Minggu, 11 September 2016

KRITIK TERHADAP PEMIKIRAN ATHEISME (Suatu Pendekatan Efistemologi)



KRITIK TERHADAP PEMIKIRAN ATHEISME
(Suatu Pendekatan Efistemologi)
 Oleh: Pdt. Joshua Mangiring Sinaga, S.Th, M.Th, M.Pd.K




BAB    I
PENDAHULUAN

Epistemologi atau filsafat pengetahuan adalah salah satu cabang filsafat yang membidangi atau yang memfokuskan penelitian kepada hakikat dari pengetahuan. Yang menjadi objek materi dari filsafat ilmu pengetahuan adalah ilmu pengetahuan itu sendiri, sebab dari ilmu pengetahuan itu sendirilah akan muncul  pengetahuan.  Tetapi walaupun demikian tidak selamanya ilmu pengetahuan itu menjadi suatu pengetahuan yang baik, bermakna, yang bisa dipertanggung jawabkan untuk kesejahteraan umat manusia. Memang segala sesuatu yang ”diketahui  dan yang  “tidak diketahu”  adalah  merupakan  “pengetahuan”. Tetapi yang pasti adalah bahwa di dalam ilmu pengetahuan terkandung pengetahuan. Mencari  hal-hal yang demikianlah yang menjadi tugas dari epistemologi.
Pada umumnya setiap manusia ingin memperoleh dan ingin mengetahui yang namanya pengetahuan, baik itu  pengetahuan harian (pengetahuan yang tidak ilmiah atau pengetahuan yang bersifat kebetulan dan subyektif) maupun pengetahuan yang bersifat ilmiah (pengetahuan yang obyektif koheran, dengan cara metodis, sistematis dan kritis)[1]. Tetapi seiring dengan kemajuan zaman,  maka seakan-akan pengetahuan harian ditinggalkan karena dianggap usang dan tidak bermakna bagi kemajuan ilmu pengetahuan. Masalah-masalah atau problema yang menjadi pembahasan di dalam  epistemologi adalah aliran-aliran yang berat sebelah, yang dalam arti sangat menekankan satu aliran atau paham tertentu.
            Oleh karena epistemologi adalah filsafat pengetahuan yang mencari hakikat dari pengetahuan itu sendiri,  maka cenderung beberapa aliran  di dalam berepistemologi dengan cara yang salah, yaitu  dengan memutlakkan yang tidak mutlak, dan memprioritaskan yang tidak layak menjadi prioritas. Ketika ada orang yang memprioritaskan yang tidak mutlak, maka tanpa  disadari dia telah menurunkan Allah dari tahta-Nya (sekalipun Allah tidak bisa diturunkan dari tahta-Nya) dan dia menjadi allah atas dirinya sendiri. Dan pada posisi seperti inilah seseorang itu menjadi seorang ateis.
Amsal 1:7 menyatakan ; Takut akan TUHAN adalah permulaan pengetahuan, tetapi orang bodoh menghina hikmat dan didikan.  Jadi dapat simpulkan dari nats Alkitab tersebut bahwa tidak akan ada pengetahuan yang benar-benar pengetahuan yang dapat bermakna jikalau tidak didasari dari takut akan Tuhan. jadi yang menjadi prioritas dan mutlak adalah takut akan Allah . Adapun pengetahuan yang dinamakan pengetahuan yang tidak didasari dari takut akan Allah adalah pengetahuan yang bodoh. Jikalau pengetahuan itu adalah pengetahuan yang bodoh, berarti pengetahuan yang demikian tidak akan pernah membawa kesejahteraan bagi manusia. Kenapa pengetahuan itu menjadi pengetahuan yang dapat mensejahterakan manusia?  Tentunya karena diawali dari takut akan Tuhan.
 Memang teologi adalah ilmu pengetahuan, tetapi ilmu  pengetahuan yang berawal dari Tuhan dan terarah kepada Tuhan, yang dalam arti subyek dan obyek dari Teologi adalah Tuhan itu sendiri. Seseorang dapat mengetahui  pengetahuan akan Allah, oleh karena Dia yang memberikan pengetahuan itu. Dan pada intinya semua ilmu pengetahuan haruslah bersifat demikian.

A.      PENGERTIAN ETIMOLOGI

1.      KRITIK,

Menurut W.J.S Poerwadarminta berarti: 1. Genting; kemelut, sangat berbahaya (tentang keadaan) [2]. Jadi apabila memerlukan suatu kritik, itu berhubungan dengan suatu keadaan kritis yang memerlukan penanganan segera. Itu berhubungan dengan suatu keadaan yang genting dan menjadi kemelut serta membahayakan. Dalam hal ini, atheisme dilihat sebagai suatu fenomena yang membutuhkan kritik karena dampaknya yang membahayakan terhadap iman Kristen.

2.      EPISTEMOLOGI

Kata epistemologi berasal dari bahasa Yunani yaitu episteme = pengetahuan dan logos = pemikiran, pengetahuan.  Menurut kamus teologi oleh Gerald dan Edward menyatakan bahwa epistemologi merupaka ”cabang filsafat yang menyelidiki pengetahuan manusia; hakikat, sumbernya, kriterianya, kemungkinan-kemungkinan, serta keterbatasan-keterbatasannya”. [3]
Sedangkan kamus bahasa Indonesia menjelaskannya sebagai berikut; “cabang ilmu filsafat tentang dasar-dasar dan batas-batas pengetahuan”. [4] Jikalau kita lihat, lebih jelas lagi defenisi yang dijelaskan oleh Yusuf dan Donni. Dia menjelaskan  hakikat dari pengetahuan dari empat segi untuk memperoleh hakikat dari pengetahuan tersebut.‘”cabang filsafat yang mengkaji hakikat dari pengetahuan dari empat segi yaitu; sumber pengetahuan, batas pengetahuan, struktur pengetahuan, dan keabsahan pengetahuan”. [5].
Mengacu dari berbagai defenisi di atas, maka dapat kita defenisikan bahwa epistemologi adalah filsafat pengetahuan tentang pengetahuan, yaitu yang mencari hakikat dari pengetahuan, baik itu metodenya, ruang lingkupnya dan manfaatnya bagi pengetahuan, dan terutama bagi Manusia.

3.      ATHEISME

Menurut kamus teologi, bahwa ateis adalah penolakan akan adanya Allah, dalam teori maupun dalam praktik[6]. Sedangkan atheisme adalah paham yang secara praktis dan teoritis menolak keberadaan Allah. Menurut kamus besar bahasa Indonesia, atheis adalah sebagai “orang yang tidak percaya akan adanya Tuhan atau orang yang tidak mengambil bagian dalam upacara agama”[7].
Kata ateis berasal dari bahasa Yunani yaitu; a = bukan atau tidak dan Theos = Allah. Jadi jelaslah apa yang dikatakan di dalam kamus diatas jikalau ditinjau dari yang di defenisikan oleh Laehy dalam hal hubungannya denga ateis teoritis dan ateis praktis. “Ateis ialah pengingkaran akan Allah. Seorang ateis praktis meskipun yakin bahwa Allah itu ada, hidup seolah-olah Allah tidak Ada: cara hidupnya itulah yang merupakan pengingkaran akan Allah. Seorang ateis teoritis percaya bahwa Allah tidak ada: ia menyangkal Allah dengan akal budinya; ia menetapkan bahwa Allah tidak ada[8]
Memang jikalau diselidiki dengan secara seksama, pada hakikatnya tidak ada manusia yang tidak mengakui akan keberadaan Allah yang exsis secara teoritis. Sebab sejarah telah mencatat akan penyembahan setiap etnis atau suku bangsa kepada sesuatu yang dianggap oknum atau pribadi yang berkuasa. Dan lebih lagi jika dilihat dari tuntutan hati nurani dan dinamika akal budi serta pengalaman beragama, akan pertanggung jawaban hidup[9]


[1]  Niko  Syukur, Pengantar  Teologi,(Jakarta, BPK/Kanasius,1994),p,18-23
[2]  W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1996
[3] Gerald O,C  dan. Edward G, F, Kamus Teologi,(Kanasius,Yokyakarta,2000),p,71
[4] Pembina dan Pengembangan Bahasa,Op Cit, p,268
[5] Donny ,G,A, dan, A,Yusu, f,L, Pengantar  Filsafat  Ilmu Pengetahuan , (Depok,Koekosen,2011),p,4.
[6] Gerald  O, Collins dan Edward Op.Cit, p,35.
[7] Pembina dan Pengembangan Bahasa,Op, Cit, p,64.
[8] Louis Laehy,Filsafat keTuhanan Kontemporer, (Jakarta,BPK/Kanasisu, 1993),p,297-298
[9] Nico Syukur. Op. Cit,p, 19,82,136


BAB    II
TINJAUAN UMUM EPISTEMOLOGI

A.                Tokoh-tokoh Dalam Aliran Epistemologi
Di dalam bab ini akan diperkenalkan aliran dan tokoh-tokoh dalam epistemologi  serta pandangannya. Sebelum pandangannya terhadap epistemologi dijelaskan maka terlebih dahulu akan dijelaskan latar  belakang dan sejarah singkat hidup dari setiap tokoh

1.                  RASIONLAISME
Pada hakikatnya aliran rasionalisme sangat menekankan keunggulan dan kemutlakan rasio. Tetapi walaupun demikian dari penganut paham rasionalisme terdapat perbedaan yang sangat menonjol di dalam memaparkan sistem-sistem pendekatan mereka. Diantara penganut paham itu adalah sebagai berikut:

a.        Rene Descartes
            Rene Descartes (1596-1650) lahir pada 31 Maret 1598 di La Haye Totiraine didaerah yang kecil di Prancis tengah. Dia adalah anak  ketiga dari Joachim Descartes, seorang anggota parlemen Bretagene, dan juga seorang pengacara dan hakim. Descartes dijuluki sebagai “Bapa filsafat modern”, oleh karena pemikirannya yang cemerlang yang membawa pembaharuan mulai dari abad yang ke 15 yaitu abad pencerahan (renaissance) hingga ke jaman sekarang, yaitu abad yang ke 21  dimana di zaman modern ini konsep pemikirannya masih mempunyai pengaruh yang sangat kuat. Filsafat Descartes dipengaruhi oleh ilmu metematika, fisika, dan astronomi.[1]      Menurutnya, adapun kebenaran yang harus dipandang sebagai kebenaran yang benar adalah apa yang jelas dan terpilah-pilah (clear and distincly). Adapun yang jelas dan terpilah-pilah itu adalah, bahwa gagasan-gagasan atau ide-ide yang satu harus dipisah dengan gagasan-gagasan atau ide-ide yang lain. Oleh karena itu, menurutnya semua ilmu pengetahuan harus mengikuti jejak ilmu pasti, dan ilmu pastilah yang harus menjadi contoh bagi semua ilmu. Tetapi walaupun demikian bukan berarti bahwa  ilmu pasti itu menjadi metode yang sebenarnya bagi ilmu pengetahuan.
            Namun ilmu pasti adalah ilmu yang cocok menjadi metode ilmu ilmiah. Menurutnya bahwa filsafat tradisional yang diwariskan oleh Plato dan Aristoteles adalah filsafat gabungan antara yang masuk akal dengan yang tidak masuk akal yang disebabkan oleh karena gabungan dari yang tidak pasti dengan yang pasti. Descartes juga menolak filsafat klasik kuno dari Socrates dengaan metode diskusi atau dialog dari berbagai orang yang diprakarsai oleh Socrates. Menurutnya kesatuan seluruh ilmu harus digarap dan dikonsepsikan oleh satu orang dengan satu metode. Jika tidak demikian maka ilmu itu akan kacau.[2]
            Descartes menyatakan, bahwa kebenaran itu memang ada dan bisa dikenal dan ditemukan. Bagaimanakah cara mengenal dan menemukan kebenaran itu? Dia menjelaskan, bahwa  kebenaran bisa ditemukan jikalau seseorang membebaskan jiwanya dari apa yang diketahuinya dari semula, dan menutup jalan dari luar ke dalam, tetapi memulai lagi dengan jalan dari dalam keluar.[3] Menurut Descartes seperti inilah yang dinamakan ilmu pasti. Ini menandakan bahwa kebenaran itu harus didasari dari diri tanpa dipengaruhi dan intervensi dari luar diri. Ini sangat erat dengan pandangan eksistensialisme, bahwa jika memandaang segala sesuatu berpangkal dari eksistensi, yang titik sentralnya adalah manusia.[4] Dari sini dapat  dilihat bagaimana rasio manusia itu diutamakan.
            Descartes mengatakan segala sesuatu harus diragukan. Bahkan sekalipun pengetahuan yang telah ada sebelumya harus diragukan. Karena menurutnya mungkin saja pengetahuan itu adalah hasil khayalak atau tipu daya roh jahat, bahkan apa yang dianggap benar dan pasti juga harus diraguukan, baik itu ilmu pasti, (menurutnya hitungan dan ukuran memberi kepastian, juga terdapat di dalam impian) pengetahuan tentang Allah dan tentang adanya tubuh. Bahkan pada suatu saat Descartes pernah meragukaan keberadaan  dirinya yang ada didekat tungku perapian sedang berpikir dan memakai baju putih. Sebab pada waktu yang lalu dia pernah bermimpi sedang duduk dekat tungku perapian sedang berpikir dan memakai baju putih, padahal kenyataannya dia sedang bermimpi.[5]
            Maka oleh karena itu, dia berusaha untuk mencari kebenaran dari pengetahuan yang memiliki kepastian yang tidak dapat diragukan, sehingga dia berkata: kalau saya ragu-ragu, saya berpikir dan kalau saya berpikir pasti saya ada (cogito ergo sum).[6] Inilah aksioma dari Descartes. Segala sesuatu bisa diraguukan, tetapi cuman satu kenyataan yang tida bisa diragukan yaitu bahwa faktanya saya sedang ragu-ragu. Dan salah satunya fakta bawa dia sedang ragu-ragu dan berpikir, itu berarti dia harus ada.[7] Dengan itu keluarlah proposisi Descrates yang menyatakan: saya ragu-ragu atau saya berpikir, dan oleh karena aku berpikir maka aku ada.     Cogito argo sum inilah yang dimaksudkan oleh Descartes dengan  kebenaran, apa yang benar, apa yang jelas dan terpilah-pilah. Sebab cogito (aku berpikir) adalah pasti, cogito adalah jelas dan terpilah-pilah.

b.   Baruch Spinoza
Barukh Spinoza (1632-1677) adalah anak dari orang Yahudi yang lahir di Amsterdam, Belanda, dan ayahnya sorang pedagang yang kaya. Di dalam kehidupannya, dia tidak hanya belajar matematika dan ilmu alam, dia juga mempelajari berbagai bahasa, diantaranya: bahsa Latin, Yunani, Belanda, Spanyol, Prancis,Yahudi, Jerman, dan Italia. Tetapi pada usia yang 18 tahun Spinoza membuat marah bangsanya (kaum Yahudi) karena dia meragukan Kitab Suci yang adalah Firman Tuhan yang diwahyukan oleh Allah. Dalam keadan yang telah dikucilkan, membuat dirinya harus mandiri untuk mencukupi semua kebutuhan hidupnya. Dan akhirnya pada tahun 1677 tanggal 21 Februari dia meninggal, pada usia yang ke 44 tahun, oleh karena penyakit TBC yang telah lama dia deritanya.
Sebagai mana Descartes, demikian juga Spinoza, bahwa pemikirannya dipengaruhi oleh  ilmu pasti geometri. Sebagaimanaa yang dipandang Descartes bahwa pikiran dan realita eksternal adalah satu. Tentang  hakikat, Spinoza mengatakan bahwa harus ada keharmonisan dan keberaturan yang dalam arti bahwa suatu hukum hanya akan benar jikalau seirama dan harmonis dengan sistem keteraturan yang meliputi seluruh realitas eksternal. Spinoza membagi pengetahuan kedalam tiga tarap diantaranya: 1.Tarap persepsi atau imajinasi. 2. Tarap refleksi yang mengarah pada prinsip-prinsip dan. 3. Tarap intuisi dan rsional.
Menurutnya pengetahuan memang didapatkan dari pengamatan inderawi. Tetapi di dalam pengamatan inderawi ini tidak bisa ditentukan yang mana atau apa yang subyektif dan apa yang obyektif. Sebab jikalau dianganggap bahwa kesan-kesan subyektif sebaagai kebenaran, maka hal itu akan mengakibatkan  gambaran-gambaran yang kacau di dalam imajinasi. Segala pengetahuan dimulai dengan gambaran-gambaran inderawi.[8] Tetapi gaambaran-gambaran yang didapat dari pengalaman inderawi itu tidak akan jelas dan pasti, jikalau tidak sampai kepada tahap yang paling tinggi yaitu tahap pengetahuan rasional dan intuitif. Dalam hal ini kita masih bisa melihat bahwa Spinoza masih memberikan ruang  (masih mengakui peranan empiris di dalam proses dalam pembentukan hakikat pengetahuan) kepada pengalaman. Dia mengatakan bahwa di dalam pengetahuan rasional seseorang hanya mendapatkan dan mengambil kesimpulan-kesimpilan.
Tetapi di dalaam pengetahuan intuitif seseorang itu mempunyai ide-ide tentang Allah. Jikalau Descartes menyatakan bahwa yang dinamakan yang benar adalah apa yang jelas dan terpilah-pilah adalah Allah. Demikian juga bagi Spinoza yang  dikatakan kebenaran yang jelas dan terpilah-pillah adalah yang terdapat di dalalm jiwa manusia yaitu idea-idea Allah. Idea-idea itu tidak ada di luar dirinya, tetapi berada di dalam dirinya secara sempurna yang menjadi jaminan kepastian (inilah yang dimaksudkannya dengan substansi). Jikalau tidak demikian akan menjadi suatu campuran yang tidak jelas. Sebab idea-idea yang di luar dan di dalam adalah sama dalam realitanya, karean itu sifatnya adalah jelas dan terpilah-pilah.
Descartes mencari hakikat pengetahuan dengan menemukan dasar akhir kesimpulan pada keragu-raguan, maka Spinoza menemukannya dengan satu kesimpulan pada satu substansi. Oleh karena menurutnya hanya ada satu substansi tunggal yaitu substansi yang mandiri dan juga terisolasi dari kenyataan-kenyataan lain. Maka tuhan itu adalah alam dan alam itu adalah tuhan, yang dalam arti bahwa tuhan dan alam adalah kenyataan yang tunggal sebap tuhan dan alam adalah keluasan yang terpisah dari kenyataan-kenyataan lain dan terpisah.
Karena menurut Spinoza bahwa pengertia substansi adalah yang ada pada dirinya sendiri dan dipahami melalui dirinya sendiri. Maka tuhan dan alam adalah yang ada pada dirinya sendiri dan dipahami melalui dirinya sendiri. Substansi itu tidak berelasi dengan yang lain dan tidak disebapkan oleh sesuatu yang lain. Dalam hal ini Spinoza digolongkan sebagai penganut paham panteisme (yang mennyatakan bahwa pada dasarnya realita adalah satu, bahwa alam dan Allah adalah identik dan satu adanya. Alam semesta ini adalah perluasan dari esensi Allah dan bukan ciptaan Allah).[9]

c.         Blaise Pascal
Blaise Pascal lahir pada tanggal 19 juni 1623 di Clermont-Feerand, Prancis. Anak dari Etienne Pascal seorang penasehat kerajaan dan petugas penarik pajak yang kemudian diangkat sebagai presiden organisasi the courtof aids  dikota Clermont. Ibunya wafat saat dia berusia kira-kita 3-4 tahun, ibunya meninggalkan dia dan dua saudaranya perempuan yaitu; Gilberte dan Jacqueline. Pada tahun 1631 keluarganya pindah ke Paris. Memang sejak kecil Pascal telah menunjukkan bakatnya sebagai ahli matematika yang disegani, pakar dalam ilmuan, pakar dalam bahasa Prancis serta dikenal sebagai filsuf besar yamg relijius.
Pada usia 12 tahun ayahnya telah terbiasa mengajaknya untuk menghadiri perkumpulan-perkumpulan diskusi matematik. Dari kebiasaan itu Pascal menjadi mempunyai ketertarikan dalam ilmu metematika, bahkan dia sudah bisa menemukan bentuk dan rumusan geometri dan standarnya, yang dimana nama rumusan itu dia buat dengan namanya sendiri. Oleh karena mereka adalah keluarga yang mempunya perekonomian yang baik, maka setelah anyahnya meninggal, Pascal pun berpoya-poya menikmati kehidupan duniawinya dengan warisan yang ditinggakan oleh ayahnya bersama dengan teman-temannya dari kalangan bangsawan. Dan pada tanggal 9 Agustus 1662 pada usia yang ke 36 tahun, Pascal meninggal dunia yang dimana penyebab kematiannya tidak diketahui.
Sebagai mana para filsuf rasionalisme, demikian juga halnya dengan Pascal, yaitu konsep  filsafat mereka  yang dilatar belakangi dengan pendidikan dan pengetahuan tentang ilmu pasti dan ilmu alam. Kalau dilihat dari beberpa laporan dari penulis buku yang mempelajari pemikiran Pascal, tidak ada pemikirannya yang menonjol tentang epistemologi. Konsep pemikirannya dan hasil karyanya banyak terlihat di dalam ilmu metematika, rumus-rumusan ilmu hitung dan pembuatan mesin hitung.
Memang kita tidak melihat di dalam pemikira Pascal konsep empirisme. Pada dasarnya  dia adalah penganut paham rasionalisme. Tetapi walaupun demikian dia tidak seperti rekan-rekannya  (para penganut paham  rasionalisme)  yang menitik beratkan  bahkan memutlakkan rasio. Menurutnya masih ada yang mengatasi rasio yaitu hati. Akal atau rasio memang dapat  menberi pengetahuan kepada kita tentang rahasia realitas hidup ini. Oleh karena itu Pascal menyatakan bahwa akal atau rasio tidak dapat merumuskannya dengan dan dalam pengertian-pengertian yang memadai. Karena menurutnya di dalam manusia ada dua yang selalu bertentangan yaitu tubuh dan jiwa, oleh karena itu manusia ada di dalam suatu ketegangan. Dan ketegangan ini selalu menuntut suatu keputusan yang menentukan.[10]
Yang menjadi rumit adalah bahwa ketegangan tidak lepas dari suatu keputusan. Oleh karena  itu keputusan tidak bisa hanya diambil oleh rasio tetapi juga hati yang  justru sangat mengambil peran. Pascal mengatakan bahwa hati letaknya lebih dalam dari pada akal atau pikiran. Karena di dalam hati manusia diperhadapkan dengan Allah. Jadi keputusa-keputusan yang meniadakan ketegangan adalah keputusan yang selalu melibatkan Allah. Dia mengatakan bahwa  manusia didunia ini bukanlah apa-apa, tetapi di dalam jagat raya ini bahwa manusia adalah satu-satunya mahluk yang berpikir, oleh karena itu hanya manusia yang dapat bekomunikasi dengsa Allah.

2.        EMPIRISME
Sebagaimana para penganut paham rasionalisme yang mengatakan bahwa sumber pengetahuan yang mencakup dan yang dapat dipercayai adalah rasio. Demikian juga halnya dengan para pengenut paham empirisisme yang mengklaim bahwa pengalamanlah yang  menjadi sumber pengetahuan, yaitu pengalaman inderawi.[11]
Walaupun demikiaan ada perbedaan yang cukup menonjol dari para penganut paham empirisisme di dalam menjelaskan kemutlakan pengalaman untuk mendapatkan pengetahuan. Dalam hal ini ada kaum empirisisme yang terlalu ekstrim, sehingga rasio tidak mempunyai peranan untuk mendapatkan pengetahuan. Mereka meyatakan bahwa; “pengalaman indarawi adalah satu-satunya sumber dan penjamin kepastian kebenaran pengetahuan.”[12] oleh karena sumber pengetahuan adalah pengalaman, maka mereka memakai metode pengamatan induktif.  Tetapi ada juga yang memberikan ruang kepada rasio dalam proses untuk mendapatkan pengetahuan. Dalam hal ini Ronald menyatakan “bahwa sebahagian pengetahuan manusia tidak dihasilkan dari pengalaman yang masuk akal”.[13] Dibawah ini akan dijelaskan tokoh-tokoh empirisisme yang cukup menonjol.

a.        John Locke
John Locke adalah anak seorang pemilik tanah dan pengacara disebuah kota kecil yang bernama John locke juga.[14] Ibunya yang berama, Agnes Keene.  Locke lahir pada tanggal 29 Agustus 1632 disebua pondok kecil beratap jereami di gereja Wrington. Pada tahun 1647 John Locke dikirim ke sekolah yang bergengsi di London, yang disponsori oleh Alexander Popham. Sekolah ternaama tersebut berada di dalam kejayaannya yang dimana di zaman John Owen yang menjadi dekan perguruan tinggi tersebut yang menjabat sebagai wakil rektor. Kesehatan Locke makin menurun dalam tahun-tahun terakhir kehidupannya dan ia menderita penyakit asma. Ia meninggal tanggal 28 Oktober 1704 dan dikuburkan di High Laver.
John Locke mendasarkan teorinya  mulai dari pengenalan, yaitu pengenalan tentang suatu gagasan atau ide-ide. Dia mengatakan bahwa, yang menjadi sasaran pengenalan adalah gagasan-gagasaan atau ide-ide semata-mata. Dari manakah manusia mendapatkan pengenalan suatu gagasan itu? John Locke mengatakan manusia mendapatkan pengenalan suatu gagasan-gagasan tidak lain dari pengalaman (empiris). Manusia sebagai subyek yang mengenal gagasan-gagasan mendapatkan suatu kesan-kesan.[15]
Locke membedakan gagasan-gagasan tunggal dan gagasan majemuk. Dia menjelaskan lebih lanjut, bahwa gagasan-gagasan tunggal yang secara langsung mendatangi manusia melalui pengalaman, tanpa pengolahan logis apapun. Sedangkan pengelaman majemuk timbul dari percampuran atau penggabungan dari gagasan-gagasan tunggal. Ada gagasan-gagasan yang timbul secara bersama, tetapi itu harus dianggap sebagai gagasan-gagasan yang sama yang berdiri sendiri, yang juga disebut sebagai substansi. [16]
John Loske menolak gagasan para penganut aliran rasionalisme yang menyatakan bahwa, sejak lahir pikiran manusia telah berisi beberapa gagasan-gagasan yang mendasari dan terbukti sendiri. Sebaliknya dia mengatakan bahwa pikiran manusia bagaikan suatu blangko kosong atau kertas putih yang menerima kesan  dari luar (tabula rasa).[17]
Untuk menjelaskan hal ini Locke membuat suatu pertanyaan retorik seperti yang dijelaskan oleh Colin: jika kita mengatakan pikiran bagaikan kertas putih bersih dari segala tulisan tanpa ide atau pikiran apapun. Kalau begitu, bagaimanakah itu terisi? Darimanakah datangnya simpanan yang sangat banyak yang berfariasi itu? Dari manakah pikiran itu mempunyai segala bahan pikiran dan  pengetahuan? Dalam hal ini, dengan gamblang Locke menjawap hanya denga satu perkataan yaitu; pengalaman. Di dalam pengalaman pengetahuan kita dibentuk dan dari pengalaman juga pikiran memperoleh bentuknya sendiri.[18] Locke membedakan pengalaman lahiriah dan pengalaman batiniah. Tetapi pengalaman itu saling jalin-menjalin, yang dalam arti bahwa pengalaman lahiriah menghasilkan gajala-gejala psikis dan harus ditangkap oleh pengalaman batiniah.
Karena ide-ide atau gagasan-gagasan itu tidak satu, dan harus ada hubungannya antara ide-ide yang satu dengan ide-ide yang lain, baik dalam bentuk kenyataan, identitas dan ada bersama-sama (koeksistensi). Jadi untuk menghubungkan ide yang satu denga ide yang lain harus ada keputusan. Jikalau berbicara keputusan, ada keputusan yang benar dan ada juga keputusan yang salah. Keputusan gagasan-gagasan yang benar adalah keputusan yang hanya mengenai pengetahuan. Sepeti pengetahuan ilmu pasti dan etika. Jadi kesimpulannya adalah keputusan yang benar diperoleh karena pengenalan akan intuitif.[19]

b.      Thomas Hobes
Thomas Hobes dilahirkan di Malmesbury, disebuah kota kecil Inggris.  Ia dilahirkan pada tanggal 15 April 1588. Ayahnya  adalah seorang pendeta di Westport. Hobes lahir pada masa peperangan yang paling ganas, dimana peperangan antara Inggris dan Spanyol. Pada tahun 1646, Hobes diminta untuk menjadi pengajar matematika bagi Pangeran Charles II, anak dari Raja Charles I. Hobes meninggal pada tanggal 4 Desember 1679 Ia mengidap sakit serius sejak bulan Oktober dan seminggu sebelum meninggal ia terkena stroke. Hobes dimakamkan di Hault Hukcnall, dekat Hardwick Hall
Pemikiran Hobes berakar dari empiris. Empirisisme menyatakan bahwa pengalaman adalah akar dari pengetahuan. menurut Hobes bahwa filsafat adalah suatu ilmu pegetahuan tentang efek-efek atau akibat-akibat dari beberapa fakta yang dapat diamati. Segala yang “ada’ ditentukkan oleh sebap tertentu, yang mengikuti hukum  ilmu pasti dan ilmu alam. Menurutnya yang nyata adalah apa yang dapat yang diamati oleh indera manusia, dan sama sekali tidak tergantung kepada rasio manusia, apa yang dinyatakan yang benar adalah apa yang didapat inderawi.[20] Konsep pemikiran Hobes adalah gabungan dari empirisisme dan rasionalisme matematis. Rasionalime matematis yang dimaksud oleh Hobes adalah rasionalisme dalam ilmu alam yaitu hukum sebab-akibat.
Bagi Hobes pengenalan adalah pengetahuan, Dan pengetahuan itu diperoleh dari pengalaman. Awal dari segala pengetahauan adalah pengalaman, dan pengalaman itu membentuk asa-asas pengetahuan. Jadi yang dapat menjadi jalan kepastian adalah pengalaman. Rasio atau akal memang mempunyai peranan, tetapi peranannya hanya di dalam mekanisme semata-mata yang dalam arti rasio hanya mengolah untuk dapat disampaikan dengan kata-kata. Hobes mengartikan pengalaman sebagai keseluruhan atau totalitass segala pengamatan, yang disimpan di dalam ingatan dan digabungkan dengan satu pengharapan akan masa depan, sesuai apa yang telah diamati padamasa lampau. Memang kualitas ada di dalam obyek. Tetapi itu harus disesuaikan dengan penginderaan yang bergerak menekan indera. contohnya: bentuk benda yang dilihat, suara musik yang didengar, bentuk dan suara itu tidak ada di dalam obyek  atau di dalam dirinya, tetapi ada di dalam subyek, yaitu di dalam yang mendengar dan melihat.
Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa pengenalan akal adalah pengenalan yang hanya berfungsi sebagai mekanis. Sebab pengenalan dengan akal dimulai denga kata-kata yang menunjuk kepada tanda-tanda tertentu yang sebenarnya yang sesuai dengan kebiasan saja. Sedangkan pengertian-pengertian umum adalah hanya sebatas nama belaka sebagai gambaran-gambaran, bukan sebagai nama benda yang ada pada dirinya. Mekanisme yang dimaksudkan oleh Hobes adalah, dimana pengamatan terjadi karena gerak benda-benda diluar manusia yang menyebabkan adanya ransangan terhadap indera manusia. Dan ransangan itu diteruskan ke otak, dan dari otak ke jantung. Di dalam jantung timbullah reaksi tertentu yang merespon pengmatan tersebut.

c.       David Home.
Home lahir di Edinburg pada tanggaal 25 April 1711,  ayahnya seorang pengacara dan tuan tanah. Ayahnya telah meninggal pada waktu dia masih bayi (kira-kira berumur 2 tahun). Ayahnya meninggalkan kepada keluarganya sebuah perkebunan kecil. kemudia David tinggal bersama kakeknya di Ninewells. Setelah mengabdi selama tiga tahun di Undersecretary of State, Hume pensiun di Edinburg dan akhirnya iapun meniggal  pada tanggal 25 Agustus 1776 pada usia yang ke 60 tahun.
David Hume yang lahir setelah, Bacon, Hobes, Locke, dan Barkeley, yang adalah para pendahulunya dalam merintis paham empiris yang dimana puncaknya yang sangat radikal dan ekstrim berada di dalam pemikiran Home.[21] Sebagaimana para pendahulunya Huma juga berpendapat bahwan manusia tidak mempunyai ide-ide bawaan di dalam hidupnya. Dalam hal ini ada perbedaan antara Hume dan para pendahulunya dalam masalah sumber pengetahuan, Hume mengatakan bahwa pengetahuan bersumber dari pengamatan yaitu pengamatan inderawi.
Pengamatan memberikan 2 hal di dalam persepsi, bahwa akal manusia berasal dari pengalaman yaitu; 1. Kesan-kesan. yang dimaksud denga kesan-kesan adalah pengamatan langsung yang diterima dari pengalaman yang masuk melalui akal yang jelas kuat dan hidup.[22] 2. Ide-ide atau pengertian. Yang dimaksud denga ide-ide atau pengertian adalah gambaran-gambaran dari kesan-kesa tentang apa yang pernah kita lihat dan alami. Karena itu merupakan gambaran dari kesan-kesan, maka ide-ide atau pengertian itu sama dengan photo kopi yang tidak jelas yaitu kopian dari kesan-kesan.[23]
Jikalau Descartes mendasarkan pikiran dan argumentasinya dari keragu-raguan, maka Hume membantahnya dengan mengatakan bahwa keragu-raguan timbul karena manusia mendasarkan atau mendapatkan pengetahuan dari  hal-hal yang tidak langsung yaitu dari ide-ide atau pengertian-pengertian. Kepastian pengetahuan yang layak dipercaya hanya dari kesan-kesan pengalaman, baik itu pengalaman lahiriah maupun batiniah. Diluar itu, pengetahuan itu samar-samar dan tidak jelas. Tetapi ide-ide  yang samar-samar dan tidak jelas itu bisa hilang jikalau ditemukan kembali kepada sumbernya yaitu kesan-kesan yang diterima dari pengalaman.

d.      George Barkeley (1685-1753)
George Barkeley lahir pada tanggal 12 Maret 1685 di Dysart Castle di rumah keluarganya dekat Thomastown, Irlandia[24]. Dia adalah anak tertua dari William Barkeley, yang adalah seorang kader dari keluarga mulia. Barkeley dididik di Palembang Cologe dan dihadiri Trinity Cologe. Dia menyelesaikan gelar masternya pada tahun 1707 di Cologe. Tahun 1721 dia dianugerahi Doktoral dari gereja Irlandia dalam keillahian dalam bahasa Ibrani.
Barkeley juga dikenal sebagai seorang Bishop yang juga adalah seorang filsuf Anglo-Irlandia. Pada tahun 1728 ia menikah dengan Anne froster, putri ketua mahkamah Irlandia. Pada tahun 1752 dia pindah ke Oxford bersama dengan keluarganya dan itu dilakukannya setelah dia pensiun. Dan pada tanggal 14 Januari 1753 dia meninggal, ia dikuburkan digereja katederal Oxford.
Sebagaimana para pendahulunya, demikian juga denga Barkeley, dimana dia mengikuti jejak atau pendekatan dari Locke tentang pengalaman yang menjadi titik tolak dari pengetahuan. Ia menerima pendekataan Locke tentang teori representatif mengenai persepsi, tetapi ia memberikan suatu corak yang baru dan kesimpulan yang lebih tajam. Dia setuju bahwa apa yang benar-benar dirasakan bukanlah dunia luar dari hal-hal yang bersifat materi, melainkan ide-ide atau persepsi.[25] Dia juga mengatakan bahwa segala pengetahuan manusia bersandar pada pengamatan.
Penyangkalan Barkeley akan adanya suatu dunia yang ada di luar kesadaran manusia  menimbulkan Teorinya yang  dikenal dengan teory empirisnya tentang ‘imaterialisme atau idealisme’. Apakah yang dimaksud oleh Barkeley tentang imaterialisme idealisme itu? Yang dimaksud dengan imaterialisme idealisme adalah; bahwa manusia yang adalah individu, hanya dapat mengetahui sensasi dan ide-ide dari benda, bukan abstraksi seperti materi tetapi yang konkrit, dan ide-ide tergantung pada pengamatan pikiran akan, untuk keberadaan mereka.
Menurutnya pengematan identik dengan gagasan yang diamati. Jika  ditanyakan, yang menjadi pertanyaan dasar adalah; bagaimanakah pengamatan itu terjadi? Menurutnya pengamatan terjadi bukan karena hubungan antara subyek yang mengamati dan obyek yang diamati, tetapi pengamatan terjadi karena hubungan pengamatan indera yang satu dengan pengamatan indera yang lain. Sebagai contoh pengamataan: Jarak dan luas antara sabyek dan obyek yang diamati. Di sini dapat diketehui bahwa hubungan itu terjadi karena pengamatan indera pengelihatan dan pengamatan indera peraba. Bagi Barkeley berada berarti mengamati dan diamati. Realitas dari hal-hal yang diamati treletak hanya di dalam hal ini, yaitu bahwa hal-hal itu diamati
Jadi baginya bahwa berada berarti meresakan, dirasakan, mengamati dan diamaati. Dalam hal ini juga ia membuat suatu contoh yang sederhana yaitu; meja tempat belajar, dikatakan ada karena  orang belajar diatas meja itu melihat dan merasakannya. Dan jikalau sudah selesai belajar, maka orang yang belajar di atas meja itu dapat mengatakan bahwa meja itu ada. Jadi dapat dikatakan bahwa jikalau seseorang belajar berarti dia merasakannya.

                                                                              


[1] Ibid,p,17.                                         
[2]  Zubaedi,Op,Cit,p,20.
[3]  Harun Hadiwijono,Op, Cit,p,19.
[4]  Save M Dagun,Filsafat Eksistensialisme ,( Jakart, Rineka Cipta, 1990),p.16
[5]  Harun Hadiwijono,Op,Cit ,p,20.
[6]  Eta Linneman, Teologi Kontemporer, Ilmu Atau Praduga (Institut Iinjil Indonesia ,Malang,1991),p,31.
[7] Colin Brown, Op,Cit, p. 67
[8] Harun Hadiwijono, Op,Cit, p,29.
[9]  Arthur F. Holmes, Segala Kebenaran Adalah Kebenaran Allah, (Surabaya, Momentum, 2009),p.240          
[10]  Harun Hadiwijono,Op.Cit,p,26.
[11] Surajiyo,Op,Cit, p.33
[12] A Yusuf L. Dan D Gahrel.A, Op. Cit, p.45
[13]  Ronald H. Nash, Iman dan Akal Budi, (Surabaya, Momentum,2007),p. 35
[14]  Colin Brown,Op, Cit, p. 81
[15] Harun Hadiwijono,Op,Cit, p.37.
[16] ibid, p.36
[17] Colin Brown,Filsafat dan Iman Kristen,( Surabaya, Momentum,Lembaga,Reformed Injili Indonesia,  2005)
[18] Ibid, p. 82
[19]  Harun Hadiwijono, , Sari  Sejarah Filsafat Barat 2,( Yokyakarta, Kanisius, 1995 ),p. 37
[20]  Ibid, p,32
 [20]  Ibid, p. 34
[21] Zubaedi, Op. Cit, p,31
[22] Harun Hadiwijono,Op,Cit, p,32.
[22]Ibid, p,53
[23] Benny Matindas, Meruntuhkan Benteng Aeisme, (Yokyakarta, ANDI Ofsiet, 2010),p,7.
[24] Colin Brown, Op.Citp, p. 85
[25]  Colin Brown, Op. Cip, p,86.



BAB III
KECENDERUNGAN EPISTEMOLOGI ATHEISME

Ateisme itu dapat dibagi menjadi dua bagian: yang pertama ateisme yang praktis dan ateisme filosofis. Keduanya sama-sama berbahaya dan mendegradasi teologi Injili. Setiap manusia mengakui akan adanya Allah atau suatu oknum yang lebih tinggi dan berkuasaa dari padanya yang selayaknya harus disembah. Itu adalah tuntutan hati nurani yang sangat deras. Hati nurani secara istimewa merupakan jalan menuju pengetahuan akan Allah, dimana setiap manusia akan bertanggung jawab akan tindak tanduknya. Sebagaimana bahwa pengalaman religius berkenaan dengan hati nurani dan tuntutan moral.[1] Kepada siapakah dia akan mempertanggung jawabkannya? Tentunya kepada oknum yang lebih tinggi dari padaanya yaitu Allah.
Atheis pasti berbahaya, tetapi kalau dikatakan mana yang lebih berbahaya? Sudah pasti ateis praktislah yang lebih berbahaya. Sebab kalau dipelajari secara mendalam bahwa seungguhnya tidak ada orang yang ateis secara filosofis/teoritis. Orang-orang yang mengaku akan adanya Allah tetapi dari setiap tindakannya tidak tercermin bahwa Allah itu ada dan berkuasa untuk memelihata dirinya adalah yang paling berbahaya, karena orang seperti inilah yang banyak merusak iman kekristenan.
Oleh karena itu yang dibahas adalah orang yang mengaku bahwa sebenarnya bahwa Tuhan itu ada, tetapi kenyataan bahwa Tuhan itu ada, tidak terlihat di dalam kehidupannya sehari-hari (ateis praktis), yang ada dalam aliran rasionalisme dan empirisisme. Sadar atau tidak sadar ternyata paham-paham seperti inilah yang banyak merusak iman kepercayaan manusia (terutama iman kepercayaan kristen) yaitu yang mengandalkan diri sendiri. Setiap orang yang mengandalkan diri sendiri adalah orang ateis. Ketika manusia itu mengandalkan dirinya sendiri, tanpa disadari dia sudah mengambil posisi Allah yang adalah sumber kekuatan.
Jadi di bawah ini akan diperlihatkan penyebab kecendrungan keateisan (ateis praktis) dari kedua aliraan epistemologi ini (rasionalisme dan empirisisme). Yang pertama-tama akan diperlihatkan kecenderungan keateisan dari aliran rasionalisme.

A.      Kecenderungan Atheis dari Epistemologi Rasionalisme

Bagi kaum rasionalisme bahwa kepastian pengetahuan itu dapat diketahui, yatu dengan cara mengandalkan rasio manusia yang tanpa di pengaruhi oleh apapun terutama pengalaman yang subjektif. Inilah yang dimaksudkan oleh para kaum rasionalisme dengan istilah pengetahuan “kriteria.[2] Jadi bagi mereka bahwa pengetahuan harus di bagun melalui metode atau proses deduktif yang dimulai dengan pengetahuan kriteria dan kemudian akan menarik kesimpulan yang deduktif. Sedangkan yang dimaksud dengan pengetahuan kriteria adalah dimana manusia dapat menilai kebenaran dari objek yang diselidiki. Maka oleh karena itu muncullah evidensi rasionalisme yang menyatakan bahwa hanya logika deduktiflah yang menjadi kepastian.
Jadi untuk menilai benar salahnya dan ada tidaknya sesuatu hal itu harus sesuai dengan logika deduktif,  sebab jika dimulai dengan dasar-dasar yang pasti (logika deduktif), maka akan mendapatkan kesimpulan yang pasti juga. Akibatnya para rasionalisme murni menyatakan “saya hanya dapat memiliki kepastian hanya dengan bergantung kepada pikiran murni saya”[3]
Sebagaimana teori Rene Descartes yang mendasarkan kepada pemikiran, yang dimana dia menyatakan, bahwa dia adalah manusia yang berpikir, oleh karena itu dia memulai dengan kriteria yang pasti bahwa dia adalah mahluk yang berpikir. Maka dari kriteria-kriteria pemikiran itu manusia akan bisa mengetahui bahwa sesungguhnya eksistensi Allah, realitas dunia dan lain sebagainya. Oleh karena itu segala sesuatu bisa diragukan akan keberadaannya, tetapi hanya satu hal yang tidak bisa diragukan yaitu bahwa faktanya saya sedang ragu-ragu, dan ketika saya ragu-ragu, maka saya berpikir, dan ketika saya berpikir, maka saya ada. Oleh karenaa itu, keragu-raguan merupakan dasar pemikiran yang tak bisa digoyahkan. Jadi “ciri khas kebenaran yang dapat dipastikan adalah jelas dan terpilah-pilah”.[4] Oleh karena itu bagi Descartes kebenaran yang jelas dan terpilah-pilah itu adalah Allah.
Sesuatu hal yang menarik dan penting untuk direnungkana tentang penekanan dari paham rasionalisme adalah seperti yang dikatakan oleh Colin “Di dalam bahasa sehari-hari bahwa rasionalisme berarti berusaha menghakimi segala sesuatu  berdasarkan akal dan pikiran”.[5] Jika demikian maka pikiran pun akan berusaha untuk menyelesaikan dengan tuntas hal-hal yang bersifat supranatural. Sebagaimana yang telah dikatakan oleh para ahli filsafat bahwa Rene Descartes dapat digolongkan sebagai teis. Tetapi dia melakukannya itu hanya untuk kepentingan teorinya belaka yaitu untuk memperkuat proposisinya tentang cartesein yang ditopeng dengan metode hukum sebab akibat  dan ontologis.[6]
Pascal menyatakan bahwa  hanya rasiolah yang dapat menemukan atau menghasilkan gagasan atau pemikiran, tetapi walaupun demikian masih ada yang melampaui rasio, yaitu hati. Disisi lain Spinoza menyatakan bahwa kebenaran agama dapat diketahui hanya dengan metode matamatis, oleh karena itu dia memisahkan kebenaran dengan Alkitab yang adalah Firman Tuhan.  Jadi semua hal dalam agama yang tidak sesuai atau bertentangan dengan matematis harus ditolak. Sedangkan ilmu matematis adalah ilmu yang berlandaskan kepada rasio yang terlepas dari pengalaman. Oleh karena itu Spinoza menyatakan “bahwa kepercayan dan pemikiran harus dipisahkan.”.[7] Hal ini sangatlah bertentangan dengan iman kristen, yang dimana kalau dilihat bahwa iman itu seakan-akan merusak rasio. Satu hal yang harus diketahui, bahwa iman tidak pernah bertentangan bahkan merusak rasio, dan iman tidak takluk kepada rasio. Jikalau kita melihat surat Paulus. “Itulah sebabnya aku menderita semuanya ini, tetapi aku tidak malu; karena aku tahu kepada siapa aku percaya dan aku yakin bahwa Dia berkuasa memeliharakan apa yang telah dipercayakan-Nya kepadaku hingga pada hari Tuhan. 2 Timotius 1:12.
Paulus meyatakan “karena aku tahu kepada siapa aku percaya”. Hal ini meyatakan bahwa iman dan rasio dapat berjalan sejajar. Jika demikian manakah yang lebih penting? Apakah iman lebih penting dari pada rasio, atau rasio lebih penting dari pada iman?  Paulus menyatakan bahwa: "Orang benar akan hidup oleh iman." Roma 1:17. Jikalau manusia mempunyai hidup oleh karena iman, maka imanlah yang menjadi yang utama. Jika dikatakan bahwa iman lebih penting, bukan berarti rasio tidak penting. Rasio memang penting, tetapi dimanakah tempatnya? Siapa pun pasti mengakui bahwa manusia adalah ciptaan. Kalau manusia adalah ciptaan, berarti harus ada yang mencipta. Dan yang mencipta pasti lebih besar dari yang dicipta, berarti yang dicipta tidak sempurna sedangkan yang mencipta sempurna, Manusia adalah ciptaan yang paling mulia dan satu-satunya yang mempunyai rasio dari segala ciptaan.
Manusia dikatakan manusia, oleh karena manusia itu mempunyai rasio, dan rasio yang dipunyai manusia itu adalah rasio yang mampu mengerti akan kebenaran. Oleh karena rasio terbatas, maka kebenaran yang dimengerti rasio pastilah terbatas. Ini bukan menunjukan bahwa kebenaran itu yang terbatas, tetapi oleh karena rasio itulah yang terbatas, dan keterbatasannya itulah menunjukan bahwa dia adalah ciptaan, dan menunjukan bahwa masih ada kebenaran yang belum bisa diketahui oleh rasio. Oleh karena itu, dalam posisi demikianlah rasio harus berada dibawah kebenaran, yaitu Kebenaran yang kita imani. Dalam hal ini DR. Steven Tong menyatakan: “Jika memang rasio terbatas, apakah masih ada kebenaran diluar batasan tersebut? Jika memang ada, bagaimanakah rasio bertanggung jawab untuk kebenaran yang berada diluar batasan tersebut? Disini diperlukan penaklukan rasio kepada kebenaran. Kebenaran lebih besar dari pada “yang mengerti kebenaran” dan “yang mengerti kebenaran” mengalami perubahan karena kebenaran mengisi, memenuhi dan mencerahkannya.”[8]
Disini dapat terlihat bahwa iman tidak merusak rasio, dan rasio tidak melampaui iman, tetapi iman mencerahkan rasio, sehinggan rasio dapat mempertanggung jawabkan iman dengan secara rasional. Oleh karena itu iman harus mendahului dan menjadi pondasi dari rasio. Dalam hal rasio sebagai tolak ukur segala sesuatu juga terlihat di dalam pemikiran dari Spinoza yang menyatakan bahwa semua kebenaran dapat diketahui dengan cara maatematis. Akibat dari pernyataannya itu sehingga dia menilai Alkitab hanya sebatas berisikan Firman Tuhan karena di dalamnya banyak yang terdapat hal-hal yang kontradiktif. Oleh karena itu jikalau ada orang yang berpegang kepada Alkitab dengan pernyataan  bahwa Alkitab adalah Firman Allah, maka dia sedang mengubah kepercayaan kepada tahyul.

1.        Pengkultusan Kepada Rasio
Sejauh manakah rasio berperan di dalam iman kepercayaan kristen? Dan dimanakah tempat rasio di dalam iman kepercayaan Kristen? Bagi seorang rasionalis pengetahuan adalah persesuaian antara pikiran dengan hukum norma pemikiran. Sebab bagi seorang rasionalis mengakui, bahwa semua pengetahuan manusia adalah hasil dari olahan rasio yang telah ada setelah dilahirkan (pengetahuan bawaan) yang terlepas dari a-posteriori.
Oleh karena itu sumber pengetahuan dan pengetahuan yang sejati adalah yang dari rasio, bukan pengalaman. Oleh karena itu terjadilah penekanan yang harus berat sebelah. Pada hal, pada umumnya jika seorang filsuf masuk ke dalam unsur-unsur problema seperti ini maka dia harus siap mengambil suatu keputusan untuk membuat suatu pilihan (rasio atau pengalaman).”
Dalam empirisisme selalu memuja objek, sedangkan di dalam rasionalisme memuja hukum ”.[9] Voltaire dan Diderot adalah seorang yang rasionalistik, maka dari situ muncullah istilah rasionalisme yang rasionalistik yang berarti “terlalu mendewakan Akal budi dan hanya dapat menerima pernyataan-pernyataan yang kebenarannya dapat dibuktikan secara ilmiah”.[10] Bagi Descartes kebenaran yang tidak dapat disangsikan adalah “aku berpikir”. jadi untuk menyatakan adanya sesuatu itu harus sesuai dengan eksistensi pikiran dan ide-ide yang ada didalamnya.[11]
Para rasionalistis terlalu menekankan atau memutlakkan rasio dengan cara berat sebelah, maka terjadilah pengkultusan terhadap rasio. Karena itu  esensi dari rasionalisme dinyatakan dalam proposisi bahwa “sebahagian pengetahuan manusia tidak timbul dari pengelaman inderawi, atau tidak ada pengetahuan manusia yang timbul dari pengalaman inderawi”[12] rasio memang sangat dibutuhkan tetapi tidak boleh di kultuskan.
Ketika manusia diciptakan oleh Sang Pencipta, maka manusia itu memiliki hak yang istimewa dan khusus dari segala ciptaan, yaitu manusia yang mempunyai rasio yang adalah gambaran dari Allah. Manusia itu dikatakan manusia karena dia mempunyai akal budi yang dapat dipergunakan. Jadi orang kristen adalah orang yang mempergunakan rasio untuk iman. Tetapi binasalah manusia jikalau dia memperilah rasio sehingga rasio yang diciptakan dan yang terbatas dimutlakkan seperti Allah yang mencipta yang tidak terbatas dan sempurna. Manusia tidak boleh meniadakan rasio karen rasio adalah sesuatu hal yang penting, tetapi kita juga tidak boleh memperilahkannya. Karena rasio adalah ciptaan yang terbatas bahkan pemakaian dan fungsinyapun sudah pasti terbatas.
Jikalau seseorang filsuf yang ingin menerapkan epistemologi dengan tanpa Allah, maka dia harus menemukan sumber lain yang harus mutlak diluar Allah. Di dalam kedua unsur epistemologi (rasionalisme dan empirisisme) telah terlihat jikalau ingin memutlakkan rasio, pasti akan meninggalkan empiris dan sebaliknya juga, jikalau ingin memutlakkan empirisisme maka harus meninggalkan rasionalisme. Jikalau salah satunya dimutlakkan maka Allah akan tersingkir. “Hal seperti inilah yang banyak dilakukan oleh para filsuf yang terkenal” [13]
Jikalau sudah demikian, maka terjadilah pergeseran posisi dimana manusia akan menjadi allah akan dirinya sendiri yang berkuasa akan menentukan segalanya. Akibat dari penekanan yang terlalu ekstrim oleh kaum rasionalisme yang menjadikan pegkultusan terhadap rasio juga terlihat di dalam pemikran Thomas Hobbes yang adalah “bapak rasionalisme materialis” yang menyatakan bahwa Alkitab tidak dapat memberikan wahyu apapun. Dia melihat di dalam Alkitab bayak yang tidak masuk akal, baik itu dengan menyatakan Allah Tritunggal. Jadi kepercayaan kepada Alkitab diibaratkan sebagai kepercayaan yang buta.[14]

B.       Kecendrungan Atheis dari Epistemologi Epirisissme

Penekanan dari kaum empirisisme adalah dengan menyatakan bahwa semua pengetahuan manusia timbul dari pengalaman inderawi dengan argumentasi yang mereka pakai dimana bahwa pada saat manusia baru lahir akal budi itu seperti tabula rasa, yaitu bagaikan suatu papan tulis yang kosong, dengan kata lain bahwa manusia tidak dilahirkan dengan memiliki ide atau pengetahuan bawaan. Seiring dengan pertumbuhan manusia itu, maka indera-indera menyediakan bagi akal budinya persediaan informasi yang terus menerus bertambah. Menurut aliran ini, manusia dapat menemukan dan mengetahuai kepastian. Tetapi untuk menemukan kepastian itu harus melalui proses, sebab kepastian itu tidak datang dan kita ketahui secara sendirinya tanpa melalui proses. Jadi proses yang harus ditempuh untuk menemukan dan mengetahuai kepastian adalah proses yang dimana “keterlibatan  langsung dengan fakta yang berasal dari pengalaman.”[15] Hipotesa dapat dibuktikan hanya dengan apabila kita melihat fakta-fakta, denga cara melakukan percobaan, pengamatan dan pengukuran. Dan secara bertahap maka fakta-fakta yang telah diamati itu akan terus bertambah menjadi kumpulan-kumpulan pengetahuan yang dapat dipercaya.
Hal yang paling ekstrim di dalam paham ini adalah dengan menyatakan bahwa; “pengalaman inderawi adalah satu-satunya sumber dan penjamin kepastian kebenaran pengetahuan.”[16] Dan satu-satunya pengetahuan sejati adalah pengetahuan lewat pengalaman. Oleh karena sumber pengetahuan adalah pengalaman, maka mereka memakai metode pengamatan induktif. Jikalau manusia mempunyai pengetahuan sesuatu hal, itu hanya berdasarkan dan bertitik tolak dari pengalaman inderawi, maka tanpa pengalaman manusia tidak akan bisa mempunyai pengetahuan. 
Tokoh yang paling terkenal dan ekstrim di dalam aliran ini adalah John Locke dan David Home. Locke terkenal dengan teorinya tentang tabula rasa (kertas putih), sedangkan Hume terkenal dengan teorinya tentang representatif (yang mewakili). Sebagaimana Hume yang mendasarkan pemikirannya kepada representatif  dari verifikasi yang secara empiris, yang dalam arti bahwa apa yang ada di dalam pikiran adalah apa yang pernah dialami yang telah diperiksa secara langsung melalui pengamata dengan melihat fakta-fakta.
Oleh karena dia menitik beratkan kepada pengalaman yang telah melewati proses pemeriksaan fakta-fakta dengan pengelihatan, maka dia menolak  semua tindakan Allah yang dikatakan di dalam Alkitab yang adalah Firman Allah. Karena menurutnya bahwa “Alkitab itu tidak bisa didefenisikan maupun diverifikasi secara empiris. Sebab itu menuru Hume, kalimat tersebut omong kosong dan tidak masuk akal.”[17]
Bahkan Hume juga menolak muzijat, baginya muzijat itu adalah sesuatu yang tidak masuk akal, karena peristiwa muzijat itu merupakan suatu peristiwa yang bertentangan  dengan hukum alam, sedangkan pengalaman tidak boleh bertentangan denga hukum alam.

1.    Pengkultusan Kepada Empiris

Sebagaimana  kaum empirisisme yang radikal menyatakan bahwa seluruh pengalaman yang berasal dari berbagai jenis peristiwa yang dialami manusia sebagai mahluk yang  bertumbuh dengan cipta, rasa dan karsa dalam interaksinya dengan objek-objek disekitarnya, yang terlepas dari pengetahuan bawaan manusia. Oleh karena itu, maka para kaum empirisisme menyatakan bahwa pengalaman harus ditekankan sebagai satu-satunya sumber dan penjamin kepastian kebenaran pengetahuan.
Penekanan yang lebih berbahaya lagi dari kaum empirisisme adalah yang menyatakan bahwa, “kita tidak bisa mengklaim bahwa kita dapat mengetahui tentang Allah, sebab Allah dianggap tidak dapat dilihat atau kebal terhadap ”prosedur pemeriksaan” empiris.”[18] Oleh karena itu pegetahuan akan Allah ditolak. Bahkan yang paling berbahaya adalah adanya anggapan para kaum empirisisme yang menyatakan bahwa panca indera cukup untuk memberikan kepastian yang walaupun tanpa Allah.[19] Inilah pengkultusan empiris yang paling berbahaya.
David Hume adalah orang yang dijuluki “sebagai bapa ateisme semantis.”[20] Semua pemikiran Hume dipengaruhi oleh prinsipnya yang dimana itu menjadi dasar pemikirannya. Dia mendasarkan kepada prinsip verifikasi yang secara empiris. Jadi sesuatu bisa dikatakan benar jikalau itu sudah melewati proses verifikasi empiris yaitu melalui pemeriksaan yang secara langsung dengan melihat fakta-fakta. Oleh karena dasar teorinya inilah maka Hume menyangkal Alkitab yang adalah Firman Allah. Sebab menurutnya Alkitab itu tidak dapat diverifikasi secara empiris. Alkitab baginya tidak masuk akal dan itu hanya omong kosong belaka.
Keekstriman David Hume terhadap empiris oleh karena penekanan yang berat sebelah yang mengakibatkan pengkultusan terhadap empiris yang menjadikan dia seorang yang ateis dapat dilihat dari empat argumentasinya, seperti yang dilaporkan oleh Eta yaitu:
1.        Sebuah hukum alam mempunyai tingkat kemungkinan yang paling benar, karena didasarkan atas hal-hal yang biasanya terjadi, yaitu yang diatur.
2.        Sebuah muzijat mempunyai tingkat kemungkinan yang paling rendah, karena jarang terjadi.
3.        Seorang yang bijaksana mendasarkan kepercayaan atas tingkat kemungkinan yang paling tinggi.
4.        seorang yang bijaksana seharusnya tidak percaya bahwa muzijat Sebab itu apapun dapat terjadi.”[21]

Jikalau demikaian, sejauh manakah pengalaman itu berperan di dalam iman kepercayaan kristen? Dan dimanakah peranan pengalaman itu di dalam iman kepercayaan Kristen? Sebenarnya pengalaman sangatlah dibutuhkan di dalam kekristenan, oleh karena itu jikalau ada orang  yang mengaku sebagai seorang kristen, tetapi tidak mempunyai pengalaman yang secara pribadi dengan Kristus, adalah “orang Kristen” yang hanya sebatas namanya saja sebagai “orang kristen” tetapi bukan seorang kristen yang sungguh-sungguh, sebab seorang kristen yang sejati adalah seorang yang dimana hidupnya di tuntun oleh Kristus, dan penuntunan itu adalah merupakan suatu pengalaman yang nyata secara pribadi bagi orang yang bersangkutan. Tetapi walaupun demikian, bukan berari bahwa pengalaman adalah satu-satunya yang harus ditekankan di dalam kekristenan.
Iman kepercayaan kita akan semakin teguh seiring dengan pengalaman kita bersama dengan Kristus. Jadi kepercayaan atau iman harus mendahului pengalaman, dan pengalaman merupakan suatu bukti bagi orang yang beriman, sehingga pengalaman memberikan pertanggung jawaban tentang iman melalui kesaksian. Pengalaman adalah buah dari seorang yang telah beriman. Dengan beriman, dia pasti akan mendapatkan pengalaman-pengalaman riil setiap hari yang dapat menjelaskan keberadaan Iman dan Allahnya. Jadi, pengalaman adalah buah dari keimanan seseorang, dan dapat dipastkan bahwa semua yang telah beriman dan menjadi pengikut Kristus akan mengalami kesaksian kehidupannya mengikuti Yesus Kristus.
Ada titik dimana iman tidak dapat dijelaskan melalui pengalaman empiris. Ada saat dimana fakta empiris tidak dapat juga menjelaskan pengalaman spiritual. Namun dua hal yang selalu ada adalah iman itu berdampak dan dampak itu dapat dilihat sebagai suatu pengalaman, sekalipun tidak selalu diterangkan secara empiris.



[1] Nico Syukur,Filsafat Agama Kristen, (Jakarta/Yokyakarta, BPK/Kanisius,),p. 27-28
[2] John M. Frame, Doktrin pengetahuan Tentang Allah Jilid 1, (Malang, Sekolah Alkitab Asia Tenggara,1999),p.186
[3] W. Gary Crampton,Verbum Dei Alkitab: Firman Allah, (Surabaya, Momentum,2008),p. 22
[4] Harun Hadiwijono,Sari Sejarah Filsafat Barat 2,( Yokyakarta, Kanisius, 1995),p. 21
[5] Colin Brown, Filsafat dan Iman Kristen, (Surabaya, Lembaga Reformed Injili Indonesia,2005),p.63
[6] Ibid,p. 69-70
[7] Eta linnemann, Teologi Kontemporer (ilmu atau praduga), (Malang, Institut Injil Indonesia,1991),p.33
[8] Stephen Tong,Iman, Rasio dan Kebenaran’ (Malang,Momentum, 2011),p.28
[9] John M. Frame, Op Cit , p.165
[10] A Yusuf L. Dan D Gahrel.A ,Pengantar Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Depok, Koekoesan, 2002),p. 42
[11] Arthur F. Holmes, Segala Kebenaran Adalah Kebenaran Allah, (Surabaya, Momentum,2009),p.76
[12] Ronald H Nash, Firman Allah dan Akal Budi Manusia,  (Surabaya, Momentum,2010),p.78,79
[13] John M. Frame,Op.Cit,p.185
[14] Eta Linnemann.Op. Cit, p.30
[15] John M. Farme, Op,Cit, p. 193
[16] A Yusuf L. Dan D Gahrel.A, Op. Cit, p.45
[17] Eta Linnemann, Teologi Kontempore Ilmu dan praduga,(Malang,Institut Injil Indonesia,1991),p.36
[18] John M. Frame. Op. Cit, p. 198
[19] W. Gary Crampton. Op. Cit, p. 23
[20] Eta Linnemann, Op. Cit,
[21] Ibid,p.37



BAB IV
IMPLIKASI IMAN KRISTEN ATAS ATHEISME

Bagaimanapun juga, pembahasan ini harus memiliki implikasi bagi umat Kristen. Adalah suatu kesia-siaan semata, laksana meninju angin, apabila upaya meneliti, membaca, dan kemudian menulis ini tanpa implikasi.

A.    Mampu Mempertanggungjawabkan Iman Kristen

Sebenarnya percaya bukan hanya sebatas percaya, tetapi percaya itu harus diiringi dengan kemampuan untuk mempertanggungjawabkan iman kepercayaan itu kepada setiap orang yang meminta pertanggungjawaban akan iman kepercayaan itu. Yang idealnya setiap orang percaya harus mampu mempertanggungjawabkan iman kepercayaannya dimana pun dia berada, oleh karena itu setiap orang percaya sejatinya adalah seorang apolog.
Oleh karena iman kepercayaan itu harus bisa dipertanggungjawabkan, maka setiap orang yang percaya harus mampu menyadari alasannya kenapa dia percaya dan orang percaya harus tau juga kenapa dia percaya. Oleh karena itu dalam tahap ini pegertian ataupun rasio harus mampu menyadarinya, oleh karena itu juga rasio merupakan hal yang sangat penting di dalam iman kepercayaan. Karena iman kepercayaan kristen bukanlah tahyul, cerita-cerita fiksi ataupun perdukunan, tetapi iman kristen adalah iman yang rasional dan yang menjadi dasar dari pengharapa, Maka oleh karena itu rasio harus mampu mempertanggung jawabkan iman serasional mungkin.
Tetapi rasio yang mampu mempertanggungjawabkan atau memberi alasan kenapa manusia itu percaya adalah rasio yang sudah dicerahkan oleh iman itu sendiri. Oleh karena itu iman harus mendahului rasio. Jadi orang kristen adalah orang yang mampu mempertanggung jawabkan iman kepercayaannya. Dalam hal ini Steven Tong menjelaskan “Jikalau kita percaya tanpa memberikan pertanggungjawaban atas apa yang kita percayai, apakan kepercayaan seperti ini merupakan kepercayaan yang sesungguhnya?” Jadi kepercayaan itu adalah pertanggungjawaban.
Jikalau demikian, dengan cara bagaimanakah supaya orang percaya itu sanggup untuk mempertanggungjawabkan iman kepercayaannya? Ketika pertanyaan seperti di atas muncul berarti harus membutuhkan suatu metode. Metode memang penting, tetapi metode bukanlah satu-satunya, karena satu metode tidak bisa dipakai mencadi patokan yang universal. Tetapi metode itu haruslah kotekstual.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Penulis Jujun bahwa epistemologi itu adalah merupakan suatu metode, maka pengetahuan tentang epistemologi yang benar yaitu yang sesui dengan Firman Tuhan akan membawakan orang percaya kepada pemahaman yang benar akan iman kepercayaan, sehingga mampu untuk mempertanggunjawabkannya. Oleh karena itu epistemologi adalah metode yang paling dasar dalam mempertanggungjawabkan iman kepercayaan.
Sebenarnya epistemologi itu tidak bisa lepas dari teologi dan apologetika, karena belajar epistemologi adalah belajar mempertanggungjawabkan iman kepercayaan, sebab ketika seseorang belajar epistemologi kristen, maka dia akan menyadari alasan kenapa dia harus percaya. Sebagai mana Paulus mengatakan dalam suratnya ke Timotius: “Itulah sebabnya aku menderita semuanya ini, tetapi aku tidak malu; karena aku tahu kepada siapa aku percaya dan aku yakin bahwa Dia berkuasa memeliharakan apa yang telah dipercayakan-Nya kepadaku hingga pada hari Tuhan. 2 Timotius 1:12
Orang Kristen adalah orang yang menyadari kenapa dan kepada siapa dia percaya. Dan sebaliknya juga bahwa iman atau kepercayaanlah yang membawa orang kristen kepada pengertian. Hal ini diperjelas lagi oleh penilus surat Ibrani. Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat. Sebab oleh imanlah telah diberikan kesaksian kepada nenek moyang kita. Karena iman kita mengerti, bahwa alam semesta telah dijadikan oleh firman Allah, sehingga apa yang kita lihat telah terjadi dari apa yang tidak dapat kita lihat. Ibrani 11:1-3
Jadi pengetahuan yang benar akan epistemologi Kristen akan menjadikan dirinya sanggup mempertanggungjawabkan imannya di tengah-tengah perkembangan ilmu pengetahuan. Ia tidak bodoh dan diam namun dapat menjelaskan kepada dunia siapa dan bagaimana, dimana, kemana Kristen itu.

B.     Mengiring Semua pada Kerendahan Hati

Tuhan Yesus berfirman: “Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan”. Matius  11:29. Maka, Belajar tentang Allah adalah belajar tentang kerendahan hati.
Karena belajar tentang Allah (teologi) adalah belajar tentang kerendahan hati, maka belajar tentang Allah atau teologi itu adalah belajar tentang epistemologi, berarti belajar  belajar tentang kerendahan hati. Jadi orang yang belajar epistemologi Kristen yang benar adalah orang yang mempunyai kerendahan hati. Pengetahuan manusia yang diperoleh dari Pengetahuan tentang pengetahuan, akan membawanya kepada pengetahuan yang sesunguhnya yaitu pengatahuan tentang Allah dan pengetahuan Allah yang didasari dari iman.
Di dalam pengetahuan akan Allah akan terdapat pengetahuan akan manusia. pengetahuan manusia tentang Allah dan dirinya diperoleh karena pengetahuan Allah yang dikaruniakan kepada manusia. dalam koteks seperti inilah manusia akan menyadari bahwa sesungguhya adapun pengetahuan yang diperoleh manusia itu  hanyalah oleh karena yang dikaruniakan oleh Allah. Semakin banyak pengetahuan yang diperoleh maka akan semakin banyak lagi pengetahuan yang belum diperoleh. Semakin manusia menganggap dirinya bisa namum sesungguhnya belum apa-apa yang diketahuinya. O, alangkah dalamnya kekayaan, hikmat dan pengetahuan Allah! Sungguh tak terselidiki keputusan-keputusan-Nya dan sungguh tak terselami jalan-jalan-Nya! Roma 11:33. Inilah kerendahan hati yang sesungguhya di dalam pengetahuan akan pengetahuan.



BAB V
KESIMPULAN

Kalau diulas kembali kajian di atas, ternyata epistemologi atau filsafat pengetahuan itu sangatlah bermakna bagi kekristenan jikalau dapat diterapkan secara seimbang. Tetapi sebagaimana yang telah dijelaskan di atas bahwa yang menyebabkan para ahli-ahli epistemolog cenderung menjadi ateis adalah, karena mereka memutlakkan yang tidak mutlak yang mengakibatkan terjadinya pengkultusan. Sebagaimana kaum rasionalisme yang menyatakan bahwa  Saya hanya dapat memiliki kepastian hanya dengan bergantung kepada pikiran murni saya”
Voltaire dan Diderot adalah seorang yang rasionalistik maka dari situ muncullah istilah rasionalisme yang rasionalistik yang berarti “terlalu mendewakan akal budi dan hanya dapat menerima pernyataan-pernyataan yang kebenarannya dapat dibuktikan secara ilmiah”. Hal seperti inilah yang diikuti oleh Spinoza yang dalam pernyataannya yang lebih ekstrim yang dimana dia adalah seorang rasionalisme ateis yang menyatakan bahwa semua kebenaran dapat diketahui dengan cara matematis. Pendahulu dari Spinoza yaitu Thomas Hobbes yang adalah “bapak rasionalisme materialis” yang menyatakan bahwa Alkitab tidak dapat memberikan wahyu apapun. Dia melihat di dalam Alkitab banyak yang tidak masuk akal, baik itu dengan menyatakan Allah Tritunggal, jadi kepercayaan kepada Alkitab diibaratkan sebagai kepercayaan yang buta.
Penekanan yang berat sebelah itu bukan hanya terjadi di dalam paham rasionalisme, tetap di dalam paham empirisisme juga. Hal ini sangat terlihat menonjol. Tidak jauh beda dengan kaum rasionalisme, kaum empirisisme juga menyatkan, bahwa “pengalaman inderawi adalah satu-satunya sumber dan penjamin kepastian kebenaran pengetahuan.” Jadi bagi mereka tanpa pengalaman manusia tidak bisa memperoleh pengetahuan. Oleh karena itu, maka para kaum empirisisme menyatakan bahwa pengalaman harus ditekankan sebagai satu-satunya sumber dan penjamin kepastian kebenaran pengetahuan. Penekanan yang lebih berbahaya lagi dari kaum epirisisme adalah yang menyatakan bahwa, “manusia tidak bisa mengklaim bahwa dirinya dapat mengetahui tentang Allah, sebab Allah dianggap tidak dapat dilihat atau kebal terhadap ”prosedur pemeriksaan” empiris.” Oleh karena itu pegetahuan akan Allah ditolak. Bahkan yang paling berbahaya adalah adanya anggapan para kaum empirisisme yang menyatakan bahwa panca indera cukup untuk memberikan kepastian yang walaupun tanpa Allah. Inilah pengkultusan empiris yang paling berbahaya.
Manusia adalah ciptaan yang paling mulia dan satu-satunya yang mempunyai rasio dari segala ciptaan. Manusia dikatakan manusia, oleh karena manusia itu mempunyai rasio, dan rasio yang dipunyai manusia itu adalah rasio yang mampu mengerti akan kebenaran. Oleh karena rasio terbatas, maka kebenaran yang dimengerti rasio pastilah terbatas. Ini bukan menunjukan bahwa kebenaran itu yang terbatas, tetapi oleh karena rasio itulah yang terbatas. Oleh karena itu, dalam posisi demikianlah rasio harus berada dibawah kebenaran,  yaitu Kebenaran yang diimani.
Disini dapat terlihat bahwa iman tidak merusak rasio, dan rasio tidak melampaui iman, tetapi iman mencerahkan rasio, sehinggan rasio dapat mempertanggung jawabkan iman dengan secara rasional. Oleh karena itu iman harus mendahului dan menjadi pondasi dari rasio. Rasio tidak bisa dimutlakkan karena rasio adalah rasio yang di cipta, terbatas dan terpolusi oleh dosa. Oleh karena itu rasio harus bisa diposisikan sebagaimana layaknya dia harus diposisikan, tidak lebih dari itu.
            Demikian juga halnya dengan pengalaman, bahwa pengalaman sangatlah dibutuhkan di dalam kekristenan, oleh karena itu jikalau ada orang yang mengaku sebagai seorang kristen, tetapi tidak mempunyai pengalaman yang secara pribadi dengan Kristus adalah “orang Kristen” yang hanya sebatas namanya saja sebagai ”orang kristen” tetapi bukan seorang kristen yang sungguh-sungguh, sebab seorang Kristen yang sejati adalah seorang yang dimana hidupnya dituntun oleh Kristus, dan penuntunan itu adalah merupakan suatu pengalaman yang nyata secara pribadi bagi orang yang bersangkutan.
Tetapi walaupun demikian, bukan berarti bahwa pengalaman adalah satu-satunya yang harus ditekankan di dalam kekristenan. Iman kepercayaan itu akan semakin teguh seiring dengan pengalaman bersama dengan Kristus. Jadi kepercayaan atau iman harus mendahului pengalaman, dan pengalaman merupakan suatu bukti bagi orang yang beriman, sehingga pengalaman memberikan pertanggung jawaban tentang iman melalui kesaksian. 
Jadi iman haruslah mendahului rasio dan pengalaman. Oleh karena itu epistemologi Kristen adalah epistemologi yang menggunakan data dari akal budi dan panca indera untuk memperoleh pengetahuan.  sebab baik akal budi maupun panca indera adalah ciptaan Tuhan dan penting untuk sarana kebenaran. Akal budi dan panca indera yang adalah ciptaan Tuhan, selayaknya  kita pakai untuk mempelajari dan mendengarkan Firman Allah serta merenungkannya.
Pengunaan akal budi dan pengalaman harus simbang juga terlihat di dalam pemikiran  Ronald yang menyatakan bahwa: “semua pengetahuan manusia dihasilkan dari apa yang diperbuat oleh akal budi terhadap ide-ide yang disediakan melalui indera-indera yang merupakan bahan-bahan dasar pembangunan pengetahuan.” demikian juga Muzijat yang di saksikan oleh para rasul disampaikan kepada kita melalui wahyu: “Memang masih banyak tanda lain yang dibuat Yesus di depan mata murid-murid-Nya, yang tidak tercatat dalam kitab ini,tetapi semua yang tercantum di sini telah dicatat, supaya kamu percaya, bahwa Yesuslah Mesias, Anak Allah, dan supaya kamu oleh imanmu memperoleh hidup dalam nama-Nya”. Yohanes 20:30-31.
Jadi yang idealnya setiap orang Kristen harus menundukkan pengalaman dan pikiran kepada  Tuhan dan tujuannya untuk kemuliaan Tuhan, maka epistemologi akan menjadi sesuatu yang bermakna, dan dapat mendorong para filsuf dan teolog  bahkan semua yang belajar ilmu pengetahuan, “untuk mengerti kebenaran yang hakiki” bagi  semua pengetahuan manusia untuk pelayanan.
Sedangkan kebenaran yang hakiki itu adalah Kristus, yaitu dimana oleh karena Dia kita mampu dengan sedapat mungkin menyadari alasan kita untuk mempercayai apa yang kita percayai dan untuk mempertanggung jawabkannya. Bagaimanapun juga, Kristus melampaui segala hal termasuk iman dan pengalaman. Kristus melingkupi apapun dan dimanapun sehingga dengan mengenal dan hidup didalam Kristus, efistemologi menjadi suatu hal yang tunduk kepadaNya.