “ciri khas kebenaran yang dapat
dipastikan adalah jelas dan terpilah-pilah”.[4]
Oleh karena itu bagi Descartes kebenaran yang jelas dan terpilah-pilah itu
adalah Allah.
Sesuatu hal yang menarik dan penting untuk direnungkana tentang penekanan dari paham rasionalisme adalah seperti
yang dikatakan oleh Colin “Di dalam bahasa sehari-hari bahwa rasionalisme
berarti berusaha menghakimi segala sesuatu
berdasarkan akal dan pikiran”.[5]
Jika demikian maka pikiran pun akan berusaha untuk menyelesaikan dengan tuntas
hal-hal yang bersifat supranatural. Sebagaimana yang telah dikatakan oleh para
ahli filsafat bahwa Rene Descartes dapat digolongkan sebagai teis. Tetapi dia
melakukannya itu hanya untuk kepentingan teorinya belaka yaitu untuk memperkuat
proposisinya tentang cartesein yang ditopeng dengan metode hukum sebab
akibat dan ontologis.[6]
Pascal menyatakan bahwa hanya
rasiolah yang dapat menemukan atau menghasilkan gagasan atau pemikiran, tetapi
walaupun demikian masih ada yang melampaui rasio, yaitu hati. Disisi lain
Spinoza menyatakan bahwa kebenaran agama dapat diketahui hanya dengan metode
matamatis, oleh karena itu dia memisahkan kebenaran dengan Alkitab yang adalah
Firman Tuhan. Jadi semua hal dalam agama
yang tidak sesuai atau bertentangan dengan matematis harus ditolak. Sedangkan ilmu matematis adalah
ilmu yang berlandaskan kepada rasio yang terlepas dari pengalaman. Oleh karena
itu Spinoza menyatakan “bahwa kepercayan dan pemikiran harus dipisahkan.”.[7]
Hal ini sangatlah bertentangan dengan iman kristen, yang dimana kalau dilihat
bahwa iman itu seakan-akan merusak rasio. Satu hal yang harus diketahui, bahwa
iman tidak pernah bertentangan bahkan merusak rasio, dan iman tidak takluk
kepada rasio. Jikalau kita melihat surat Paulus. “Itulah sebabnya aku menderita semuanya ini, tetapi aku
tidak malu; karena aku tahu kepada siapa aku percaya dan aku yakin bahwa Dia
berkuasa memeliharakan apa yang telah dipercayakan-Nya kepadaku hingga pada
hari Tuhan.” 2 Timotius 1:12.
Paulus meyatakan “karena aku tahu kepada siapa aku percaya”. Hal ini
meyatakan bahwa iman dan rasio dapat berjalan sejajar. Jika demikian manakah
yang lebih penting? Apakah iman lebih penting dari pada rasio, atau rasio lebih
penting dari pada iman? Paulus
menyatakan bahwa: "Orang benar akan hidup oleh iman." Roma 1:17.
Jikalau manusia mempunyai hidup oleh karena iman, maka imanlah yang menjadi
yang utama. Jika dikatakan bahwa iman lebih penting, bukan berarti rasio tidak penting. Rasio
memang penting, tetapi dimanakah tempatnya? Siapa pun pasti mengakui bahwa
manusia adalah ciptaan. Kalau manusia adalah ciptaan, berarti harus ada yang
mencipta. Dan yang mencipta pasti lebih besar dari yang dicipta, berarti yang
dicipta tidak sempurna sedangkan yang mencipta sempurna, Manusia adalah ciptaan
yang paling mulia dan satu-satunya yang mempunyai rasio dari segala ciptaan.
Manusia dikatakan manusia, oleh karena manusia itu mempunyai rasio, dan
rasio yang dipunyai manusia itu adalah rasio yang mampu mengerti akan kebenaran. Oleh karena
rasio terbatas, maka kebenaran yang dimengerti rasio pastilah terbatas. Ini
bukan menunjukan bahwa kebenaran itu yang terbatas, tetapi oleh karena rasio
itulah yang terbatas, dan keterbatasannya itulah menunjukan bahwa dia adalah
ciptaan, dan menunjukan bahwa masih ada kebenaran yang belum bisa diketahui
oleh rasio. Oleh karena itu, dalam posisi demikianlah rasio harus berada
dibawah kebenaran, yaitu Kebenaran yang kita imani. Dalam hal ini DR.
Steven Tong menyatakan:
“Jika memang rasio terbatas, apakah masih ada kebenaran diluar batasan
tersebut? Jika memang ada, bagaimanakah rasio bertanggung jawab untuk kebenaran
yang berada diluar batasan tersebut? Disini diperlukan penaklukan rasio kepada
kebenaran. Kebenaran lebih besar dari pada “yang mengerti kebenaran” dan “yang
mengerti kebenaran” mengalami perubahan karena kebenaran mengisi, memenuhi dan
mencerahkannya.”[8]
Disini dapat terlihat bahwa iman tidak merusak rasio, dan rasio tidak
melampaui iman, tetapi iman mencerahkan rasio, sehinggan rasio dapat
mempertanggung jawabkan iman dengan secara rasional. Oleh karena itu iman harus
mendahului dan menjadi pondasi dari rasio. Dalam hal rasio sebagai tolak ukur
segala sesuatu juga terlihat di dalam pemikiran dari Spinoza yang menyatakan
bahwa semua kebenaran dapat diketahui dengan cara maatematis. Akibat dari pernyataannya itu sehingga
dia menilai Alkitab hanya sebatas berisikan Firman Tuhan karena di dalamnya
banyak yang terdapat hal-hal yang kontradiktif. Oleh karena itu jikalau ada
orang yang berpegang kepada Alkitab dengan pernyataan bahwa Alkitab adalah Firman Allah, maka dia
sedang mengubah kepercayaan kepada tahyul.
1.
Pengkultusan Kepada Rasio
Sejauh manakah rasio berperan di dalam iman kepercayaan kristen? Dan
dimanakah tempat rasio di dalam iman kepercayaan Kristen? Bagi seorang
rasionalis pengetahuan adalah persesuaian antara pikiran dengan hukum norma
pemikiran. Sebab bagi seorang rasionalis mengakui, bahwa semua pengetahuan
manusia adalah hasil dari olahan rasio yang telah ada setelah dilahirkan
(pengetahuan bawaan) yang terlepas dari a-posteriori.
Oleh karena itu sumber pengetahuan dan pengetahuan yang sejati adalah yang
dari rasio, bukan pengalaman. Oleh karena itu terjadilah penekanan yang harus
berat sebelah. Pada hal, pada umumnya jika seorang filsuf masuk ke dalam unsur-unsur problema seperti ini maka dia harus
siap mengambil suatu keputusan untuk membuat suatu pilihan (rasio atau pengalaman).”
Dalam empirisisme selalu memuja objek, sedangkan di dalam rasionalisme
memuja hukum ”.[9]
Voltaire dan Diderot adalah seorang yang rasionalistik, maka dari situ
muncullah istilah rasionalisme yang rasionalistik yang berarti “terlalu
mendewakan Akal budi dan hanya dapat menerima pernyataan-pernyataan yang
kebenarannya dapat dibuktikan secara ilmiah”.[10]
Bagi Descartes kebenaran yang tidak dapat disangsikan adalah “aku berpikir”.
jadi untuk menyatakan adanya sesuatu itu harus sesuai dengan eksistensi pikiran
dan ide-ide yang ada didalamnya.[11]
Para rasionalistis terlalu menekankan atau memutlakkan rasio dengan cara
berat sebelah, maka terjadilah pengkultusan terhadap rasio. Karena itu esensi dari rasionalisme dinyatakan dalam
proposisi bahwa “sebahagian pengetahuan manusia tidak timbul dari pengelaman
inderawi, atau tidak ada pengetahuan manusia yang timbul dari pengalaman inderawi”[12]
rasio memang sangat dibutuhkan tetapi tidak boleh di kultuskan.
Ketika manusia diciptakan oleh Sang Pencipta, maka manusia itu memiliki hak
yang istimewa dan khusus dari segala ciptaan, yaitu manusia yang mempunyai
rasio yang adalah gambaran dari Allah. Manusia itu dikatakan manusia karena dia
mempunyai akal budi yang dapat dipergunakan. Jadi orang kristen adalah orang
yang mempergunakan rasio untuk iman. Tetapi binasalah manusia jikalau dia
memperilah rasio sehingga rasio yang diciptakan dan yang terbatas dimutlakkan
seperti Allah yang mencipta yang tidak terbatas dan sempurna. Manusia tidak
boleh meniadakan rasio karen rasio adalah sesuatu hal yang penting, tetapi kita
juga tidak boleh memperilahkannya. Karena rasio adalah ciptaan yang terbatas bahkan
pemakaian dan fungsinyapun sudah pasti terbatas.
Jikalau seseorang filsuf yang ingin menerapkan epistemologi dengan tanpa Allah,
maka dia harus menemukan sumber lain yang harus mutlak diluar Allah. Di dalam
kedua unsur epistemologi (rasionalisme dan empirisisme) telah terlihat jikalau
ingin memutlakkan rasio, pasti akan meninggalkan empiris dan sebaliknya juga,
jikalau ingin memutlakkan empirisisme maka harus meninggalkan rasionalisme. Jikalau
salah satunya dimutlakkan maka Allah akan tersingkir. “Hal seperti inilah yang banyak dilakukan
oleh para filsuf yang terkenal” [13]
Jikalau sudah demikian, maka terjadilah pergeseran posisi
dimana manusia akan menjadi allah akan dirinya sendiri yang berkuasa akan
menentukan segalanya. Akibat dari penekanan yang terlalu ekstrim oleh kaum
rasionalisme yang menjadikan pegkultusan terhadap rasio juga terlihat di dalam
pemikran Thomas Hobbes yang adalah “bapak rasionalisme materialis” yang
menyatakan bahwa Alkitab tidak dapat memberikan wahyu apapun. Dia melihat di dalam
Alkitab bayak yang tidak masuk akal, baik itu dengan menyatakan Allah Tritunggal.
Jadi kepercayaan kepada Alkitab diibaratkan sebagai kepercayaan yang buta.[14]
B. Kecendrungan
Atheis
dari Epistemologi Epirisissme
Penekanan dari kaum
empirisisme adalah dengan menyatakan bahwa semua pengetahuan manusia timbul dari pengalaman inderawi dengan
argumentasi yang mereka pakai dimana bahwa pada saat manusia baru lahir akal
budi itu seperti tabula rasa, yaitu bagaikan suatu papan tulis yang kosong,
dengan kata lain bahwa manusia tidak dilahirkan dengan memiliki ide atau
pengetahuan bawaan. Seiring dengan pertumbuhan manusia itu, maka indera-indera
menyediakan bagi akal budinya persediaan informasi yang terus menerus
bertambah. Menurut aliran ini, manusia dapat menemukan dan mengetahuai
kepastian. Tetapi untuk menemukan kepastian itu harus melalui proses, sebab
kepastian itu tidak datang dan kita ketahui secara sendirinya tanpa melalui
proses. Jadi proses yang harus ditempuh untuk menemukan dan mengetahuai
kepastian adalah proses yang dimana “keterlibatan langsung dengan fakta yang berasal dari
pengalaman.”[15]
Hipotesa dapat dibuktikan hanya dengan apabila kita
melihat fakta-fakta, denga cara melakukan percobaan, pengamatan dan pengukuran.
Dan secara bertahap maka fakta-fakta yang telah diamati itu akan terus
bertambah menjadi kumpulan-kumpulan pengetahuan yang dapat dipercaya.
Hal yang paling
ekstrim di dalam paham ini adalah dengan menyatakan bahwa; “pengalaman inderawi
adalah satu-satunya sumber dan penjamin kepastian kebenaran pengetahuan.”[16]
Dan satu-satunya pengetahuan sejati adalah pengetahuan lewat pengalaman. Oleh
karena sumber pengetahuan adalah pengalaman, maka mereka memakai metode
pengamatan induktif. Jikalau manusia mempunyai pengetahuan sesuatu hal, itu hanya
berdasarkan dan bertitik tolak dari pengalaman inderawi, maka
tanpa pengalaman manusia tidak akan bisa mempunyai pengetahuan.
Tokoh yang paling
terkenal dan ekstrim di dalam aliran ini adalah John Locke dan David Home.
Locke terkenal dengan teorinya tentang tabula rasa (kertas putih), sedangkan
Hume terkenal dengan teorinya tentang representatif (yang mewakili). Sebagaimana Hume yang
mendasarkan pemikirannya kepada representatif
dari verifikasi yang secara empiris, yang dalam arti bahwa apa yang ada
di dalam pikiran adalah apa yang pernah dialami yang telah diperiksa secara
langsung melalui pengamata dengan melihat fakta-fakta.
Oleh karena dia
menitik beratkan kepada pengalaman yang telah melewati proses pemeriksaan
fakta-fakta dengan pengelihatan, maka dia menolak semua tindakan Allah yang dikatakan di dalam
Alkitab yang adalah Firman Allah. Karena menurutnya bahwa “Alkitab itu tidak
bisa didefenisikan maupun diverifikasi secara empiris. Sebab itu menuru Hume,
kalimat tersebut omong kosong dan tidak masuk akal.”[17]
Bahkan Hume juga
menolak muzijat, baginya muzijat itu adalah sesuatu yang tidak masuk akal,
karena peristiwa muzijat itu merupakan suatu peristiwa yang bertentangan dengan hukum alam, sedangkan pengalaman tidak
boleh bertentangan denga hukum alam.
1. Pengkultusan
Kepada Empiris
Sebagaimana kaum empirisisme yang radikal menyatakan
bahwa seluruh pengalaman yang berasal dari berbagai jenis peristiwa yang
dialami manusia sebagai mahluk yang
bertumbuh dengan cipta, rasa dan karsa dalam interaksinya dengan
objek-objek disekitarnya, yang terlepas dari pengetahuan bawaan manusia. Oleh karena itu, maka para
kaum empirisisme menyatakan bahwa pengalaman harus ditekankan sebagai
satu-satunya sumber dan penjamin kepastian kebenaran pengetahuan.
Penekanan yang
lebih berbahaya lagi dari kaum empirisisme adalah yang menyatakan bahwa, “kita
tidak bisa mengklaim bahwa kita dapat mengetahui tentang Allah, sebab Allah
dianggap tidak dapat dilihat atau kebal terhadap ”prosedur pemeriksaan”
empiris.”[18]
Oleh karena itu pegetahuan akan Allah ditolak. Bahkan yang paling berbahaya
adalah adanya anggapan para kaum empirisisme yang menyatakan bahwa panca indera
cukup untuk memberikan kepastian yang walaupun tanpa Allah.[19]
Inilah pengkultusan empiris yang paling berbahaya.
David Hume adalah
orang yang dijuluki “sebagai bapa ateisme semantis.”[20]
Semua pemikiran Hume dipengaruhi oleh prinsipnya yang dimana itu menjadi dasar
pemikirannya. Dia mendasarkan kepada prinsip verifikasi yang secara empiris.
Jadi sesuatu bisa dikatakan benar jikalau itu sudah melewati proses verifikasi
empiris yaitu melalui pemeriksaan yang secara langsung dengan melihat fakta-fakta.
Oleh karena dasar teorinya inilah maka Hume menyangkal Alkitab yang adalah
Firman Allah. Sebab menurutnya Alkitab itu tidak dapat diverifikasi secara
empiris. Alkitab baginya tidak masuk akal dan itu hanya omong kosong belaka.
Keekstriman David
Hume terhadap empiris oleh karena penekanan yang berat sebelah yang
mengakibatkan pengkultusan terhadap empiris yang menjadikan dia seorang yang
ateis dapat dilihat dari empat argumentasinya, seperti yang dilaporkan oleh Eta
yaitu:
1.
Sebuah hukum alam
mempunyai tingkat kemungkinan yang paling benar, karena didasarkan atas hal-hal
yang biasanya terjadi, yaitu yang diatur.
2.
Sebuah muzijat
mempunyai tingkat kemungkinan yang paling rendah, karena jarang terjadi.
3.
Seorang yang
bijaksana mendasarkan kepercayaan atas tingkat kemungkinan yang paling tinggi.
4.
seorang yang
bijaksana seharusnya tidak percaya bahwa muzijat Sebab itu apapun dapat
terjadi.”[21]
Jikalau demikaian, sejauh manakah pengalaman itu berperan di dalam iman
kepercayaan kristen? Dan dimanakah peranan pengalaman itu di dalam iman
kepercayaan Kristen? Sebenarnya pengalaman sangatlah dibutuhkan di dalam
kekristenan, oleh karena itu jikalau ada orang
yang mengaku sebagai seorang kristen, tetapi tidak mempunyai pengalaman
yang secara pribadi dengan Kristus, adalah “orang Kristen” yang hanya sebatas
namanya saja sebagai “orang kristen” tetapi bukan seorang kristen yang sungguh-sungguh, sebab
seorang kristen yang sejati adalah seorang yang dimana hidupnya di
tuntun oleh Kristus, dan penuntunan itu adalah merupakan
suatu pengalaman yang nyata secara pribadi bagi orang yang bersangkutan. Tetapi walaupun demikian, bukan
berari bahwa pengalaman adalah satu-satunya yang harus ditekankan di dalam
kekristenan.
Iman kepercayaan kita akan semakin teguh seiring dengan pengalaman kita
bersama dengan Kristus. Jadi kepercayaan atau iman harus mendahului pengalaman,
dan pengalaman merupakan suatu bukti bagi orang yang beriman, sehingga
pengalaman memberikan pertanggung jawaban tentang iman melalui kesaksian. Pengalaman
adalah buah dari seorang yang telah beriman. Dengan beriman, dia pasti akan
mendapatkan pengalaman-pengalaman riil setiap hari yang dapat menjelaskan keberadaan
Iman dan Allahnya. Jadi, pengalaman adalah buah dari keimanan seseorang, dan
dapat dipastkan bahwa semua yang telah beriman dan menjadi pengikut Kristus
akan mengalami kesaksian kehidupannya mengikuti Yesus Kristus.
Ada titik dimana iman
tidak dapat dijelaskan melalui pengalaman empiris. Ada saat dimana fakta
empiris tidak dapat juga menjelaskan pengalaman spiritual. Namun dua hal yang
selalu ada adalah iman itu berdampak dan dampak itu dapat dilihat sebagai suatu
pengalaman, sekalipun tidak selalu diterangkan secara empiris.
[2] John M.
Frame, Doktrin pengetahuan Tentang Allah Jilid 1, (Malang, Sekolah
Alkitab Asia Tenggara,1999),p.186
[7] Eta linnemann, Teologi Kontemporer (ilmu atau praduga), (Malang,
Institut Injil Indonesia,1991),p.33
[13]
John M. Frame,Op.Cit,p.185
[16] A
Yusuf L. Dan D Gahrel.A, Op. Cit, p.45
BAB IV
IMPLIKASI IMAN
KRISTEN ATAS ATHEISME
Bagaimanapun juga, pembahasan ini harus memiliki implikasi bagi
umat Kristen. Adalah suatu
kesia-siaan semata, laksana meninju angin, apabila upaya meneliti, membaca, dan
kemudian menulis ini tanpa implikasi.
A. Mampu
Mempertanggungjawabkan Iman Kristen
Sebenarnya percaya bukan hanya sebatas percaya, tetapi percaya itu harus diiringi
dengan kemampuan untuk mempertanggungjawabkan iman kepercayaan itu kepada
setiap orang yang meminta pertanggungjawaban akan iman kepercayaan itu. Yang
idealnya setiap orang percaya harus mampu mempertanggungjawabkan iman
kepercayaannya dimana pun dia berada, oleh karena itu setiap orang percaya sejatinya
adalah seorang apolog.
Oleh karena iman kepercayaan
itu harus bisa dipertanggungjawabkan, maka setiap orang yang percaya harus
mampu menyadari alasannya kenapa dia percaya dan orang percaya harus tau juga
kenapa dia percaya. Oleh karena itu dalam tahap ini pegertian ataupun rasio
harus mampu menyadarinya, oleh karena itu juga rasio merupakan hal yang sangat
penting di dalam iman kepercayaan. Karena iman kepercayaan kristen bukanlah
tahyul, cerita-cerita fiksi ataupun perdukunan, tetapi iman kristen adalah iman
yang rasional dan yang menjadi dasar dari pengharapa, Maka oleh karena itu rasio
harus mampu mempertanggung jawabkan iman serasional mungkin.
Tetapi rasio yang
mampu mempertanggungjawabkan atau memberi alasan kenapa manusia itu percaya
adalah rasio yang sudah dicerahkan oleh iman itu sendiri. Oleh karena itu iman
harus mendahului rasio. Jadi orang kristen adalah orang yang mampu
mempertanggung jawabkan iman kepercayaannya. Dalam hal ini Steven
Tong menjelaskan “Jikalau kita percaya tanpa memberikan pertanggungjawaban
atas apa yang kita percayai, apakan kepercayaan seperti ini merupakan
kepercayaan yang sesungguhnya?” Jadi kepercayaan itu adalah pertanggungjawaban.
Jikalau demikian,
dengan cara bagaimanakah supaya orang percaya itu sanggup untuk
mempertanggungjawabkan iman kepercayaannya? Ketika pertanyaan seperti di
atas muncul berarti harus membutuhkan suatu metode.
Metode memang penting, tetapi metode bukanlah satu-satunya, karena satu metode
tidak bisa dipakai mencadi patokan yang universal. Tetapi metode itu haruslah
kotekstual.
Sebagaimana yang
dikatakan oleh Penulis Jujun bahwa epistemologi itu adalah merupakan suatu
metode, maka pengetahuan tentang epistemologi yang benar yaitu yang sesui
dengan Firman Tuhan akan membawakan orang percaya kepada pemahaman yang benar
akan iman kepercayaan, sehingga mampu untuk mempertanggunjawabkannya. Oleh
karena itu epistemologi adalah metode yang paling dasar dalam
mempertanggungjawabkan iman kepercayaan.
Sebenarnya
epistemologi itu tidak bisa lepas dari teologi dan apologetika, karena belajar
epistemologi adalah belajar mempertanggungjawabkan iman kepercayaan, sebab
ketika seseorang belajar epistemologi kristen, maka dia akan menyadari alasan
kenapa dia harus percaya. Sebagai mana Paulus mengatakan dalam suratnya ke
Timotius:
“Itulah sebabnya aku menderita
semuanya ini, tetapi aku tidak malu; karena aku tahu kepada siapa aku percaya
dan aku yakin bahwa Dia berkuasa memeliharakan apa yang telah dipercayakan-Nya
kepadaku hingga pada hari Tuhan.” 2 Timotius 1:12
Orang
Kristen adalah orang yang menyadari kenapa dan kepada
siapa dia percaya.
Dan sebaliknya juga bahwa iman atau kepercayaanlah yang membawa orang kristen
kepada pengertian. Hal ini diperjelas lagi oleh penilus surat Ibrani. Iman
adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala
sesuatu yang tidak kita lihat. Sebab oleh imanlah telah diberikan kesaksian
kepada nenek moyang kita. Karena iman kita mengerti, bahwa alam semesta telah
dijadikan oleh firman Allah, sehingga apa yang kita lihat telah terjadi dari
apa yang tidak dapat kita lihat. Ibrani 11:1-3
Jadi pengetahuan
yang benar akan epistemologi Kristen akan menjadikan dirinya sanggup
mempertanggungjawabkan imannya di tengah-tengah perkembangan ilmu pengetahuan.
Ia tidak bodoh dan diam namun dapat menjelaskan kepada dunia siapa dan
bagaimana, dimana, kemana Kristen itu.
B. Mengiring
Semua pada Kerendahan Hati
Tuhan Yesus berfirman: “Pikullah kuk yang Kupasang
dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan
mendapat ketenangan”. Matius 11:29. Maka, Belajar tentang Allah adalah belajar tentang kerendahan
hati.
Karena
belajar tentang Allah (teologi) adalah belajar tentang kerendahan hati, maka belajar tentang Allah atau teologi itu adalah belajar
tentang epistemologi, berarti belajar
belajar tentang kerendahan hati. Jadi orang yang belajar epistemologi Kristen
yang benar adalah orang yang mempunyai kerendahan hati. Pengetahuan manusia
yang diperoleh dari “Pengetahuan” tentang pengetahuan, akan membawanya kepada pengetahuan yang sesunguhnya yaitu pengatahuan tentang Allah dan pengetahuan Allah
yang didasari dari iman.
Di dalam
pengetahuan akan Allah akan terdapat pengetahuan akan manusia. pengetahuan
manusia tentang Allah dan dirinya diperoleh karena pengetahuan Allah yang
dikaruniakan kepada manusia. dalam koteks seperti inilah manusia akan menyadari
bahwa sesungguhya adapun pengetahuan yang diperoleh manusia itu hanyalah oleh karena yang dikaruniakan oleh
Allah. Semakin banyak pengetahuan yang diperoleh maka akan semakin banyak lagi
pengetahuan yang belum diperoleh. Semakin manusia menganggap dirinya bisa namum sesungguhnya belum apa-apa yang
diketahuinya. “O,
alangkah dalamnya kekayaan, hikmat dan pengetahuan Allah! Sungguh tak
terselidiki keputusan-keputusan-Nya dan sungguh tak terselami jalan-jalan-Nya!” Roma 11:33. Inilah kerendahan hati yang sesungguhya di
dalam pengetahuan akan pengetahuan.
BAB V
KESIMPULAN
Kalau diulas kembali kajian di atas, ternyata epistemologi atau filsafat
pengetahuan itu sangatlah bermakna bagi kekristenan jikalau dapat diterapkan
secara seimbang. Tetapi sebagaimana yang telah dijelaskan di atas bahwa yang
menyebabkan para ahli-ahli epistemolog cenderung menjadi ateis adalah, karena
mereka memutlakkan yang tidak mutlak yang mengakibatkan terjadinya
pengkultusan. Sebagaimana kaum rasionalisme yang menyatakan bahwa “Saya hanya dapat memiliki kepastian hanya dengan
bergantung kepada pikiran murni saya”
Voltaire dan Diderot adalah seorang yang rasionalistik maka dari situ
muncullah istilah rasionalisme yang rasionalistik yang berarti “terlalu
mendewakan akal
budi dan hanya dapat menerima pernyataan-pernyataan yang kebenarannya dapat
dibuktikan secara ilmiah”. Hal seperti inilah yang diikuti oleh Spinoza yang
dalam pernyataannya yang lebih ekstrim yang dimana dia adalah seorang
rasionalisme ateis yang menyatakan bahwa semua kebenaran dapat diketahui dengan
cara matematis. Pendahulu dari Spinoza yaitu Thomas Hobbes yang adalah “bapak
rasionalisme materialis” yang menyatakan bahwa Alkitab tidak dapat memberikan
wahyu apapun. Dia melihat di dalam Alkitab banyak yang tidak masuk akal, baik
itu dengan menyatakan Allah Tritunggal, jadi kepercayaan kepada Alkitab
diibaratkan sebagai kepercayaan yang buta.
Penekanan yang berat sebelah itu bukan hanya terjadi di dalam paham
rasionalisme, tetap di dalam paham empirisisme juga. Hal ini sangat terlihat menonjol.
Tidak jauh beda dengan kaum rasionalisme, kaum empirisisme juga menyatkan,
bahwa “pengalaman inderawi adalah satu-satunya sumber dan penjamin kepastian
kebenaran pengetahuan.” Jadi bagi mereka tanpa pengalaman manusia tidak bisa memperoleh pengetahuan.
Oleh karena itu, maka para kaum empirisisme menyatakan bahwa pengalaman harus
ditekankan sebagai satu-satunya sumber dan penjamin kepastian kebenaran
pengetahuan. Penekanan yang lebih berbahaya lagi dari kaum epirisisme adalah
yang menyatakan bahwa, “manusia tidak bisa mengklaim bahwa dirinya dapat
mengetahui tentang Allah, sebab Allah dianggap tidak dapat dilihat atau kebal
terhadap ”prosedur pemeriksaan” empiris.” Oleh karena itu pegetahuan akan Allah
ditolak. Bahkan yang paling berbahaya adalah adanya anggapan para kaum
empirisisme yang menyatakan bahwa panca indera cukup untuk memberikan kepastian
yang walaupun tanpa Allah. Inilah pengkultusan empiris yang paling berbahaya.
Manusia adalah ciptaan yang paling mulia dan satu-satunya yang mempunyai rasio
dari segala ciptaan. Manusia dikatakan manusia, oleh karena manusia itu mempunyai
rasio, dan rasio yang dipunyai manusia itu adalah rasio yang mampu mengerti
akan kebenaran. Oleh karena rasio terbatas, maka kebenaran yang dimengerti
rasio pastilah terbatas. Ini bukan menunjukan bahwa kebenaran itu yang
terbatas, tetapi oleh karena rasio itulah yang terbatas. Oleh karena itu, dalam
posisi demikianlah rasio harus berada dibawah kebenaran, yaitu Kebenaran yang diimani.
Disini dapat terlihat bahwa iman tidak merusak rasio, dan rasio tidak
melampaui iman, tetapi iman mencerahkan rasio, sehinggan rasio dapat
mempertanggung jawabkan iman dengan secara rasional. Oleh karena itu iman harus
mendahului dan menjadi pondasi dari rasio. Rasio tidak bisa dimutlakkan karena rasio adalah rasio yang di cipta,
terbatas dan terpolusi oleh dosa. Oleh karena itu rasio harus bisa diposisikan
sebagaimana layaknya dia harus diposisikan, tidak lebih dari itu.
Demikian juga halnya dengan
pengalaman, bahwa pengalaman sangatlah dibutuhkan di dalam kekristenan, oleh
karena itu jikalau ada orang yang mengaku sebagai seorang kristen, tetapi tidak
mempunyai pengalaman yang secara pribadi dengan Kristus adalah “orang Kristen”
yang hanya sebatas namanya saja sebagai ”orang kristen” tetapi bukan seorang
kristen yang sungguh-sungguh, sebab seorang Kristen yang sejati adalah seorang yang dimana hidupnya
dituntun oleh Kristus, dan penuntunan itu adalah merupakan suatu pengalaman
yang nyata secara pribadi bagi orang yang bersangkutan.
Tetapi walaupun demikian, bukan berarti bahwa pengalaman adalah satu-satunya yang harus
ditekankan di dalam kekristenan. Iman kepercayaan itu akan semakin teguh
seiring dengan pengalaman bersama dengan Kristus. Jadi kepercayaan atau iman
harus mendahului pengalaman, dan pengalaman merupakan suatu bukti bagi orang
yang beriman, sehingga pengalaman memberikan pertanggung jawaban tentang iman
melalui kesaksian.
Jadi iman haruslah mendahului rasio dan pengalaman. Oleh karena itu
epistemologi Kristen adalah epistemologi yang menggunakan data dari akal budi
dan panca indera untuk memperoleh pengetahuan.
sebab baik akal budi maupun panca indera adalah ciptaan Tuhan dan
penting untuk sarana kebenaran. Akal budi dan panca indera yang adalah ciptaan
Tuhan, selayaknya kita pakai untuk
mempelajari dan mendengarkan Firman Allah serta merenungkannya.
Pengunaan akal budi dan pengalaman harus simbang juga terlihat di dalam
pemikiran Ronald yang menyatakan bahwa:
“semua pengetahuan manusia dihasilkan dari apa yang diperbuat oleh akal budi
terhadap ide-ide yang disediakan melalui indera-indera yang merupakan
bahan-bahan dasar pembangunan pengetahuan.” demikian juga Muzijat yang di
saksikan oleh para rasul disampaikan kepada kita melalui wahyu: “Memang masih banyak tanda lain yang dibuat Yesus di depan
mata murid-murid-Nya, yang tidak tercatat dalam kitab ini,tetapi semua yang
tercantum di sini telah dicatat, supaya kamu percaya, bahwa Yesuslah Mesias,
Anak Allah, dan supaya kamu oleh imanmu memperoleh hidup dalam nama-Nya”.
Yohanes 20:30-31.
Jadi yang idealnya setiap orang Kristen harus menundukkan pengalaman dan pikiran kepada
Tuhan dan tujuannya untuk kemuliaan Tuhan, maka epistemologi akan menjadi sesuatu yang bermakna, dan dapat
mendorong para filsuf dan teolog bahkan
semua yang belajar ilmu pengetahuan, “untuk mengerti kebenaran yang hakiki”
bagi semua pengetahuan manusia untuk
pelayanan.
Sedangkan kebenaran yang hakiki itu adalah Kristus, yaitu dimana oleh
karena Dia kita mampu dengan sedapat mungkin menyadari alasan kita untuk
mempercayai apa yang kita percayai dan untuk mempertanggung jawabkannya.
Bagaimanapun juga, Kristus melampaui segala hal termasuk iman dan pengalaman.
Kristus melingkupi apapun dan dimanapun sehingga dengan mengenal dan hidup didalam
Kristus, efistemologi menjadi suatu hal yang tunduk kepadaNya.