Sabtu, 26 Juli 2014

Cahaya Injil dari Negeri Sabah



Cahaya Injil dari Negeri Sabah
(Suatu Catatan Kesaksian Pelayanan Pdt Joshua Mangiring Sinaga, S.Th., M.Th)


Penerbangan hampir dua jam dari Soekarno-Hatta International Airport menuju Kota Kinabalu International Airport terasa sangat menyenangkan. Tanpa terasa, pesawat soft landing di bumi Borneo ketika malam sudah meyelimuti seluruh kota. Untuk pertama kalinya, saya melangkahkan kaki di Negeri Sabah saat Kota Kinabalu telah diliputi malam. Tidak seperti Jakarta yagn semarak dengan nuansa kota metropolitas, Kota Kinabalu masuh menyisakan keheningan malam yang natural. Di sini masih tersisa malam hening ditaburi bintang-bintang.

Sabah yang sejuk dan hijau. Itulah kesan yang timbul ketika saya melaju dengan “kereta” (sebutan orang Sabah untuk mobil) dari Kota Kinabalu menuju Kawasan Entilibon. Perjalanan santai hampir 200 KM dari Ibukota Negeri Sabah menuju Gereja Sidang Injil Borneo (SIB) di Kampung Sanan terasa sangat memanjakan mata. Sepanjang jalan, kesejukan yang meneduhkan hati diantara barisan bukit-bukit hijau memanjang seolah tiada habis-habisnya. Saya mengaminkan pernyataan bahwa Negeri Sabah di Borneo adalah salah satu paru-paru dunia yang masih tersisa dikawasan Asia Tenggara.

Desember yang basah oleh hujan seperti ikut menyejukkan perjalanan kereta hampir seharian. Theary Thomas, seorang cikgu (guru) muda yang menjadi pemandu kereta tak henti-hentinya berkisah tentang banyak hal. Dimulai dari alam, kultur atau budaya pribumi, hingga pelayanan gereja. Inilah yang membuat saya terpesona dan takjub. Sebagai hamba Tuhan yang melayani di negeri minoritas kristiani, saya takjub melihat suatu negeri yang konon juga kristiani minoritas, sepanjang jalan berdiri papan nama gereja-gereja. Suatu fakta yang bertolakbelakang dengan informasi umum yang saya dapatkan di Indonesia. Fakta sebenarnya adalah di Negeri Sabah, umat kristiani justru menonjol.

Menjelang malam, kereta yang kami tumpangi tiba di kawasan Gereja SIB Sanan. Para diaken dan Ketua Majelis Sidang menyambut dengan ramah. “Pounsikou, pounsikou” Para Diaken menyebutkan kata terimakasih. Kosa kata pertama yang saya mengerti di negeri Sabah. Setelah melewati perjalanan yang cukup melelahkan, saya pun bisa membaringkan tubuh di kamar rumah sidang. Tidur paling lelap di negeri orang. Keramahtamahan jemaat SIB Sanan, menuntaskan kelelahan sepanjang hari.

Gereja yang Miskin

Gereja Sidang Injil Borneo (SIB) di  Kampung Sanan kawasan Entilibon Sabah Malaysia adalah jemaat dibawah naungan Sabah Evangelical Church. Sidang ini telah menulis surat undangan pelayanan kepada saya setahun sebelum 25 Desember 2013. Suatu panggilan pelayanan yang tidak biasa karena saya sama sekali tidak mengerti apa dan bagaimana keberadaan jemaat ini. Saya sungguh terpana karena apa yang saya kira sebagai sidang jemaat kecil di tengah-tengah perkebunan kelapa sawit, ternyata jauh melebih dari ekspektasi. Jemaat SIB Sanan sesungguhnya adalah gereja modern yang pertumbuhannya sungguh mempesona. Tuhan telah berkarya melalui gereja ini sehingga hampir seluruh penduduk dikawasan, telah “dimenangkan” di dalam Kristus.

Gereja SIB adalah salah satu potret gereja misioner di zaman modern ini. Hampir diseluruh kawasan berdiri sidang-sidang yang telah memenangkan mayoritas jiwa-jiwa setempat. Tidak heran, sepanjang perjalanan dari Ibu Negeri Sabah, Kota Kinabalu, hingga di Kawasan Entilibon, berdiri di sepanjang jalan papan nama sidang-sidang SIB. Gereja SIB Sanan, salah satu sidang SIB yang berdiri ditengah-tengah pemukiman kawasan, pun telah menjadi cerminan betapa hebatnya kuasa Allah melawat Negeri Sabah, sehingga telah memenangkan hampir seisi permukiman.

Kebaktian Natal dimulai dengan prosesi sambutan kepada pengkhotbah tamu. Saya sungguh terharu saat dijemput di rumah sidang dan didampingi ketua majelis sidang bersama para diaken memasuki gereja. Tabuhan gong khas etnik Dusun, suku asli atau pribumi Sabah, mengiringi langkah-langkah kami semua memasuki ruangan ibadah. Suasana gedung gereja penuh sesak oleh jemaat hingga berjejal-jejal. Ibadah pun diawali dengan tarian puji-pujian yang dikemas dengan busana khas etnik dusun. Semuanya menyiratkan sukacita yang tak dapat saya gambarkan dengan kata-kata.

Inilah jemaat yang benar-benar lapar akan hadirat Allah. Saya merasakan bahwa merekalah yang disebutkan oleh Yesus Kristus sebagai orang-orang yang berbahagia karena miskin di hadapan Tuhan. Seperti tertulis dalam Matius  5:3 "Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga”. Jemaat Sanan memberikan kepada saya pengertian yang baru tentang arti miskin dihadapan Tuhan.

Hampir 500 orang lebih memadati ruangan dengan ekspresi hati sukacita dalam lawatan Tuhan. Tak terlihat orang berpaling dan memusingkan yang lain ketika pujian dan penyembahan dipersembahkan kehadirat Tuhan. Tidak terlihat ada yang berniat beranjak dari tempat duduknya ketika mendengarkan khotbah yang saya sampaikan. Tak terlihat juga kesan mereka merasa terganggu ketika bahasa yang saya gunakan tidak sama dengan bahasa merekai. Bahasa tubuh jemaat melambangkan kehausan jiwa mereka kepada Injil yang berkuasa.

Saya pun mendapatkan defenisi lengkap dari kata berbahagia sebagai orang miskin dihadapan Allah, saat menjadi saksi kelaparan spiritual jemaat SIB Sanan akan lawatan Tuhan. Jemaat yang berbahagia dengan kemiskinan rohani yang menjadikan mereka sanggup mengabaikan apapun untuk menerima dan mendapatkan lawatan Tuhan. Kemiskinan spiritual yang membangun pengharapan mereka melebihi apa yang dapat saya bagikan. Entahkah beberapa diantara mereka telah ada pada strata sosial yang berada, ataukah jemaat yang masih hidup sederhana, semuanya membaur hanyut dalam hadirat Tuhan yang sangat deras. Beberapa diantara mereka rebah didalam hadiratNya, sementara yang lain berdiri dengan tangan terangkat tinggi dan sorak-sorai yang gegap gempita. Kepenuhan hadirat Tuhan, membuat saya hanya berdiri terpaku penuh kekaguman. Allah sungguh luar biasa dahsyat bagi Negeri Sabah.

Sebuah Repleksi

Saya sudah menyelesaikan lawatan satu pekan di Negeri Sabah. Saya pun sudah kembali bergulat dengan kesibukan dan rutinitas pelayanan di Jakarta. Sebagai seorang pendeta dan sekaligus gembala sidang gereja yang bertumbuh, saya harus mampu menyesuaikan ritme dengan tuntutan dan konsekwensi pelayanan di kota metropolitan.

Saya memang harus berjuang untuk dapat mengadaptasi dengan hiruk pikuk kota Jakarta. Saya lahir dan besar di sebuah kampung terpencil bernama Huta Pamatang Jorlang Hataran. Hampir tidak dapat dicari di peta atau googling sekalipun dusun ini. Saya  menghabiskan masa kanak-kanak sampai remaja di dusun dan menjadi remaja yang hampir tidak pernah bersentuhan dengan kota metropolitan.

Setelah menyelesaikan pendidikan SMA, saya pun pindah ke Kota Jakarta tahun 1994. Saya diterima di asrama sebuah sekolah teologi dan menjalani masa sebagai mahasiswa hampir 5 (lima) tahun. Suatu keputusan luar biasa ketika remaja minder seperti saya, memutuskan untuk menjadi pemimpin rohani. Itu adalah anugerah dibalik masa kecil saya yang gelap.

Saya lahir dari sebuah keluarga yang tidak bahagia. Ayah saya seorang muslim pada masa mudanya, namun menjadi Kristen akibat penikahan dengan ibu. Sungguh suatu keadaan rohani yang gersang. Lengkaplah kekelaman masa kecil saya karena kami miskin secara materi dan rohani. Ayah saya seorang petani miskin didampingi ibu rumah tangga yang juga tak kalah miskinnya. Kemiskinan ini membuat saya bertumbuh dalam kesulitan termasuk kesehatan disebabkan kelahiran prematur. Saya pun harus berjuang untuk tetap hidup ditengah-tengah kemiskinan yang membalut kelam.

Hidup kami sekeluarga memang menyedihkan. Pada masa paceklik, kami harus makan nasi gaplek. Nasi berbahan dasar singkong itu menjadi menu makanan ketika persediaan beras hasil panen sudah habis. Saya bertumbuh menjadi remaja minder karena sakit-sakitan. Keadaan fisik saya ketika lahir prematur menyisakan permasalahan kronis karena paru-paru saya bermasalah. Keadaan yang sulit ini memuncak ketika saya memasuki sekolah SMP. Saya harus dijemput dari sekolah untuk di rawat di rumah akibat paru-paru basah yang membuat saya sering kesulitan bernafas. Dalam keadaan antara masih hidup dan mati, saya berdoa. Saya yang tidak mengerti bagaimana berdoa, bergumul diantara demam yang tinggi dan kesulitan bernafas. Malam yang panjang ketika saya bergumul di antara kemiskinan dan kekosongan hati.

Tuhan mendengarkan doa. Malam itu, antara saya sadar atau tertidur, saya mendengar suara yang memanggil berkali-kali. Antara sadar dan tidur, saya pun mendengar suara yang teduh. Demam tinggi yang membuat saya kesulitan bernafas pun perlahan-lahan berkurang. Malam itu saya tidur lelap. Esok harinya saya bangun dalam keadaan tubuh yang bugar. Saya sembuh dan bernafas dengan sempurna. Malam itu Tuhan menyembuhkan saya. Tuhan pun memulihkan jiwa saya yang hampa dengan pengurapan pada ibadah pencuran Roh Kudus tahun 1990. Saya menjadi seorang hamba yang begitu miskin akan apapun yang berhubungan dengan hadirat Tuhan. Kemiskinan rohani yang terus menerus mendorong roh dan jiwa saya bergantung sepenuhnya kepada Yesus Kristus.

Saya berkhotbah untuk pertama kalinya pada umur 16 tahun ketika masih duduk di bangku SMA. Saya kini telah berkhotbah seantero negara. Saya melayani seminar dan KKR di berbagai kota, baik di dalam maupun di luar negeri. Saya telah menyaksikan berbagai mukjizat keajaiban berlaku dalam pelayanan. Saya menyaksikan Tuhan berkarya melalui penumpangan tangan saya, ketika seorang anak yang sudah mati bangkit kembali. Saya menyaksikan bagaimana hujan badai berhenti dalam hitungan detik saat doa saya panjatkan kepada Allah. Saya melihat bagaimana Tuhan mencukupkan kebutuhan jasmani dengan ajaib. Kemiskinan spiritual yang membuat saya selalu bergantung sepenuhnya kepada Tuhan, telah membuat Tuhan berkarya hebat melalui seorang hamba yang tak berarti seperti saya.

 Hati dan jiwa saya masih saja merasakan kehausan yang tak terhingga. Hingga keadaan jasmaniah saya kini terus dipulihkan dan diperkaya, saya masih terus merasakan jiwa yang haus. Saya telah menyelesaikan pendidikan di STT dengan baik dan berhasil lulus cumlaude untuk program pascasarjana. Saya kini memimpin diberbagai lembaga dan menjadi kepala keluarga yang berbahagia. Namun satu hal yang masih terus melanda jiwa saya adalah kelaparan akan hadirat Tuhan. Saya terus merasakan kemiskinan rohani yang memaksa saya untuk terjun labih dalam dihadiratNya. Saya masih miskin spiritual sampai detik ini. Haleluyah.