ABDI
SEJATI
Oleh: Joshua MS
Pria
muda itu berlutut, ah…bukan! Sebenarnya dia bersujud, tersungkur. Dia seolah
hanya punya tubuh lemah tak bertulang. Dengan kaki di tekuk hingga ujung lutut
menyentuh dagu, pria muda itu begitu khusuk. Tanpa gerakan. Hanya sesekali
bibirnya bergerak, mendesis. Kata-kata doa dan permohonan parau mengalun dari
tenggorokannya. Dia sedang bergumul dalam doa yang sangat sarat. Sarat dengan
beban yang tak terucap.
Hujan
semakin deras. Atap rumah sesekali bergetar seolah tak mampu menahan benturan
deras air hujan yang seperti tercurah dari langit. Kilat sambar menyambar.
Dalam hitungan detik aku dapat melihat lewat jendela gelap malam sekilas
terang. Aku merapatkan tubuh ke tembok. Aku mencoba untuk terus memetik
snar-snar gitar mengiringi irama sebuah lagu penyembahan. Sesaat aku berhenti.
Aku sungguh tak kuasa melawan desau hujan di luar. Suasana penyembahan khusuk
membuat irama alam menjadi lebih merdu dari petikan gitar. Aku juga makin
hanyut dalam penyembahan.
Aku
perlahan memetik lagi snar-snar gitar. Lagu penyembahan kembali mengalun
lembut. Suara-suara parau dari kerongkongan yang dingin mengalun. Tak terasa
kelompok kecil yang tidak sampai sepuluh orang makin hanyut dalam hadirat-Nya.
“JanjiMu
s’perti fajar pagi hari, yang tiada pernah terlambat bersinar. CintaMu s’perti
sungai yang mengalir, dan ‘ku tahu betapa dalam kasihMu…! Entah sudah berapa kali refrein
penyembahan ini di ulang-ulang. Yang aku dapat rasakan adalah kedamaian dan
ketenangan. Sukacita spiritual yang sangat dalam.
Pria
muda bernama Tri Bowo Raharjo itu perlahan mengangkat kepalanya. Dalam remang
bolham neon, aku dapat membaca garis-garis wajahnya. Dia masih sangat muda.
Tepatnya masih 33 tahun. Namun entah kenapa aku dapat merasakan satu energi
yang terpancar dari wajahnya. Seraut wajah khas Jawa yang polos tetapi
memancarkan karisma spiritual yang sangat dalam. Kharisma pengabdian yang sudah
menjadi barang langka di abad komputer ini. Pengabdian seorang laki-laki dengan
jenjang akademik Strata 2 yang lebih memilih mengabdi di dusun lereng Gunung
Lawu. Lereng Gunung Lawu yang miskin.
Jumantono
yang Prihatin
Pertengahan
November 2005. Sebuah pesan singkat masuk di inbox telepon genggamku.
Isi pesan SMS adalah undangan pelayanan khotbah. SMS itu dari seorang penginjil
muda yang aku kenal beberapa tahun silam dalam sebuah tur misi kepedalaman Jawa
Tengah. Mas Tri, begitu Ev. Tri Bowo Raharjo, S.Th, M.A, dipanggil. Dia seorang
penginjil yang bekerja penuh waktu pada sebuah badan misi untuk wilayah lereng
Gunung Lawu Karang Anyar Jawa Tengah. Dia mengundang aku untuk menyampaikan
khotbah Natal gabungan gereja-gereja Kristen sewilayah Kecamatan Jumantono.
Entah karena dorongan apa, undangan itu aku iyakan saja.
Tidak
ada yang istimewa dalam perayaan Natal bersama gereja-gereja Kristen sewilayah
Kecamatan Jumantono. Bahkan acaranya yang terkesan sangat monoton dan liturgis
karena harus mengakomodir semua denominasi gereja, membuat aku cepat jengah dan
kurang dapat menikmati kebaktian. Yang paling menekan, setelah aku menyampaikan
khotbah natal adalah giliran kata-kata sambutan dari undangan yang terhormat.
Bapak camat sebagai orang nomor satu di kecamatan juga turut menyampaikan kesan
dan pesan.
Tidak
seperti biasanya, aku mendapatkan kesan khusus dengan Pak Camat itu. Dia sangat
bersahaja dan mungkin terlalu sederhana untuk ukuran seorang camat. Namun yang
lebih mengejutkan hati adalah ketika beliau menyebutkan dalam sambutannya
jumlah persentasi rakyat miskin di Kecamatan Jumantono. Suatu angka yang sangat
mengiris hati.
“Maafkan
saya, saya tidak bisa mengikuti acara ini sampai selesai karena saya harus
segera memantau langsung penyaluran dana bantuan lansung kompensasi kenaikan
BBM di beberapa kelurahan kita. sekali lagi saya mengucapkan selamat Hari Natal
untuk umat Kristiani. Shaloom.” Koor Shaloom yang sangat antusias dari seluruh
jemaat menyambut salam hangat dari Pak Camat. Pemimpin yang bukan umat Kristen
ini memang di kenal oleh warga sebagai orang yang sangat nasionalis dan tidak
fanatik.
Terngiang
dalam hatiku ketika Pak Camat mengeluh dalam-dalam: “Jumantono ini daerah
miskin, kami perlu bantuan dari luar untuk meringankan beban ekonomi rakyat
yang terasa sangat berat.” Aku sungguh trenyuh mendengar tutur tulus dari
seorang pemimpin bersahaja itu. Sungguh jauh dari tradisi pemimpin yang
mengeruk kekayaan daerah untuk memperkaya diri sendiri. Ada terasa yang hilang
dari hatiku ketika mobil Carry tua milik Pak Camat meninggalkan halaman gereja. Bahkan undangan
Pak Camat agar aku singgah di kantornya sebelum pulang ke Jakarta terasa
seperti beban memukul-mukul ulu hati.
Jumantono
yang sebagian besar wilayahnya merupakan lereng Gunung Lawu memang termasuk
wilayah minus. Di samping kebanyakan lahan pertanian merupakan lahan miring,
daerah strategisnya tidak terlalu luas. Olehnya warga kebanyakan memilih
menjadi buruh ke kota-kota lain seperti Jakarta, Semarang, Surabaya, dan
kota-kota lain di sekitar Jawa. Sementara kaum perempuan kebanyakan memilih
pergi keluar negeri menjadi TKW.
Bagaimana pun juga tekanan ekonomi yang berat membuat mereka tidak dapat
mengandalkan hasil-hasil kebun dari lahan
tanah miring. Sungguh sebuah dilema sosial yang sangat membuat hati
miris.
SMS
Terakhir
Telepon
Genggam yang tergeletak di samping tempat tidurku bergetar 3 kali. Aku segera
paham itu pasti sebuah SMS. Setengah ngantuk aku membuka inbox message.
Mataku nanar mengeja kata-kata di layar telepon genggam. “Shalom, selamat malam
om! Maaf menggangu, mungkin ini SMS saya yang terakhir. Tolong doakan kami
karena kondisi keuangan kami sangat berat. Tidak ada lagi barang yang dapat
kami jual untuk memenuhi kebutuhan. Tinggal satu-satunya handphone. GBU.”
Beberapa
minggu sebelum membaca SMS Mas Tri, aku telah berbicara lewat telepon genggam
dengan dia. Mas Tri mengabari bahwa badan misi yang mengutus dan mendanai
pelayanannya selama ini sudah menghentikan bantuan. Mas Tri dengan istri dan
seorang anaknya kini hidup benar-benar dari kemurahan Tuhan semata-mata. Dia
mengatakan bahwa mereka sudah mulai menjual barang-barang yang bisa di jual
untuk sekedar memenuhi kebutuhan keluarga.
Mas
Tri berkisah bahwa beberapa kali ada tawaran untuk pindah dari dusun. Bahkan
beberapa rekan satu pelayananku menawarkan untuk pindah dan menjadi staff
gembala gereja besar di Jakarta. Namun Mas Tri tidak bergeming. Dia lebih
memilih untuk terus bergelut dalam pergumulannya di dusun sepi Banaran Sawor.
Bahkan ketika sang istri terkasih terkapar di meja operasi karena ganguan pada
kandungan, Mas Tri tetap menggotong istrinya pulang kembali ke dusun di lereng
Gunung Lawu pasca operasi. Sebuah panggilan pelayanan yang telah mematikan
semua pertimbangan logika menarik dia sedemikian kuat. Sebuah pengabdian yang
telah mematikan ambisi manusia modern yang haus harta dan jabatan seperti telah
mencengkeram jiwanya.
“Berkali-kali
pikiran saya bicara untuk lari dari panggilan. Meninggalkan dusun itu dan mulai
menata hidup keluarga yang lebih baik di kota. Tetapi jiwa saya terus menangis
dan meratap. Panggilan hati yang sangat kuat untuk menjangkau lebih banyak lagi
orang. Lebih jauh lagi ke pelosok lereng Gunung Lawu.” Mas Tri berkisah ketika
suatu kali aku mengundang dia untuk menginap di rumah kami. Kala itu Mas Tri
tengah melakukan kunjungan maraton dan menyampaikan proposal kepada beberapa
lembaga donasi di Jakarta. Namun sungguh prihatin, hingga saat SMS terakhir itu
dikirimkan, belum ada satu badan atau organisasi pun yang bersedia membantu.
Aku
dapat mengerti betapa galaunya Mas Tri. Barangkali keluhan Pak Camat tentang
wilayahnya yang kering dan miskin turut menyumbang keprihatinan pada kondisi
ekonomi Mas Tri. Dusun yang miskin dan prihatin. Dusun yang minus. Meski Mas
Tri telah rela menjadi buruh tani, tetap saja terasa tak berbeda banyak.
Sebuah
pertanyaan? Mengapa masih ada Mas Tri yang sanggup bertahan. Mengapa Mas Tri
yang bergelar Master Of Art menepis kenyamanan di kota dan memilih untuk
tetap bertahan. Entah sampai kapan. Atau sampai mereka akan kelaparan?
Kemudian, ah…aku sungguh tak dapat membayangkan. Pikiranku gamang dan hanya
dapat mengingat-ingat kalimat pengabdian yang menggetarkan dari Nabi Yeremia.
“Tetapi apabila aku berpikir:’Aku tidak mau mengingat Dia dan tidak mau
mengucapkan firman lagi demni nama-Nya’, maka dalam hatiku ada sesuatu yang
seperti api yang menyala-nyala, terkurung dalam tulang-tulangku; aku
berlelah-lelah untuk menahannya, tetapi aku tidak sanggup.” (Yeremia 20:9)
Aku
menarik nafas dalam-dalam untuk menentramkan jiwa yang gamang. Sebelum tidur di
kamar nyaman ber AC, aku mencoba menentramkan hati yang bergolak. Aku
mencoba mengerti dan melihat dari sudut pandang yang lebih realistis. Namun aku
susah untuk menarik sebuah kesimpulan. Sementara aku tidur di kamar yang sejuk
dan nyaman, ada seorang Mas Tri tengah memeluk lututnya dalam doa dan
penyembahan yang larut. Masihkah aku dapat menyatakan: “Tenanglah kau wahai
jiwaku?”
Yang
jelas hanya satu. Sama seperti nabi Yeremia mengalami pergolakan yang hebat
dalam pelayanannya di tengah-tengah umat yang bebal dan tegar tengkuk,
demikianlah Mas Tri. Memang beban ke dua abdi Allah ini berbeda, namun jeritan
jiwanya hampir sama. Mas Tri hanya seorang laki-laki yang telah terjerat dalam
panggilan yang kuat. Tidak ada lagi pilihan selain menyerahkan hatinya untuk
tidak pernah menyangkal panggilannya seperti sekian banyak pelayan-pelayan
Tuhan kota yang memeluk erat-erat dogma kemakmuran. Sekalipun suatu kali Mas
Tri harus tergeletak tak berdaya, namun jiwa pengabdiannya telah menjadi
seperti api yang menyala-nyala. Api yang tak terpadamkan. Api pengabdian untuk
selalu dan selamanya. Api pengabdian yang sejati. Abdi Sejati.
Jumantono,
24 January 2006
Penulis:
Pdt.
Joshua Mangiring Sinaga, S.Th
Pendiri
& Pembina Yayasan Hati Nurani